( 25 Mei 1882 – 1945)
Perubahan status dari Vikariat Apostolik menjadi sebuah keuskupan adalah sebuah awal bagi Keuskupan Surabaya untuk memulai hidup baru dengan status yang baru. Karena perubahan status ini, Mgr. J.A.M Kloster, CM sebagai Uskup pertama harus membangun fondasi-fondasi yang kuat bagi penerusnya. Oleh karena itu, ada baiknya bila kita mengenal pribadi Mgr. J.A.M Kloster, CM serta usaha-usaha yang dilakukan beliau untuk meletakkan fondasi bagi penerusnya.
"Evangelizare divitias Christi"
- - Mewartakan Kekayaan-kekayaan KristusMgr. Johannes Antonius Maria Klooster, CM
RIWAYAT HIDUP
Mgr. J.A.M Klooster, CM dilahirkan pada 5 Juni 1911 di Djatiroto, Jawa Timur. Beliau lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga guru. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah Belanda (ELS) milik pabrik gula Djatiroto. Semasa kecil, Yohannes Klooster telah mengikuti orang tuanya ke Belanda dan menetap di sana serta belajar di seminari menengah. Setelah menyelesaikan belajarnya di seminari menengah, Yohanes Kloster memutuskan untuk bergabung dengan seminari tinggi Congregatio Missionis (CM) di Belanda pada 18 September 1929, dan akhirnya pada tahun 1936 ia ditahbiskan sebagai Imam. ...
Setelah pentahbisannya pada tahun 1936, beliau ditugaskan oleh kongregasinya ke Indonesia, dan langsung bertugas di Kediri, yang pada akhirnya menghantar beliau untuk bertugas di Blitar pada tahun 1937[1], di Surabaya pada tahun 1938- 1940 yakni di paroki Hati Kudus Yesus dan Kristus Raja dan pada tahun berikutnya beliau ditugaskan di Cepu. Pada tahun 1943, disaat adanya pendudukan Jepang di Indonesia, banyak para misionaris yang ditahan dan Rm. Klooster, CM termasuk didalamnya. Beliau sempat ditahan dua kali hingga tahun 1946. Akhirnya pada tahun 1946 setelah keluar dari tahanan, beliau mengambil cuti dan pulang ke negeri Belanda.
Selama di Belanda beliau belajar Linguistik Indonesia pada Universitas Leiden di Belanda sampai dengan tahun 1952. Pada bulan Januari 1953, Rm J.A.M Klooster, CM kembali berkarya di Indonesia dan diangkat sebagai Vikaris Apostolik pada 21 Pebruari 1953. Pada 1 Mei 1953 beliau ditahbiskan sebagai Uskup dengan konsekratornya adalah Mgr. De Jonghe d’ Ardoye, duta Vatikan di Jakarta, dibantu dengan Mgr. A. Soegijapranata, SJ, Uskup Semarang, serta Mgr. A. Djajasepoetra, SJ ,Uskup Jakarta.
Pada 12 Mei 1960, para Waligereja Indonesia mengirimkan surat ke Roma yang ditandatangani oleh semua waligereja yang isinya memohan agar didirikan hierarki di Indonesia. Tanggal 3 Januari 1961, Bapa Suci Yohanes XXIII membuat sebuah keputusan mengenai berdirinya hierarki di Indonesia. Maka sejak saat itu Vikariat Apostolik Surabaya berubah menjadi Keuskupan Surabaya yang merupakan Suffragan (bagian) dari Keuskupan Agung Semarang (ius comisionis berubah menjadi ius mandatum). Pada akhirnya, pada 9 September 1961 Mgr. J.A.M Klooster, CM secara resmi diangkat sebagai Uskup Surabaya dan pagi hari itu juga, Mgr Klooster, CM melakukan sumpah sebagai Warga Negara Indonesia.
SITUASI DAN KONDISI POLITIK SAAT ITU
Proklamasi Kemerdekaan dan diterimanya Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila sebagai Dasar Negaranya belum dapat memecahkan pertentangan-pertentangan politik waktu itu. Sejak tahun 1945-1965, banyak kelompok yang mengejar kekuasaan politik menurut ideologinya masing- masing. Banyak serangan terjadi terhadap Gereja Katolik saat itu yang dilakukan oleh kelompok Muslim fanatik dan kelompok komunis[6]. Menanggapi situasi tersebut, para Uskup se-Indonesia mengadakan sidang pada tanggal 15-25 Oktober 1966 di Girisonta, Jawa Tengah. Sidang ini menyerukan agar umat Katolik mendukung secara aktif dan positip setiap jerih payah demi pembangunan dibidang sosial ekonomi berdasarkan keyakinan bahwa umat katolik wajib mewujudkan diri terhadap Allah dalam bentuk cinta kasih terhadap sesama dan dalam pengabdiannya terhadap kepentingan umum[7]. Akibat lain dari peristiwa tersebut adalah sulitnya imam-imam asing, terutama dari negeri Belanda, tidak lagi dapat memasuki wilayah Indonesia, padahal jumlah umat Katolik dan kegiatan-kegiatan keuskupan saat itu semakin bertambah. Hal ini tentunya berdampak pada Gereja Katolik Indonesia khususnya di Keuskupan Surabaya yang saat itu mengalami kekurangan tenaga Imam.
KEPRIHATINAN DAN USAHA -USAHA
Peningkatan jumlah umat dan bertambahnya kegiatan-kegiatan keuskupan tanpa diimbangi dengan jumlah Imam yang ada, menjadi keprihatinan Mgr. Klooster, CM saat itu. Oleh karena itu, terdorong dengan motto penggembalaanya yakni “Evangelizare divitias Christi” (Mewartakan Kekayaan-Kekayaan Kristus), Mgr. Klooster, CM lalu menghubungi beberapa Provinsi Kongregasi Misi (Lazaris) di luar negeri, untuk mendapatkan bantuan berupa tenaga-tenaga imam baru bagi Keuskupan Surabaya. Namun, usaha itu baru berhasil ketika beliau mengikuti sidang-sidang Konsili Vatikan II di Roma. Pada waktu itu Kongregasi Misi Provinsi Roma, Italia, bersedia memberikan bantuan tenaga imam. Maka, pada pertengahan tahun 1964 imam-imam Lazaris dari Provinsi Roma, Italia, tiba di Surabaya. Mereka adalah Rm. R. Siveri, CM dan Rm. Carlo del Gobbo, CM, dan mereka mendapat karya tersendiri yakni di Kabupaten Rembang pada tahun 1965, lalu Kabupaten Blora pada tahun 1966, dan karesidenan Madiun pada tahun 1967. Untuk selanjutnya jumlah imam- imam dari Italia cukup meningkat, bahkan ada seorang Romo Projo dari Keuskupan Chiavari yang memberikan dirinya bergabung dengan Keuskupan Surabaya pada tahun 1963, yakni Rm Fransesco Lugano, Pr.
Selain memperhatikan tenaga imam, Mgr. Klooster, CM juga memperhatikan sarana-sarana pendukung lainnya antara lain :
- Pembangunan fisik dalam bentuk gereja, pastoran dan bangunan pendukung lainnya, baik di dalam kota Surabaya maupun di luar kota Surabaya.
- Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, beliau membuka sekolah-sekolah dari tingkat TK sampai tingkat SLTA di semua Paroki (Cepu, Rembang, Bojonegoro, Ponorogo). Beliau mendirikan pula Perguruan Tinggi, yakni Widya Mandala Madiun (1958) dan di Surabaya (1961) dan Akademi Katekis Indonesia Widya Yuwana Madiun (1959) (data terlampir)
- Dalam bidang kesehatan membuka BKIA, poliklinik, serta pendidikan perawat dan bidan di RKZ Surabaya.
- Mendirikan Lembaga Karya Dharma yang berkarya di bidang sosial dan kesehatan.
- Mendirikan berbagai organisasi kerohanian untuk meningkatkan penghayatan iman
- Menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk peningkatan solidaritas secara nyata.
- Bekerjasama dengan berbagai Kongregasi Biarawan dan Biarawati yang berkarya disegala bidang kegiatan di Keuskupan Surabaya.
- Memindahkan lokasi Seminari Menengah di Jl. Dinoyo 42, Surabaya, ke Garum, Blitar, karena merasa Seminari Menengah di Surabaya kurang memenuhi syarat lagi. Pada Januari 1957 diadakan peletakan batu pertama di Seminari Garum dan pada tanggal 1 Oktober 1958 seluruh penghuni Seminari Menengah St Vincentius a Paulo Jl. Dinoyo 42 Surabaya pindah ke Garum, Blitar dan yang menjadi Rektor pertama adalah Rm Sjef Verbong CM (1958-1965).[9] Saat itu sudah ada 13 seminaris yang mulai masuk.
Demikianlah usaha-usaha yang dilakukan Mgr. Klooster, CM yang berlandaskan pada cintanya akan Keuskupan Surabaya dengan segala upaya berusaha mewujudkan mottonya yakni Mewartakan Kekayaan-kekayaan Kristus. Kekayaan Kristus telah diwartakan oleh Mgr. Klooster dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana pada waktu itu. Kekayaan-kekayaan Kristus yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang ada di dalam diri Kristus yaitu cinta dan pengorbanan. Dengan segala usaha yang telah beliau lakukan dalam membangun keukupan Surabaya berarti beliau telah menancapkan fondasi yang kuat bagi para penerusnya. Pada tanggal 16 Desember 1982 Mgr. J.A.M Klooster, CM mengundurkan diri dari jabatan sebagai Uskup Surabaya karena kesehatannya mulai menurun. Selama purna tugasnya sebagai Uskup Surabaya, beliau bertugas sebagai pastor pembantu di Paroki St Yoseph Mojokerto (1982) serta di Paroki Vincentius a Paulo Kediri (1984). Pada tanggal 30 Desember 1990, Mgr. J.A.M Kloster, CM meninggal dunia di Surabaya.
REFLEKSI
Refleksi yang dapat diambil dari masa penggembalaan Mgr. Klooster, CM adalah: Dalam masa penggembalaan Mgr. Kloster, CM, hal yang bagi kami menarik adalah semangat dan pengabdiannya yang terungkap jelas melalui mottonya Evangelizare Divitias Christi. Motto penggembalaannya ini dilatarbelakangi oleh cintanya akan diri Yesus Kristus yang diwujudnyatakan dalam pelayanan terhadap umat di Keuskupan Surabaya. Hal ini dibuktikan dengan adanya perjuangan Mgr. Klooster, CM didalam membenahi Keuskupan Surabaya, terutama dibidang Pendidikan, kesehatan, tenaga imam, dan juga pendidikan calon Imam, meskipun saat itu segala sesuatunya serba terbatas. ...
Dengan cinta Mgr. Klooster, CM berjuang untuk keuskupan Surabaya. Perjuangan cintanya dapat terlihat jelas dari daya juangnya dengan meminta kepada privinsi Kongregasi Misi di luar negeri untuk pemenuhan tenaga Imam yang kurang saat itu dan yang menjawab permintaan itu adalah imam-imam Lazaris provinsi Italia, Roma. Dari usahanya ini terlihat bahwa beliau mengusahakan tenaga imam baru selain dari Belanda. Beliau menanggalkan rasa malunya demi pewartaan kekayaan-kekayaan Kristus yang berwujud cinta kasih.
Kecintaan Mgr Klooster, CM pada Negara Indonesia terungkap lewat kesungguhannya untuk benar-benar menjadi warga negara Indonesia terlepas dari fakta bahwa beliau lahir di Indonesia. Hal ini terbukti dengan beliau mempelajari bahasa Indonesia di Universitas Leiden Belanda, dan mau mengambil sumpah sebagai Warga Negara Indonesia pada tahun 1961. Bagi kami ini adalah bentuk cinta yang mendalam terhadap umat-umatnya. Ia ingin diterima sebagai warga negara Indonesia supaya beliau dapat mewartakan kekayaan-kekayaan Kristus dengan lebih mudah bila beliau menjadi sama seperti kita. Hal ini mengingatkan kami akan Yesus Kristus yang juga rela menjadi manusia bahkan menjadi manusia yang paling hina.
Mgr Klooster, CM merupakan tokoh yang menjadi fondasi dalam perkembangan sejarah Keuskupan Surabaya, karena pada saat itu didirikan hirarki di Indonesia yang merupakan awal bagi Keuskupan Surabaya menjadi sebuah Keuskupan yang mandiri dan mempunyai wewenang penuh didalam membangun Keuskupannya.
Beliau tidak melupakan bagamana pentingnya membangun jaringan dengan pejabat daerah setempat. Beliau menyadari betapa pentingnya jaringan tersebut. Kami menyadari bahwa penting juga kita membuat jaringan dengan pejabat daerah tempat kita bertugas nanti agar lebih mudah bagi kita untuk bergerak. Kami menyadari betapa pentingnya sebuah relasi dalam kehidupan imamat sebab kita tidak mungkin dapat hidup seorang diri.Dengan cinta Mgr. Klooster, CM berjuang untuk keuskupan Surabaya. Perjuangan cintanya dapat terlihat jelas dari daya juangnya dengan meminta kepada privinsi Kongregasi Misi di luar negeri untuk pemenuhan tenaga Imam yang kurang saat itu dan yang menjawab permintaan itu adalah imam-imam Lazaris provinsi Italia, Roma. Dari usahanya ini terlihat bahwa beliau mengusahakan tenaga imam baru selain dari Belanda. Beliau menanggalkan rasa malunya demi pewartaan kekayaan-kekayaan Kristus yang berwujud cinta kasih.
Kecintaan Mgr Klooster, CM pada Negara Indonesia terungkap lewat kesungguhannya untuk benar-benar menjadi warga negara Indonesia terlepas dari fakta bahwa beliau lahir di Indonesia. Hal ini terbukti dengan beliau mempelajari bahasa Indonesia di Universitas Leiden Belanda, dan mau mengambil sumpah sebagai Warga Negara Indonesia pada tahun 1961. Bagi kami ini adalah bentuk cinta yang mendalam terhadap umat-umatnya. Ia ingin diterima sebagai warga negara Indonesia supaya beliau dapat mewartakan kekayaan-kekayaan Kristus dengan lebih mudah bila beliau menjadi sama seperti kita. Hal ini mengingatkan kami akan Yesus Kristus yang juga rela menjadi manusia bahkan menjadi manusia yang paling hina.
Mgr Klooster, CM merupakan tokoh yang menjadi fondasi dalam perkembangan sejarah Keuskupan Surabaya, karena pada saat itu didirikan hirarki di Indonesia yang merupakan awal bagi Keuskupan Surabaya menjadi sebuah Keuskupan yang mandiri dan mempunyai wewenang penuh didalam membangun Keuskupannya[10].
Beliau tidak melupakan bagamana pentingnya membangun jaringan dengan pejabat daerah setempat. Beliau menyadari betapa pentingnya jaringan tersebut. Kami menyadari bahwa penting juga kita membuat jaringan dengan pejabat daerah tempat kita bertugas nanti agar lebih mudah bagi kita untuk bergerak. Kami menyadari betapa pentingnya sebuah relasi dalam kehidupan imamat sebab kita tidak mungkin dapat hidup seorang diri.
DAFTAR PUSTAKA
- Boelaars J.W.M Huub. Indonesianisasi. Kanisius Yogyakarta. 2006
- Sejarah Gereja Katolik Indonesia jilid 3b. Jakarta. Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia.
- Hadiwikarta, Johanes. Keuskupan Surabaya dari awal hingga tahun 2000. Surabaya. 2000.
- Riyanto, Armada. 80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia. CM Provinsi Indonesia. 2007.
- Tondowidjojo, John. Sejarah perkembangan Keuskupan Surabaya jilid I. Surabaya. Yayasan Sanggar Bina Tama. 2000.
- Unio Keuskupan Surabaya. ut Vitam Abundantius Habeant. Unio Keuskupan Surabaya. 2007.
- Viva Vox Volume 53/no. 95 Juli-Desember 2008. Blitar.
USKUP DARI MASA KE MASA
Mgr. Dr. Theophilus de Backere, CM 1928 - 1937
Sejarah perjalanan hidupnya di Jawa berawal saat Jenderal CM dari Paris mengirim surat edaran tahunan kepada provinsi-provinsi CM di seluruh dunia. Dalam salah satu bagian surat itu, terdapat pengumuman bahwa akan diadakan suatu misi di Hindia Timur, sebuah wilayah yang kelak disebut Indonesia. Misi tersebut diserahkan kepada provinsi CM Belanda dan ada 4 nama konfrater yang akan menjalankan misi tersebut; Dr. Th. de Backere CM, E.E. Sarneel CM, J.H Wolters CM, Th. Heuvelmans CM. Mereka berangkat dari Wernhoutsburg (Belanda) pada 25 Mei 1923 menuju Paris (Genoa), kemudian pada 6 Juni 1923 mereka melanjutkan perjalanan dari Genoa (Italia) menuju Indonesia dan kemudian mereka tiba di Batavia (Jakarta) pada tanggal 30 Juni 1923. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Surabaya dan tiba pada tanggal 6 Juli 1923.
Mgr. Dr. Michael Verhoeks, CM 1941 - 1952
Sepak terjang beliau dalam menjalankan tugas sebagai Uskup Surabaya mendapatkan tantangan tersendiri yang saat itu dunia sedang mengalami Perang Dunia I. Namun dengan semangat yang tidak kunjung padam dan optimis dalam menjalankan tugas pengembalaan yang dipercayakan padanya membuat Beliau tetap bertahan walau situasi Surabaya saat itu sangat mencekam sehingga membuat Umat dilingkupi rasa kecemasan, penderitaan serta ketidakjelasan. Hal ini yang menjadi dasar Beliau memilih motto “Ut Omnes Unum Sint” agar dalam masa kepimpinannya semua kaum religius yang berkarya di keuskupan surabaya mejadi satu.
Mgr. Johannes Antonius Maria Klooster, CM 1953 - 1982
Peningkatan jumlah umat dan bertambahnya kegiatan-kegiatan keuskupan tanpa diimbangi dengan jumlah Imam yang ada, menjadi keprihatinan Mgr. Klooster, CM saat itu. Oleh karena itu, terdorong dengan motto penggembalaanya yakni “Evangelizare divitias Christi” (Mewartakan Kekayaan-Kekayaan Kristus), Mgr. Klooster, CM lalu menghubungi beberapa Provinsi Kongregasi Misi (Lazaris) di luar negeri, untuk mendapatkan bantuan berupa tenaga-tenaga imam baru bagi Keuskupan Surabaya. Namun, usaha itu baru berhasil ketika beliau mengikuti sidang-sidang Konsili Vatikan II di Roma. Pada waktu itu Kongregasi Misi Provinsi Roma, Italia, bersedia memberikan bantuan tenaga imam. Maka, pada pertengahan tahun 1964 imam-imam Lazaris dari Provinsi Roma, Italia, tiba di Surabaya. Mereka adalah Rm. R. Siveri, CM dan Rm. Carlo del Gobbo, CM, dan mereka mendapat karya tersendiri yakni di Kabupaten Rembang pada tahun 1965, lalu Kabupaten Blora pada tahun 1966, dan karesidenan Madiun pada tahun 1967. Untuk selanjutnya jumlah imam- imam dari Italia cukup meningkat, bahkan ada seorang Romo Projo dari Keuskupan Chiavari yang memberikan dirinya bergabung dengan Keuskupan Surabaya pada tahun 1963, yakni Rm Fransesco Lugano, Pr.
Mgr. Aloysius Joseph Dibjakaryana 1982 - 1994
Jumlah umat yang sudah mulai bertambah, membuat Mgr. Dibjakaryana memiliki harapan untuk menyatukan umat yang semakin berkembang dan bertambah tersebut serta menyatukan imam-imam diosesan dan kongregasi dalam suatu hubungan kerjasama pastoral. Selain menyatukan interen Gereja, Mgr. Dibjakaryana juga mempunyai maksud untuk mengusahakan persatuan dengan masyarakat agama lain dan dengan pemerintah. Dari realitas yang terjadi di Keuskupan Surabaya itu, Mgr. Dibjakaryana mengambil motto ”Ut Omnes Unum Sint” (Supaya Mereka Menjadi Satu) dari Doa Yesus untuk para murid. Motto yang diambil oleh Mgr. Dibjokaryana bisa dikatakan suatu pemikiran tindak lajut atau kelanjutan dari motto Uskup sebelumnya, Mgr. Klooster yaitu “Evangelizare Divitas Christi” (Mewartakan Kekayaan-Kekayaan Kristus). “Yang menjadi rencana pokok ialah umat katolik bersatu dalam hidup dan karya. Bersatu tidak berarti hanya rukun saja, tetapi bersatu yang dinamis dan menciptakan persatuan yang lebih sempurna dengan agama-agama lain, sesuai dengan sikap dan perutusan Gereja Katolik (Berdialog)”. [3]
Mgr. Yohanes Hadiwikarta 1994 - 2003
Keinginan untuk merumuskan visi dan misi Keuskupan Surabaya diwujudkan oleh beliau dengan SINODE KEUSKUPAN pada tanggal 20-22 Nopember 1996 di Prigen. Mereka yang menghadiri sinode ialah semua Pastor yang berkarya diwilayah Keuskupan Surabaya, semua Ketua Komisi Keuskupan, Wakil Tarekat Suster, Frater yang berkerja di Keuskupan Surabaya, Wakil Awam dari Keempat Regio dan Organisasi Katolik. Beliau mengundang beberapa nara sumber, yaitu, Mgr. Bl Pujaraharja, Pr, Uskup Ketapang, Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Uskup Amboina, dan Romo P. Mariatma, SVD. Sinode itu membuahkan Visi dan Misi Keuskupan Surabaya 1997-2001.
Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono 2007 - 2023
Di era kepemimpinannya, Mgr. Sutikno telah menggarap suatu permasalahan yang klasikal, yaitu tentang pembagian kewenangan parokial dan kekhasan tarekat CM dan SVD yang turut berkarya di Keuskupan Surabaya. Masalah ini sebenarnya adalah masalah yang sudah sejak lama ada namun belum ada kejelasan di dalamnya. Dengan otoritasnya sebagai uskup (berdasarkan ius mandatum), Beliau akhirnya menetapkan bahwa CM mengelola 5 paroki (Paroki Kristus Raja, Surabaya; Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria Kepanjen, Surabaya; Paroki St. Vincentius a Paulo, Surabaya; Paroki Santa Maria, Blitar; Paroki Santo Yosep, Kediri), sedangkan SVD mengelola 2 paroki (Paroki Gembala Yang Baik, Surabaya dan Salib Suci Tropodo, Sidoarjo). Dengan adanya pembagian ini diharapkan semakin adanya kejelasan kewenangan parokial antara pihak Keuskupan dengan pihak Konggregasi. Selain itu juga ada paroki-paroki gabungan yang didalamnya terdapat imam diosesan dan imam Konggregasi.