Pembekalan Imam Baru dan Pastor Paroki Baru
Selama tiga hari, mulai tanggal 10 sampai dengan 12 Maret 2020, berkumpul di Griya Samadhi Aloysi Pacet, 28 romo. Mereka ini adalah para Romo yang baru berkarya di Keuskupan Surabaya dan para Romo yang pertama kali mendapatkan SK sebagai Pastor Kepala Paroki di keuskupan Surabaya dalam acara rekoleksi dan pembekalan. Bagian rekoleksi diisi dengan mendengarkan dan merefleksikan sharing perutusan dari tiga Romo Vikep: Romo Bowo (Vikep Madiun), Romo Dodik CM (Vikep Surabaya Utara) dan Romo Eko Wiyono (Vikep Blora). Setelah refleksi pribadi, pada hari kedua, para Romo masuk ke kelompok kecil untuk sharing satu sama lain. Rekoleksi ditutup dengan sharing dalam kelompok besar. Acara dilanjutkan sore hari dengan pembekalan yang disampaikan oleh Romo Dwijoko (Hakikat Imam dalam Gereja Lokal dan Tugas Pastor Paroki menurut Hukum Gereja dan Pedoman DPP-BGKP 2012). Sore harinya diisi dengan pemaparan materi ‘Imam sebagai Pelayan Liturgi’ oleh Romo Indra Kusuma. Pada hari ketiga pagi hari, Romo Didik (VikPas) dan Romo Kurdo (koordinator KKP) mengajak para Romo mempelajari hasil Mupas 2019. Pada akhir acara, Romo Didik dan Romo Suryandoko menyampaikan topik ‘pengelolaan harta benda Gereja’.
Amor Pastoralis
Seluruh rangkaian acara dibuka oleh Bapak Uskup, Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan rasa terima kasih atas kesediaan para Romo baru membantu dalam reksa penggembalaan umat Allah di Keuskupan Surabaya. Bapak Uskup mengungkapkan rasa gembira atas respon antusias para Romo dalam menanggapi undangan pada pembekalan ini. Beliau berharap bahwa acara ini dapat membaharui semangat ‘amor pastoralis’ (cinta akan penggembalaan), bukan sekedar melihat imamat sebagai tugas, beban ataupun jabatan. Bapak Uskup menceritakan pengalaman memelihara kambing dan domba ketika menjabat sebagai Rektor Seminari Tinggi Giovanni. Sungguh berbeda perilaku kambing dan domba. Oleh karenanya beliau sangat paham mengapa Tuhan Yesus memakai ‘domba’ sebagai lambang dari para murid ataupun umat Allah serta Imam sebagai ‘gembala’. Kambing cenderung tidak taat, makanannya daun-daun yang tumbuh di cabang, cenderung tidak taat. Sedangkan domba memakan rumput dan selalu tanggap terhadap suara panggilan ataupun suara tongkat gembalanya. Lebih lanjut, Bapak Uskup menegaskan, bahwa pastoral bukanlah melulu sebagai ilmu/ teori, melainkan suatu keterlibatan seluruh diri imam yang digerakkan oleh dan lahir dari ‘amor pastoralis’. Bagi orang yang mencintai maka akan memiliki sikap batin yang antusias, kemantapan motivasi, dan kemauan terus menerus menggali, mencari dan menemukan cara ‘memberi makan’ bagi domba-dombanya. Berpastoral itu bukan berwacana tetapi bekerja. Sebagaimana diingatkan oleh Mupas II, bahwa bekerja dengan cinta itu pasti mau repot dalam menemukan metode, program-program yang efektif untuk mengembangkan umat yang digembalakannya. Petrus ditanya tiga kali mengenai hal ini, “Simon, apakah kamu mencintai Aku ?” dan atas jawaban cinta Petrus, Tuhan Yesus mengutus untuk ,”Gembalakanlah domba-domba-Ku!”. Ini soal menggembalakan dan memberi makan karena cinta.
Dalam pembukaan rekoleksi ini, Bapak Uskup mengajak para Romo untuk menikmati keindahan hidup bersama Umat dengan penuh sukacita, bukan terpaksa. Segala derita dalam pastoral justru akan mendewasakan cinta seorang imam dengan demikian akan mendewasakan cara berpastoralnya. Maka berikanlah makanan yang ‘sejati’ kepada domba-domba yang dipercayakan Tuhan kepada seorang pastor paroki. Di akhir sambutannya, Bapak Uskup mengungkapkan janji, bahwa sebelum pensiun akan berusaha mengunjungi 152 stasi yang ada di pelosok jauh wilayah keuskupan Surabaya, beliau sudah memulai tahun ini dengan mengunjungi stasi Jolosutro dan beberapa stasi di Blitar Selatan. Demikian setiap tahun akan dilanjutkan sambil membagikan Rosario kepada setiap Umat yang dijumpainya di stasi yang dikunjungi.
Bersumber pada Cinta
Kalimat Cita-cita Ardas mengajak kita semua untuk menghidupi Gereja sebagai persekutuan murid- murid Kristus yang semakin dewasa dalam iman. Tanda bahwa Para murid Kristus yang terus menerus mendewasakan iman mesti ter-tarik oleh daya magnet yang memancar dari diri Yesus, lalu karenanya
setiap hati dan budi para anggota saling mendekat, saling mengikat dan saling empati. Mereka membentuk dan meujud sebagai persekutuan. Semakin dewasa iman mereka semakin kuat memancarkan empati dan kepedulian. Daya magnet itulah yang dinamai ‘CINTA’. Keterbukaan dan kebersediaan yang semakin lebar dari hati dan budi terhadap daya magnet CINTA dan KEHENDAK Yesus itulah yang dinamai ‘IMAN’. Berpadunya IMAN dan CINTA melahirkan PENGHARAPAN akan dunia yang lebih baik. Peristiwa itu yang dinamai Kerajaan Sorga. Sharing penghayatan pastoral dari ketiga romo Vikep membuktikan, bahwa ketika seorang Romo memahami hakikat tahbisan imamat secara mendalam akan membuka tirai egonya dan menyambut daya magnet Cinta Yesus ke dalam dirinya lalu memancar kembali dari dirinya sebagai ‘amor pastoralis’ bagi umat dan masyarakat di wilayah penggembalaannya.
Cinta (amor pastoralis) itu akan melahirkan kreatifitas yang kaya. Atas aneka problematika dan kebutuan umat dan masyarakat, selalu ditemukan ide-ide yang bermunculan dari imaginasinya. Pada seorang romo yang mencintai imamatnya, Roh Kudus diberi ruang berkarya secara optimal. Itulah yang dinamai
kharisma. Setiap imam memiliki kharisma pastoral asal mau mencintai umatnya.
Dua Ekspresi Cinta : Kreatifitas dan Tanggungjawab Amor Pastoralis menghasilkan dua aliran sungai yang deras dalam karya seorang imam bagi umatnya: kreatifitas yang kontekstual dan rasa tanggungjawab. Romo Bowo dalam menggembalakan umat di paroki Hilarius Klepu-Ponorogo menemukan budaya lokal dan dunia pertanian serta tempat ziarah Maria sebagai ruang membangun persekutuan, media katekese dan dialog lintas iman. Rasa cinta pastoral mendorong romo Bowo melindungi ‘domba’ dari serangan ‘serigala’. Romo Dodik menemukan dasar pemaknaan misi sesuai konteks sosio religius yang ditemukan di setiap tugas perutusannya, khususnya di paroki Kristus Raja bahwa ditemukannya Paroki sebagai rumah yang terbuka, teduh dan penuh dengan sapaan/relasi persaudaraan. Dengan demikian dia merasa bertanggungjawab untuk pastoral Paroki sebagai program formasi iman dan secara setia mewujudkan paroki sebagai sakramen keselamatan bagi semua orang. Di akhir sharingnya romo Dodik merumuskan amor pastoralis dalam satu kata : SUMELEH sebagai akronim penghayatan spiritualitas imamatnya sebagai seorang misionaris. Romo Eko Wiyono memicu kesadaran akan motivasi pastoral Paroki dengan satu pertanyaan yang disepakati bersma teman-teman seangkatan tahbisannya: “Untuk itulah kamu ditahbiskan”. Kalimat ini menjadi mantra semacam tongkat musa yang dipegang setiap kali menghadapi kendala dan sulitnya mewujudkan ‘amor pastoralis’. Setiap tempat perutusan selalu memiliki keunikannya masing masing, tetapi Romo Eko mendapati suatu kebenaran yang hakiki tentang buah dari ‘amor pastoralis’, yakni membimbing paroki menjadi ‘Gereja yang hidup’. Konsep nilai-nilai persekutuan diterjemahkan dalam keutamaan paguyuban Jawa: rukun, bersatu, tidak bertengkar, tidak saling mendiamkan, tidak ‘mutungan’ dan tidak mudah ‘mrothol’ di perjalanan. Dengan demikian pastoral Paroki (amor Pastoralis) mewujud dalam rupa tindakan yang terencana untuk mewujudkan persekutuan yang hidup dan penuh kegembiraan. Persekutuan dan kegembiraan menjadi dua pilar bagi Gereja yang hidup. Dari penghayatan semacam itu melahirkan ide kreatif dalam mengelola jadwal yang dijalankan dengan setia. Namun romo Eko menyadari bahwa Paroki sebagai Gereja yang hidup hanya dapat diwujudkan dengan membangun kesaksian mulai dari komunitas pastoran (bersama romo rekan), sekretariat, ruang tamu dan ruang sakristi.
Romo Dwijoko melalui dua materi yang disampaikannya, menyentak kesadaran diri seorang pastor paroki bahwa tindakan penggembalaan paroki akan gagal atau menjadi palsu jika tidak dilahirkan dari intimitas relasi dengan Tuhan melalui hidup doa dan devosi yang setia. Dia mengingatkan bahwa kata PAROKI berasal dari kata Yunani ‘parokein’ yang artinya ‘pengembaraan’ atau ‘peziarahan’. Komunitas para murid Kristus yang sedang berziarah menuju Kerajaan Allah. Dalam kesatuan dengan kewibawaan uskupnya, seorang imam adalah seorang peziarah yang ambil bagian dalam menggembalakan para peziarah itu. Pelaku utama adalah Roh Kudus sendiri, yakni Roh Bapa dan Putra. Kesatuan dengan Roh Kudus adalah jaminan keotentikan perutusan seorang imam. Hanya dalam intimitas dengan Roh Kudus maka pelayanan seorang imam akan menjadi ‘berpamor’ (faithfully) dan ‘berdampak’ (fruitfully).
Ars Celebrandi
Seorang Imam (pastor) adalah pelayan Perayaan Misteri Karya keselamatan Allah. Demikianlah Romo Indra mengajak para Romo kembali mengingat apa yang dijanjikan ketika tahbisan. Seorang tertahbis selalu mengatakan ‘YA’ untuk merayakan misteri Yesus Kristus dengan hormat dan setia, sesuai dengan yang dikehendaki Gereja, demi kemuliaan Allah dan pengudusan umat-Nya. Disamping itu seorang tertahbis juga janji bersedia untuk mewartakan Sabda Allah dengan cara yang pantas dan bijaksana dalam memaklumkan Injil dan mengajarkan iman Katolik. Oleh karenanya, seorang imam dengan bantuan Allah sendiri makin hari makin dekat, erat dan intim mempersatukan diri dengan Yesus Kristus, Sang Imam Agung. Bersama Yesus seorang imam menyerahkan dirinya bagi Allah. Seorang imam bermuara dari apa yang telah dijanjikan di hadapan Gereja, bertanggungjawab atas pelaksanaan liturgi yang benar, indah dan sakral itu serta bertanggungjawab untuk membina para petugas liturgi. Seorang imam adalah pengurus utama perayaan rahasia-rahasia Allah yang kaya akan tanda dan penuh dengan symbol yang mendalam. Maka sikap pelayan liturgi adalah ‘merayakan’ bukan sekedar membaca atau menyelesaikan tugas. Liturgi adalah suatu ‘seni merayakan’ (ars celebrandi).
Romo Indra mengajak para imam untuk terus menerus belajar tentang pedoman liturgi. Kalau tidak belajar terus maka akan ‘kalah paham’ dibandingkan dengan umatnya. Umat Surabaya ini sangat aktif dan punya kemauan partisipasi yang tinggi, sangat mencintai dan menjunjung tinggi martabat ekaristi, bersemangat devosi dan mau dengan sukarela belajar dengan serius tentang liturgi dan teologi. DPP-BGKP dua tangan Kasih Penggembalaan Gereja menganggap perlu adanya DPP dan BGKP untuk membantu pastornya dalam mewujudkan Arah Dasar (Ardas keuskupan). DPP dan BGKP serta fungsioaris Paroki bukanlan pertama-tama jenjang karier / sebagai pejabat dalam gereja melainkan tim konsultatif yang membantu pastor Paroki dalam mengembangkan persekutuan Murid-Murid Kristus agar semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan dan misioner. Mupas ke dua menegaskan pilihan strategis cara hidup menggereja di Keuskupan Srabaya ke depan dengan pendewasaan paroki yang berakar Lingkungan yang hadir di tengah masyarakat. Seluruh kreatifitas dan amor pastoralis para Romo tidak mungkin terpisah dari reksa penggembalaan uskup. Kita semua membantu uskup untuk mewujudkan arah penggembalaannya. Dalam konteks ini Romo Kurdo dan Romo Didik mengajak para Romo, terutama yang baru datang di Keuskupan Surabaya untuk belajar 4 buku hasil Mupas 2019.
Tanggungjawab pengelolaan Harta Benda Gereja
Hidup Gereja memiliki unsur ‘tak kelihatan’ dan ‘kelihatan’. Di tengah realitas dunia ini, Gereja sebagai pengemban Rencana keselamatan Allah (‘tak kelihatan’) juga memiliki wajah legal dan manajerial. Karya Gereja dan fasilitas sarana-prasarana penunjang keagamaan berada, bersinggungan, beririsan dengan apa yang berlaku ditengah masyarakat dan negara. Semuanya berhubungan dengan hal yang sangat sensitif, yakni pengelolaan dan pertanggungjawaban atas penerimaan dan penggunaan harta benda (unsur kelihatan). Maka kebenaran dan rahmat yang dimandatkan melalui Gereja mesti dikelola dan dipertanggungjawabkan secara sah dan benar di hadapan hukum positp dan prinsip-prinsip manajemen yang umum. Pada sesi terakhir, Romo Didik dan Romo Suryandoko mengajak bertobat bersama dalam hal menghayati amor pastoralis dalam wujud tanggungjawab pengelolaan harta benda Gereja. Kita para pengemban tanggungjawab penggembalaan sekian lama telah banyak teledor atau abai terhadap tertib pengelolaan harta benda Gereja. Tanpa disadari kita telah melakukan dua ‘dosa pastoral’: Pertama, berawal dari rasa tanggungjawab yang tinggi lalu gembala tergoda mengidentifikasikan dirinya dengan kepemilikan harta-benda Gereja, sehingga tidak transparan, tidak jujur, kecenderungan menumpuk saldo sebagai kebanggaan diri, kelekatan, rekening tersembunyi, rasionalisasi atas penyelewengan ‘intensio dantis’, penggunaan harta Gereja untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya. Akibatnya lupa bahwa para romo sebenarnya berpartisipasi pada otoritas Uskup. Ke dua, karena kurangnya pengetahuan atau pengabaian atas tanggungjawab pengelolaan harta benda Gereja mengakibatkan pengeluaran biaya akibat keteledoran pengelolaan (mis-used/mis-management) legalitas asset Gereja. Banyak bukti legal keabsahan asset terselip, hilang atau lalai diurus. Semua bisa diatasi jikalau kita mulai membangun habitus tertib administrasi pengeloalaan harta benda Gereja.
(Modik/ Pusat Pastoral KS)