( 29 Maret 1893 – 8 Mei 1952)
Sepak terjang beliau dalam menjalankan tugas sebagai Uskup Surabaya mendapatkan tantangan tersendiri yang saat itu dunia sedang mengalami Perang Dunia I. Namun dengan semangat yang tidak kunjung padam dan optimis dalam menjalankan tugas pengembalaan yang dipercayakan padanya membuat Beliau tetap bertahan walau situasi Surabaya saat itu sangat mencekam sehingga membuat Umat dilingkupi rasa kecemasan, penderitaan serta ketidakjelasan. Hal ini yang menjadi dasar Beliau memilih motto “Ut Omnes Unum Sint” agar dalam masa kepimpinannya semua kaum religius yang berkarya di keuskupan surabaya mejadi satu.
"Ut omnes unum sint"
- Supaya Mereka Semua Menjadi SatuMgr. Dr. Michael Verhoeks, CM
BIOGRAFI SINGKAT
Mgr. Dr. M. Verhoeks, CM dilahirkan pada tanggal 29 Maret 1893 di Velddriel, Nederland. Beliau belajar Humaniora di Seminari Wernhoutsburg pada tahun 1904-1911. Setelah itu, ia masuk kongregasi Misi pada tanggal 14 September 1911 di Paris. Pada tanggal 27 April 1919 Verhoeks menerima Tahbisan Imamat dan kemudian mendapat tugas untuk mengajar Filsafat, Dogma, Moral dan hukum Gereja di Seminari Tinggi di Panningen sampai tahun 1933. Sambil mengajar ia juga bertugas sebagai Socius Magister novis CM. Pada tahun 1933 Verhoeks menjabat sebagai Procurator Misi yang tugas hariannya adalah mengatur pengiriman para misionaris dan pendanaannya. CM Provinsi Nederland, setahun berikutnya ia ditunjuk sebagai pimpinan rumah seminari CM di Nijmegen. ...
Tanggal 22 Oktober 1937 Verhoeks diangkat sebagai Perfek Apostolik Surabaya. Dia tiba di Surabaya pada tanggal 8 Maret 1938 dan secara resmi menerima tongkat kepemimpinan sebagai Prefek Apostolik pada tanggal 13 Maret 1938. Ketika pada tanggal 11 Februari 1942 Vatikan Mengubah status Prefektur Apostolik Surabaya menjadi Vikariat Apostolik, Mgr. M. Verhoeks, CM masih dipercaya untuk memimpinnya. Untuk kepentingan ini beliau menerima tahbisan Uskup, yang sedianya dilakukan pada tanggal 25 Maret 1942, namun karena situasi yang tidak memungkinkan maka tahbisan itu dilakukan pada tanggal 8 Mei 1942.
SURABAYA PADA TAHUN 1938
Surabaya merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang ikut merasakan imbas dari Perang Dunia II, karena wilayah ini merupakan daerah yang menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa kala itu. Jepang sebagai negara Asia yang kuat ikut meramaikan perang dunia, bahkan sempat menduduki daerah-daerah strategis, termasuk juga Surabaya. Akibatnya, Surabaya dan daerah-daerah lainnya mengalami situasi yang tidak menentu, yang berimbas juga pada kegiatan Gerejani. Soal perang dunia tidak akan dibahas panjang lebar dalam tulisan ini, cukuplah kita mengetahui bahwa Surabaya ikut merasakan dampak buruk dari perang dunia itu. ...
Beberapa hal penting yang menjadi pokok bahasan sub bab ini adalah situasi keuskupan Surabaya pada tahun-tahun antara 1938-1952. Pada tahun 1938 wilayah Gerejani Surabaya masih berstatus Prefektur Apostolik. Ini berarti bahwa Surabaya berada di bawah Vikariat Apostolik Betawi.[1] Pada 9 Juli 1937 Mgr. Th. de Backere, CM resmi meletakkan jabatannya karena alasan kesehatan dan Takhta Suci menunjuk Michael Verhoeks sebagai penggantinya. Akan tetapi Pater Verhoeks baru tiba di Surabaya pada 8 Maret 1938. Selama Mgr. de Backere dirawat di rumah sakit pada tahun 1936 sampai dengan meninggalnya, pejabat Prefek dipegang oleh P. Y. Zoetmulder, CM.
Sebagai penerus tongkat kepemimpinan, M. Verhoeks menerima berbagai warisan dari pendahulunya. Sebagai suatu wilayah Gerejani, Surabaya menunjukkan perkembangan yang positif pada saat itu. Paroki-paroki baru dibentuk seiring dengan berkembangnya umat Katolik di wilayah ini,[2] sekolah-sekolah Katolik didirikan, inkulturasi dikembangkan lewat pembangunan Gereja di Pohsarang, dekat Kediri, berbagai lembaga didirikan seperti percetakan, organisasi-organisasi Katolik dan lain-lain. Di lain sisi ada juga warisan-warisan yang perlu diperbaiki seperti masalah keuangan Prefektur dan kurang jelasnya pemisahan wewenang antara pimpinan Kongregasi Misi dengan pimpinan Prefektur Apostolik. Hal ini diperparah dengan situasi perang; Jepang menduduki Surabaya dan menahan orang-orang Belanda termasuk para tenaga misi Katolik.
UT OMNES UNUM SINT
Mgr. Verhoeks mengambil motto untuk Keuskupan yang dipimpinnya ini dari doa Kristus Imam Agung pada perjamuan Malam Terakhir yaitu Ut Omnes Unum Sint. Yang artinya hendaknya semua menjadi satu (Yoh 17: 21). Motto ini merupakan cerminan perhatian dan keprihatinnya akan kondisi Prefektur Apostolik Surabaya pada saat itu. Situasi perang dunia saat itu, membuat pelayanan rohani umat kurang terkoordinasi dengan baik, maka Mgr. Verhoeks berusaha sekuat tenaga memperbaiki situasi supaya umat dapat terlayani dengan baik.
Kesatuan umat menjadi perhatian utamanya. Ini terlihat dari motto dan gambar lambang keuskupannya :
- Empat Bintang melambangkan empat tarekat yang berkarya di Surabaya
- Tiga Cincin Emas melambangkan kesatuan imam, rohaniwan dan umat.
- UT OMNES UNUM SINT yang berarti hendaknya semua menjadi satu, melambangkan semangat Mgr. Verhoeks untuk mengusahakan yang terbaik demi persatuan umat Katolik di Vikariat Apostolik Surabaya.
KEPRIHATINAN
Mgr. Verhoeks menyadari bahwa tugasnya dalam memimpin keuskupan Surabaya adalah meneruskan apa yang telah dirintis pendahulunya, Mgr. De Backere, CM. Akan tetapi usaha itu bukan usaha yang mudah, karena beliau memimpin suatu wilayah Gerejani yang terkena imbas langsung dari perang dunia II. Berbagai hal yang telah dirintis dan dibangun menjadi kacau dan tidak terorganisasi dengan baik. Mgr. Verhoeks juga melihat adanya kekacauan di bidang administrasi keuskupan dan ini menjadi keprihatinan dalam karya pastoralnya. Dia melihat adanya ketidakjelasan sistem keuangan dan kurang jelasnya pemisahan antara pimpinan perfektur dan pimpinan Kongregasi Misi, yang saat itu mendapat tugas mengembangkan Gereja di daerah Surabaya.
Keadaan ini menjadi semakin sulit dengan masuknya tentara Jepang yang mulai menduduki daerah Surabaya. Akibat yang dialami oleh Gereja di Prefektur Surabaya adalah kurangnya tenaga pastoral, karena para rohaniwan/rohaniwati ditahan oleh tentara Jepang. Akibatnya lagi, umat yang ada di stasi-stasi kurang mendapatkan pelayanan. Untuk itu dia berusaha mengambil langkah-langkah taktis untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada. Beliau sadar bahwa umat Allah tidak boleh dibiarkan lepas tanpa gembala, yang akan mengakibatkan matinya Gereja.
MENYIKAPI KEPRIHATINAN
Mgr. Verhoeks merupakan pribadi yang memiliki visi ke depan, yang menunjukkan bahwa dirinya memang pantas menerima tugas penting sebagai gembala umat. Dia memiliki sikap optimis yang membuatnya mampu bertahan dalam situasi sulit menata kembali keuskupan Surabaya. Dalam sikap optimisnya itu, Mgr. Verhoeks sadar bahwa dia tidak bisa bertindak sendirian. Oleh karena itu dia menulis surat kepada Kuria Roma, yang tujuannya adalah untuk menjalin hubungan dan juga meminta perhatian terhadap Vikariat Surabaya yang sedang dalam masa-masa sulit itu..
Dalam suratnya kepada Bapa Suci, Mgr. Verhoeks mengungkapkan situasi Vikariat Surabaya, terutama tentang situasi perang yang mengakibatkan dirinya dan beberapa imam dan biarawan-biarawati ditahan oleh tentara Jepang. Penahanan ini mengakibatkan berkurangnya mutu pelayanan rohani umat. Namun demikian Mgr. Verhoeks masih bisa bersyukur karena Keuskupan Semarang masih bisa membantu tugas-tugas pelayanan dengan mengirimkan beberapa imam pribumi (diosesan) sebanyak dua orang. Namun demikian beliau meminta supaya Takhta Suci mengirimkan para misionaris untuk membantu pelayanan pastoral di Vikariat Surabaya. Berikut kutipan surat yang ditujukan Mgr. Verhoeks kepada Santo Bapa pada tanggal 8 Maret 1947. “ Bapak Suci,... Dalam waktu antara pecahnya perang dengan pendaratan tentara Jepang saya mendengar perubahab status Prefektur menjadi Vikariat Apostolik. Melalui Mgr. Willekens. Pada tanggal 8 Mei 1942 saya menerima tahbisan Uskup dari mgr. Soegijapranata, dengan Uskup Ko-konsekrator Mgr. Albers, Vikaris Apostolik Malang, dan Mgr. Kusters, Prefek Apostolik Banjarmasin. Selama bulan-bulan pertama jaman pendudukan Jepang Gereja pada umumnya tidak mendapat gangguan. Tetapi sekolah-sekolah terpaksa kita tutup. Tanggal 4 September 1943, saya bersama-sama dengan semua Imam- imam dan Rohaniawan-Rohaniwati Belanda lainnya ditangkap dan ditahan di Surabaya sampai lima bulan. Kita mengalami banyak penderitaan, tetapi masih bebas untuk merayakan Ekaristi . Akhir januari tahun 1944 kita semua dipindahkan ke Bandung. Hampir semua Misionaris dari seluruh tanah Jawa dikumpulkan di Bandung dan ditahan di berbagai rumah penjara. Pada permulaannya kita masih diperbolehkan- dan dapat mengadakan kebaktian-kebaktian agama, tetapi lama-kelamaan kebebasan itu dihapuskan sama sekali, bahkan malah dilarang. Namun Imam-imam masih dapat bergantian mempersembahkan Misa, diikuti para sewsam tahanan, baik Katolik maupun tidak Katolik. Banyak orang bertobat kembali karena mendengarkan Kotbah, mengikuti konferensi dan retret-retret. Saya sendiri beberapa kali menerimakan sakramen penguatan kepada orang-orang yang baru bertobat. Tak seorangpun Imam kita meninggal, sekalipun banyak yang menderita sakit berat.
Mgr. Verhoeks juga mendirikan ‘Fonds Misi’ pada tahun 1939 yang hasilnya digunakan untuk membiayai 5 guru agama dan beberapa sekolah untuk anak-anak pribumi, selain itu untuk mengatasi hambatan yang dialami, terutama dalam hal pelayanan umat yang berada di Stasi-stasi. Pada tahun 1940 usaha ini dikembangkan untuk ikut membantu kegiatan misi di luar Jawa, yang keadaannya lebih memprihatinkan dibanding Surabaya.
Dengan sikap optimis itu pula Mgr. Verhoeks berusaha menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan misi yang sempat terbengkalai. Dia mendirikan kembali sekolah-sekolah Katolik, panti asuhan, gerakan kaum muda dan aksi Katolik lainnya. Bahkan dalam usahanya memenuhi kebutuhan akan pelayan-pelayan rohani, Mgr Verhoeks merintis pendirian seminari menengah, yang kemudian berdiri dengan sarana dan prasarana seadanya di Jln. Kepanjen No. 9 Surabaya pada tanggal 29 Juni 1948. pada tanggal ini dipandang sebagai tanggal permulaan dibukanya sekolah Seminari Menengah. Di Pastoran Kepanjen lalu dimulai dengan apa yang disebut pendidikan Seminari Kecil dengan tenaga – tenaga Pastor yang bertugas di Pastoran tersebut. Pada tahun 1949, bulan Pebruari, Seminari Kecil itu dipindahkan di suatu rumah di jalan Dinoyo no. 42. Dengan diadakannya perbaikkan dan perluasan, serta di lengkapi dengan staf pengajar, maka didirikan Seminari Menengah di Surabaya yang berlangsung sampai tahun 1958. Dalam tahun tersebut kompleks Garum sudah selesai dibangun maka pendidikan Seminaripun dipindahkan disana. Semasa kepemimpinannya, Mgr. Verhoeks, CM telah mentahbiskan Imam sebanyak 25 orang yang semuanya anggota Kongregasi Misi (lazaris) antara tahun 1948 sampai 1972.
Mgr. Verhoeks juga memiliki sifat yang sangat positif dalam menerima tugas penggembalaan yang diembannya. Dia tidak mengeluh, namun melihat hal-hal positif yang bisa membantunya membangun Prefektur Apostolik yang dipercayakan kepadanya. Dia melihat adanya kerja sama yang baik antara Gereja Katolik dengan para pejabat sipil, yang telah terbina selama masa kepemimpinan Mgr. De Backere, CM. Hubungan yang baik ini menjadi bekal untuk dapat melaksanakan tugas-tugas kegembalaan dengan baik. Untuk mengisi kekosongan dalam pelayanan rohani kepada umat maka Mgr. Verhoeks berusaha meminta bantuan kepada dunia luar negeri, khususnya Takhta Suci untuk memberi perhatian pada Gereja Surabaya.
HARAPAN-HARAPAN
Dari keprihatinan-keprihatinan di atas muncullah impian atau harapan Mgr. Verhoeks akan berkembangnya situasi yang baik dalam Prefektur Apostolik Surabaya. Sesuai dengan motto tahbisan yang dipilihnya, Ut Omnes Unum Sint, Mgr. Verhoeks berharap agar pelayanan pastoral di Keuskupan Surabaya bisa meyatukan seluruh umat Allah, yang pada waktu itu mengalami kekurangan gembala akibat situasi perang. Dengan berbagai usaha yang dilakukannya kita melihat bahwa Mgr. Verhoeks memimpikan terwujudnya harapan Yesus untuk menyatukan umat di dalam diri-Nya. ...
Dari keprihatinan-keprihatinan di atas muncullah impian atau harapan Mgr. Verhoeks akan berkembangnya situasi yang baik dalam Prefektur Apostolik Surabaya. Sesuai dengan motto tahbisan yang dipilihnya, Ut Omnes Unum Sint, Mgr. Verhoeks berharap agar pelayanan pastoral di Keuskupan Surabaya bisa meyatukan seluruh umat Allah, yang pada waktu itu mengalami kekurangan gembala akibat situasi perang. Dengan berbagai usaha yang dilakukannya kita melihat bahwa Mgr. Verhoeks memimpikan terwujudnya harapan Yesus untuk menyatukan umat di dalam diri-Nya.
REFLEKSI
Mgr. Verhoeks, CM selama tahun-tahun terakhir hidupnya sering menderita serangan penyakit asma. Biasanya serangan-serangan asma tersebut dalam beberapa hari sudah dapat disembuhkan. Tetapi pada serangan terakhir sebelum wafatnya, timbul komplikasi jantung dan paru-paru. Mgr.Verhoeks, CM wafat pada tanggal 8 Mei 1952, di RKZ St.Vincentius A Paulo, Surabaya. Sesudah Mgr. Verhoeks, CM meninggal maka pada tanggal 8 Mei ditunjuklah Romo H.Van Megen, CM untuk memegang pimpinan Vikariat, sebagai Provikaris. Banyak yang bisa kita dapatkan dari perjalanan hidup dan tugas Mgr.M.Verhoeks, CM ini. Uskup Surabaya kedua ini memiliki jiwa optimis, yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap pemimpin. Jiwa optimis ini merupakan semangat yang mendorong seseorang untuk bisa bertahan dalam setiap kesulitan yang dihadapi dalam tugas-tugas kepemimpinan. Menjadi seorang gembala umat Allah berarti menjadi representasi Allah sendiri sebagai gembala utama. Oleh karena itu, di dalam menjalankan tugas yang dipercayakan Allah harus kita jalani dengan penuh semangat yang tinggi, ketekunan, kerja keras, dan dengan tidak melupakan pertolongan dari Tuhan.
Selain sikap optimis, Mgr. Verhoeks memiliki kemampuan intelektual yang cukup sebagai bekal kepemimpinannya. Itulah yang membuatnya mampu mengatasi kesulitan dalam prefektur Apostolik yang dipimpinnya, khususnya dalam bidang administrasi dan organisasi. Kemampuan itu didukung oleh niat baik dan tulus dalam menggembalakan umat Allah supaya mendapatkan pelayanan rohani yang cukup. Dua hal itu menjadi modal utamanya dalam menjalankan roda kepemimpinan dan mengatasi keprihatinan yang muncul di medan karyanya. Pada poin ini kita bisa melihat pentingnya pembinaan akal budi atau rasio untuk menyeimbangi iman kita.
Sebagai seorang pemimpin kelompok keagamaan, Mgr. Verhoeks tidak menutup mata dengan realitas bahwa umatnya berada di tengah-tengah masyarakat yang heterogen. Dengan kesadaran ini beliau berani membuka diri untuk menjalin relasi yang baik dengan jaringan pemerintahan dan komponen masyarakat lainnya. Tentunya hal tersebut dilakukan dengan tujuan supaya memudahkan ruang gerak umat Katolik di Vikariat Surabaya. kejeliannya dalam menjalin relasi patut kita puji karena dengan latar belakang tugasnya, Mgr. Verhoeks belum pernah terlibat di tengah masyarakat yang heterogen. akan tetapi di tempat tugasnya di Surabaya dia langsung melihat berbagai cara yang tepat untuk mengembangkan karyanya.
Mgr. Verhoeks memiliki mimpi yang ideal tentang persatuan umat, namun dia tidak hanya bermimpi. Dia berusaha mewujudkan mimpinya itu dengan melakukan berbagai hal yang perlu untuk menyatukan umat Katolik di Keuskupan Surabaya. Langkah-langkah praktis dan berwawasan ke depan dilakukannya dan ini merupakan karakter kuat seorang pemimpin sejati. Tanpa mimpi seorang pemimpin tak tahu apa yang harus dilakukan. Di lain sisi tanpa usaha, apa yang diimpikan tak akan terwujud nyata. Inilah dua hal penting yang kami temukan dan kami sadari sebagai hal yang harus kami miliki sebagai calon imam di keuskupan Surabaya.
Sebagai Gembala yang belum mengenal wilayah kerjanya, Mgr. Verhoeks ternyata memiliki tanggung jawab yang besar. Beliau melakukan banyak hal demi kawanan domba yang dipercayakan kepadanya. Ini merupakan bentuk tanggung jawab dan perwujudan cintanya kepada Tuhan yang telah menganugerahi imamat kepadanya. Memang seorang imam seharusnya tidak terikat pada satu tempat atau satu kawanan domba saja. Seorang imam adalah representasi cinta Allah yang universal, maka di manapun dia bertugas seorang imam harus bekerja secara profesional.
DAFTAR PUSTAKA
- Majalah Media Komunikasi. “Profil Keuskupan Surabaya”. Edisi Desember 1992, Keuskupan Surabaya. Hlm. 35-44.
- Majalah Media Komunikasi. “Mgr. A.J. Dibjakaryana yang kami kenal”. Edisi Desember 1994, Keuskupan Surabaya. Hlm. 24-27.
- Tondowidjojo, John, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 1. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2001.
- Tondowidjojo, John, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 2 A. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2001.
- Tondowidjojo, John, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 3 D. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2001.
USKUP DARI MASA KE MASA
Mgr. Dr. Theophilus de Backere, CM
1928 - 1937Sejarah perjalanan hidupnya di Jawa berawal saat Jenderal CM dari Paris mengirim surat edaran tahunan kepada provinsi-provinsi CM di seluruh dunia. Dalam salah satu bagian surat itu, terdapat pengumuman bahwa akan diadakan suatu misi di Hindia Timur, sebuah wilayah yang kelak disebut Indonesia. Misi tersebut diserahkan kepada provinsi CM Belanda dan ada 4 nama konfrater yang akan menjalankan misi tersebut; Dr. Th. de Backere CM, E.E. Sarneel CM, J.H Wolters CM, Th. Heuvelmans CM. Mereka berangkat dari Wernhoutsburg (Belanda) pada 25 Mei 1923 menuju Paris (Genoa), kemudian pada 6 Juni 1923 mereka melanjutkan perjalanan dari Genoa (Italia) menuju Indonesia dan kemudian mereka tiba di Batavia (Jakarta) pada tanggal 30 Juni 1923. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Surabaya dan tiba pada tanggal 6 Juli 1923.
Mgr. Dr. Michael Verhoeks, CM
1941 - 1952Sepak terjang beliau dalam menjalankan tugas sebagai Uskup Surabaya mendapatkan tantangan tersendiri yang saat itu dunia sedang mengalami Perang Dunia I. Namun dengan semangat yang tidak kunjung padam dan optimis dalam menjalankan tugas pengembalaan yang dipercayakan padanya membuat Beliau tetap bertahan walau situasi Surabaya saat itu sangat mencekam sehingga membuat Umat dilingkupi rasa kecemasan, penderitaan serta ketidakjelasan. Hal ini yang menjadi dasar Beliau memilih motto “Ut Omnes Unum Sint” agar dalam masa kepimpinannya semua kaum religius yang berkarya di keuskupan surabaya mejadi satu.
Mgr. Johannes Antonius Maria Klooster, CM
1953 - 1982Peningkatan jumlah umat dan bertambahnya kegiatan-kegiatan keuskupan tanpa diimbangi dengan jumlah Imam yang ada, menjadi keprihatinan Mgr. Klooster, CM saat itu. Oleh karena itu, terdorong dengan motto penggembalaanya yakni “Evangelizare divitias Christi” (Mewartakan Kekayaan-Kekayaan Kristus), Mgr. Klooster, CM lalu menghubungi beberapa Provinsi Kongregasi Misi (Lazaris) di luar negeri, untuk mendapatkan bantuan berupa tenaga-tenaga imam baru bagi Keuskupan Surabaya. Namun, usaha itu baru berhasil ketika beliau mengikuti sidang-sidang Konsili Vatikan II di Roma. Pada waktu itu Kongregasi Misi Provinsi Roma, Italia, bersedia memberikan bantuan tenaga imam. Maka, pada pertengahan tahun 1964 imam-imam Lazaris dari Provinsi Roma, Italia, tiba di Surabaya. Mereka adalah Rm. R. Siveri, CM dan Rm. Carlo del Gobbo, CM, dan mereka mendapat karya tersendiri yakni di Kabupaten Rembang pada tahun 1965, lalu Kabupaten Blora pada tahun 1966, dan karesidenan Madiun pada tahun 1967. Untuk selanjutnya jumlah imam- imam dari Italia cukup meningkat, bahkan ada seorang Romo Projo dari Keuskupan Chiavari yang memberikan dirinya bergabung dengan Keuskupan Surabaya pada tahun 1963, yakni Rm Fransesco Lugano, Pr.
Mgr. Aloysius Joseph Dibjakaryana 1982 - 1994
Jumlah umat yang sudah mulai bertambah, membuat Mgr. Dibjakaryana memiliki harapan untuk menyatukan umat yang semakin berkembang dan bertambah tersebut serta menyatukan imam-imam diosesan dan kongregasi dalam suatu hubungan kerjasama pastoral. Selain menyatukan interen Gereja, Mgr. Dibjakaryana juga mempunyai maksud untuk mengusahakan persatuan dengan masyarakat agama lain dan dengan pemerintah. Dari realitas yang terjadi di Keuskupan Surabaya itu, Mgr. Dibjakaryana mengambil motto ”Ut Omnes Unum Sint” (Supaya Mereka Menjadi Satu) dari Doa Yesus untuk para murid. Motto yang diambil oleh Mgr. Dibjokaryana bisa dikatakan suatu pemikiran tindak lajut atau kelanjutan dari motto Uskup sebelumnya, Mgr. Klooster yaitu “Evangelizare Divitas Christi” (Mewartakan Kekayaan-Kekayaan Kristus). “Yang menjadi rencana pokok ialah umat katolik bersatu dalam hidup dan karya. Bersatu tidak berarti hanya rukun saja, tetapi bersatu yang dinamis dan menciptakan persatuan yang lebih sempurna dengan agama-agama lain, sesuai dengan sikap dan perutusan Gereja Katolik (Berdialog)”. [3]
Mgr. Yohanes Hadiwikarta 1994 - 2003
Keinginan untuk merumuskan visi dan misi Keuskupan Surabaya diwujudkan oleh beliau dengan SINODE KEUSKUPAN pada tanggal 20-22 Nopember 1996 di Prigen. Mereka yang menghadiri sinode ialah semua Pastor yang berkarya diwilayah Keuskupan Surabaya, semua Ketua Komisi Keuskupan, Wakil Tarekat Suster, Frater yang berkerja di Keuskupan Surabaya, Wakil Awam dari Keempat Regio dan Organisasi Katolik. Beliau mengundang beberapa nara sumber, yaitu, Mgr. Bl Pujaraharja, Pr, Uskup Ketapang, Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Uskup Amboina, dan Romo P. Mariatma, SVD. Sinode itu membuahkan Visi dan Misi Keuskupan Surabaya 1997-2001.
Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono 2007 - 2023
Di era kepemimpinannya, Mgr. Sutikno telah menggarap suatu permasalahan yang klasikal, yaitu tentang pembagian kewenangan parokial dan kekhasan tarekat CM dan SVD yang turut berkarya di Keuskupan Surabaya. Masalah ini sebenarnya adalah masalah yang sudah sejak lama ada namun belum ada kejelasan di dalamnya. Dengan otoritasnya sebagai uskup (berdasarkan ius mandatum), Beliau akhirnya menetapkan bahwa CM mengelola 5 paroki (Paroki Kristus Raja, Surabaya; Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria Kepanjen, Surabaya; Paroki St. Vincentius a Paulo, Surabaya; Paroki Santa Maria, Blitar; Paroki Santo Yosep, Kediri), sedangkan SVD mengelola 2 paroki (Paroki Gembala Yang Baik, Surabaya dan Salib Suci Tropodo, Sidoarjo). Dengan adanya pembagian ini diharapkan semakin adanya kejelasan kewenangan parokial antara pihak Keuskupan dengan pihak Konggregasi. Selain itu juga ada paroki-paroki gabungan yang didalamnya terdapat imam diosesan dan imam Konggregasi.