PAUS FRANSISKUS

GEREJA YANG BERBELAS KASIH

Buku Utamanya yang Pertama Warta Pengharapan Bagi Semua orang


  • ISI

  • Kata Pengantar oleh Kardinal Vincent Nichols
  • Pembukaan
  •  
  1. • Kabar Baik Kristus
    • • Pelukan Belas Kasih Allah
    • • Cahaya Iman
    • • Warta Kristiani
    • • Revolusi Kebebasan
    • • Hidup Bersama Kristus
  2. • Gereja yang miskin untuk kaum miskin
    • • Dengarlah Jeritan Kaum Miskin
    • • Rumah Bersama
    • • Rumah Yang Terbuka Bagi Semua Orang
    • • Rumah Kerukunan
    • • Diutus Untuk Membawa Kabar Baik Kepada Seluruh Dunia
  3. • Mendengarkan Roh Kudus
    • • Serahkan diri agar dibimbing Roh Kudus
    • • Kebaruan, Kerukunan, Perutusan
  4. • Pemakluman dan Kesaksian
    • • Jangan Takut
    • • Membawa Sabda Allah
    • • Terpanggil Untuk Memaklumkan Kabar Baik
    • • Menyampaikan Pengharapan dan Sukacita
    • • Memberikan Semuanya
  5. • Menjadi Orang Kristiani Sepanjang Waktu
    • • Keluar Dari Diri Sendiri
    • • Berjalan
    • • Mau Menerima Salib
    • • Mewartakan Kabar Sukacita
  6. • Gembala Berbau Domba
    • • Menjadi Pastor
    • • Imam yang Datang untuk Melayani
    • • Mengurapi Umat
  7. • Memilih Mereka Yang Terakhir
    • • Pergi Ke Tapal-batas Kehidupan
    • • Suka Menerima Orang Lain dan Melayani
    • • Pengungsi dan Mereka yang Tercabut dari Kehidupan
    • • Budaya Setia Kawan
  8. • Membasmi Berhala-berhala
    • • Cara-pikir Kekuasaan dan Kekerasan
    • • Pemujaan Dewa Uang
    • • Penyakit Kusta Mengejar Karir
    • • Melepas Semangat Duniawi
  9. • Budaya Kebaikan
    • • Bebas Memilih Kebaikan
    • • Lapar akan Martabat Luhur
    • • Komitmen Kepada Perdamaian
    • • Menuju Kesetiakawanan Yang Baru
  10. • Maria Bunda Pewartaan Kabar Baik
    • • Teladannya
    • • Iman Maria
    • • Pengantaraannya
  •  
  • Tanggal-tanggal Utama Kehidupan Paus Fransiskus
  • Daftar Sumber

 


Kata Pengantar Kardinal Vincent Nichols

“Siapa itu?” Pertanyaan inilah yang muncul di benak banyak orang pada tanggal 13 Maret 2013 setelah pengumuman bahwa Kardinal Joge Mario Bergoglio terpilih menjadi Paus. Terpilihnya Uskup Agung Buenos Aires mengejutkan kita. Bagaimana pun begitu paus Fransiskus tampil di balkon dengan senyumnya yang manis, kesederhanaan dan kerendahan hati yang sangat nyata, keterkejutan pertama itu segera berubah menjadi kepastian bahwa orang ini adalah pilihan Tuhan. Setelah celetuk candanya mengenai para kardinal yang harus keliling dunia sampai ke ujung bumi untuk menemukan seorang Uskup Roma yang baru, maka yang dilakukan pertama kali oleh Bapa Suci yang baru ini sebelum menyampaikan berkat kepada kita adalah permintaannya untuk mendoakan dia. Kesunyian langsung menguasai hadirin. Paus Fransiskus sekarang sangat dikenal dan dicintai di seluruh dunia. Bukan hanya oleh umat Katolik tapi juga orang lain, termasuk mereka yang tidak beragama. Kesan yang sangat positif dalam waktu kurang dari setahun.

Di katedral Westminster, sehari sesudahnya, dalam Misa Syukur atas terpilihnya paus Fransiskus, saya mengutip beberapa kata yang telah ditulisnya ketika dia masih Uskup Agung Buenos Aires “Hanya orang yang pernah mengalami belas kasih, yang pernah dibelai oleh kelembutan belas kasihlah yang dapat berbahagia dan merasa nyaman hidup bersama Tuhan”. Saya katakan, misi perutusan paus Fransiskus adalah memampukan kita untuk mengalami “belaian belas kasih Yesus Kristus atas dosaku”. Dari perjumpaan dengan belas kasih, dari perjumpaan dengan belaian lembut belas kasih Yesus, lahirlah dalam hati kita sukacita dan pengharapan yang mendalam. Sukacita dan pengharapan yang menganugerahi kita keberanian untuk pergi keluar dari diri kita untuk membagikan kepada orang lain nikmatnya perjumpaan dengan Yesus. Kita tidak takut pergi keluar bahkan ke pinggiran-pinggiran terjauh dari kehidupan manusia sebab Tuhan ikut berjalan menemani kita dan bahkan mendahului kita. Semboyan paus Fransiskus yang diambil dari komentar santo Beda atas pemilihan santo Matius “Miserando atque eligendo” (karena dibelas-kasihi maka dipilih) adalah semboyan kita juga. Setelah dijamah oleh belas kasih Yesus dan dipilih-Nya, kita pendosa ini diutus pergi keluar untuk menjadi murid-murid yang diutus, menjadi pewarta belas kasih ilahi.

Buku “Gereja yang berbelas kasih” ini, saya yakin, akan membantu terlaksananya keinginan kita bersama. Buku ini akan mendapat sambutan baik. Kumpulan dari homili Bapa Suci, sambutan-sambutannya, dan dokumen ajaran-ajarannya menunjukkan betapa mengagumkan cara paus Fransiskus menarik perhatian kita, menggugah imajinasi, menggerakkan kita untuk berbuat sesuatu – bahkan bisa membuat kita tertawa keras juga! Kumpulan ide-ide tersebut tidak kurang menggigit. Tidak. Ada sesuatu yang sangat mendasar di dalamnya. Kata-kata paus Fransiskus mencerminkan kedalaman pengetahuannya mengenai Kitab Suci, bapa-bapa Gereja dan kesaksian para paus pendahulunya, termasuk paus Benediktus ke-16. Kata-katanya yang penuh arti juga jelas kita lihat disampaikan paus Fransiskus dalam sikap-sikapnya yang mengalir dari kehidupan doanya.

Doa harus mendapat tempat utama. Tugas pertama uskup, demikian paus mengingatkan saya, adalah berdoa, kemudian mewartakan Injil dengan kehidupan dan perbuatan saya. Pewartaan Kabar Sukacita adalah misi Gereja yang menyambut semua orang dan bersedia bepergian jauh “sampai ke pinggiran” sebagai pelayan orang-orang yang tinggal dalam kemiskinan materiil maupun spirituil. Misi ke seluruh dunia ini menuntut kita agar menjadi Gereja yang tanpa henti berdoa kepada Roh Kudus. Kebutuhan kita akan bimbingan Roh Kudus adalah penting untuk mengerti semua yang dimaklumkan Paus Fransiskus melalui kata dan perbuatan. Kita terpanggil dan diutus keluar menjadi pewarta Kabar Sukacita yang penuh Roh Kudus. Roh Kuduslah yang memusatkan pandangan mata kita pada Yesus. Dia meyakinkan kita bahwa pandangan mata Yesus selalu tertuju kepada kita, yang tiap hari secara indah membaharui hubungan kita dengan Yesus.

Inilah radikalisme yang sesungguhnya dari warta paus Fransiskus: Yesus harus selalu ada di pusat kehidupan kita. Hubungan mesra dengan Dia adalah hati semua perbuatan dan kehidupan kita; hati yang terbuka dan siap menyambut orang lain. Inspirasi dan harta yang kita rindu untuk membagikannya adalah sukacita Injil Yesus Kristus. Kita tidak berpegang pada sosiologi, filsafat, atau ideology politik untuk menjelaskan mengapa kita harus menjadi Gereja yang miskin bagi kaum miskin. Kita berpegang pada Kristus yang mewahyukan kepada kita wajah Bapa yang berbelas kasih. Berpegang Kristus berarti berpegang pada kaum miskin. Menjangkau kaum miskin adalah menjangkau dan menjamah tubuh Kristus. Kita melakukannya dengan kerendahan hati. Karena dari mereka yang ada “di pinggiran” itulah kita harus banyak belajar.

Para uskup, imam, diakon, semua aktivis pastoral, semua umat Kristiani, dan khususnya kaum muda – untuk mereka ini paus menunjukkan kasih yang sangat nyata – akan menjadikan Buku ini sebagai sumber penyemangat dan penghiburan. Dengan demikian buku ini akan juga menjadi sangat menantang! Paus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang melontarkan kita keluar dari kesenangan cinta-diri di mana kita mungkin terjatuh. Saya seringkali memakai buku ini untuk pemeriksaan batin. Buku ini tidak pernah membuat saya putus asa. Karena selalu meyakinkan kita bahwa belas kasih Allah yang penuh kesabaran adalah lebih besar dari pada kedosaan kita. Allah tidak akan pernah menerlantarkan kita. Inilah kebenaran indah bagi setiap orang. Maka dari tu saya berharap buku ini akan dibaca sebanyak-banyaknya orang.

Akhirnya paus Fransiskus mengundang kita agar mengambil Maria sebagai teladan. Maria, wanita penuh iman, pengharapan dan kasih. Maria yang mendengarkan kita sambil terus menerus berdoa bagi kita. Maria yang selalu dibimbing oleh Roh Kudus. Maria yang selalu taat kepada kehendak Bapa. Maria yang mengajari kita bagaimana menyediakan tubuh bagi Kristus di dunia, bagaimana menjadi Gereja yang berbelas kasih. Dengan demikian, Maria, Bunda yang berbelas kasih, adalah Bunda sukacita kita juga.

 

Kardinal Vincent Nichols

Uskup Agung Westminster

 

 


Pembukaan

Hanya setahun sejak Paus Fransiskus menduduki tahta kepausan, tapi rencana-rencana pastoralnya untuk Gereja nampaknya sudah ditetapkan dengan baik. Dari awal, kata-katanya, sikap-sikapnya dan keputusan-keputusannya sudah jelas menunjukkan gaya dan arah yang dinyatakan oleh kuasanya mengajar. Dengan berlalunya waktu, visinya makin luas dan kuat, membuka cakerawala baru bagi kehidupan Gereja. Dalam surat anjuran apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injil, 24 Novembr 2013) Paus menentukan tujuan-tujuan utama rencananya, artinya, menentukan magna charta (garis besar haluan Gereja) untuk tahun-tahun yang akan datang. Dalam visinya yang luas dan isinya yang kaya, surat anjuran tersebut menyerupai sebuah ensiklik. Kata-katanya mengenai wajah missioner Gereja dan pada umumnya cara baru “menjadi Gereja” yang Paus ingin angkat melalui pewartaan dan kesaksian umat Kristiani yang lebih otentik mengenai Injil.

Jelaslah Fransiskus sadar bahwa Gereja penjala ikan yang miskin memiliki perahu-perahu yang rapuh dan jala yang tambal-sulam, yang dengan segala daya-upaya seringkali tidak memperoleh apa-apa. Ini yang diingatkannya kepada para uskup Brasilia dalam dokumen Aparecida (27 Juli 2013). Karena kehendak Allah mendasari semuanya, paus Fransiskus juga sangat paham bahwa kekuatan Gereja tidak tergantung pada anggota-anggotanya dan kemampuan-kemampuan mereka sebab mereka itu lemah dan tidak memadai. Tapi kekuatannya “tersembunyi di kedalaman air dari Allah yang menyuruh menaburkan jala”.

Bagaimana caranya jala-jala ini ditaburkan adalah fokus ajaran apostolik dan misi Fransiskus. Buku kumpulan tulisan-tulisan ini pada dasarnya merupakan kerangka kerja yang menentukan program penggembalaan dan kegerejaan. Kata kunci programnya, yang menunjukkan jalannya, distempel dengan cap: Belas-kasih. Memang Fransiskus ingin Gerejanya dikenal terutama sebagai rumah belas kasih, yang di antara kelemahan manusiawi dan kesabaran Allah, menyambut dan menolong menemukan “kabar baik” dari pengharapan Kristiani yang besar. Siapa pun yang datang ke rumah ini dan menyerahkan diri kepada belas kasih Allah tidak hanya akan tidak-sendirian dan terlantar lagi, tapi juga akan mendapat kembali kemanusiaannya yang lebih penuh, karena diterangi oleh iman dan kasih Allah – Kristus yang mati, bangkit lagi dan sekarang hidup dalam Gereja. Siapa pun yang menjumpai-Nya dan tinggal dalam Dia, belajar “tata-bahasa” kehidupan Kristiani dan pertama-tama belajar untuk memaafkan dan berdamai lagi, kasih persaudaraan, yang harus disebar-luaskan oleh umat Kristiani ke seluruh dunia sebagai kesaksian penuh sukacita mengenai belas kasih Allah. Mereka tidak hanya perlu menunjukkan pengertian dan simpati, dan perlu tetap tinggal dekat dengan mereka yang mengalami penderitaan moral atau fisik, tapi juga perlu menjadi orang yang sungguh-sungguh ikut memikul derita dan kesukaran dengan kelemah-lembutan, jiwa besar dan kesetia-kawanan yang besar; dan menjadi orang yang menawarkan penghiburan, pengharapan, dan dorongan untuk terus berjalan di jalan Tuhan sang penguasa kehidupan.

Kabar Baik umat Kristiani adalah Kristus sendiri. Sabda-Nya memberi keselamatan dan kehidupan, sebab dia adalah naungan dan kehidupan. Dalam Gereja, umat percaya akan kebenaran iman. Dan semua yang mau mengambilnya sebagai kepenuhan hidup sakramental menemukan arah dan topangan untuk hidup sebagai orang Kristiani, yang tujuan hidupnya adalah kesucian. Langkah-langkah menuju garis akhir ini adalah mendengarkan, mewartakan, dan memberi kesaksian mengenai Injil. Menurut teologi paus Fransiskus, seorang Kristiani yang full time (sepanjang waktu) tidak hanya duduk mengagumi imannya di cermin atau membicarakannya di kamar makan, tapi pergi keluar dari diri sendiri, berani memikul salib dan berjalan di jalan-jalan untuk membagi-bagikan sukacita Injil kepada setiap orang. Paus Fransiskus tidak kenal lelah mengatakan kepada kita bahwa mewartakan kabar sukacita adalah sebuah pertobatan, keluar dari diri sendiri dan berjalan. Yang pertama dipanggil adalah para imam, mereka yang terurapi untuk mengurapi, yang tugasnya adalah terbuka menyambut dan melayani. Mereka diminta agar jangan takut pergi keluar ke pinggiran-pinggiran dan tapal-batas yang terjauh dari kemanusiaan untuk menjumpai kaum miskin, kaum yang terpinggirkan, dan yang terkecil.

Mereka yang miskin secara materiil, spirituil dan manusiawi menjadi fokus pusat perhatian khusus bukan karena menjadi pusat masalah ekonomi, sosial, atau penggembalaan, melainkan karena Allah yang penuh kasih, yang menjadi miskin di antara kaum miskin, menyediakan tempat khusus dalam kehidupan dan pelayanan Kristus. “Gereja yang miskin bagi kaum miskin” ajaran paus Fransiskus adalah prinsip yang dalam arti injili menentukan pilihan menjadi miskin dan melayani kaum miskin, dengan demikian melanjutkan kisah indah mengenai Gereja yang mengasihi yang sepanjang jaman menjadi jalan pembebasan, merangkul dan memajukan kaum miskin, mengikuti paham kebebasan dan kasih Kristus. Memang Kristus menawarkan bukan hanya kesetia-kawanan yang murah hati, terlaksana dalam perbuatan nyata dan ajeg terus menerus, tapi juga secara aktif menegaskan martabat luhur manusia, memperjuangkan keadilan dan membangun peradaban yang sungguh-sungguh “manusiawi”.

Dalam konteks visi pastoral untuk Gereja inilah tertanam ide paus Fransiskus mengenai manusia dalam hubungannya dengan masyarakat. Tekanannya yang tegas pada kemanusiaan berjalan sejajar dan berkaitan dengan masyarakat. Pidatonya yang kuat dan mengena, menguncang nurani, memukul hati masyarakat yang mengeras yang budayanya sudah bukan terbuka untuk berkumpul bareng demi kebaikan bersama. Isi pidatonya mengenai pokok-pokok kehidupan bertetangga dengan damai. Tidaklah mungkin bergerak maju menuju dunia yang lebih baik kalau berhala-berhala seperti kekuasaan, uang, korupsi, mengejar karir, sikap acuh-tak-acuh, atau singkatnya “semangat duniawi”, belum dihancurkan.

Konsep-konsep ini juga dengan jelas diterangkan dalam Evangelii Gaudium, yang memberi-tahu kita, kebiasaan buruk maupun prioritas pastoral Gereja dalam kehidupan kemasyarakatan yang perlu ditinggalkan. Dalam upaya ini Paus memelopori dengan kata dan langkah yang semakin hari semakin cepat. Tujuannya adalah mau menyadarkan umat bahwa menjadi Kristiani yang sejati yang setia pada semangat Injil tidak akan terwujud kalau umat dalam komunitas-komunitas Kristiani mempunyai iman yang loyo dan agak mengantuk, tanpa gairah sedikit pun, iman yang tertutup di balik tembok-tembok hatinya atau di balik gedung-gedung Gereja. Inilah bahaya yang bisa terjadi kalau Gereja menjadi makin tua dan terbiasa hanya mengurus diri sendiri dari pada membuka lebar pntu-pintunya dan menghadapi tantangan-tantangan dunia. Tidak masalah kalau Gereja kadangkala gagal di tengah jalan. Karena itu Fransiskus terus menerus mengirim tanda-bahaya bahwa sifat bertangan-berat, berkeras hati, kemunafikan serta kekurangan lainnya perlu dibasmi karena semuanya memerosotkan kepercayaan orang kepada umat Kristiani. Paus sudah ditentukan untuk membaharui Gereja agar dibekali cukup untuk mengejar tujuannya dengan semua yang terkait di situ.

 Singkatnya, kehidupan Gereja perlu dibersihkan, dibaharui dan dihidupkan kembali. Ini membutuhkan kemampuan pastoral untuk membeda-bedakan roh; kemampuan yang akan memampukannya menemukan kembali hakikat perintah perutusan, dalam cahaya Roh Kudus dan dengan pengantaraan Maria, Bunda tugas pewartaan Kabar Baik.

Giuliano Vigini

Profesor ilmu sosiologi penerbitan kontemporer pada Universitas Katolik di Milano.

 


1. Kabar Baik Kristus

 

Pelukan Belas Kasih Allah

Betapa indah kebenaran iman ini untuk kehidupan kita, yaitu belas kasih Allah! Kasih Allah kepada kita begitu besar, begitu dalam; kasih yang tidak kenal berhenti, kasih yang selalu membimbing tangan kita dan menopang kita dan terus menuntun kita. Dalam Injil Yohanes (20:19-28), rasul Tomas secara pribadi mengalami belas kasih Allah ini yang memiliki wajah konkret: wajah Yesus, Yesus yang bangkit. Tomas tidak percaya  ketika rasul lainnya mengatakannya “Kami telah melihat Tuhan”. Baginya tidak cukup bahwa Yesus sudah pernah mengatakan dan menjanjikannya: “Pada hari ketiga aku akan bangkit”. Dia mau melihat lebih dulu, dia mau menaruh tangannya di tempat bekas paku dan lambung Yesus. Lalu bagaimanakah tanggapan Yesus? Dengan sabar: Yesus tidak meninggalkan Tomas dalam ketidak-percayaannya yang keras-kepala. Dia memberi Tomas waktu seminggu, tidak menutup pintu baginya, Dia menunggu. Dan Tomas mengakui kemiskinannya sendiri, imannya yang kecil. “Ya Tuhanku dan Allahku”. Dengan seruan yang sederhana namun penuh iman, dia menjawab kesabaran Yesus. Dia membiarkan dirinya diselubungi belas kasih ilahi. Dia melihat-Nya di depan matanya, dalam luka-luka tangan dan kaki Kristus dan lambung-Nya yang terbuka. Dan dia menemukan kepercayaan: dia menjadi manusia baru, bukan lagi orang yang tidak percaya, tapi orang yang percaya.

Mari kita juga ingat akan Petrus: dia tiga kali menyangkal Yesus, persis ketika mestinya dia sangat dekat dengan-Nya. Dan ketika dia membentur batu karang yang dijumpainya, dia menjumpai tatapan mata Yesus yang dengan sabar, tanpa kata berkata kepadanya “Petrus, jangan takut akan kelemahanmu, percayalah pada-Ku”. Petrus mengerti, dia merasakan tatapan mata Yesus, lalu dia menangis. Betapa indah tatapan mata Yesus itu – betapa penuh dengan kelembutan! Saudara-saudari, mari, jangan pernah kehilangan kepercayaan kepada kesabaran dan belas kasih Allah!

Mari kita pikirkan pula dua murid dalam perjalanan ke Emaus: wajahnya yang memelas, perjalanan yang kersang, keputus-asaannya.  Namun Yesus tidak menerlantarkan mereka: Dia ikut berjalan menyertai mereka. Dan tidak hanya itu! Dengan sabar Dia menjelaskan Kitab Suci yang bicara mengenai Diri-Nya, lalu Dia ikut makan malam bersama mereka. Inilah cara Tuhan melakukan sesuatu: Dia bukan tidak-sabaran seperti kita, yang seringkali maunya sekali jadi, bahkan dalam pergaulan kita dengan orang lain pun juga begitu. Allah itu sabar kepada kita sebab Dia mengasihi kita. Dan barangsiapa mengasihi, mampu mengerti, berharap dan menaruh kepercayaan, mereka tidak menyerah, mereka tidak membakar jembatan, mereka mampu memaafkan. Mari ingat sepanjang hidup kita sebagai orang Kristiani: Tuhan selalu menanti kita, bahkan bilamana kita telah meninggalkan-Nya! Dia tidak pernah jauh dari kita, dan bilamana kita kembali kepada-Nya, Dia siap memeluk kita.

Saya selalu tersentak setiap kali saya membaca kembali perumpamaan mengenai Bapa yang berbelas kasih; sangat mengesankan saya sebab selalu memberi pengharapan besar. Pikirkan anak bungsu itu yang tinggal di rumah Bapa, dikasihinya, tapi dia minta bagian warisannya, lalu pergi dari rumah, mengamburkan hartanya, lalu menabrak batu karang, berhenti, tidak  bisa pergi lebih jauh dari Bapa. Namun kalau dia dalam posisi terendah, kehilangan kehangatan rumah Bapa, lalu kembali pulang ke rumah Bapa, bagaimana sikap Bapa? Apa Bapa sudah lupa anak-Nya? Tidak, tidak pernah sedetik pun. Bapa tetap tersedia bagi anak-Nya, Dia melihat anak-Nya dari kejauhan, sudah lama dari hari ke hari. Anak itu selalu ada di hati Bapanya, walaupun sudah meninggalkan-Nya, walaupun dia sudah menghabiskan seluruh harta warisan-Nya, kebebasannya. Bapa, dengan sabar, kasih, pengharapan dan belas kasih-Nya tidak pernah sesaat pun berhenti memikirkannya. Dan begitu melihat dia dari kejauhan, Bapa berlari keluar, menjumpainya dan memeluknya dengan kelembutan, kelembutan Allah, tanpa kata-kata umpatan: anak-Nya sudah kembali! Dan itulah sukacita Bapa. Anak dalam pelukannya itulah sukacita-Nya: anak-Nya sudah pulang! Allah selalu menanti-nanti kita, tanpa kenal lelah. Yesus menunjukkan kepada kita kesabaran Bapa yang penuh belas kasih sehingga kita bisa memiliki kembali kepercayaan, pengharapan – selalu! Seorang teolog besar Jerman, Romano Guardini, berkata bahwa Allah menanggapi kelemahan kita dengan kesabaran-Nya, dan inilah alasannya kita percaya dan berharap (cf Glaubenserkenntnis, Wuerzburg, 1949, hal.28). Itu seperti dialog antara kelemahan kita dan kesabaran Allah; dialog yang kalau kita lakukan, akan menganugerahi kita pengharapan.

Saya mau menekankan satu hal lain lagi, yaitu kesabaran Allah harus menumbuhkan keberanian kita untuk kembali kepada-Nya, betapa pun ada banyak kesalahan dan dosa dalam hidup kita. Yesus menyuruh Tomas agar menaruh tangannya dalam luka-luka tangan dan kaki-Nya, dan pada lambung-Nya. Kita pun dapat masuk ke dalam luka-luka Yesus, kita sungguh bisa menjamah-Nya. Ini terjadi setiap kali menyambut Sakramen dengan iman. Santo Bernardus, dalam sebuah khotbah yang bagus, berkata “Melalui luka-luka Yesus, aku dapat mengisap madu dari batu-karang, dan minyak dari gunung batu yang keras (Ul 32:13). Aku dapat merasakan dan melihat kebaikan Tuhan (Mengenai Kidung Agung 61:4). Di sanalah, dalam luka-luka Yesus, kita merasa sungguh aman, di sana kita berjumpa dengan kasih hati-Nya yan tak terhingga. Tomas mengerti itu. Santo Bernardus seterusnya bertanya: Apa yang bisa kuandalkan? Jasaku sendiri? Upahku tergantung pada belas kasih Allah. Aku tidak akan kekurangan selama Dia kaya akan belas kasih. Jika belas kasih Tuhan berlipat-ganda, aku pun akan berkelimpahan (ibid.5). Ini penting: berani mempercayai belas-kasih Yesus, mempercayai kesabaran-Nya, selalu berlindung dalam luka-luka kasih-Nya. Santo Bernardus bahkan menetapkan “Bagaimana kalau banyaknya dosa-dosaku, nuraniku menggerogoti aku? “Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah” (Rom 5:20) (ibid.). Mungkin salah satu dari kita di sini berpikir: dosaku begitu besar, aku jauh dari Allah seperti anak bungsu dalam perumpamaan itu, ketidak-percayaanku seperti Tomas, aku tidak punya keberanian untuk kembali percaya bahwa Allah bisa menyambut aku lagi dan bahwa Dia menanti aku seperti semua yang lain. Tapi sungguh. Tuhan memang menanti Anda. Dia hanya minta dari kamu, keberanian untuk datang kepada-Nya. Sudah berapa banyak dalam pelayanan pastoral saya, dikatakan “Romo, dosa saya banyak” Dan saya selalu mendorong “Jangan takut datang kepada-Nya, Dia menanti Anda, Dia akan mengurus segala keperluan Anda”. Kita mendengar banyak tawaran dunia di sekitar kita, tapi sebaiknya kita ambil tawaran Allah yaitu belaian kasih-Nya. Karena bagi Allah, kita bukan sekedar angka, kita penting, sungguh kita paling penting bagi-Nya; bahkan jikalau kita ini pendosa, kita malah paling dekat di hati-Nya.

 

Cahaya Iman

Karena itu ada kebutuhan yang sangat mendesak, yaitu melihat sekali lagi bahwa iman adalah cahaya, sebab begitu iman itu padam, maka semua cahaya lainnya mulai meredup. Cahaya iman itu unik, karena dia mampu menerangi setiap sisi kehidupan manusia. Cahaya iman yang sangat kuat ini tidak bisa muncul dari diri kita sendiri, tapi dari sumbernya sumber, yaitu dari Allah. Iman lahir dari perjumpaan dengan Allah yang hidup yang memanggil dan mewahyukan Diri serta kasih-Nya kepada kita, kasih yang mendahului kita dan yang bisa kita harapkan memberi keamanan bagi kita dan membangun kehidupan kita. Bilamana kita diubah oleh kasih ini, kita akan mendapat pemandangan yang segar, mata baru untuk melihat; kita melihat bahwa kasih-Nya mengandung janji yang akan terpenuhi, dan memberi kita sebuah pemandangan akan masa depan. Iman yang kita terima dari Tuhan sebagai anugerah adikoderati, menjadi cahaya bagi jalan kita, yang menuntun kita sepanjang waktu. Dari satu pihak, dia adalah cahaya dari masa lalu, cahaya dari ingatan akan kehidupan Yesus yang mewahyukan kasih-Nya, yang sepenuhnya bisa dipercaya, kasih yang mampu menang atas kematian. Namun karena Kristus telah bangkit dan menarik kita keluar dari kematian, iman itu adalah juga cahaya yang datang  dari masa depan dan membuka bagi kita cakerawala yang luas yang menuntun kita melampaui diri sendiri yang tertutup terhadap pergaulan yang luas. Kita lihat. Iman tidak tinggal dalam baying-bayang dan kemuraman. Iman adalah cahaya yang menyinari kegelapan kita.

Cahaya kasih yang khas bagi iman dapat menerangi permasalahan jaman kita mengenai kebenaran. Sekarang ini kebenaran acapkali diperkecil menjadi kebenaran subjektif yang hanya berlaku sah untuk perseorangan saja. Kebenaran umum menakutkan kita, sebab kita menganggapnya tuntutan-tuntutan yang tidak boleh tidak, dari sistem kekuasaan yang mutlak. Namun jika kebenaran adalah kebenaran kasih, jika dia adalah kebenaran yang terbuka kepada perjumpaan dengan Yang Lain dan dengan orang lain, maka kebenaran ini dapat dibebaskan dari ketertutupan diri lalu menjadi bagian dari kebaikan bersama. Sebagai kebenaran kasih, dia tidak dapat dipaksakan pada orang lain, dia bukan kebenaran yang mencekik orang. Karena lahir dari kasih, kebenaran ini dapat merasuk dalam hati, ke pusat terdalam tiap orang. Maka jelaslah, iman tidak mau menangnya sendiri, namun tumbuh dalam kebersamaan yang saling menghormati dengan orang lain. Orang beriman tidaklah curiga. Sebaliknya kebenaran membawa kerendahan-hati, karena kaum beriman tahu, bukan kita menguasai kebenaran, melainkan kebenaran memeluk dan memiliki kita. Rasa aman karena iman, tidak membuat kita tegang, melainkan membawa kita berjalan dalam perjalanan; membuat kita mampu menjadi saksi dan berdialog dengan semua orang.

 

Warta Kristiani

Dalam Injil pada Sabtu Paska, pertama-tama kita menjumpai para wanita yang pergi ke makam Yesus membawa rempah-rempah untuk mengurapi jenazah-Nya (Luk 24:1-3). Mereka mau menunjukkan bela-sungkawa, adat kebiasaan untuk menyatakan rasa-hati dan kasih kepada seorang yang sangat terkasih, seperti kita biasanya begitu. Mereka telah mengikuti Yesus, mendengarkan Firman-Nya. Mereka merasa sangat diterima oleh Yesus sebagai orang yang bermartabat. Dan mereka menemani-Nya ke mana-mana sampai akhirnya di Kalvari dan sampai pada waktu menurunkan jenazah-Nya dari salib. Kita bisa membayangkan perasaan mereka ketika berjalan ke makam: sangat duka, sedih bahwa Yesus telah meninggalkan mereka, Yesus sudah mati, hidupnya sudah berakhir. Sekarang kehidupan kembali berjalan seperti semula. Namun para wanita itu masih merasakan kasih, kasih kepada Yesus, kasih yang sekarang menyertai mereka ke makam. Tapi pada titik ini, ada sesuatu yang sangat baru dan terjadi tanpa diduga, sesuatu yang mengguncang hati dan rencana mereka, sesuatu yang mengubah seluruh hidup mereka. Sesuatu itu ialah mereka melihat batu makam sudah terguling. Mereka mendekat ke makam dan mereka tidak menemukan tubuh Tuhan. Kejadian ini merisaukan hati, penuh dengan tanda-tanya. “Apa yang terjadi? Apa arti semuanya ini” (Luk 24:4). Tidakkah kita juga pernah mengalami yang sama bilamana sesuatu yang sama sekali baru terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari? Kita tertegun, kita tidak mengerti. Kita tidak tahu harus berbuat apa. Sesuatu yang baru kerapkali membuat kita takut, juga sesuatu yang baru yang dibuat Tuhan kepada kita, sesuatu yang baru yang ditanyakan Tuhan kepada kita. Kita seperti para rasul dalam Injil, yang pilih amannya, tetap tinggal di luar makam, dan bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi pada saudara yang telah meninggal, saudara yang sekarang tinggal kenangan, seperti tokoh sejarah masa lampau. Kita takut akan kejutan dari Tuhan. Saudara-saudara terkasih, kita takut akan kejutan dari Tuhan! Tuhan selalu mengejutkan kita! Tuhan selalu begitu itu.

Saudara-saudari. Mari. Jangan menutup hati dari sesuatu yang baru yang akan dibawa Tuhan dalam kehidupan kita! Bukankah kita sering galau, hambar hati dan sedih? Apakah kita merasa terbebani oleh dosa-dosa kita? Apakah kita pikir, kita tidak mampu mengatasinya? Mari. Jangan menutup hati kita. Jangan kehilangan percaya diri. Jangan menyerah. Tidak ada situasi yang tidak bisa diubah oleh Tuhan. Tidak ada dosa yang tidak bisa diampuni oleh Tuhan, asalkan kita selalu membuka hati kita kepada-Nya.

Tapi mari kembali ke Injil, kepada para wanita itu dan coba lebih dalam lagi. Mereka mendapati makam kosong. Tubuh Yesus tidak ada di situ. Sesuatu yang baru telah terjadi. Tapi tidak jelas bagaimana. Banyak tanda-tanya membuat mereka bingung, tanpa ada jawaban. Dan tiba-tiba ada dua orang berpakaian cemerlang yang berkata “Mengapa kalian mencari orang hidup di kalangan orang mati? Dia tidak ada di sini. Dia sudah bangkit” (Luk 24:5-6). Perbuatan sederhana (pergi ke makam), yang keluar dari kasih sekarang berubah menjadi sebuah kejadian, kejadian yang sungguh-sungguh mengubah seluruh kehidupan.  Tidak ada yang kembali seperti semula, bukan hanya dalam kasih para wanita ini, tapi juga dalam hidup kita dan dalam sejarah umat manusia. Yesus tidak mati, Dia telah bangkit, Dia hidup! Dia tidak hanya kembali hidup, tapi Dia sendiri itulah kehidupan, sebab Dia adalah Anak Allah, Allah yang hidup (Bil 14:21-28; Ul.5:26; Yos 3:10). Yesus tidak lagi milik masa lampau, tapi hidup di waktu sekarang dan untuk yang akan datang. Yesus adalah “hari ini” yang abadi dari Allah. Inilah sesuatu yang baru dari Tuhan yang menampakkan Diri pada para wanita, para rasul dan kita semua: suatu kemenangan atas dosa, kejahatan dan kematian, atas semua yang meremuk kehidupan dan membuatnya seperti kurang manusiawi. Dan inilah warta yang ditujukan kepada saya, dan kalian, saudara-saudari. Betapa seringnya kasih harus mengatakan kepada kita: Mengapa kalian mencari orang hidup di tengah orang mati? Permasalahan dan kecemasan kita sehari-hari dapat mengunci kita di dalam diri kita sendiri, dalam kesusahan dan kepahitan … dan di situlah tempatnya kematian. Itu bukan tempat untuk mencari orang hidup!

Biarkan Yesus yang bangkit masuk dalam hidupmu. Sambutlah Dia sebagai teman dengan penuh kepercayaan bahwa Dia hidup! Jika hingga sekarang kalian membiarkan Dia jauh dari kalian, ayo ke sanalah sekarang!  Dia mau menerima kalian dengan tangan terbuka. Jika kemarin kalian begitu acuh-ak-acuh, ayo ambillah resiko, kalian tidak akan dikecewakan. Jika rasanya berat mengikuti Dia, jangan takut. Percayakan dirimu pada-Nya, percayalah, Dia sangat dekat padamu. Dia ada bersamamu dan Dia akan memberimu damai yang kalian cari dan kekuatan untuk hidup sebagaimana Diharapkan-Nya darimu.

 

Revolusi Kebebasan

Rasul Paulus mengakhiri satu bagian dari suratnya kepada jemaat di Roma dengan kata-kata ini: Kalian tidak lagi berada di bawah hukum melainkan di dalam rahmat (6:14). Dan inilah kehidupan kita: berjalan di dalam rahmat, sebab Tuhan sudah mengasihi kita, menyelamatkan kita, dan mengampuni kita. Tuhan telah melakukan semua dan inilah rahmat Tuhan. Kita berjalan dalam rahmat Tuhan yang telah turun ke pada kita dalam Yesus Kristus yang telah menyelamatkan kita.

Bagaimana pun juga Tuhan telah membuka cakerawala luas dan inilah sukacita kita. Kalian bukan di bawah hukum  tapi di dalam rahmat! Apa artinya “hidup di dalam rahmat”? Yaitu sukacita. Kebebasan. Kita bebas. Mengapa? Sebab kita hidup di dalam rahmat. Kita tidak lagi hamba hukum: kita bebas, sebab Yesus Kristus telah menganugerahkan kebebasan sebagai anak-anak Allah. Di situ kita hidup di dalam rahmat. Ini adalah harta-karun. Saya harus mencoba menerangkan sesuatu mengenai misteri ini, yang begitu indahnya dan begitu  pentingnya: hidup di dalam rahmat.

Dalam Sakramen Baptis, dari “di bawah hukum” dimasukkan “di dalam rahmat” itu merupakan sebuah revolusi. Ada begitu banyak revolusi dalam sejarah. Ya banyak. Namun tak satu pun punya kekuatan seperti revolusi yang dibawa Yesus bagi kita: sebuah revolusi yang mengubah dunia, sebuah revolusi yang mengubah hati manusia, jauh di dalamnya. Revolusi-revolusi dari sejarah pada umumnya telah mengubah sistem-sistem politik dan ekonomi, tapi tak satu pun yang sungguh-sungguh mengubah hati manusia. Revolusi yang sejati, revolusi yang secara radikal mengubah kehidupan telah dibawa oleh Yesus Kristus melalui kebangkitan-Nya. Paus Benediktus XVI pernah berkata: revolusi tersebut adalah pengubahan terbesar dalam sejarah kemanusiaan.

Mari kita pikirkan hal ini: pengubahan terbesar dalam sejarah kemanusiaan. Inilah revolusi yang sesungguhnya; kita ini kaum revolusioner dan, apa lagi kalau bukan, kita ini kaum revolusioner dari revolusi Kristus. Sebab kita sudah mengambil jalan metamorfosis terbesar dalam sejarah kemanusiaan. Hari ini dan jaman ini, kalau kita tidak revolusioner, kita bukan umat kristiani. Umat Kristiani menjadi revolusioner melalui rahmat! Rahmat sendiri, yang diberikan oleh Bapa kepada kita melalui Yesus Kristus yang mati dan bangkit, telah membuat kita menjadi revolusioner sebab – sekali lagi kata paus Benediktus ke-16 – “Kristus adalah pengubah terbesar sejarah kemanusiaan” sebab Dia mengubah hati.

Nabi Yehezki-el berkata “Aku akan mengambil dari tubuhmu, hati dari batu dan memberimu hati dari daging” (11:9). Ini pengalaman yang dialami rasul Paulus setelah perjumpaannya dengan Yesus di jalan menuju Damaskus. Dia mengubah seakar-akarnya cara pandangnya mengenai kehidupan, lalu dia dibaptis. Tuhan mengubah hatinya! Bagaimana pun juga, coba pikirkan ini saja: seorang yang pernah mengejar-ngejar dan menganiaya Gereja dan umat Kristiani, menjadi seorang santo, menjadi seorang Kristiani tulen sampai darah-dagingnya! Mulanya dia menjadi penganiaya, kemudian menjadi rasul, saksi Yesus Kristus yang begitu berani, sehingga dia tidak takut menderita sebagai martir. Akhirnya Saul yang ingin membunuh mereka yang memaklumkan Injil, dia sendiri menyerahkan hidupnya untuk memaklumkan-Nya.

Inilah perubahan, perubahan yang paling penting yang dikatakan paus Benediktus kepada kita. Aku mengubah hatimu, dari hati pendosa – kita semua pendosa – menjadi santo. Apa ada di antara kita yang bukan pendosa? Silakan angkat tangan! Kita semua pendosa, tiap orang, kita masing-masing. Kita semua pendosa! Tapi rahmat Yesus Kristus menyelamatkan kita dari dosa!

Jikalau kita – kita semua – menyambut rahmat Yesus Kristus, Dia mengubah hati kita, dari pendosa kita diubah-Nya menjadi santo. Untuk menjadi santo, kita tidak perlu melihat ke mana-mana, atau melihat gambar santo! Jangan. Tidak perlu. Menjadi santo hanya satu yang pelu, yaitu menyambut rahmat yang dianugerahkan Bapa kepada kita melalui Yesus Kristus. Di situ. Rahmat itu, yang mengubah hati kita. Kita terus menerus menjadi pendosa karena kita lemah, namun dengan rahmat ini kita dibuat merasa Tuhan itu baik, Tuhan itu penuh belas kasih, Tuhan menanti kita, Tuhan mengampuni kita. Rahmat yang besar ini mengubah hati kita.

 

Hidup Bersama Kristus

Sekarang saya akan bicara mengenai tiga hal: satu-dua-tiga, cara lama romo-romo Yesuit mengajar … satu-dua-tiga!

  1. Pertama-tama, mulailah dari Kristus, artinya, dekatkan diri pada Yesus.
    • Ketika pada Perjamuan Malam Terakhir, kepada para murid, Yesus menekankan hal tersebut untuk mempersiapkan diri untuk menerima anugerah-Nya terbesar, yaitu kasih-Nya, korban Diri-Nya di kayu salib. Yesus menggunakan gambaran pokok anggur dan ranting-rantingnya. Dia berkata “Tinggallah dalam kasih-Ku, menempellah pada-Ku, seperti ranting menempel pada pokok anggur. Jika kita mempersatukan diri dengan Dia, kita bisa berbuah. Inilah maksudnya tinggal dekat pada Kristus. Tinggal di dalam Yesus! Inilah artinya tetap menempel pada-Nya, di dalam Dia, berbicara dengan-Nya, tinggal di dalam Dia!
    • Hal pertama bagi seorang murid adalah selalu bersama Guru, mendengarkan Dia dan belajar dari pada-Nya. Ini selalu benar sepanjang hidup kita, tiap waktu. Saya ingat. Di keuskupan saya, saya sering menyaksikan katekis-katekis yang menyelesaikan kursus pelatihan katekis. Mereka berkata “Sekarang saya menjadi katekis”. Padahal ini belum berarti apa-apa. Kalian belum punya apa-apa. Kalian baru menempuh perjalanan sedikit, kalian dapat apa? Namun hanya satu inilah yang benar: jadi katekis itu bukan sekedar gelar, tapi sebuah sikap, yaitu tinggal di dalam Yesus. Kalau demikian menjadi katekis akan berlangsung seumur hidup! Artinya, selalu tinggal dalam hadirat Tuhan dan membiarkan diri kita dipimpin oleh-Nya. Saya tanya: bagaimana caranya tinggal dalam hadirat Tuhan? Bila-mana kalian mengunjungi Tuhan, kalian memandang Tabernakel, apakah yang kalian lakukan? … Ya saya berbicara dengan Yesus, saya bermeditasi, saya mendengarkan Dia … Bagus. Tapi apakah kalian membiarkan diri kalian dipandang oleh Tuhan? Dia memandang kita, inilah cara berdoa, Dia memandang kita. Apakah kalian membiarkan diri kalian dipandang oleh Yesus? Tapi bagai-mana melakukannya? Begini. Kalian melihat Tabernakel dan membiarkan diri kalian dipandang-Nya. Begitu saja. Gampang. “Tapi, Romo … membosankan, saya tertidur. Awalnya mengantuk, kemudian tertidur!“ Tapi Yesus masih tetap memandang kalian. Yakinlah Dia sedang memandang kalian. Ini jauh lebih penting dari pada hanya punya gelar katekis. Ini adalah bagian menjadi katekis. Ini menghangatkan hati, menyalakan api persahabatan dengan Tuhan, membuat kalian merasa Tuhan sungguh sedang melihat kalian, bahwa Dia dekat kalian dan mengasihi kalian. Dalam salah satu kunjungan saya ke Roma, dalam sebuah Misa, seorang pemuda datang kepada saya dan berkata “Romo, syukur bisa jumpa Romo. Romo, saya tidak percaya apa-apa. Saya tidak punya anugerah kepercayaan”. Dia tahu bahwa kepercayaan itu sebuah anugerah. “Saya tidak punya anugerah kepercayaan! Apa nasihat Romo?” Jangan gentar. Tuhan tetap mengasihi kamu. Biarkan dirimu dipandang oleh Dia. Itu saja. Ini pulalah yang akan saya katakan kepada kalian: biarlah diri kalian dipandang oleh Tuhan! Saya mengerti bahwa untuk kalian, hal ini tidak mudah. Khususnya bagi kalian yang sudah menikah dan mempunyai anak, sukar untuk mempunyai waktu hening. Namun, syukur kepada Allah, bahwa caranya tidak sama untuk semua orang. Dalam Gereja ada variasi panggilan dan variasi semangat rohani. Yang penting ialah kalian menemukan cara sendiri yang terbaik, cara tinggal bersama Tuhan. Dan ini bisa dilakukan setiap orang. Ini sesuatu yang mungkin untuk setiap status hidup. Sekarang bertanyalah pada diri kalian masing-masing, bagaimana pengalamanku tetap tinggal bersama Yesus? Inilah pertanyaan yang saya berikan kepada kalian: Bagaimana aku mengalami tinggal di dalam Yesus? Apakah aku punya waktu untuk tinggal dalam kehadiran-Nya, dalam keheningan, apakah aku membiarkan diri dipandang-Nya? Apakah aku membiarkan api-Nya menghangatkan hatiku? Jika kehangatan Tuhan, kehangatan kasih-Nya, kehangatan kelembutan-Nya tidak ada dalam hati kita, lalu bagaimana kita pendosa malang ini bisa menghangatkan hati orang lain? Pikirkanlah itu.
  2. Unsur kedua adalah ini: mulailah bersama Kristus, berarti, tirulah Dia meninggalkan diri dan pergi keluar untuk menjumpai orang lain.
    • Ini adalah pengalaman yang indah, namun sebuah paradox. Mengapa? Sebab bilamana kita menaruh Kristus di pusat kehidupan kita, kita sudah bukan pusatnya lagi. Semakin kalian mempersatukan diri dengan Kristus dan Dia menjadi pusat kehidupan kalian, semakin Dia memimpin kalian keluar dari diri kalian, memimpin kalian tidak menjadikan diri pusatnya dan membuka hati kalian kepada orang lain. Inilah dinamika kasih yang sesungguhnya. Inilah tindakan Tuhan sendiri! Tuhan menjadi pusatnya, namun Dia selalu memberikan Diri, Dia adalah relasi, Dia adalah kasih yang membagi-bagikan Diri. Kita akan menjadi seperti ini kalau kita mempersatukan diri dengan Kristus. Dia akan menarik kita masuk ke dalam dinamika kasih-Nya. Di mana ada kehidupan dalam Kristus yang sungguh-sungguh, di situ ada keterbukaan kepada orang lain. Dengan demikian kita mulai keluar dari diri sendiri dalam nama Kristus. Inilah tugas seorang katekis yaitu secara tetap pergi keluar untuk menjumpai orang lain karena kasih, untuk memberi kesaksian mengenai Yesus dan untuk berbicara mengenai Yesus, dan untuk memaklumkan Yesus. Hal ini penting, sebab Tuhan yang melaksanakannya: Tuhan sendirilah yang mendorong kita untuk pergi keluar.
    • Hati seorang katekis selalu berdegup dengan gerakan "keluar kedalam": bersatu dengan Kristus dan berjumpa dengan orang lain. Kedua gerakan ini berarti: aku bersatu dengan Yesus dan aku pergi keluar menjumpai orang lain. Jika salah satu gerakan ini tidak ada, maka hati kita tidak lagi berdegup. Mati. Hati seorang katekis menerima anugerah kerigma (pewartaan Injil). Dan pada gilirannya menawarkan anugerah tersebut kepada orang lain. Hanya sebuah kata sederhana “anugerah”. Seorang katekis sadar telah menerima anugerah, anugerah iman. Kemudian pada gilirannya dia memberikan anugerah itu kepada orang lain. Indah sekali. Kita tidak menahan sedikit pun untuk diri sendiri. Apa yang kita terima, itu semua kita beri-berikan! Ini bukan bisnis jual-beli. Ini murni pemberian: anugerah yang diterima dan itu pula yang diberi-berikan. Katekis ada dalam kegiatan itu, di pusat tukar-menukar anugerah itu. Inilah hakekat dari kerigma: kerigma adalah anugerah yang menghasilkan misi perutusan, yang mendorong kita untuk pergi melampaui diri kita. Santo Paulus berkata “Kasih Kristus mendorong kita”. “Mendorong kita” bisa diartikan “menguasai diri kita”. Dengan demikian itu adalah kasih yang sekaligus menarik kita dan mengutus kita: kasih Kristus menarik kita ke dalam Diri-Nya dan memberikan diri kita kepada orang lain. Dua gerakan ini menandai degupan hati umat Kristiani, khususnya hati katekis. Mari kita bertanya kepada diri sendiri “Apakah ini penyebabnya hatiku berdegup sebagai seorang katekis, yaitu selalu berjumpa dengan Kristus dan berjumpa dengan orang lain? Sungguh dengan gerakan "keluar kedalam"? Apakah kita dihidupi oleh hubungan dengan Tuhan, sehingga bisa membawa Dia kepada orang lain, bukan sebaliknya membuat kita tinggal tertutup dalam diri sendiri? Saya akan mengatakan ini. Saya tidak mengerti bagaimana seorang katekis dapat diam saja tanpa gerak "keluar-kedalam". Sungguh saya tidak mengerti.
  3. Unsur ketiga begini: mulailah bersama Kristus, berarti, tidak takut pergi bersama Dia ke luar ke tapal-batas.
    • Di sini saya berpikir mengenai kisah Yunus, tokoh yang sungguh menarik, khususnya untuk masa sekarang yang penuh perubahan besar dan ketidakpastian. Yunus adalah seorang yang saleh, dengan kehidupan yang tenang dan serba-teratur. Ini membuatnya memandang segala hal serba hitam-putih dan menilai segala hal serta semua orang menurut keadaannya masing-masing, yang satu sama-sekali berbeda dari yang lain. Dan dia yakin begitulah kenyataan yang sebenarnya. Begitu kaku! Maka bilamana Tuhan memanggilnya dan menyuruhnya pergi berkhotbah di Niniwe, kota besar kafir, Yunus tidak suka. “Pergi ke sana? Buat apa? Aku sudah punya kebenarannya di sini". Yunus tidak suka. Niniwe ada di luar wilayah kenyamannya, ada di tapal batas dunia Yunus. Maka dia melarikan diri, pergi ke Spanyol. Dia pergi ikut kapal yang akan membawanya ke sana. Silakan membaca lagi Kitab Yunus. Hanya pendek, namun merupakan sebuah perumpamaan yang sungguh mengajarkan sesuatu, khususnya bagi kita dalam Gereja.
    • Kitab Yunus mengajar kita, apa? Mengajar kita, agar jangan takut untuk pergi keluar dari wilayah kenyamanan kita dan untuk ikut Tuhan, sebab Tuhan selalu mendorong kita maju. Tapi apakah kalian tahu ini: Tuhan tidak pernah takut. Apakah kalian menyadarinya? Tuhan tidak pernah takut. Dia selalu lebih besar dari pada cara kita memandang dunia. Tuhan tidak pernah takut akan tapal-batas kehidupan. Jika kalian pergi ke sana, kalian akan menjumai Dia di sana. Tuhan selalu setia dan Dia itu pencipta kreatif. Tapi, apakah benar ada katekis yang tidak kreatif? Kreativitas itulah yang menopang kita terus menjadi katekis. Tuhan itu pencipta yang kreatif, namun Dia tidak tertutup, maka Dia tidak pernah "tidak bisa ditekuk". Tuhan itu tidak kaku! Dia menyambut kita, Dia menemui kita, Dia mengerti kita. Untuk bisa setia, dan kreatif, perlulah kita sendiri berubah. Berubah! Dan mengapa harus berubah? Supaya kita dapat menyesuaikan diri dengan situasi di mana kita harus mewartakan Injil. Untuk tinggal dekat dengan Tuhan, perlulah kita tahu bagaimana caranya keluar, kita tidak boleh takut keluar. Jika seorang katekis menyerah kepada ketakutan, maka dia itu pengecut. Jika seorang katekis merasa nyaman-nyaman saja tetap begitu itu, jatuhnya dia akan menjadi seperti patung di museum. Ada banyak katekis semacam ini. Saya mohon, jangan ada kalian yang menjadi patung di museum! Jika seorang katekis itu kaku, dia akan layu lalu mengering. Saya tanya: apakah ada dari kalian yang mau menjadi pengecut, menjadi patung di museum, layu lalu mengering? Apakah kalian mau seperti itu?
    • Tidak? Sungguh? Bagus! Sekarang saya akan mengatakan ini. Saya sudah mengatakannya berkali-kali sebelumnya. Saya mengatakannya dari hati. Bilamana kita umat Kristiani tertutup dalam grup kita sendiri, dalam pergerakan kita sendiri, di paroki kita sendiri, di jagad kecil kita, kita menjadi tertutup. Dan nanti akan menimpa kita juga, apa yang terjadi pada semua hal yang tertutup. Bilamana sebuah kamar itu tertutup, dia menjadi gelap. Jika seorang tertutup dalam kamar tersebut, dia jatuh sakit! Bilamana orang Kristiani tertutup dalam grupnya, parokinya, pergerakannya, dia jadi sakit. Tetapi jika seorang Kristiani pergi ke jalan-jalan, mungkin akan tertimpa sesuatu yang dialami orang yang ada luar sana, yaitu kecelakaan. Betapa seringnya kita melihat kecelakaan di jalan! Namun ingat ini: Saya seribu kali lebih suka sebuah Gereja yang luka-luka, dari pada Gereja yang sakit-sakitan! Sebuah Gereja, seorang katekis, yang berani menanggung resiko pergi ke jalan-jalan, dan bukan katekis yang rajin belajar, tahu segala hal, tapi tertutup di kamar: pribadinya tidak sehat. Dan kadangkala malah ada yang tidak waras di kepalanya.
    • Tapi hati-hati! Yesus tidak berkata: pergilah keluar dan berbuatlah sebisamu. Tidak. Bukan begitu kata Yesus. Tapi: Pergilah, sebab Aku bersamamu! Kata-kata ini sangat indah bagi kita. Inilah pegangan kita. Jika kita pergi keluar untuk membawa Injil-Nya dengan kasih, dengan semangat seorang rasul yang sejati, dengan parrhesia (keterus-terangan dan penuh percaya diri), Yesus berjalan bersama kita, Dia mendahului kita, Dia sampai di sana lebih dulu. Seperti kata orang Spanyol, primerea (yang duluan). Sekarang kalian tahu maksud saya. Kitab Suci juga mengatakan ini. Tuhan berkata: Aku seperti bunga almond (bunga badam) (Yer 1:11-12). Mengapa? Sebab bunga almond adalah bunga yang pertama kali mekar di musim semi. Tuhan selalu yang duluan. Ini sangat mendasar bagi kita: Tuhan selalu lebih dulu dari kita. Bilamana kita berpikir untuk pergi jauh, ke tapal-batas yang paling tepi, mungkin kita sedikit takut. Tapi sesungguhnya Tuhan sudah lebih dulu ada di sana. Yesus menanti kita di hati saudara-saudari kita, dalam tubuh mereka yang terluka, dalam kehidupan mereka yang keras, di dalam mereka yang kehilangan iman. Tapi bolehkah saya mengatakan kepada kalian mengenai salah seorang dari “tapal-batas” yang menghancurkan hati saya? Di keuskupan saya dulu, saya melihat anak-anak Katolik yang bahkan tidak tahu bagaimana membuat tanda-salib. Di Buenos Aires ada banyak anak Katolik yang demikian. Ini baru satu dari yang ada di “tapal-batas”. Dan Yesus sudah ada di sana, menanti kalian untuk membantu anak-anak Katolik itu untuk membuat tanda-salib. Yesus selalu sudah di sana lebih dulu.
    • Para katekis yang tercinta. Saya sudah mengutarakan tiga hal tersebut. Selalu mulailah dari Kristus! Saya berterima kasih kepada kalian atas semua yang kalian kerjakan. Tapi terutama, karena kalian menjadi bagian dari Gereja, umat Allah yang berziarah, dan karena kalian menemani umat Allah dalam peziarahan. Mari. Tetaplah tinggal dalam Kristus – ya, tinggal di dalam Kristus – dan mari, selalu berusaha bersatu dengan Dia. Marilah kita ikuti Dia, marilah meniru Dia dalam gerakan kasih-Nya, dalam langkahnya keluar untuk menjumpai kemanusiaan. Mari membuka pintu dan pergi keluar. Mari. Beranilah mengarahkan keluar, jalan baru kalian untuk memaklumkan Injil.

2.Gereja yang miskin untuk kaum miskin

 

Dengarlah Jeritan Kaum Miskin

Iman kita kepada Kristus, yang menjadi miskin dan selalu dekat dengan kaum miskin dan tersisih, adalah dasar keprihatinan kita atas perkembangan yang menyeluruh bagi anggota masyarakat yang paling terlantar.

Tiap orang Kristiani dan tiap komunitas terpanggil untuk menjadi alat Tuhan untuk membebaskan dan memajukan kaum miskin, dan untuk memberdayakan mereka untuk menjadi anggota masyarakat sepenuhnya. Tuntutan ini yang membuat kita patuh dan penuh perhatian kepada jeritan kaum miskin dan datang membantu mereka. Kita menengok sekejap pada Kitab Suci untuk melihat betapa Bapa yang penuh rahmat mau mendengar jeritan kaum miskin: "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka. Dan Aku turun untuk melepaskan mereka … maka Aku mengutus engkau … (Kel 3:7-10). Kita juga melihat betapa sangat prihatinnya Dia atas kebutuhan mereka: “Bilamana orang Israel berseru kepada TUHAN, maka TUHAN membangkitkan bagi mereka seorang penyelamat” (Hak 3:15). Jikalau kita, yang adalah sarana Tuhan untuk mendengarkan kaum miskin, menulikan telinga kita terhadap permintaan mereka, kita melawan kehendak dan rencana Bapa. Maka orang miskin itu “berseru kepada TUHAN tentang engkau, dan hal itu menjadi dosa bagimu” (Ul 15:9). Hilangnya hati-seperasaan dengan kebutuhan orang miskin akan langsung memengaruhi hubungan kita dengan Tuhan. “Bila engkau dikutuk seseorang dalam duka nestapanya, niscaya permohonannya didengarkan oleh Penciptanya” (Sir 4:6). Pertanyaan kuno selalu kembali: “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?” (1 Yoh 3:17). Marilah kita ingat pula betapa keras santo Yakobus menyuarakan jeritan kaum tertindas: “Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu. Dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu” (5:4).

Gereja menyadari bahwa perlunya menghiraukan tuntutan ini lahir dari karya rahmat pembebasan yang ada di hati kita masing-masing, maka bukan masalah perutusan yang hanya dikhususkan untuk sebagian kecil orang saja: “Gereja yang dituntun oleh Injil belas kasih dan oleh kasih bagi umat manusia, mendengar jeritan minta keadilan dan bermaksud untuk menanggapinya dengan sekuat tenaga. Dalam hal ini kita dapat mengerti perintah Tuhan kepada murid-murid-Nya “Kamulah yang harus memberi mereka makan” (Mk 6:37). Itu berarti kerja untuk menghapus penyebab struktural dari kemiskinan dan untuk memajukan perkembangan yang integral dari kaum miskin, berarti pula tindakan-tindakan kecil solidaritas setia-kawan untuk memenuhi kebutuhan nyata yang kita jumpai. Kata “kesetiakawanan” sudah agak usang dan seringkali disalah-artikan. Namun kesetia-kawanan mengena pada sesuatu yang lebih luas dari pada hanya sedikit-sedikit perbuatan kemurahan hati di sana-sini. Kesetia-kawanan mengandaikan terciptanya pola-pikir baru dalam rangka masyarakat dan mendahulukan kehidupan semua orang, di atas kepemilikan harta-benda oleh sedikit orang.

Bagi Gereja “option for the poor” (mendahulukan orang miskin) pertama-tama adalah kategori teologis dari pada kategori budaya, sosiologis, politis atau filosofis. Tuhan menunjukkan “belas kasih-Nya yang pertama” kepada kaum miskin. Sikap Tuhan memihak kaum miskin ini berakibat kepada kehidupan iman umat Kristiani, karena kita dipanggil agar “menaruh pikiran yang terdapat juga dalam Yesus Kristus” (Fil 2:5). Mendapat inspirasi dari sini, Gereja menentukan mendahulukan orang miskin sebagai “bentuk khusus amal-kasih Kristiani yang harus diutamakan, dan telah ditunjukkan Gereja sepanjang sejarahnya”. Mendahulukan orang miskin ini – seperti yang diajarkan oleh paus Benediktus XVI – “termasuk dalam iman Kristiani kita kepada Tuhan yang menjadi miskin demi kita, agar memperkaya kita dengan kemiskinan-Nya”. Maka saya menginginkan sebuah Gereja yang miskin untuk kaum miskin. Kaum miskin mengajar banyak kepada kita. Bukan hanya mereka ambil-bagian dalam rasa-iman, tapi dalam kesukaran hidup mereka, mereka juga tahu bagaimana itu Kristus yang menderita. Kita mau membiarkan diri diinjili oleh mereka. Pewartaan Injil gaya baru adalah ajakan untuk mengakui  kekuatan penebusan yang sedang berkarya dalam diri mereka dan ajakan untuk menaruh kaum miskin di pusat peziarahan Gereja. Kita diundang untuk menemukan Kristus dalam diri mereka, untuk meminjamkan suara kita untuk membela mereka, tapi juga untuk menjadi teman mereka, mendengarkan mereka, berbicara untuk mereka, dan untuk memeluk misteri kebijaksanaan yang ingin Tuhan bagikan kepada kita melalui mereka.

 

Rumah Bersama

Dalam “Aku Percaya” kita mengatakan “Aku percaya akan satu Gereja”. Dengan kata lain, kita mengaku bahwa Gereja adalah satu, dan Gereja ini pada koderatnya adalah satu. Bagaimana pun juga jikalau melihat Gereja Katolik di dunia, kita menjumpai bahwa Gereja ini mencakup hampir 3.000 keuskupan yang tersebar di seluruh benua: begitu banyak bahasa, begitu banyak budayanya! Gereja tersebar di seluruh dunia! Namun demikian ribuan komnitas Katolik tersebut membentuk satu unit. Mengapa bisa begitu?

Kita menemukan sebuah jawaban singkat dalam Kompendium Katekismus Gereja Katolik yang mengatakan: Gereja Katolik di dunia “mempunyai hanya satu iman, satu kehidupan sakramental, satu pewarisan jabatan rasul, satu pengharapan bersama, dan amal-kasih yang satu dan sama” (no.161). Rumusan yang indah, ini jelas dan mengarahkan kita dengan benar. Persatuan dalam iman, pengharapan dan kasih, persatuan dalam sakramen, dalam pelayanan: itu semua bagaikan tonggak-tonggak yang menopang dan menyatukan satu bangunan Gereja yang besar. Ke mana pun kita pergi, bahkan ke sebuah paroki yang terpencil di dunia, di situ ada satu Gereja. Kita merasa di rumah sendiri, dalam satu keluarga besar, kita tinggal bersama saudara-saudari sendiri. Ini sungguh anugerah Tuhan! Bagi kita semua, Gereja itu satu. Tidak ada satu Gereja untuk orang Eropa, satu Gereja untuk orang Afrika, satu Gereja untuk orang Amerika, satu Gereja untuk orang Asia, satu Gereja untuk orang-orang Oceania. Tidak. Gereja itu satu dan sama di mana-mana. Seperti sebuah keluarga: beberapa anggotanya barangkali tinggal di tempat jauh sekali, terpencar di seluruh dunia, tapi semua terikat erat dalam satu keluarga biarpun tinggal sangat jauh. Saya pikir, misalnya, pengalaman saya di Hari Kaum Muda Sedunia di Rio de Janeiro. Dalam kumpulan massa kaum muda yang tiada habis-habisnya di pantai Copacabana, kita mendengar banyak bahasa, kita melihat banyak jenis wajah yang berbeda-beda, kita tinggal dalam pelbagai budaya, namun demikian mereka bersatu erat, mereka membentuk satu Gereja, mereka betul-betul bersatu dan itu sangat terasa. Mari kita sebagai orang Katolik bertanya pada diri sendiri, apakah saya merasakan persatuan itu? Sebagai orang Katolik, apakah kita merasa ini sebuah Gereja yang satu? Ataukah saya merasa satu karena saya ada bersama kelompok saya yang kecil atau karena hanya perasaan saya saja? Apakah saya satu karena dari Gereja masing-masing, sebangsa, sekerabat? Kalau demikian sangat menyedihkan bahwa Gereja dijadikan milik pribadi masing-masing, ini Gereja yang sudah kehilangan iman. Sungguh-sungguh menyedihkan! Bilamana saya mendengar bahwa begitu banyak orang Kristiani yang menderita, bisakah saya acuh-tak-acuh? Ataukah saya merasa seakan-akan saudara saya sendiri yang menderita? Bilamana saya mendengar banyak orang Kristiani dianiaya dan mengorbankan nyawa demi iman, apakah hati saya tersentuh atau tidak? Apakah hati saya terbuka terhadap saudara sendiri yang menyerahkan nyawa demi Yesus Kristus? Apakah kita lalu saling mendoakan? Saya punya pertanyaan untuk kalian. Berapa dari kalian yang berdoa bagi saudara Kristiani yang dianiaya? Berapa? Silakan menjawab dalam hati masing-masing. Apakah saya berdoa bagi saudara-saudari saya yang dalam kesulitan karena imannya dan demi membela iman? Perlulah melihat lebih jauh melampaui perbatasan kehidupan kita, untuk dapat merasakan bahwa kita adalah satu Gereja, satu Keluarga dalam Allah.

Mari kita melangkah setapak lebih jauh dan menanyai diri sendiri: apakah ada luka-luka dalam kesatuan Gereja ini? Dapatkah kita melukai kesatuan ini? Sayang sekali, kita melihat bahwa dalam perjalanan sejarah, juga sekarang, kita tidak selalu hidup dalam persatuan. Seringkali timbul salah-paham, juga konflik, ketegangan dan perpecahan yang melukai Gereja sehingga Gereja tidak berwajah seperti yang kita inginkan. Gereja tidak mengungkapkan kasih, kasih yang Tuhan inginkan. Kitalah penyebab luka-luka itu! Dan jika kita melihat perpecahan yang masih terjadi di antara umat Kristiani, Katolik, Orthodox, Protestan … kita tahu upaya apa yang harus kita lakukan agar kesatuan Gereja nampak jelas, namun kita seringkali sangat kesukaran untuk mempraktekkannya. Perlulah mencari cara membangun dan mengajarkan persatuan. Kita harus mulainya dari keluarga, dari realitas hidup menggereja, dalam dialog ekumenis pula. Dunia ini membutuhkan persatuan. Inilah jamannya persatuan dibutuhkan oleh kita semua. Kita memerlukan perdamaian dan kebersamaan. Dan Gerejalah rumah kebersamaan itu. Santo Paulus menyuruh umat Kristiani di Efesus “Aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil, berpadanan dengan panggilan itu. Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu. Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (Ef 4:1-3). Kerendahan-hati, kelemah-lembutan, jiwa besar, dan kasih, itu akan menjaga persatuan! Inilah jalan Gereja yang harus kita tempuh! Mari kita dengarkan lagi. Kerendahan-hati itu melawan kesia-siaan, melawan keangkuhan. Kerendahan-hati, kelemah-lembutan, jiwa besar, dan kasih, itu akan menjaga persatuan! Kemudian santo Paulus melanjutkan: “Ada satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa kita semua” (ay.4-6). Kekayaan manakah yang bisa mempersatukan kita! Inilah kekayaan Gereja yang sejati, yakni: hal-hal yang mempersatukan, bukan yang memisahkan kita satu dari yang lain.  Mari tanyakan pada diri sendiri sekarang: “apakah saya mengembangkan kerukunan dalam keluarga saya, dalam paroki saya, dalam komunitas saya? Ataukah saya penyebar gossip? Apakah saya penyebab perpecahan atau sakit-hati? Dan kalian tahu akibat buruk dari gossip yang mencederai Gereja, paroki atau komunitas? Ya. Gossip itu mencederai! Gossip itu melukai. Sebelum orang Kristiani membuka mulut untuk gossip, seharusnya dia menggigit lidahnya lebih dulu! Menggigit lidah sendiri: ini baik untuk kita sebab lidah akan jadi bengkak dan tidak bisa omong lagi, tidak bisa gossip lagi. “Apakah saya cukup rendah-hati untuk dengan sabar menjahit luka-luka di komunitas, melalui korban-diri?”

Akhirnya ini, langkah terakhir yang membawa kita lebih dalam. Sekarang sebuah pertanyaan yang bagus: siapakah kekuatan yang mendorong persatuan Gereja? Roh Kudus yang telah kita terima dalam Sakramen Baptis dan juga Sakramen Penguatan. Roh Kudus! Persatuan kita bukanlah pertama-tama buah dari kesepakatan kita atau dari demokrasi dalam Gereja, atau dari usaha kita untuk menyatu satu sama lain, melainkan buah dari Dia yang menciptakan persatuan dalam perbedaan, karena Roh Kudus adalah keselarasan dan selalu menciptakan keselarasan dalam Gereja; persatuan yang selaras dalam banyak budaya, bahasa dan cara-pikir yang berbeda-beda. Roh Kuduslah pendorongnya. Itulah sebabnya, doa itu penting. Doa adalah jiwa komitmen kita untuk hidup bersama. Berdoalah kepada Roh Kudus, agar Dia berkenan datang untuk menciptakan kesatuan dalam Gereja.

Marilah kita mohon kepada Tuhan: Tuhan, berilah kami agar makin bersatu, tidak menjadi alat perpecahan. Mampukan kami agar mempertaruhkan diri (seperti doa kaum Fransiskan) untuk menebar kasih di mana ada kebencian, pengampunan di mana ada penghinaan, dan persatuan di mana ada perselisihan.

 

Rumah Yang Terbuka Bagi Semua Orang

Dalam “Aku Percaya” sesudah mengaku “Aku percaya akan Gereja yang satu”, kta menambah kata sifat “kudus”; untuk menegaskan kekudusan Gereja. Dan ini adalah sebuah watak Gereja yang sudah ada sejak mulainya kesadaran umat Kristiani awal, yang dengan sederhana disebut “umat yang kudus” (Kis 9:13,32,41; Rom 8:27; 1 Kor 6:1) sebab mereka merasa pasti bahwa ini adalah karya Allah, karya Roh Kudus yang menguduskan Gereja.

Tapi dalam arti apa Gereja disebut kudus jika kita lihat bahwa dalam Gereja yang historis menyejarah, dalam perjalanannya yang panjang melalui abad-abad, mendapat banyak kesulitan, masalah, dan masa-masa yang gelap? Bagaimana mungkin Gereja yang terdiri dari manusia, pendosa, bisa menjadi kudus? Manusia laki-perempuan pendosa, imam pendosa, suster pendosa, uskup pendosa, dan kardinal pendosa, setiap orang pendosa, bagaimana mungkin Gereja semacam ini  bisa menjadi kudus?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya dituntun oleh kutipan surat santo Paulus kepada umat Kristiani di Efesus. Rasul Paulus, dengan mengambil contoh hubungan keluarga, menegaskan “Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya” (5:25-26). Kristus mengasihi Gereja, dengan memberikan Diri-Nya di kayu salib. Ini berarti bahwa Gereja itu kudus karena dia datang dari Tuhan yang kudus, Tuhan yang setia kepadanya dan tidak meninggalkan dia kepada kuasa maut dan kuasa kejahatan (Mat 16:18). Gereja itu kudus, karena Yesus Kristus yang adalah Yang Kudus dari Allah (Mk 1:24) bersatu dengannya tanpa bisa dipisahkan (Mat 28:20). Gereja itu kudus karena dia dibimbing oleh Roh Kudus yang menyucikan, mengubahnya, dan memperbaharuinya. Gereja tidak kudus karena jasanya sendiri, melainkan karena Tuhan membuatnya kudus. Gereja adalah buah Roh Kudus dan buah dari anugerah-anugerah-Nya. Bukan kitalah yang membuat Gereja jadi kudus. Melainkan Tuhan, Roh Kudus, yang dengan kasih-Nya membuat Gereja jadi kudus.

Kalian dapat berkata kepada saya: tapi Gereja terdiri dari para pendosa, kami melihat mereka tiap hari. Memang benar: kita adalah Gereja para pendosa. Dan kita adalah pendosa yang dipanggil Tuhan agar membiarkan diri untuk diubah, diperbaharui, dan dikuduskan oleh Tuhan. Dalam sejarah ada godaan bagi beberapa orang untuk mengatakan bahwa Gereja hanya untuk kaum yang suci saja, hanya untuk mereka yang tetap suci, lalu menyingkirkan yang lain. Ini tidak benar! Ini bidaah! Gereja yang kudus tidak menolak pendosa. Dia tidak menolak kita semua. Dia tidak menolak, melainkan memanggil setiap orang, menyambut setiap orang, terbuka bahkan bagi yang paling jauh dari padanya, dia memanggil setiap orang agar membiarkan diri diliputi belas kasih, kelembutan dan pengampunan Bapa, yang menawarkan kepada setiap orang kemungkinan untuk berjumpa dengan-Nya, dan untuk berjalan menuju kekudusan. “Romo, saya pendosa, saya melakukan dosa yang mengerikan, bagaimana mungkin saya bisa merasa menjadi bagian dari Gereja?” Saudara terkasih, inilah yang diinginkan Tuhan, agar kalian mengatakan kepada-Nya “Tuhan, ini aku, dengan dosa-dosaku”. Adakah di antara kalian yang tidak berdosa? Ada? Tak seorang pun. Tak satu pun dari kita. Kita semua memikul dosa. Tapi Tuhan ingin kita mengatakan kepada-Nya “Ampuni aku, Tuhan, tolonglah aku berjalan, ubahlah hatiku!” Dan memang Tuhan dapat mengubah hatimu. Dalam Gereja, Tuhan yang kita jumpai bukanlah hakim yang tanpa belas-kasih, melainkan Bapa seperti dalam perumpamaan Injil. Kalian boleh menjadi seperti anak bungsu yang meninggalkan rumah Bapa itu, yang tenggelam di kedalaman, jauh dari Injil. Bilamana kalian punya kekuatan untuk mengatakan “Aku mau pulang”, kalian akan mendapati pintu rumah terbuka. Tuhan akan menjumpaimu sebab Dia sedang menantimu. Tuhan sedang menantimu, Tuhan akan memelukmu, menciummu, dan akan mengadakan pesta atas kembalimu. Tuhan itu begitu. Begitulah kelembutan Bapa surgawi. Tuhan ingin kita menjadi milik sebuah Gereja yang tahu bagaimana membuka lebar-lebar tangannya dan menyambut siapa pun. Sebuah Gereja yang bukan milik beberapa orang saja, melainkan sebuah Gereja untuk siapa saja, sebuah tempat di mana semua bisa diperbaharui, diubah, dikuduskan oleh kasih-Nya, yaitu semua yang merasa putus-asa atau hilang. Gereja menawarkan kepada semua orang kemungkinan untuk menapaki jalan kekudusan, yaitu jalan umat Kristiani: Gereja yang membawa kita untuk berjumpa dengan Yesus Kristus dalam sakramen-sakramen khususnya pengakuan dosa dan ekaristi. Dia menyampaikan Firman Allah kepada kita. Dia membiarkan kita hidup dalam amal-kasih, dalam kasih Allah bagi semua orang.  Kalau demikian mari kita tanya pada diri sendiri, maukah kita dikuduskan? Apakah kita ini sebuah Gereja yang mengundang dan menyambut pendosa dengan tangan terbuka, dan memberi kekuatan dan pengharapan, ataukah kita ini sebuah Gereja yang tertutup dalam diri sendiri? Apakah kita ini sebuah Gereja di mana kasih Allah tinggal, di mana orang peduli satu sama lain, di mana orang saling mendoakan?

Pertanyaan terakhir: apa yang bisa kita lakukan sebagai seorang pendosa yang  rapuh? Tuhan bersabda kepadamu: jangan takut akan kekudusan, jangan takut bercita-cita tinggi, jangan takut dikasihi dan dikuduskan oleh Tuhan, jangan takut membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus. Biarkan diri kita ditulari oleh kekudusan Allah. Tiap orang Kristiani dipanggil kepada kekudusan (Lumen Gentium, 19-42). Dan kekudusan tidak berarti melakukan sesuatu yang luar  biasa melainkan membiarkan Tuhan berbuat sesuatu dalam diri kita. Kekudusan adalah perjumpaan kelemahan kita dengan kekuatan rahmat. Kekudusan adalah percaya pada karya-Nya yang membolehkan kita hidup dalam amal-kasih, dan melakukan segalanya dengan sukacita dan kerendahan hati, demi kemuliaan Allah dan pengabdian kita kepada sesama.  Ada kata-kata mutiara dari seorang penulis Perancis Leon Bloy yang pada akhir hayatnya berkata: “Satu-satunya kesedihan yang sesungguhnya dalam hidup adalah tidak menjadi santo”. Mari. Jangan kehilangan pengharapan untuk menjadi kudus. Mari mengikuti jalan ini. Apakah kita mau menjadi santo? Tuhan menanti kita dengan tangan terbuka. Dia menanti kita untuk mendampingi kita menyusuri jalan menuju kekudusan. Mari hidup dalam sukacita iman kita. Mari membiarkan diri kita dikasihi Tuhan … Dalam doa untuk diri sendiri dan untuk orang lain, mari mohon anugerah kekudusan ini dari Tuhan.

 

Rumah Kerukunan

“Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik …” Mari kita berhenti sejenak untuk merefleksikan arti “Katolik”. Apa artinya “katolik”? Dari kata bahasa Yunani kath’olon, artinya, “menurut semuanya”, keseluruhan. Keseluruhan ini, dalam arti apa,  bagi Gereja? Kita sebut Gereja itu Katolik dalam arti apa? Saya mau mengatakan ada tiga arti pokok.

Pertama. Gereja itu Katolik karena dia itu sebuah tempat, sebuah rumah di mana iman disampaikan seutuhnya kepada kita, di mana karya keselamatan Tuhan yang dibawa Kristus kepada kita ditawar-tawarkan kepada siapa saja. Gereja itu tempat di mana kita bisa berjumpa dengan belas kasih Allah yang mengubah kehidupan kita, karena di dalam Gereja, Yesus Kristus hadir dan memberi pengakuan iman yang benar, kepenuhan hidup sakramental, dan pelayan tertahbis yang sah. Di dalam Gereja, kita masing-masing menemukan pokok-pokok iman yang perlu dipercaya, untuk dihayati sebagai orang Kristiani, untuk menjadi kudus dan yang menjadi bekal perjalanan ke setiap tempat dan sepanjang jaman.

Sebagai misal, dapat kita katakan bahwa Gereja itu seperti sebuah keluarga. Dalam keluarga, kita masing-masing diberi apa saja yang membuat kita bisa berkembang, menjadi matang dan hidup. Kita tidak dapat hidup dari diri sendiri, kita tidak dapat mengadakan perjalanan hidup sendirian, terkurung dalam diri. Tapi kita mengadakan perjalanan hidup dan tumbuh dalam sebuah komunitas, dalam sebuah keluarga. Begitu pula dalam Gereja! Di dalam Gereja, kita dapat mendengarkan Firman Allah dengan kepastian bahwa itu adalah warta dari Tuhan kepada kita. Di dalam Gereja, kita dapat berjumpa dengan Tuhan dalam sakramen-sakramen yang merupakan jendela-jendela yang terbuka untuk masuknya cahaya ilahi yang diberikan kepada kita, untuk kehidupan sejati dari Tuhan yang mengalir kepada kita. Di dalam Gereja, kita belajar hidup bersama dalam kasih yang berasal dari Allah. Kita masing-masing dapat bertanya pada diri sendiri: bagaimana aku menghayati hidup dalam Gereja? Kalau aku pergi ke gereja, apakah seperti pergi ke stadion untuk nonton pertandingan sepak-bola? Atau seperti pergi ke bioskop? Tidak. Berbeda sekali. Bagaimana penghayatanku pergi ke gereja? Bagaimana ketika aku menyambut anugerah-anugerah yang ditawarkan Gereja kepadaku agar aku hidup dan tumbuh sebagai seorang Kristiani yang dewasa? Apakah aku ikut ambil bagian dalam kehidupan komunitas ataukah aku pergi ke gereja tapi terus sibuk dengan masalahku sendiri, menjauh dari orang lain dan mengurung diri? Arti pertama Katolik adalah Gereja yang menjadi rumah bagi semua orang. Setiap orang adalah anak kandung Gereja dan di dalamnya semua merasa seperti di rumahnya sendiri. 

Arti kedua Gereja itu Katolik karena universal untuk umum. Gereja tersebar ke luar negeri ke semua bagian dunia dan mewartakan Injil kepada setiap orang. Gereja bukanlah sekelompok elite petinggi. Gereja bukan hanya urusan segelintir orang saja. Gereja tidak punya batas-batas, dia diutus kepada semua orang, kepada semua bangsa manusia. Dan Gereja yang satu itu hadir bahkan dalam bagian-bagiannya yang terkecil. Tiap orang bisa berkata: di parokiku hadir Gereja Katolik, karena paroki adalah bagian dari Gereja universal, paroki juga mengandung kepenuhan anugerah-anugerah Kristus, yakni iman, sakramen-sakramen, pelayan tertahbis, dia menyatu dengan Uskup dan Paus, dan terbuka kepada siapa pun tanpa membeda-bedakan. Gereja tidak hanya ada di bawah bayang-bayang menara kita, melainkan memeluk sangat banyak orang dan bangsa yang punya pengakuan iman yang sama, diberi makanan dari Ekaristi yang sama, dan dilayani oleh pastor-pastor yang sama. Sangat indah rasanya merasa satu dengan seluruh Gereja, dengan semua komunitas Katolik seluruh dunia, baik yang besar maupun yang kecil. Kemudian kita semua, baik komunitas besar maupun kecil, merasa punya tugas perutusan yang sama, bahwa kita harus membuka pintu rumah kita dan pergi keluar demi pewartaan Injil. Kalau demikian mari kita bertanya pada diri sendiri: apa yang sudah kubuat agar bisa menyampaikan kepada orang lain sukacitaku berjumpa dengan Tuhan, sukacitaku menjadi anggota Gereja? Mewartakan dan memberi kesaksian iman bukanlah pekerjaan beberapa orang saja, tapi juga melibatkan saya, kalian, kita semua!

Pikiran ketiga dan terakhir. Gereja itu Katolik karena dia adalah rumah kerukunan di mana kesatuan dan perbedaan tahu bagaimana bisa dipersatukan menjadi sumber kekayaan yang besar. Mari kita bayangkan sebuah orkes yang terdiri dari kesatuan dan keselarasan suara-suara yang berbeda, bermacam-macam alat musik yang dimainkan bersama. Setiap suara tetap dan tepat pada warna suara (timbre)nya masing-masing dan menyuarakan kekhasan sendiri-sendiri, menyatu dalam tema bersama. Kemudian ada satu yang menjadi dirigen. Dan ketika orkes dipentaskan, semua bermain bersama dalam harmoni keselarasan, namun warna suara setiap alat musik tidak hilang, malah dalam kebersamaan itu keunikan setiap alat musik terdengar lebih bagus.

Itulah gambaran indah, yang memberitahu kita bahwa Gereja itu seperti sebuah orkes besar di mana ada sangat banyak variasi. Kita semua tidak sama dan tidak boleh sama. Kita semua berbeda, bervariasi, kita masing-masing dengan kualitas khasnya sendiri-sendiri. Inilah keindahan Gereja: setiap orang membawa anugerahnya sendiri-sendiri yang diberikan Tuhan, demi memperkaya orang lain. Dan di antara komponen-komponen yang bervariasi itu ada perbedaan. Kendati demikian perbedaan tersebut tidak konflik dan bertentangan satu sama lain. Keaneka-ragaman itulah sebabnya Roh Kudus mencampurnya bersama menjadi keserasian. Roh Kudus sungguh sang “Maestro” (dirigen istimewa) yang sejati. Dialah sang keserasian. Dan di sini mari kita bertanya pada diri sendiri. Apakah di dalam komunitas, kita hidup rukun? Ataukah kita suka beradu mulut satu sama lain? Di komunitas paroki, di dalam pergerakan, di tempat di mana saya menjadi anggotanya, apa sering ada gossip? Jika ada gossip, tidak ada kerukunan, tapi perselisihan. Kalau begitu, ini bukan Gereja. Gereja itu semua rukun, tak pernah gossip satu sama lain, tidak pernah adu-mulut! Mari kita terima orang lain, mari kita terima adanya variasi, orang ini berbeda, dan orang itu berpikir masing-masing menurut cara pikirnya sendiri-sendiri. Mari kita terima bahwa dalam iman yang satu dan sama kita boleh punya cara pikir sendiri-sendiri. Atau adakah kita justru cenderung suka menyeragamkan semua? Tapi penyeragaman itu membunuh kehidupan. Kehidupan Gereja adalah sebuah variasi. Dan kalau kita ingin memaksakan keseragaman pada tiap orang dan semua orang, kita membunuh anugerah-anugerah Roh Kudus sendiri.

Mari kita berdoa kepada Roh Kudus. Dialah pencipta dan asal-usul kesatuan dan variasi, pencipta keselarasan. Dialah yang membuat kita semakin ”katolik” di dalam Gereja yang katolik dan universal ini.

 

Diutus Untuk Membawa Kabar Baik Kepada Seluruh Dunia

Bilamana kita menyerukan “Aku Percaya”, kita katakan “Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik”. Saya tidak tahu apakah kalian pernah merenungkan arti “Gereja itu apostolik”. Mungkin dari waktu ke waktu yang kalian pikirkan adalah pentingnya rasul Petrus dan Paulus yang memberi hidup mereka untuk membawa dan bersaksi mengenai Injil.

Namun maknanya lebih dalam. Mengaku bahwa Gereja adalah apostolik berarti menekankan ikatan konstitutif dengan para rasul, dengan kelompok kecil 12 orang yang pada suatu hari dipanggil oleh Yesus dengan namanya masing-masing, agar mereka selalu tinggal bersama dengan Dia dan agar bisa diutus-Nya untuk berangkat mengajar (Mk 3:13-19). “Rasul”, sesungguhnya, dari Bahasa Yunani yang berarti “diutus”, “dikirim”. Seorang rasul itu seorang yang diberi mandat perintah, dikirim untuk melakukan sesuatu. Dan rasul-rasul itu dipilih dipanggil dan diutus ke luar oleh Yesus untuk melanjutkan karya-Nya, yakni berdoa – ini tugas pertama rasul – lalu, baru yang kedua, mewartakan Injil. Ini penting, sebab bilamana kita berpikir mengenai rasul-rasul mungkin kita pikir bahwa mereka hanya diutus keluar untuk mewartakan Injil, dan melakukan banyak perbuatan baik. Bagaimana pun, sebuah masalah timbul pada awal Gereja karena begitu banyak yang harus dilakukan para rasul, sehingga mereka harus mengangkat diakon-diakon, agar mereka punya waktu cukup untuk berdoa dan mewartakan Firman Allah. Bilamana kita berpikir mengenai pengganti para rasul, para uskup – termasuk Paus, sebab dia adalah uskup – kita mesti bertanya pada diri sendiri apakah pengganti para rasul ini lebih dulu berdoa lalu mewartakan Injil? Inilah artinya menjadi rasul dan ini pula yang menjadikan Gereja itu apostolik. Kita masing-masing jika ingin menjadi rasul, seperti yang saya jelaskan, sekarang harus bertanya pada diri sendiri, apakah saya berdoa untuk keselamatan dunia? Apakah saya mewartakan Injil? Inilah yang disebut Gereja apostolik. Inilah yang mengaitkan kita dengan para rasul.

Mulai dari sini saya mau fokus sebentar dengan tiga makna dari kata sifat “apostolik” yang dikenakan pada Gereja.

  1. Gereja itu apostolik sebab didirikan atas ajaran dan doa-doa para rasul, atas kuasa yang dipercayakan kepada mereka oleh Kristus sendiri. Santo Paulus menulis kepada umat Kristiani di Efesus “Kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dengan orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru” (2:19-20). Lihatlah dia membandingkan umat Kristiani dengan batu-batu yang hidup yang membentuk sebuah bangunan yakni Gereja, dan bangunan ini didasarkan atas para rasul, sebagai tonggak-tonggaknya, sedangkan batu penjurunya yang menopang semuanya adalah Yesus sendiri. Tanpa Yesus, Gereja tidak ada! Yesus adalah dasar Gereja. Dasar! Para rasul hidup bersama Yesus, mereka mendengarkan Sabda-Nya, mereka ambil bagian dalam kehidupan-Nya, dan lebih dari itu, mereka menjadi saksi dari wafat dan kebangkitan-Nya. Iman kita, Gereja yang diinginkan Kristus, tidak didasarkan atas sebuah ide, tidak atas filosofi, tapi atas Kristus sendiri. Dan Gereja itu seperti tanaman yang sepanjang jaman, hidup, berkembang, menghasilkan buah, karena akarnya tertanam kuat-kuat dalam Kristus. Dan pengalaman yang mendasar dengan Kristus yang dipunyai para rasul, pengalaman dipilih dan diutus oleh Yesus, akhirnya sampai juga kepada kita. Tanaman kecil inilah yang sampai sekarang disebar oleh Gereja ke mana-mana ke seluruh dunia.
  2. Namun mari kita bertanya pada diri sendiri: bagaimana mungkin kita bisa terhubung dengan kesaksian tersebut, bagaimana pengalaman para rasul dengan Yesus, dan yang mereka dengar dari Yesus, itu bisa sampai kepada kita? Inilah arti kedua dari istilah “apostolik”. Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa Gereja itu apostolik karena “dengan bantuan Roh Kudus yang tinggal di dalamnya Gereja menyimpan dan menyampaikan ajaran, “perbendaharaan yang bagus”, kata-kata keselamatan yang telah didengarnya dari para rasul” (no.85). Selama berabad-abad, Gereja menyimpan harta yang sangat berharga itu, yaitu Kitab Suci, ajaran, sakramen-sakramen, pelayanan para pastor, yang membuat kita bisa setia kepada Kristus dan ambil bagian dalam kehidupan-Nya yang sejati. Itu bagaikan sungai yang terus mengalir dari sebuah sumber yakni Kristus sendiri, Dia yang bangkit, Dia yang hidup, dan Sabda-Nya tidak pernah berakhir, sebab Dia sendiri tidak pernah berakhir, Dia hidup, Dia ada bersama kita hari ini, Dia mendengarkan kita dan kita berkata-kata dengan Dia dan Dia mendengarkan, Dia ada di hati kita. Yesus ada bersama kita hari ini! Inilah indahnya Gereja: Yesus Kristus hadir di tengah-tengah kita. Apakah kita pernah berpikir mengenai betapa pentingnya anugerah yang diberikan Yesus kepada kita, yaitu Gereja, di mana kita dapat berjumpa dengan Dia? Pernahkah kita berpikir mengenai betapa Gereja selalu ada dan terus berjalan di sepanjang segala abad – walaupun banyaknya kesulitan, masalah, kelemahan, dan dosa-dosa kita – yang menyampaikan kepada kita berita asli mengenai Kristus? Dia memberi kita kepastian bahwa apa yang kita percaya adalah sungguh-sungguh apa yang disampaikan Kristus kepada kita.
  3. Pikiran saya yang terakhir adalah ini: Gereja itu apostolik karena diutus membawa Kristus ke seluruh dunia. Dia melanjutkan terus sepanjang sejarah, perutusannya yang dipercayakan Yesus kepapa para rasul: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat 28:19-20). Inilah yang disuruh Yesus agar kita lakukan! Saya tekankan aspek missioner ini sebab Kristus mengundang kita semua agar “pergi keluar” dan menjumpai orang lain. Dia mengutus kita dan minta agar kita bertindak menyebarkan sukacita Injil! Sekali lagi marilah kita tanya pada diri sendiri: apakah kita ini misionaris, terlihat pada kata-kata kita, dan khususnya pada hidup Kristiani kita, pada kesaksian kita? Ataukah kita umat Kristiani ini tertutup di hati saja dan di dalam gereja saja, Kristiani sakristi? Apakah kita ini hanya namanya saja Kristiani, tapi hidupnya seperti orang kafir? Kita harus bertanya pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan tersebut, bukan untuk memarahi diri sendiri. Saya juga bertanya pada diri sendiri, saya ini Kristiani macam apa, apakah saya memberi kesaksian dengan benar?

Akar Gereja ada pada ajaran para rasul, kesaksian asli mengenai Kristus. Namun Gereja memandang ke depan. Gereja punya kesadaran kuat bahwa dirinya diutus – diutus oleh Yesus – kesadaran bahwa dirinya missionaris, yang membawa nama Yesus dalam doa-doanya, dalam pewartaannya dan memberi kesaksian mengenai nama Yesus itu. Sebuah Gereja yang tertutup dalam dirinya sendiri dan di masa lampaunya, sebuah Gereja yang hanya melihat peraturan-peraturan kecil mengenai peri-laku dan sikap, adalah sebuah Gereja yang mengkhianati jati-dirinya. Gereja yang tertutup itu mengkhianati jati-dirinya! Lalu marilah kita sekarang menemukan kembali keindahan dan tanggung-jawab sebagai Gereja yang apostolik! Dan ingatlah ini: kita ini missionaris karena kita berdoa – tugas pertama kita – lalu karena kita memaklumkan Injil dengan kehidupan kita dan perkataan kita.


3. Mendengarkan Roh Kudus

 

Serahkan diri agar dibimbing Roh Kudus

Sekarang saya mau refleksi mengenai karya Roh Kudus membimbing Gereja dan kita masing-masing kepada Kebenaran. Yesus sendiri mengatakan kepada murid-murid: Roh Kudus “akan membimbing kamu kepada seluruh kebenaran” (Yoh 16:13) karena Dia adalah Roh “Kebenaran” (Yoh 14:17; 15:26; 16:13).

 Kita ini hidup di jamannya orang acuh-tak-acuh kepada kebenaran. Paus Benediktus XVI sudah berulang-kali bicara mengenai relativisme, yakni, suatu kecenderungan orang beranggapan bahwa tidak ada yang pasti. Dan orang berpikir bahwa kebenaran datang dari kesepakatan atau dari kesukaan kita masing-masing. Timbul pertanyaan: apakah yang disebut “kebenaran” itu sungguh ada? “Kebenaran” itu apa? Dapatkah kita mengetahuinya? Dapatkah kita menemukannya? Saya teringat pertanyaan Ponsius Pilatus, gubernur Romawi, ketika Yesus membuka kepadanya makna sesungguhnya dari missi-Nya: “Apa itu kebenaran?” (Yoh 18:37.38). Pilatus tidak dapat mengerti bahwa yang namanya “kebenaran” sedang berdiri di hadapannya. Dia tidak mampu melihat di dalam diri Yesus wajah kebenaran, yakni wajah Allah sendiri. Kendati Yesus sungguh kebenaran: Kebenaran yang, dalam kepenuhan waktu, “menjadi daging” (Yoh 1:1.14), dan datang untuk tinggal di tengah-tengah kita agar kita bisa mengetahui-Nya. Kebenaran itu bukan sesuatu yang bisa dipegang,  tetapi hanya bisa dijumpai. Kebenaran tidak bisa dimiliki, sebab dia adalah perjumpaan dengan seorang Pribadi.

Namun siapakah yang bisa memampukan kita untuk mengetahui bahwa Yesus adalah Sang Sabda Kebenaran, Anak Tunggal Allah Bapa? Santo Paulus mengajarkan bahwa “tak seorang pun dapat berkata “Yesus adalah Tuhan” selain oleh Roh Kudus” (1 Kor 12:3). Roh Kudus sendiri, anugerah Kristus yang bangkitlah yang memampukan kita mengenal Kebenaran. Yesus menggambarkan-Nya sebagai “sang Penghibur”, yakni “yang datang untuk menolong kita”, selalu mendampingi kita untuk menolong kita dalam perjalanan untuk mengetahui Kebenaran; dan pada Perjamuan Malam Terakhir, Yesus meyakinkan murid-murid bahwa Roh Kudus akan mengajar mereka segala hal dan mengingatkan mereka akan semua yang pernah dikatakan Yesus kepada mereka (Yoh 14:26).

Lalu bagaimana Roh Kudus bertindak dalam kehidupan kita dan dalam kehidupan Gereja dalam membimbing kita kepada kebenaran? Pertama-tama Roh Kudus mengingatkan dalam hati kaum beriman akan sabda yang pernah dikatakan Yesus dan, melalui sabda-Nya itu, akan hukum Allah yang – sebagaimana para nabi Perjanjian Lama pernah meramalkannya – ditulis dalam hati kita, dan menjadi ukuran untuk menilai dalam memutuskan dan untuk membimbing kita dalam tindakan sehari-hari; ukuran yang menjadi prinsip yang harus dihayati. Ini berkenaan dengan ramalan besar nabi Yehezki-el: “Kamu harus bersih dari segala kenajisanmu dan Aku akan mentahirkan kamu dari semua berhala-berhalamu. Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu. Dan Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya” (36:25-27). Memang dari kedalaman hatilah akan terwujud perbuatan: hati sendirilah yang harus berpaling kepada Tuhan dan harus diubah oleh Roh Kudus asalkan kita membuka diri kepada-Nya.

Kemudian sebagaimana dijanjikan Yesus, Roh Kudus akan membimbing kita “masuk kedalam semua kebenaran” (Yoh 16:13). Dia tidak hanya akan membimbing kita berjumpa dengan Yesus, sang kepenuhan kebenaran, tapi juga masuk “ke dalam kebenaran”, yakni, membuat kita masuk ke dalam perjumpaan yang mendalam dengan Yesus dan membuat kita mengenal semua hal mengenai Allah. Kita tidak dapat melakukannya dengan usaha kita sendiri. Kalau Tuhan tidak menerangi kita dari “dalam”, kehidupan Kristiani kita hanya lahiriah saja. Tradisi Gereja menegaskan bahwa Roh kebenaran berkarya dalam hati kita, menumbuhkan rasa-iman (sensus fidei), yang karenanya, menurut Konsili Vatikan ke-2, umat Allah, dengan bimbingan kuasa-mengajar Gereja, berpegang teguh terus pada iman yang telah diperolehnya, mendalaminya semakin dalam dengan pertimbangan yang benar dan melaksanakannya makin penuh dalam perbuatan (Lumen Gentium, 12). Mari coba menanyai diri sendiri: apakah saya terbuka kepada karya Roh Kudus? Apakah saya mohon kepada-Nya agar menerangi hati, agar saya semakin peka terhadap hal-hal ilahi? Inilah permohonan yang harus kita doakan tiap hari: “Roh Kudus, buatlah hatiku terbuka kepada Sabda Tuhan, buatlah hatiku terbuka kepada kebaikan, kepada keindahan Allah setiap hari”. Saya mau bertanya kepada kalian masing-masing: berapa dari kalian yang berdoa tiap hari kepada Roh Kudus? Tidak banyak. Tapi kita harus memenuhi keinginan Yesus dan berdoa tiap hari kepada Roh Kudus agar membuka hati kita kepada Yesus.

Mari kita pikir mengenai Maria yang “menyimpan semua hal dan merenungkannya dalam hatinya” (Luk 2:19.51). Dalam hal menerima sabda dan kebenaran iman agar menjadi kehidupanku terlaksana dan tumbuh berkat karya Roh Kudus, kita harus belajar dari Maria, kita mesti menghayati jawabannya “Ya”, kesediaannya tanpa syarat untuk menerima Putera Allah dalam kehidupannya yang sejak saat itu telah berubah. Melalui Roh Kudus, Bapa dan Putera berkenan bertempat-tinggal bersama kita: kita hidup dalam Tuhan dan hidup dari Tuhan. Tapi apakah kehidupan kita mendapat inspirasi dari Tuhan? Berapa sering saya menaruh kehidupan saya di hadapan Tuhan?

Saudara-saudari terkasih. Kita perlu membiarkan diri  mandi dalam cahaya Roh Kudus agar kita dituntun-Nya kepada Kebenaran Allah, yang adalah satu-satunya Tuan pemilik kehidupan kita. Dalam Tahun Iman ini marilah bertanya pada diri sendiri: apakah kita sungguh sudah mengambil langkah untuk semakin mengenal Kristus dan kebenaran-iman dengan lebih baik, dengan rajin membaca Kitab Suci dan merenungkannya, dengan mempelajari Katekismus dan menerima sakramen secara tetap? Bagaimana pun juga mari kita juga bertanya pada diri sendiri: langkah apa yang kita ambil agar iman sungguh-sungguh menguasai seluruh hidup kita? Kita ini bukan orang “kadang-kadang saja Kristiani” (part time), hanya pada waktu-waktu dan situasi tertentu saja, atau pada waktu mengambil keputusan tertentu saja. Tidak bisa kita menjadi orang Kristiani semacam itu. Kita adalah “orang Kristiani sepanjang waktu”. Sepenuhnya! Semoga kebenaran Kristus, yang diajarkan Roh Kudus kepada kita dan yang diberikan-Nya kepada kita, selalu dan sepenuhnya memengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Mari kita memohon-Nya lebih sering sehingga Dia dapat membimbing kita di jalan murid Kristus. Mari kita memohon-Nya setiap hari. Saya menganjurkan ini kepada kalian: mari kita mohon Roh Kudus setiap hari, dengan cara ini Roh Kudus akan membawa kita makin dekat dengan Yesus Kristus.

 

Kebaruan, Kerukunan, Perutusan

 

Pada hari raya Pentakosta kita merenungkan dan menghidupkan kembali dalam liturgi, kejadian pencurahan Roh Kudus yang diutus Kristus yang bangkit ke dalam Gereja-Nya; sebuah kejadian rahmat yang memenuhi Ruang Atas di Yerusalem dan kemudian disebarkan ke seluruh dunia.

 Namun yang terjadi pada hari itu, yang begitu jauh jaraknya dari kita itu, apakah bisabegitu dekat dan menyentuh hati kita yang terdalam? Lukas memberi kita jawaban dalam Kisah Para Rasul (2:1-11). Penginjil ini membawa kita kembali ke Yerusalem, ke Ruang Atas di mana para rasul berkumpul. Unsur pertama yang menarik perhatian kita adalah bunyi yang tiba-tiba datang dari langit “seperti tiupan angin keras” dan kemudian “lidah-lidah api” bertebaran dan tinggal di atas kepala para rasul. Bunyi dan lidah-api: tanda yang jelas dan konkrit yang menyentuh para rasul bukan hanya luarnya tapi juga dalamnya: di dalam pikiran dan hatinya. Akibatnya, “mereka semua dipenuhi Roh Kudus”, yang memberikan kuasa-Nya yang kuat dengan akibat-akibat yang mengagumkan: mereka semua “mulai bicara dalam bahasa-bahasa yang berbeda-beda, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya”. Adegan yang sama sekali tak terduga terbuka di depan mata kita: orang banyak berkumpul, keheran-heranan sebab mereka masing-masing mendengar para rasul bicara dengan bahasa mereka sendiri. Mereka mengalami sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. “Kita masing-masing mendengar mereka, bicara dengan bahasa kita sendiri”. Dan apakah yang dibicarakan para rasul? “Perbuatan-perbuatan besar Allah”.

Diterangi oleh Kisah Para Rasul, saya mau merefleksikan tiga kata yang terkait dengan karya Roh Kudus: kebaruan, kerukunan, perutusan.

  1. Kebaruan selalu membuat kita sedikit takut, sebab kita sudah merasa aman jika semua dalam kendali kita, jika kitalah yang merencanakan dan melaksanakan kehidupan kita sesuai dengan ide-ide kita, kenyamanan kita, dan pilihan-pilihan kita sendiri. Ini pula masalahnya kalau mengenai Tuhan. Seringkali kita mengikuti Dia, menerima Dia, tapi hanya sampai titik tertentu saja. Sukar sekali menyerahkan diri kepada-Nya dengan kepercayaan penuh, membiarkan Roh Kudus menjadi jiwa dan pembimbing kehidupan kita dalam setiap keputusan kita. Kita takut jangan-jangan Tuhan memaksa kita keluar ke jalan hidup baru dan meninggalkan semua cakerawala yang terlalu sempit, yang tertutup pada diri sendiri dan egoistis, yang mengajak kita agar terbuka hanya kepada cakerawala Tuhan saja. Namun sepanjang sejarah keselamatan, kapan pun Tuhan menyatakan Diri-Nya, Dia selalu membawa kebaruan – Tuhan selalu membawa kebaruan – dan menuntut kepercayaan kita sepenuhnya: nabi Nuh, walaupun diejek oleh orang-orang, terus mendirikan sebuah bahtera dan diselamatkan. Abram meninggalkan negerinya hanya berpegangan pada janji Tuhan saja. Nabi Musa berdiri tegak menghadapi Firaun dan menuntun umatnya menuju kemerdekaan. Para rasul, berkumpul dengan rasa takut di ruang atas, lalu keluar dengan berani untuk memaklumkan Injil. Ini bukan masalah “yang penting asal baru”, hanya untuk membuang kebosanan, seperti seringkali kita lakukan. Kebaruan yang dibawa Tuhan  ke dalam kehidupan kita adalah sesungguhnya sesuatu yang memenuhi harapan kita, yang memberi sukacita sejati dan kecerahan sejati, sebab Tuhan mengasihi kita dan hanya menginginkan kebaikan kita saja! Mari kita bertanya pada diri kita hari ini: apakah kita terbuka siap menerima kejutan Tuhan? Ataukah kita menutup diri dan takut menerima kebaruan dari Roh Kudus? Apakah kita punya keberanian untuk unjuk rasa di jalan-jalan baru yang ditentukan oleh kebaruan Tuhan bagi kita, atau kita menolaknya, menghalang-halanginya dengan struktur-struktur tidak-tetap yang sudah tidak punya kemampuan lagi untuk terbuka terhadap sesuatu yang baru? Sebaiknya kita selalu bertanya ini kepada diri kita.
  2. Pikiran kedua. Roh Kudus akan datang untuk membuat Gereja jungkir-balik, karena Dia akan membawa karisma-karisma dan anugerah-anugerah yang bermacam-macam. Namun semua itu, berkat karya-Nya, menjadi sumber kekayaan yang besar, sebab Roh Kudus adalah Roh kesatuan, yang tidak punya maksud menyeragamkan, melainkan membawa semuanya kepada keselarasan. Di dalam Gereja, Roh Kuduslah yang menciptakan keselarasan. Salah seorang Bapa Gereja mengatakan sesuatu yang saya sukai: Roh Kudus sendirilah keselarasan itu – ipse harmonia est. Ya memang Dia adalah keselarasan. Hanya Roh Kuduslah yang mampu menciptakan perbedaan macam-macam, pluralitas dan berganda-ganda, dan sekaligus pada saat yang sama membangun kesatuan. Padahal di situ, bilamana kita coba-coba menciptakan perbedaan macam-macam, kita malah menutup diri selalu berbeda dan selalu menjadi lain. Dan kalau kita mau membangun persatuan sesuai dengan rencana manusiawi kita, kita malah jatuh ke dalam penyeragaman dan standardisasi. Namun sebaliknya jikalau kita membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus, maka kekayaan, variasi dan perbedaan macam-macam tidak pernah menjadi sumber perselisihan, sebab Roh Kudus mendorong kita agar bisa menerima variasi dalam persatuan Gereja. Perjalanan hidup-bersama dalam Gereja di bawah bimbingan pastor-pastornya yang memiliki karisma dan pelayanan khusus, merupakan tanda karya Roh Kudus. Memiliki cita-rasa hidup menggereja adalah dasar setiap orang Kristiani, setiap komunitas dan setiap pergerakan. Gerejalah yang membawa Kristus kepada saya, dan membawa saya kepada Kristus. Kalau berjalan menyainginya itu sangat berbahaya! Kalau kita melangkah keluar (proagon) dari ajaran dan komunitas Gereja – kata rasul Yohanes dalam suratnya yang kedua – dan tidak menetap di dalamnya, kita tidak bersatu dengan Tuhan Yesus Kristus (2 Yoh 9). Maka marilah bertanya pada diri sendiri: apakah saya terbuka kepada keselarasan Roh Kudus, dengan mengalahkan setiap bentuk eksklusivitas ketertutupan? Apakah saya membiarkan diri dibimbing oleh-Nya, untuk hidup dalam dan bersama Gereja?
  3. Hal terakhir. Para teolog tua  bisa mengatakan bahwa jiwa adalah semacam kapal, sedangkan Roh Kudus adalah anginnya yang mendorongnya ke depan. Dan tiupan-tiupan angin itulah anugerah-anugerah Roh. Kalau kita kehilangan dorongan dan rahmat-Nya, kita tidak dapat maju. Roh Kudus memasukkan kita ke dalam misteri Allah yang hidup dan menyelamatkan kita dari ancaman menjadi Gereja Gnostik yang selalu membenarkan diri, tertutup dalam diri sendiri. Roh Kudus mendorong kita agar membuka pintu-pintu rumah dan pergi keluar untuk mewartakan dan memberi kesaksian mengenai Kabar Baik Injil, menyampaikan sukacita iman, yaitu perjumpaan dengan Kristus. Roh Kudus adalah jiwanya missi perutusan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Yerusalem hampir 2000 tahun silam bukanlah sesuatu yang jauh sekali dari kita. Peristiwa-peristiwa itu menggerakkan hati kita dan menjadi pengalaman yang hidup dalam diri kita masing-masing. Pantekosta di Ruang Atas di Yerusalem adalah awal, tapi awal yang berlangsung terus. Roh Kudus adalah anugerah terbesar dari Kristus yang bangkit bagi rasul-rasul-Nya. Namun Dia ingin bahwa anugerah itu disampaikan kepada semua orang. Dalam Injil Yohanes, Yesus berkata “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya” (14:16). Roh Penghiburlah yang menganugerahkan kepada kita keberanian untuk pergi ke jalan-jalan dunia membawa Injil! Roh Kudus membuat kita berpandangan luas ke cakerawala dan mengerakkan kita sampai ke ujung-ujung bumi agar mewartakan “hidup dalam Yesus Kristus”. Mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita cenderung menutup diri dalam kelompok kita, ataukah kita membiarkan Roh Kudus membuka diri kita untuk pergi diutus? Mari kita ingin tiga hal ini: kebaruan, keselarasan dan perutusan.

4. Pemakluman dan Kesaksian

 

Jangan Takut

Saya mau merefleksi singkat Kisah Para Rasul (5:12-42) yang dibaca dalam Liturgi Minggu Paska ke-3. Teks ini mengatakan bahwa ajaran pertama para rasul telah memenuhi kota Yerusalem dengan berita bahwa Yesus sungguh telah bangkit sesuai dengan Kitab Suci dan bahwa Yesus adalah Mesias yang diramalkan para nabi. Imam-imam agung dan para tua-tua kota itu terus menindas komunitas baru yang percaya kepada Kristus dan menyuruh agar para rasul dijebloskan dalam penjara untuk menghentikan mereka mengajar dalam nama Yesus.  Namun Petrus dan Sebelas rasul lainnya menjawab “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. Allah nenek moyang kita telah membangkitkan … dan telah meninggikan Yesus dengan tangan kanan-Nya menjadi Pemimpin dan Juruselamat … Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua orang yang mentaati Dia" (5:29-32). Oleh karena itu imam-imam agung dan para tua-tua menyuruh agar para rasul disiksa dan sekali lagi dilarang mengajar dalam nama Yesus. Namun seperti kata Kitab Suci, mereka pergi dengan sukacita karena mereka boleh terbilang pantas mengalami penghinaan demi nama Yesus (ay.41).

Saya berpikir: dari manakah murid-murid pertama itu memperoleh kekuatan untuk bersaksi? Dan lagi: dari manakah sumber sukacita dan keberanian mereka untuk mengajar, kendati ada halangan dan kekerasan? Jangan lupa bahwa para rasul adalah rakyat jelata. Mereka bukan orang terpelajar, bukan doktor hukum, bukan dari kalangan para imam. Dengan keterbatasan mereka dan menghadapi penguasa yang melawan mereka, bagaimana cara mereka memenuhi Yerusalem dengan ajaran mereka (Kis 5:28)? Jelaslah bahwa hanya kehadiran Kristus yang bangkit di tengah mereka dan karya Roh Kudus saja yang bisa menerangkan fakta tersebut. Tuhan yang bersama mereka dan Roh Kudus yang mendorong mereka untuk mengajar itulah yang menerangkan fakta luar-bisa tersebut. Iman mereka didasarkan atas pengalaman pribadi yang kuat mengenai Kristus yang mati lalu bangkit lagi, sehingga mereka tidak takut pada apa-apa dan pada siapa-siapa. Bahkan mereka menganggap penganiayaan itu sebagai kehormatan karena membuat mereka mampu mengikuti jejak Kristus dan hidup menyerupai Dia, lalu memberi kesaksian dengan kehidupan mereka sehari-hari.

 

Membawa Sabda Allah

Kekuatan Petrus dan rasul-rasul lainnya mencengangkan kita semua. Sebagai jawaban terhadap perintah agar tutup mulut tidak lagi mengajar dalam nama Yesus, tidak lagi memaklumkan pewartaan Yesus, mereka menjawab jelas sekali “Kami harus taat kepada Allah, dari pada kepada manusia”. Dan mereka sama sekali tidak gentar bahkan ketika dicambuk, disiksa dan dipenjara, Petrus dan para rasul memaklumkan dengan berani, tanpa takut, segala yang mereka terima, yakni Injil Yesus. Sedangkan kita bagaimana? Apa kita mampu membawa sabda Allah kepada sekitar kita di mana kita tinggal? Apa kita tahu caranya berbicara mengenai Kristus, mengenai rencana-Nya bagi kita, bicara kepada keluarga kita, ke kalangan orang-orang terdekat kita? Iman lahir dari “mendengar” dan iman diperkuat oleh pewartaan.

Tapi mari maju selangkah lagi: warta yang disampaikan Petrus dan para rasul tidak hanya terdiri dari kata-kata saja: kesetiaan kepada Kristus mempengaruhi seluruh kehidupan mereka, mengubahnya, memberinya arah baru. Dan melalui kehidupan mereka ini mereka memberi kesaksian mengenai iman dan mewartakan Yesus Kristus. Dalam Injil Yohanes, Yesus tiga kali minta Petrus untuk memelihara domba-domba-Nya, memberi mereka makan dengan kasih-Nya, dan bersaksi mengenai Dia. “Bilamana engkau menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki" (Yoh 21:18). Firman ini disampaikan pertama-tama dan terutama kepada kita para pastor: Kita bisa memberi makan domba-domba Tuhan jikalau kita membiarkan diri dibawa oleh kehendak Allah ke tempat yang tidak kita inginkan, jika kita siap untuk memberi kesaksian mengenai Kristus dengan kurban diri kita, tanpa syarat, tidak pakai hitung-hitungan, bahkan kalau perlu bertaruh nyawa. Namun ini berlaku juga untuk semua saja: kita semua harus mewartakan dan memberi kesaksian mengenai Injil. Kita semua harus bertanya pada diri sendiri: bagaimana saya memberi kesaksian mengenai Kristus melalui iman saya? Apakah saya punya keberanian seperti Petrus dan rasul-rasul yang lain, berani memikirkan, memilih dan menghayati hidup sebagai orang Kristiani, yang taat kepada Allah? Tentu saja kesaksian iman mempunyai banyak bentuk, seperti yang ada pada sebuah lukisan dinding, dengan banyak variasi warna dan bayangan, namun masing-masing penting, bahkan juga yang tidak menonjol, penting. Dalam rencana Allah yang besar, setiap bagian terkecil pun menjadi penting. Juga kesaksian kalian, bahkan kesaksian saya yang kecil, bahkan kesaksian tersembunyi dari mereka yang hidup secara sangat sederhana dalam hubungan keluarga sehari-hari, hubungan kerja, dan persahabatan. Ada santo-santo sehari-hari, ada santo-santa yang tersembunyi, semacam orang “setengah suci”, seperti kata penulis Perancis. Kita bisa terbilang di dalam yang “setengah suci” itu. Namun di bagian-bagian lain dari dunia ini ada juga orang-orang yang menderita, seperti Petrus dan para rasul, menurut kisah Injil, orang-orang yang mempertaruhkan nyawanya agar bertahan tetap setia kepada Kristus dengan kesaksian yang ditandai dengan penumpahan darah. Mari kita ingat ini: orang tidak mungkin bisa memaklumkan Injil Yesus kalau tanpa kesaksian hidup yang nyata. Mereka yang mendengarkan ajaran kita dan memperhatikan kita, harus dapat melihat dalam tingkah-laku kita apa yang mereka dengar dari bibir kita, agar dengan demikian mereka meluhurkan Allah! Sekarang saya memikirkan nasihat santo Fransiskus dari Asisi kepada saudara-saudaranya: ajarkanlah Injil dan, jika perlu saja, pakailah kata-kata. Mengajarlah dengan memakai kehidupanmu, dengan kesaksianmu. Ketidak-sesuaiannya para pastor dan umat beriman, antara ucapan dan perbuatan mereka, antara kata-kata dan peri-kehidupan, memerosotkan kepercayaan orang kepada Gereja.

Namun kesaksian hidup hanya mungkin jika kita mengenal Yesus, sebab Dialah yang memanggil kita, Dialah yang  mengundang kita agar ikut menjalani jalan-Nya, Dialah yang memilih kita. Pewartaan dan kesaksian hanya mungkin jikalau kita dekat pada-Nya, ya seperti Petrus, Yohanes dan murid-murid lainnya dalam Injil Yohanes, mereka berkumpul di sekitar Yesus yang bangkit. Setiap hari ada kedekatan dengan Dia: mereka sangat tahu siapa Yesus, mereka mengenal Dia. Penulis Injil Yohanes menekankan fakta bahwa “tak seorang pun bertanya kepada-Nya “siapa Engkau?” – karena mereka tahu itu adalah Tuhan” (21:12). Dan ini penting untuk kita, menghayati hubungan yang erat dengan Yesus, sebuah kemesraan dialog, dan hidup sedemikian rupa sampai mengenal Yesus sebagai “Tuhan”. Sampai menyembah Dia! Kitab Wahyu mengatakan kepada kita mengenai ibadah penyembahan: “banyak malaikat, semua makhluk hidup, tersungkur dan menyembah di hadapan takhta Allah dan Anak Domba yang disembelih itu yakni Kristus, yang layak untuk menerima puji-pujian, hormat dan kemuliaan” (lih 5:11-14). Saya ingin kalian semua bertanya pada diri sendiri: kalian, saya, kita semua apakah menyembah Tuhan? Apakah kita datang kepada Tuhan hanya kalau memohon sesuatu, atau berterima kasih, ataukah kita juga sering datang kepada-Nya untuk menyembah Dia? Kalau demikian, apa artinya menyembah Tuhan? Artinya, kita sering belajar selalu dekat pada Dia. Artinya, kita mencoba tidak lagi omong-omong dengan Dia, tapi merasakan kehadiran-Nya ternyata sungguh-sungguh benar, paling baik, dan paling penting. Kita semua, dalam kehidupan kita, entah sadar atau kurang sadar, mempunyai daftar yang jelas mana-mana yang lebih penting. Menyembah Tuhan berarti memberikan kepada-Nya apa yang menjadi hak-Nya: menyembah Tuhan berarti menegaskan, mempercayai – bukan hanya dengan kata-kata – bahwa hanya Dialah satu-satu pembimbing kehidupan kita yang sejati. Menyembah Tuhan berarti kita yakin di hadapan-Nya bahwa Dialah satu-satunya Allah, Tuhan kehidupan kita, Tuhan atas sejarah hidup kita.

Konsekuensinya dalam kehidupan kita adalah begini: kita harus mengosongkan diri dari berhala-berhala besar-kecil yang kita sembah dan kita mintai perlindungan dan pertolongan, berhala tempat kita mencari dasar keamanan kita. Berhala-berhala tersebut seringkali diam-diam kita sembunyikan, misalnya: ambisi, suka mengejar karir, cenderung menguasai orang lain, merasa diri sebagai pemilik dan tuan atas kehidupan kita sendiri, atau dosa-dosa yang melekat erat pada kita, dan lain-lain. Saya mau mengajukan satu pertanyaan, yang harus terus berbunyi di hati kalian masing-masing, dan saya ingin kalian menjawabnya dengan jujur: pernahkah saya memikirkan manakah berhala yang hanya kita sendiri yang tahu, manakah berhala yang menghambat saya untuk menyembah Allah? Menyembah Tuhan berarti mencabut diri kita dari ikatan pada berhala bahkan berhala yang paling tersembunyi, lalu memilih Tuhan sebagai pusat dan jalan-raya kehidupan kita.

 

Terpanggil Untuk Memaklumkan Kabar Baik

Saya ingin merefleksi bersama kalian tiga aspek panggilan kita: kita dipanggil Tuhan, dipanggil untuk memaklumkan Kabar Baik, dan untuk memajukan budaya perjumpaan.

  1. Kita dipanggil Tuhan. Saya percaya bahwa pentinglah kita secara tetap menumbuhkan kesadaran mengenai panggilan ilahi kita, yang seringkali dengan cuma-cuma kita terima di tengah banyak tanggung-jawab kita sehari-hari: seperti disabdakan Yesus “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15:16). Ini berarti, kita kembali ke sumber asal-usul panggilan kita. Karena alasan inilah, para uskup, para imam, para pelayan yang tertahbis, para seminaris, tidak bisa lupa-lupa terus: karena, itu berarti kehilangan hubungan vital kita dengan awal dari perjalanan hidup kita. Mintalah rahmat, mintalah ibu Maria agar memohonkan rahmat Tuhan bagi kita. Ibu Maria akan selalu ingat hal ini. Mintalah rahmat agar menjaga ingatan kita pada panggilan pertama. Kita dipanggil oleh Tuhan yakni dipanggil untuk selalu tinggal bersama Yesus (Mk 3:14), untuk bersatu dengan Dia. Pada kenyataannya, hidup dan tinggal bersama Kristus ini sudah menandai diri kita, dan menandai setiap perbuatan kita. Persis “hidup dalam Kristus” inilah yang akan meyakinkan kita bahwa tugas kerasulan kita berhasil, dan pelayanan kita menghasilkan buah. “Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16). Bukanlah kreativitas pastoral, bukan pertemuan-pertemuan, atau perencanaan, yang memastikan akan berbuah, walaupun itu semua sangat membantu. Tetapi yang memastikan akan berbuah adalah kesetiaan kepada Yesus, yang selalu mengatakan “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu” (Yoh 15:4). Dan kita sangat tahu artinya: kontemplasi mengenai Dia, menyembah Dia, memeluk Dia, dalam perjumpaan dengan Dia setiap hari dalam Ekaristi, dalam hidup doa kita, pada saat-saat adorasi, artinya mengenal Dia hadir, dan memeluk-Nya di dalam mereka yang kekurangan. “Hidup bersama Kristus” bukan berarti mengurung diri jauh dari orang lain, melainkan berarti bersama Kristus pergi keluar dan menjumpai orang lain. Di sini saya ingin mengingat beberapa kata Beata Ibu Teresa dari Kalkuta. Dia berkata: “Kita harus bangga akan panggilan kita sebab memberi kita kesempatan untuk melayani Kristus di antara kaum miskin. Di favelas (daerah kumuh) … di villas miseria (gubug-gubug reyot), di sanalah tempat kita harus pergi mencari dan melayani Kristus. Kita harus pergi kepada mereka sebagai imam yang menghadirkan diri di altar, dengan sukacita” (Ajaran-ajaran Ibu, I, hal.80). Yesus adalah Gembala yang Baik, dia sungguh-sungguh harta kita yang sejati. Janganlah menghapus Yesus dari kehidupan kita! Tanamkan kehidupan kita dalam-dalam pada-Nya (Lk 12:34).
  2. Kita dipanggil untuk memaklumkan Kabar Baik. Para uskup dan para imam terkasih, banyak dari antara kalian, kalau bukan semuanya, telah menemani kaum muda kalian pada Hari Kaum Muda Sedunia. Mereka sungguh telah mendengar perintah Yesus “Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat 28:19). Tanggung-jawab kitalah sebagai gembala untuk membantu menyalakan dalam hati mereka keinginan untuk menjadi murid Yesus yang missioner. Tentu ajakan ini dapat menyebabkan banyak jadi agak takut karena mengira menjadi missioner itu menuntut kita meninggalkan rumah dan negara, keluarga dan teman. Memang Tuhan meminta agar kita bersifat missioner. Namun di mana – di tempat Tuhan menyuruh kita ke sana, di negeri sendiri atau di mana saja yang ditentukan-Nya, mari kita bantu kaum muda kita. Mari kita pasang telinga untuk mendengarkan mimpi-mimpi mereka. Mereka butuh didengar – didengarkan suksesnya, kesukarannya. Kalian harus duduk dan ikut mendengar syair nyanyian mereka, yang dinyanyikan dengan musik yang berbeda-beda, dengan kekhasannya sendiri-sendiri. Bersabarlah mendengarkan mereka! Saya minta ini dengan sepenuh hati saya. Di kamar pengakuan, pada waktu memberi pengarahan rohani, pada waktu menemani mereka. Mari kita coba selalu menyisihkan waktu bersama mereka. Menanam benih, memang banyak tuntutannya dan melelahkan. Sangat melelahkan! Tapi akan jauh lebih bermanfaat menikmati panen yang berlimpah! Bagus. Memetik buah yang sudah matang lebih menyenangkan bagi kita! Namun Yesus minta agar kita memetiknya dengan hati-hati dan penuh tanggung-jawab.

Mari kita tidak segan-segan berusaha membina kaum muda kita! Santo Paulus memakai ungkapan yang dihayatinya dalam hidupnya, bilamana dia berbicara kepada komunitas Kristiani: “Hai anak-anakku, karena kamu, aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu” (Gal 4:19). Mari kita hayati pula hal ini dalam pelayanan kita! Membantu kaum muda untuk selalu mendapat keberanian dan sukacita iman karena disayangi secara pribadi oleh Tuhan, itu sangat sukar. Namun bilamana kaum muda bisa mengertinya, bilamana kaum muda melalui pengurapan Roh Kudus mengalami sendiri “disayangi secara pribadi oleh Tuhan”, itu akan terus menemani mereka pada sisa waktu hidupnya. Mereka akan selalu menemukan kembali sukacita karena Allah telah menyerahkan Putera-Nya sendiri demi keselamatan kita. Mari membina mereka untuk perutusan, untuk pergi keluar, untuk menjadi orang jalanan yang menyampaikan iman. Yesus melakukannya terhadap murid-murid-Nya: Dia tidak mendekap mereka dalam kepak-kepak sayap-Nya seperti induk ayam terhadap anak-anaknya. Dia mengirim mereka keluar! Kita tidak dapat mengurung diri di paroki, dalam komunitas-komunitas kita, dalam lembaga paroki atau keuskupan kita, sementara begitu banyak orang menanti-nanti datangnya Injil. Pergilah begitu kalian disuruh pergi. Tidaklah cukup hanya membuka pintu untuk menyambut kedatangan tamu, tapi kita harus pergi keluar melalui pintu itu untuk mencari dan menjumpai orang-orang. Mari kita dorong muda-mudi kita agar pergi keluar. Tentu saja, mereka akan melakukan kesalahan, tapi jangan khawatir. Para rasul sudah lebih dulu melakukan kesalahan sebelum kita. Mari kita dorong mereka untuk pergi keluar. Mari tegaskan kebutuhan pastoral pertama-tama adalah memikirkan yang tapal-batas lebih dulu, yang paling jauh lebih dulu, yaitu mereka yang jarang ke gereja. Merekalah VIP (orang paling penting) yang harus diundang. Pergi dan carilah mereka diperempatan-perempatan jalan.

  1. Dipanggil Yesus untuk mewartakan Injil. Yang ketiga, adalah dipanggil untuk memajukan budaya perjumpaan. Di banyak tempat, dalam arti umum, karena sifat ekonomis kemanusiaan telah merambah ke seluruh dunia, budaya menutup diri dan budaya menolak orang lain, pun tersebar ke mana-mana. Sudah tidak ada lagi tempat untuk orang tua-tua atau anak yang tidak dikehendaki kelahirannya. Tidak ada waktu untuk memikirkan orang miskin di jalanan.  Seringkali, nampaknya untuk beberapa orang, hubungan pribadi diatur oleh dua “dogma” modern, yaitu efisiensi dan pragmatisme. Para uskup, para imam, rohaniwan-rohaniwati, dan kalian seminaris yang mempersiapkan diri untuk pelayanan: Beranilah pergi keluar menentang gelombang budaya itu. Beranilah! Ingat ini: yang sangat sering menolong saya dan yang sering saya refleksikan, bacalah kitab Makabe yang pertama, dan ingatlah, betapa banyaknya orang yang ikut-ikutan dengan budaya jaman: “Tidak …! Jangan ganggu kami! Mari kita habiskan semua, seperti orang lain juga menghabiskan semua. Baik. Saya setuju Hukum, tapi tidak semua ayatnya…” Lalu akhirnya mereka meninggalkan iman dan menempatkan diri mereka dalam arus budaya. Ayo beranilah, lawanlah arus budaya efisiensi, budaya membuang-buang menyia-nyiakan. Perjumpaan dan mau menerima orang lain, solidaritas setia-kawan – adalah kata yang disembunyikan oleh budaya jaman ini, seakan-akan menyebutnya saja sudah jijik – padahal solidaritas setia-kawan dan persaudaraan inilah yang membuat masyarakat kita menjadi manusiawi.

Jadilah pelayan persatuan dan pelayan budaya perjumpaan! Saya ingin kalian terobsesi olehnya. Hendaknya kalian seperti itu, tanpa curiga, tanpa memaksakan “kebenaran kita”, namun dengan rendah-hati dibimbing oleh kepastian penuh sukacita orang-orang yang telah ditemui-dijamah-diubah oleh Kebenaran yaitu Kristus yang selalu harus dimaklumkan (Luk 24:13-35).

 

Menyampaikan Pengharapan dan Sukacita

Saya ingin bicara mengenai tiga sikap yang sederhana ini: penuh pengharapan, siap dikejutkan oleh Tuhan, dan selalu hidup dalam sukacita.

  1. Penuh pengharapan. Bacaan kedua dari Misa menghidangkan adegan dramatis mengenai seorang perempuan – gambaran mengenai Maria dan bunda Gereja – dikejar-kejar oleh seekor naga – iblis – yang mau menelan anaknya. Namun ini bukan adegan kematian melainkan kehidupan, sebab Allah campur-tangan dan menyelamatkan anak itu (Wahyu 12-13.15-16). Betapa banyak kesukaran hidup yang menimpa setiap orang, baik di masyarakat  maupun di komunitas kita. Namun sebesar apa pun kesukaran itu, Tuhan tidak pernah membiarkan kita dikalahkan oleh mereka. Menghadapi saat-saat keputus-asaan, kita mengalami bahwa dalam kehidupan kita, dalam upaya kita mewartakan Kabar Sukacita atau dalam penghayatan iman kita sebagai orangtua dalam keluarga, saya mau mengatakan dengan lantang: Tuhan selalu ada di samping kalian, Dia tidak pernah meninggalkan kalian! Mari. Jangan kehilangan pengharapan! Jangan mengizinkan pengharapan itu padam di hati kita. “Naga”, iblis juga ada di jaman ini, namun dia tidak bakal menang. Pemenangnya selalu Tuhan. Tuhan adalah pengharapan kita! Memang benar, sekarang ini, beberapa orang termasuk kaum muda kita merasa tertarik oleh banyak berhala, yakni: uang, sukses, kekuasaan, kenikmatan, yang mengambil-oper kedudukan Tuhan dan nampaknya menawarkan pengharapan. Seringkali rasa kekosongan dan kesepian yang makin sepi menyelinap di hati banyak orang dan menuntun mereka mengikuti jalan pemuasan diri dalam berhala-berhala yang fana. Saudara-saudari terkasih. Jadilah terang pengharapan! Mari. Pertahankan cara pandang yang positif mengenai kenyataan hidup. Mari meningkatkan kemurahan hati yang menjadi ciri khas kaum muda dan mari menolong mereka bekerja aktif dalam membangun dunia yang lebih baik. Kaum muda itu mesin yang sangat kuat bagi Gereja dan bagi masyarakat. Mereka tidak hanya membutuhkan bantuan materiil saja, tapi juga lebih-lebih membutuhkan bantuan moril untuk menjunjung tinggi nilai-nilai non-materiil yang menjadi jantung rohani dan kenangan masyarakat. Di tempat peziarahan ini, yang menjadi bagian kenangan Brasilia, kita dapat menuliskan nilai-nilai tersebut: kerohanian, kemurahan hati, solidaritas setia-kawan, ketekunan, persaudaraan, sukacita. Nilai-nilai tersebut berakar-dalam, di dalam iman Kristiani.
  2. Sikap kedua: siap dikejutkan oleh Tuhan. Setiap orang yang menjadi manusia pengharapan – pengharapan terbesar yang diberikan iman kepada kita – semua tahu bahwa bahkan di tengah-tengah kesukaran, Tuhan bertindak dan memberi kejutan kepada kita. Sejarah tempat peziarahan ini adalah contoh yang baik: ada tiga orang nelayan, setelah seharian menjala ikan tanpa hasil, menemukan sesuatu yang tak terduga di sungai Parnaiba: mereka melihat gambaran wajah Bunda Maria Tak Bercela. Siapa mengira bahwa tempat pencarian ikan yang gagal ini akan menjadi tempat di mana orang-orang Brasilia dapat merasakan bahwa mereka adalah juga putera-puteri Bunda yang sama? Tuhan selalu membuat kejutan bagi kita, seperti anggur baru dalam Kitab Suci itu. Tuhan selalu menyisihkan bagi kita yang terbaik. Namun Dia meminta kita membiarkan diri dikejutkan oleh kasih-Nya, agar mampu menerima kejutan-kejutan-Nya. Mari. Percayalah kepada Tuhan! Petiklah dari pada-Nya anggur sukacita, anggur pengharapan. Jika kita datang mendekat kepada-Nya, jika kita tinggal bersama Dia, maka apa yang nampaknya cuma air dingin, kesukaran, dosa, akan diubah-Nya menjadi anggur baru yaitu persahabatan dengan Dia.
  3. Sikap ketiga: hidup dalam sukacita. Teman-teman yang terkasih. Jika kita berjalan dalam pengharapan, dan menyediakan diri untuk dikejutkan oleh anggur baru yang ditawarkan Yesus kepada kita, maka ada sukacita dalam hati kita dan kita tidak akan gagal memberi kesaksian mengenai sukacita ini. Umat Kristiani itu selalu sukacita, tidak pernah murung. Tuhan ada di pihak kita. Kita juga punya Ibu yang selalu menjadi pengantara demi kehidupan kita anak-anaknya, sebagaimana dilakukan ratu Ester dalam bacaan pertama (5:3). Yesus telah menunjukkan kepada kita bahwa wajah Allah adalah wajah seorang Bapa yang penuh kasih. Dosa dan kematian telah dikalahkan. Umat Kristiani tidak boleh pesimistis. Umat Kristiani bukan orang yang terus menerus meratap. Jika kita sungguh mengasihi Kristus dan jika kita merasakan betapa besarnya kasih-Nya kepada kita, hati kita akan selalu berbinar-binar dengan sukacita yang menyebar kepada semua orang di sekitar kita.

 

Memberikan Semuanya

Dia yang menyelami setiap hati (Rom 8:27) menjadi pengemis cinta dan menanyai kita mengenai hal yang paling penting, yaitu alasan dan syarat untuk memelihara domba-domba-Nya, anak-domba-Nya, Gereja-Nya. Apakah tiap pelayan sudah didasarkan atas dasar hubungan mesra dengan Tuhan? Hidup dari pada-Nya adalah ukuran pelayanan gerejani kita. Hal itu terungkap dalam kesediaan untuk taat; untuk merendahkan-diri, sebagaimana kita dengar dalam surat kepada umat di Filipi; dan untuk menyerahkan diri total (2:6-11).

Lebih-lebih lagi konsekuensi mencintai Tuhan adalah memberi segalanya kepada-Nya – sungguh-sungguh segalanya, bahkan hidup kita. Ini harus menjadi kekhasan pelayanan pastoral kita. Ini merupakan ukuran sudah seberapa dalamkah kita memanfaatkan anugerah yang telah kita terima untuk menanggapi panggilan Yesus, dan sudah seberapa eratkah kita terikat pada orang-orang dan komunitas yang dipercayakan kepada kita agar kita pelihara. Kita tidak menampilkan diri sebagai orang perwakilan sebuah struktur yang mewakili kebutuhan organisasi. Tidak. Bahkan dalam pelayanan kekuasaan kita pun, kita dipanggil untuk menjadi penampilan Tuhan yang telah bangkit, yang hadir dan sedang aktif berbuat sesuatu. Hanya dengan demikianlah kita membangun komunitas dalam kasih.

Bukan berarti kita tinggal terima apa adanya: sebab sesungguhnya kasih yang terbesar pun akan melemah dan memudar jika tidak dipelihara terus menerus. Bukan dengan  percuma rasul Paulus menganjurkan “Jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri” (Kis 20:28).

Tidak adanya perhatian kepada domba-domba – kita semua tahu – membuat seorang pastor jadi kepalang-tanggung tidak bersungguh-sungguh, membuatnya abai ini dan abai itu, bahkan jadi tidak sabaran. Kurangnya perhatian menggoda pastor untuk mengejar karir, godaan uang dan menyerah kepada semangat duniawi, membuatnya malas, membuatnya menjadi “pejabat negara” yang hanya memperhatikan kepentingan diri, memperhatikan aturan organisasi dan tata-tertib struktur, dari pada ingin menjadi sungguh-sungguh umat Allah yang baik. Maka seseorang yang coba-coba menyangkal Tuhan seperti yang dilakukan rasul Petrus, bahkan jikalau dia secara resmi bicara atas nama Tuhan, dia mengaburkan kesucian Bunda Gereja yang hirarkis, dengan membuatnya kurang berbuah.

Di hadapan Tuhan, kita ini apalah? Sudah apa saja usaha kita? Kita masing-masing punya banyak upaya. Apa kata Tuhan mengenai usaha dan upaya kita itu? Apa andalan kita untuk meneruskannya?

Seperti terhadap Petrus, pertanyaan Yesus yang tandas dan mengena pada kita dapat membuat kita sakit hati dan makin menyadarkan kita akan kelemahan kebebasan kita, kita jadi seperti terancam oleh ribuan situasi lahir-batin yang membuat bingung, frustrasi dan bahkan mulai timbul kesangsian.

Tentu saja tidak ada perasaan dan sikap-sikap  yang ingin Tuhan ajarkan di situ, tapi musuh (iblis) ingin memanfaatkannya untuk mengurung kita dalam kepahitan hidup, keluhan-keluhan dan keputus-asaan.

Yesus sang Gembala yang Baik tidak melecehkan dan meninggalkan orang dalam penyesalan. Melalui Yesus terasa sekali kelemah-lembutan Bapa, yang menghibur dan menyemangati kembali; Dialah yang melepas kita dari kekacauan akibat rasa malu – sebab rasa malu memang mengacau kehidupan kita – kepada terbentuknya percaya diri; Dia memulihkan keberanian, kita jadi berani lagi untuk bertanggung-jawab, lalu Dia mengutus kita pergi keluar untuk bermisi.

 Petrus, setelah dimurnikan kembali dalam pengampunan, dapat berkata dengan rendah hati “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau (Yoh 21:17). Saya yakin, kita semua dapat berkata yang sama dengan perasaaan mendalam. Dan Petrus, setelah dimurnikan, mendorong kita dalam suratnya yang pertama agar kita “menggembalakanlah kawanan domba Allah … jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela … jangan karena mau mencari keuntungan … janganlah mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu” (5:2-3).

Ya memang menjadi pastor berarti tiap hari percaya kepada rahmat dan kekuatan yang datang dari Tuhan, kendati kita lemah, dan dengan itu mengambil seluruh tanggung-jawab untuk berjalan di depan domba-domba. Dan setelah meringankan beban yang menghambat kecepatan kerja, dan memulihkan kepemimpinan dari keragu-raguan, rahmat dan kekuatan Tuhan itu membuat suara kita kembali dikenal baik oleh mereka yang sudah percaya maupun mereka yang “belum termasuk kandang ini” (Yoh 10:16).  Kita dipanggil untuk memiliki impian Tuhan, untuk memiliki rumah yang tidak menolak orang, seperti yang diramalkan nabi Yesaya (2:2-5).

Karena alasan itu, menjadi pastor juga berarti siap-sedia untuk berjalan di tengah-tengah dan di belakang domba-domba, mampu mendengarkan kisah yang tak-terucap dari mereka yang menderita dan menopang langkah-langkah mereka yang takut untuk maju; menaruh perhatian untuk selalu menanam dan membangkitkan pengharapan serta selalu menumbuhkan keyakinan. Iman kita muncul dan menjadi kokoh karena selalu berbaur dengan yang rendah. Maka dari itu marilah kita kesampingkan setiap bentuk keangkuhan, mau membungkuk di hadapan semua yang dipercayakan kepada pemeliharaan kita. 

 


 5. Menjadi Orang Kristiani Sepanjang Waktu

 

Keluar Dari Diri Sendiri

Menjadi orang Kristiani itu apa atinya? Dan mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya ke Kalvari menuju salib serta kebangitan-Nya itu apa artinya? Dalam perutusan-Nya di dunia ini Yesus menyusuri jalan-jalan di Tanah Suci. Dia memanggil dua belas orang sederhana untuk ikut tinggal bersama Dia, untuk ikut perjalanan-Nya dan akhirnya meneruskan tugas perutusan-Nya. Dia memilih mereka dari masyarakat yang hatinya penuh iman akan janji Allah. Dia berbicara kepada semua orang tanpa membeda-bedakan, baik yang tinggi maupun rendah, baik pemuda kaya maupun janda miskin, baik yang berkuasa maupun yang lemah. Dia membawa belas kasih dan pengampunan Allah. Dia menyembuhkan, menghibur, mau mengerti, membangkitkan pengharapan pada semua orang. Dia menghadirkan Allah yang memelihara tiap orang, seperti seorang ayah dan seorang ibu yang memelihara setiap anaknya. Tuhan tidak menunggu kita datang kepada-Nya tetapi Dialah yang bergerak menuju kita, tanpa hitung-hitungan, tanpa menjumlah-jumlah. Ya seperti itulah Tuhan. Dia selalu mengambil langkah pertama, datang kepada kita. Yesus menghayati kehidupan sehari-hari orang-orang  biasa. Dia terharu ketika Dia menghadapi orang banyak yang seperti domba-domba yang tidak punya gembala. Dia menangis di depan dukacita Marta dan Maria yang sedih karena kematian Lazarus saudaranya. Dia memanggil pemungut cukai menjadi murid-Nya. Dia juga menderita karena dikhianati seorang teman. Di dalam Yesus, Allah telah memberi kita kepastian bahwa Dia selalu beserta kita, dan ada di antara kita. Sabda-Nya "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya" (Mat 8:20). Yesus tidak punya rumah, sebab rumah-Nya adalah umat-Nya sendiri. Kitalah tempat tinggal-Nya. Dia diutus untuk membuka pintu rumah bagi semua orang agar Dia menjadi tempat kehadiran kasih Allah. Dalam Pekan Suci kita menghayati puncak perjalanan ini, puncak rencana kasih-Nya yang berlangsung sepanjang sejarah hubungan Allah dengan manusia. Yesus masuk Yerusalem untuk mengakhiri langkah perjalanan hidup-Nya sebagai kesimpulan seluruh kehidupan-Nya. Dia menyerahkan Diri tanpa syarat. Dia tidak mengambil sedikit pun dari kehidupan-Nya untuk Diri sendiri. Dalam Perjamuan Malam terakhir, dengan teman-teman-Nya, Dia memecah-mecah roti dan memberikan piala “kepada kita” satu demi satu. Anak Allah mempersembahkan Diri bagi kita, Dia menaruh Tubuh dan Darah-Nya ke tangan kita, agar selalu ada bersama kita, tinggal di tengah-tengah kita. Dan di taman Getsemani, dan juga sama di hadapan Pilatus, Dia menyerahkan Diri tanpa upaya menolak sedikitpun. Dia benar-benar hamba yang menderita, sebagaimana diramalkan oleh nabi Yesaya, yang mengosongkan Diri sampai mati (53:12).

Yesus mengalami kasih yang menuntun-Nya kepada korban Dirinya tidak secara pasif atau sebagai nasib yang fatal. Dia tentu saja tidak menyembunyikan kesedihan manusiawi-Nya yang mendalam itu ketika Dia menghadapi kematian yang kejam, namun dengan kepercayaan mutlak Dia menyerahkan Diri kepada Bapa. Yesus memberikan Diri dengan suka rela sampai mati agar dapat mengimbangi kasih Allah Bapa, dalam persatuan sempurna dengan kehendak-Nya, untuk menunjukkan kasih Bapa kepada kita. Di salib, Yesus “mengasihi aku dan memberikan Diri-Nya kepadaku” (Gal 2:20). Kita masing-masing bisa mengatakan “Dia mengasihi aku dan memberikan Diri-Nya kepadaku”. Tiap orang masing-masing juga bisa mengatakan “kepadaku”.

Apa arti semua ini bagi kita? Artinya, itu adalah jalan hidupku, jalan hidupmu, jalan hidup kita juga. Menghayati Pekan Suci, mengikuti Yesus bukan hanya dengan emosi perasaan, melainkan belajar untuk keluar dari diri sendiri agar bisa berjumpa dengan orang lain, pergi ke tapal-batas kehidupan, agar menjadi yang pertama yang melangkah menuju saudara-saudari kita, khususnya mereka yang paling jauh, mereka yang terlupakan, mereka yang paling membutuhkan pengertian, penghiburan dan pertolongan. Ada begitu besar kebutuhan yang meminta kita agar menjadi tanda kehadiran Yesus, yang berbelas kasih dan penuh kasih-sayang!

Menghayati Pekan Suci berarti masuk lebih dalam lagi ke dalam cara-pikir Tuhan, ke dalam cara-pikir salib, yang bukan pertama-tama berarti penderitaan dan kematian, melainkan kasih dan pemberian diri yang menumbuhkan kehidupan. Itu berarti masuk ke dalam cara-pikir Injil. Mengikuti dan menemani Kristus, tinggal bersama Dia, itu menuntut kita “keluar dari diri sendiri”, keluar dari jalan penghayatan iman yang suram yang terlanjur menjadi kebiasaan, keluar dari godaan untuk menarik diri ke dalam rencana hidup kita sendiri sehari-hari yang berakhir dengan menyekap karya Allah yang kreatif. Tuhan keluar dari Diri-Nya sendiri untuk mendatangi kita, memasang kemah-Nya di antara kita, untuk membawa belas-kasih-Nya yang menyelamatkan dan memberi pengharapan. Jikalau kita mau mengikuti Dia dan tinggal bersama Dia, kita tidak boleh puas dengan tinggal di kandang dengan sembilan-puluh-sembilan domba. Kita sendiri harus juga ikut keluar bersama Dia untuk mencari domba yang hilang, yang pergi menyimpang sangat jauh. Ingatlah selalu, jangan pernah lupa, keluarlah dari diri sendiri, seperti Yesus, seperti Allah dalam Yesus yang keluar dari Diri sendiri demi kita semua.

Mungkin ada yang mau berkata kepada saya “Tapi, Romo, saya tidak punya waktu”, “banyak yang harus saya lakukan”, “Itu sukar”, “Bagaimana dengan kelemahan saya ini, dengan dosa-dosa saya ini, dengan begini banyak hal?” Kita seringkali puas dengan doa yang tidak seberapa, lalu jarang ikut misa Minggu, dan perbuatan amal cuma sedikit, tapi masalahnya kita tidak punya keberanian untuk “keluar dari diri sendiri” untuk membawa Kristus kepada orang lain. Kita menjadi sedikit seperti santo Petrus. Begitu Yesus bicara mengenai kesengsaraan, kematian dan kebangkitan sebagai penyerahan Diri-Nya, pemberian kasih-Nya bagi kita semua, Petrus langsung menarik Yesus ke samping dan menegur-Nya. Perkataan Yesus itu mengacaukan rencananya, tidak masuk akal, mengancam keamanan yang dibangunnya untuk diri sendiri, mengancam idenya mengenai Juru Selamat. Lalu Yesus memandang murid-Nya ini dan mengatakan kepada-Nya kata-kata yang paling kasar dalam Injil “Pergi kamu, setan! Sebab kamu tidak ada di pihak Allah tapi di pihak manusia” (Mk 8:33). Tapi Allah selalu memikirkan belas kasih, jangan lupa itu. Dia itu Bapa yang penuh belas kasih. Allah berpikir seperti Bapa yang menanti anak-Nya dan datang kepadanya. Dia mengenalinya waktu anaknya masih jauh … apa artinya ini? Setiap hari Dia selalu menengok keluar kalau-kalau anak-Nya pulang: inilah Bapa kita yang penuh belas-kasih. Ini menunjukkan Dia di teras rumahnya sedang menanti anak-Nya dengan rindu. Allah berpikir seperti orang Samaria itu, yang tidak lewat begitu saja meninggalkan orang yang malang itu, tidak sekedar menaruh kasihan dan memandangnya dari seberang jalan. Tapi dia menolongnya tanpa pikir apa manfaatnya, tanpa tanya apa kamu seorang Yahudi, seorang kafir ataukah seorang Samaria, apakah kamu punya uang atau tidak, tanpa tanya apa-apa. Dia langsung datang menolongnya: Allah itu ya seperti itu. Allah berpikir seperti seorang gembala yang mempertaruhkan nyawanya agar membela dan menyelamatkan domba-domba.

Pekan Suci adalah saat rahmat yang dianugerahkan Tuhan kepada kita untuk membuka pintu hati kita, pintu kehidupan kita, pintu paroki kita – sayang sekali banyak paroki yang pintunya tertutup! – pintu pergerakan kita, pintu perkumpulan kita. Dan “pergi keluar” agar menjumpai orang lain, untuk mendekatkan diri kita, untuk membawa terang dan sukacita iman kita kepada mereka. Selalu pergi keluar! Dan selalu dengan membawa kasih dan kelembutan hati Allah, dengan rasa hormat dan kesabaran, karena tahu bahwa Allah memakai tangan kita, kaki kita, hati kita, lalu membimbing kita melakukan perbuatan-perbuatan yang berbuah lebat.

 

Berjalan

“Berjalan” adalah satu kata yang sangat saya sukai setiap kali saya bicara mengenai orang Kristiani dan mengenai Gereja. Saya pikir “berjalan” itu sungguh-sungguh suatu pengalaman yang sangat indah; saya menjadi milik orang lain dengan cara berjalan, mengadakan perjalanan sepanjang sejarah bersama-sama dengan Tuhan yang juga berjalan di tengah-tengah kita! Kita tidak merasa sendirian, kita tidak berjalan sendirian. Kita termasuk dalam kelompok domba-domba Kristus yang ikut berjalan bersama mereka.

Di sini saya berpikir lagi mengenai kalian para imam, dan perbolehkan saya menempatkan diri dalam kelompok kalian. Apa ada yang lebih indah bagi kita selain berjalan bersama umat kita? Sunguh indah! Bilamana saya berpikir mengenai para pastor paroki yang mengenal nama-nama umat parokinya; yang rajin mengunjungi mereka satu demi satu; bahkan seperti kata seorang imam “Saya mengenal nama anjing mereka satu-satu”. Mereka bahkan mengenal nama anjingnya! Sangat bagus, bukan? Apa ada yang lebih indah dari pada itu? Saya ulangi berkali-kali: berjalan bersama umat, sekali waktu di depan, kadang-kadang di belakang dan terkadang di tengah mereka. Di depan, untuk memimpin paroki. Di tengah untuk meneguhkan dan menopang. Dan di belakang, untuk mempersatukan mereka dan agar tak seorang pun tertinggal jauh di belakang, lalu mengajaknya kembali dalam kesatuan. Ada satu alasan lagi mengapa imam ikut dari belakang yaitu karena umat itu punya “hidung”! Mereka bisa mencium, mereka dapat menemukan jalan-jalan baru yang harus dilalui, mereka punya sensus fidei (cita-rasa iman) seperti kata ahli teologi. Apa ada yang lebih indah dari pada ini?

Namun yang paling penting ialah berjalan bersama. Dengan berjalan bersama, saling menolong, saling minta maaf, saling mengenal kekurangan masing-masing, dan saling memberi dan menerima pengampunan. Betapa pentingnya ini! Kadangkala saya memikirkan umat yang berkelarga yang cerai setelah menjalani banyak tahun “Oo … tidak, kami sudah tidak saling mengerti satu sama lain, kami sudah berjalan sendiri-sendiri”. Mungkin acapkali mereka sudah tidak tahu lagi bagaimana minta maaf pada waktu yang tepat. Mungkin seringkali mereka sudah tahu lagi bagaimana memaafkan. Dan saya selalu memberi nasihat kepada para pengantin baru begini: “Beradu-mulutlah sesukamu. Jika piring sampai beterbangan, biar beterbangan! Namun jangan pernah hari berakhir tanpa perdamaian. Jangan! Harus sudah damai”. Dan jika umat yang berkeluarga mau belajar mengatakan “Maafkan saya, saya sedang lelah”, atau mungkin pakai isyarat badan, damai.  Kemudian keesokan harinya berjalan seperti semula. Inilah resep rahasia yang indah, yang dapat mencegah perceraian yang sangat menyakitkan hati. Sangat pentinglah berjalan bersama dalam persatuan, mungkin tanpa kemajuan, dan tanpa kenangan manis masa lampau. Dan sementara kalian berjalan, kalian berbicara satu sama lain, kalian mendengar bagaimana kabarnya, kalian tumbuh sebagai sebuah keluarga. Di sini, mari tanya kepada diri kita masing-masing: bagaimana kita berjalan? Bagaimana keuskupan kita berjalan? Apa berjalan bersama? Lalu apa yang saya lakukan agar berjalan bersama dalam persatuan?

 

Mau menerima salib

Yesus masuk kota Yerusalem. Begitu banyak murid-murid-Nya menyertai Dia dalam suasana pesta, mereka menebarkan pakaian mereka di depan kaki Yesus. Ada pembicaraan mengenai mukjizat-mukjizat yang pernah dibuat-Nya. Ada suara keras sorak-sorai memuji Yesus: “Diberkatilah yang datang dalam nama Tuhan. Damai di surga dan puji-pujian di tempat yang mahatinggi” (Luk 19:38).

Rakyat banyak merayakan, memuji, memberkati, suasana damai: sukacita memenuhi alam raya. Yesus telah membangkitkan pengharapan yang besar, khususnya di hati orang-orang yang sederhana, hina, miskin, terlupakan, dan mereka yang tidak dipedulikan oleh dunia. Dia mau mengerti penderitaan manusia. Dia menampilkan wajah belas kasih Allah, dan mau membungkuk untuk menyembuhkan badan jiwa mereka.

Ya begitu itulah Yesus. Hatinya memandang kita semua, kita masing-masing yang sakit dan berdosa. Kasih Yesus sungguh besar. Dengan hati semacam itu Dia masuk Yerusalem, memandang kita. Suatu pemandangan yang sangat indah, penuh cahaya – cahaya kasih Yesus, kasih hati-Nya – cahaya sukacita, cahaya perayaan.

Pada awal misa Minggu Palma kita mengulangi peristiwa itu. Kita melambai-lampaikan daun palma, ranting-ranting pohon zaitun. Kita juga menyambut kedatangan Yesus, kita ungkapkan sukacita kita dengan mengiringi Dia. Kita merasa sungguh Dia dekat, hadir di tengah kita seperti sahabat kita sendiri, seperti saudara sendiri, tapi juga seperti raja kita. Yakni seperti mercu-suar yang memancarkan cahaya demi kehidupan kita. Yesus adalah Allah, namun Dia merendahkan Diri untuk berjalan bersama kita. Dia itu sahabat kita, saudara kita. Dia menyinari langkah-langkah kita. Dengan suasana inilah kita menyambut kedatangan-Nya hari ini. Dan satu kata yang mau saya katakan kepada kalian ialah: sukacita! Jangan menjadi orang sedih. Orang Kristiani itu tidak bisa sedih! Tidak pernah memberi peluang untuk masuknya kekhawatiran! Bukan suratan tangan kita untuk sukacita hanya karena punya apa-apa saja, melainkan sukacita karena berjumpa dengan seorang pribadi. Yesus ada di tengah kita. Kita ditentukan untuk mengetahui bahwa dengan Yesus kita tidak akan sendirian, bahkan pada waktu kesulitan, atau bilamana perjalanan hidup kita menjumpai permasalahan, ada hambatan yang nampaknya tak teratasi, dan jumlahnya begitu banyak! Di saat itu, musuh kita yaitu iblis, datang, seringkali dalam rupa malaikat, yang dengan licik berbicara kepada kita. Jangan dengarkan dia! Teruskan mengikuti Yesus! Kita mengiringi dan mengikuti Yesus, dan terutama kita tahu justru Dialah yang menemani kita dan mengangkat kita di bahu-Nya. Inilah sukacita kita. Inilah pengharapan yang harus kita wartakan kepada dunia ini. Jangan biarkan pengharapan kita dicuri orang! Pengharapan itu pemberian Yesus kepada kita.

Mengapa Yesus masuk ke kota Yerusalem? Atau bagaimana caranya Dia masuk kota Yerusalem? Rakyat menyerukan Dia sebagai raja. Dan Dia tidak menyangkalnya, Dia tidak menyuruh mereka diam (Luk 19:39-40). Tapi Yesus itu raja seperti apa? Mari pandanglah Dia, dia menunggang seekor keledai, Dia tidak didampingi tokoh-tokoh, tidak dikelilingi bala-tentara, lambang kekuasaan. Dia disambut oleh rakyat sederhana dan hina, tapi yang punya kemampuan melihat sesuatu yang luar-biasa di dalam Diri-Nya. Mereka punya cita-rasa iman yang mengatakan kepadanya “Inilah penyelamatmu”. Yesus masuk ke Kota Suci bukan untuk menerima penghormatan yang  biasa diterima oleh raja-raja dunia, orang-orang yang penuh kuasa, dan para pemimpin. Tapi Dia datang untuk dicambuki, dihina dan diperlakukan semena-mena. Seperti ramalan nabi Yesaya (50:6). Dia masuk kota untuk menerima mahkota duri, sebuah tongkat, mantol ungu. Kerajaan-Nya dijadikan objek ejek-ejekan. Dia datang untuk naik ke gunung Kalvari, memikul kayu. Dan ini memberi kita kata “kedua”: salib. Yesus masuk kota Yerusalem untuk mati di salib. Persis di sinilah kerajaan-Nya bersinar cemerlang dalam keilahian”: tahta-Nya terbuat dari kayu salib! Ini mengingatkan saya kata-kata paus Benediktus ke-16 kepada para Kardinal: Anda adalah pangeran dari sang Raja yang disalib itu. Itulah tahta Yesus yang dipikul-Nya… Mengapa berupa salib? Sebab Yesus mau ditimpa kejahatan, kotoran, dosa dunia, termasuk dosa kita semua, lalu Dia membersihkannya dengan darah-Nya, dengan belas dan kasih Allah. Mari. Lihatlah di sekitar kita. Betapa banyak luka yang ditimpakan oleh iblis atas kemanusiaan: peperangan, kekerasan, konflik ekonomi yang menindas orang-orang yang paling lemah, kerakusan uang, itu tidak bisa Anda ambil tapi harus Anda tinggalkan. Dulu ketika kita masih kecil, nenek kita  biasa bilang “kain kafan tidak punya kantong”. Cinta akan kekuasaan, korupsi, perselisihan, kejahatan melawan kehidupan manusia dan melawan alam semesta! Dan – sebagaimana kita masing-masing tahu dan sadar – dosa-dosa kita sendiri: kegagalan kita untuk mencintai dan menghormati Tuhan, sesama, dan seluruh alam semesta. Yesus di salib merasakan seluruh beban kejahatan, dan dengan kekuatan kasih Allah Dia mengalahkannya, Dia menaklukkannya dengan kebangkitan-Nya. Inilah kebaikan yang dilakukan Yesus terhadap kita dari tahta salib-Nya. Salib Kristus memeluk dengan kasih, tidak pernah membawa kesedihan, melainkan sukacita, sukacita karena diselamatkan dan karena melakukan sedikit dari yang dilakukan-Nya pada hari kematian-Nya.

 

Mewartakan Kabar Sukacita

Mewartakan Kabar Sukacita adalah misi perutusan Gereja. Bukan misi perutusan dari cuma sebagian kecil, tapi juga misi perutusanku, juga kalian dan kita semua. Rasul Paulus menyerukan: “Celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil” (1 Kor 9:16). Kita semua harus menjadi pewarta Kabar Sukacita, khususnya dengan seluruh kehidupan kita! Paus Paulus VI menekankan bahwa “Mewartakan Kabar Sukacita adalah… rahmat dan panggilan khas Gereja, jati-diri Gereja yang paling inti. Gereja ada untuk mewartakan Kabar Sukacita (Exhortatio Apostolica Evangelii Nuntiandi, no.14).

Siapakah kekuatan sesungguhnya dari pewartaan Kabar Sukacita dalam kehidupan kita dan dalam Gereja? Paus Pauus VI menulis dengan jelas: Dialah Roh Kudus yang pada awal Gereja, bertindak di dalam setiap pewarta Kabar Sukacita yang menyilakan dirinya dimiliki dan dibimbing oleh-Nya. Roh Kudus menaruh pada bibir setiap pewarta kata-kata yang tidak dapat ditemukannya sendiri. Dan serentak Roh Kudus mempengaruhi jiwa pendengar untuk membuka diri dan siap menerima Kabar Baik dan Kerajaan Allah yang sedang diwartakan (ibid no.75). Maka mewartakan Kabar Sukacita perlu keterbukaan diri sekali lagi kepada cakerawala Roh Allah, tanpa takut-takut terhadap tuntutan-Nya atau mau dituntun-Nya ke mana saja. Mari. Percayakan diri kita kepada-Nya! Dia akan memampukan kita untuk pergi keluar, untuk memberi kesaksian mengenai iman kita, dan Dia akan menerangi hati siapa pun yang kita jumpai. Inilah pengalaman Pentakosta. “Tampaklah” kepada para rasul yang berkumpul di ruang atas bersama ibu Maria, “lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya (Kis 2:3-4). Ketika turun atas para rasul, Roh Kudus menggerakkan mereka keluar meninggalkan ruang yang mengunci mereka dalam ketakutan, Dia mendorong mereka untuk tergesa-gesa keluar dari diri mereka sendiri dan mengubah mereka menjadi pewarta dan saksi “karya-karya besar Allah” (ay.11). Lebih-lebih lagi perubahan yang dibawa Roh Kudus ini terasa oleh khalayak ramai yang sudah datang dari segala bangsa di dunia” (ay.5), karena mereka masing-masing mendengar para rasul berkata-kata dengan bahasa mereka sendiri (ay.6).

Ini hanya salah satu dari buah penting karya Roh Kudus yang menuntun dan membuat pewartaan Injil menjadi hidup, yaitu: persatuan dan kebersamaan. Menurut kisah Kitab Suci, di menara Babel-lah, perpecahan bangsa-bangsa dan kekacauan bahasa dimulai. Itulah buah kesombongan dan keangkuhan orang yang mau membangun dengan usahanya sendiri, tanpa bantuan Tuhan, “sebuah kota, dengan menara yang puncaknya sampai ke surga” (Kej 11:4). Pada hari Pentakosta, perpecahan ini diakhiri. Tidak ada lagi keangkuhan melawan Tuhan. Tidak ada pula ketertutupan diri terhadap orang lain. Sebaliknya ada keterbukaan terhadap Tuhan, ada gerakan keluar untuk mewartakan Firman-Nya: ada sebuah bahasa baru, bahasa kasih yang dicurahkan Roh Kudus ke dalam hati mereka (Rom 5:5), sebuah bahasa yang bisa dimengerti semua orang dan yang begitu diterima, langsung bisa diungkapkan dalam kehidupan dan kebudayaan. Bahasa Roh Kudus, bahasa Injil, adalah bahasa bersama yang mengajak kita untuk mengganti ketertutupan dan sikP acuh-tak-acuh, perpecahan dan perselisihan. Kita harus bertanya pada diri sendiri: bagaimana saya menyilakan Roh Kudus menuntun saya sedemikian rupa sehingga kehidupan saya dan kesaksian iman saya berupa persatuan dan kebersamaan? Apakah saya menyampaikan kata-kata kerukunan dan kata-kata kasih, yaitu Injil, kepada lingkungan di mana saya tinggal? Seringkali nampaknya kita hari ini pun mengulangi yang terjadi di Babel: perpecahan, tidak mampu mengerti satu sama lain, persaingan, iri-hati, egoisme. Apakah yang telah saya lakukan terhadap diri saya? Apakah saya menciptakan persatuan di sekitar saya? Ataukah justru sayalah penyebab perpecahan, dengan gossip, kritik dan iri-hati? Apa yang telah saya perbuat? Mari kita pikirkan hal ini. Menyebar-luaskan Injil berarti kitalah yang pertama-tama menyiarkan dan menghayati kerukunan, perdamaian, pengampunan, persatuan dan kasih yang dianugerahkan Roh Kudus kepada kita. Mari ingat akan sabda Yesus: “Semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yoh 13:34-35).

Unsur kedua adalah hari Pentakosta. Petrus yang penuh dengan Roh Kudus berdiri bersama sebelas rasul berseru (Kis 2:14), dan dengan penuh percaya diri memaklumkan Kabar Baik Yesus Kristus, yang memberikan hidup-Nya demi keselamatan kita lalu dibangkitkan oleh Allah dari kematian. Inilah buah lain dari karya Roh Kudus: keberanian memaklumkan kebaruan Injil Yesus Kristus kepada semua orang, dengan penuh percaya diri (dengan parrhesia) dengan suara lantang, di setiap waktu dan setiap tempat. Hari ini juga. Hal ini terjadi bagi Gereja dan kita masing-masing: nyala api Pentakosta, karya Roh Kudus, memancarkan tenaga baru untuk perutusan, cara-cara baru untuk mewartakan berita penyelamatan, keberanian baru untuk mewartakan Kabar Sukacita. Mari. Jangan menutup diri lagi menolak karya ini! Marilah menghayati Injil dengan kerendahan hati dan keberanian! Mari memberi kesaksian mengenai kebaruan, pengharapan dan sukacita yang dinyalakan Tuhan. Mari, rasakan di dalam diri kita “kegembiraan dan sukacita pewartaan Kabar Sukacita yang menyenangkan” (Anjuran paus Paulus VI, Evangelii Nuntiandi, no.80). Karena mewartakan Kabar Sukacita, memaklumkan Yesus, membuat kita sukacita. Mewartakan Kabar Sukacita menegakkan kita. Sebaliknya, egoisme membuat hidup kita pahit, sedih, dan depresi.

Sekarang saya mau menyampaikan unsur ketiga, yang juga penting, yaitu evangelisasi baru (cara baru pewartaan Kabar Sukacita), artinya, Gereja yang mewartakan Kabar Sukacita, selalu harus mulai dengan berdoa, dengan memohon nyala api Roh Kudus, seperti para rasul di ruang atas. Hanya hubungan mesra dan setia dengan Tuhan saja yang memungkinkan kita keluar dari ketertutupan-diri lalu mewartakan Kabar Sukacita dengan parrhesia (penuh percaya diri). Tanpa doa maka perbuatan kita hampa dan pewartaan kita tidak punya roh, tidak diinspirasi oleh Roh Kudus.


6. Gembala Berbau Domba

 

Menjadi Pastor

“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan terpaksa, tetapi dengan sukarela, dan jangan karena mau mencari keuntungan, janganlah kamu berbuat seperti mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu” (1 Petr 5:2-3). Semoga kata-kata santo Petrus ini terukir di hati kita! Kita dipanggil dan diangkat menjadi pastor, bukan oleh diri sendiri, melainkan oleh Tuhan, dan bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan melayani domba-domba yang dipercayakan-Nya kepada kita, melayani pun dengan mempertaruhkan nyawa, seperti Kristus sang Gembala yang Baik (Yoh 10:11).

Apa sebenarnya artinya “menggembalakan dan memelihara domba setiap hari?” (Konsili Vatikan II. Lumen Gentium, no.27). Tiga pikiran singkat. Menggembalakan domba berarti: menyambut mereka dengan murah hati, berjalan bersama domba-domba, dan tinggal bersama domba-domba. Menyambut, berjalan, dan tinggal-bersama.

  1. Menyambut domba-domba dengan murah hati. Hendaknya hati Anda cukup lapang untuk menyambut semua orang yang Anda jumpai hari ini dan yang Anda cari bilamana Anda pergi keliling paroki dan ke setiap komunitas. Coba mulai sekarang bertanya pada diri sendiri: apakah orang yang mengetuk pintu rumahku mendapat kemurahan-hatiku? Jika mereka mendapatkan pintu terbuka, mereka akan mengalami kebapaan Allah melalui kemurahan hati Anda, melalui kesiapan Anda mererima mereka, dan mereka akan mengerti bahwa Gereja memang sungguh-sungguh seorang ibu yang selalu menyambut dan mengasihi anak-anaknya.
  2. Berjalan bersama domba-domba. Menyambut domba-domba dengan hati terbuka lebar, berjalan bersama tiap domba. Uskup bepergian bersama domba-domba dan tinggal di tengah mereka. Ini berarti  bersama mereka yang setia dan juga bersama mereka yang datang kepada Anda, ikut merasakan sukacita dan pengharapan mereka, kesukaran hidup dan penderitaan mereka, baik sebagai sesama saudara maupun sahabat, tapi khususnya sebagai bapa yang mampu mendengarkan anak-anaknya, mau mengerti mereka, menolong dan menuntun mereka. Berjalan bersama itu menuntut kasih. Dan pelayanan kasih itu tugas kita (amoris officium), seperti sering dikatakan oleh santo Agustinus (Dalam Evangelium Johannis tractatus, 123, 5: PL 35, 1967).
  1. Ketika Anda berjalan, saya ingatkan kasihilah imam-imam Anda. Imam-imam Anda adalah sesama Anda yang pertama; imam adalah sesama yang pertama dari Uskup – kasihilah sesamamu, dalam hal ini imam itulah sesama Anda yang pertama – imam-imam Anda adalah teman sekerja yang tidak-bisa-tidak, baik nasihat mereka maupun pertolongan mereka. Anda harus memperhatikan dan memelihara mereka sebagai bapa, sebagai saudara dan sahabat. Satu dari tugas utama Anda adalah memperhatikan dan memelihara kerohanian kaum imam, namun jangan lupa akan kebutuhan manusiawi mereka masing-masing, khususnya kalau mereka sedang mengalami situasi yang rumit dan penting dalam pelayanan dan kehidupan mereka. Waktu yang Anda sisihkan bersama para imam tidak akan sia-sia! Sambutlah mereka bilamana pun mereka membutuhkan Anda. Jangan sampai telepon mereka tidak Anda jawab. Dalam rekoleksi yang saya berikan, saya pernah mendengar imam-imam – saya tidak tahu apakah memang begitu sering – “Ya, saya menelpon Uskup saya tapi sekretarisnya mengatakan kepada saya bahwa beliau tidak punya waktu untuk menerima saya!” Ini terulang sampai berbulan-bulan. Saya tidak tahu apakah itu benar. Tapi kalau seorang imam menelpon Uskupnya lalu hari itu juga atau selambat-lambatnya pada hari berikutnya, Uskup menelponnya kembali: “Saya dengar romo menelpon saya, romo mau apa? Maaf hari ini saya belum bisa menerima romo, tapi coba kita janjian lagi kapan?” Silakan dengar apa komentar imam itu: “Ya sama saja. Beliau tidak perhatian, beliau bukan seorang bapa, tapi kepala kantor!”. Coba pikirkan ini baik-baik. Apakah kiranya penyelesaiannya tidak sebaiknya begini: Jawablah telepon imam Anda; kalau tidak hari ini, ya selambat-lambatnya hari berikutnya. Kemudian katakan kapan Anda bisa menerima dia. Pertahankan kedekatan Anda dengan dia. Usahakan selalu terhubung dengan mereka sepanjang waktu.
  2. Selalu ada di keuskupan. Dalam homili saya pada Misa Minyak Krisma tahun ini, saya berkata bahwa para pastor harus “berbau domba”. Jadilah gembala yang berbau-domba. Tinggallah di tengah-tengah mereka, seperti Yesus sang Gembala yang Baik. Kehadiran Anda bukan jatuh pada nomor dua, tapi sesuatu yang tidak-bisa-tidak. Kehadiran! Umat ingin melihat sendiri Uskupnya berjalan bersama mereka. Dan dekatlah pada mereka yang minta kehadiran Anda. Mereka membutuhkan kehadiran Uskup agar mereka hidup dan bisa bernafas! Jangan menutup diri! Turunlah ke bawah ke tengah umat, bahkan sampai ke perbatasan keuskupan Anda, ke tapal-batas tapal-batas kehidupan di mana ada banyak penderitaan, kesepian dan pelecehan kemanusiaan. Kehadiran pastoral berarti berjalan bersama umat Allah, berjalan di depan, menunjukkan arah yang benar dan menunjukkan jalannya. Berjalan di tengah mereka, untuk meneguhkan mereka dalam kesatuan. Dan berjalan di belakang mereka, khususnya agar mereka tidak kehilangan cita-rasa umat Allah yang mampu mencari sendiri jalan-jalan baru. Uskup yang tinggal di tengah umatnya punya telinga yang terbuka untuk mendengar apa yang disabdakan Roh Kudus kepada gereja-gereja (Wahyu 2:7), mendengar suara domba-domba, mendengar juga suara para anggota lembaga-lembaga keuskupan yang ditugasi memberi nasihat kepada Uskup, sambil meningkatkan dialog yang setia dan konstruktif. Mustahil ada Uskup yang tidak punya lembaga-lembaga keuskupan ini: dewan imam, dewan konsultor, dewan pastoral, dewan keuangan. Inilah artinya uskup tinggal di tengah umat. Kehadiran pastoral ini memampukan Anda mengenal dengan jelas budaya, adat-kebiasaan setempat, serta kekayaan kesucian yang ada di situ. Tenggelamkan diri Anda dalam domba-domba Anda!
  3. Di sini saya juga mau menambahkan: biarkan gaya pelayanan Anda terhadap domba-domba bersifat rendah hati. Bahkan demi ketertiban dan demi prinsippun, tetap rendah hati. Mohon ingat, kita pastor-pastor ini bukan manusia ber“psikologi pangeran”. Mohon, jangan seperti manusia ambisius sebagai mempelai pria Gereja yang menanti mempelai perempuan yang lebih cantik dan lebih kaya. Ini sungguh-sungguh batu sandungan! Kalau seorang pendosa datang mengaku-dosa dan berkata “Romo, saya punya isteri, tetapi selalu melihat wanita lain yang lebih cantik dari pada isteri saya, apakah ini dosa?” Injil mengatakan itu dosa berzinah. Adakah “perzinahan rohani”? Saya tidak tahu. Silakan menjawabnya sendiri. Jangan menanti yang lebih cantik, lebih penting, atau lebih kaya. Awas, jangan tergelincir ke dalam semangat mengejar karir. Kenyataan ini seperti kanker! Bukan hanya dalam kata-kata tapi juga dan lebih-lebih dalam contoh konkrit kehidupan kita sebagai guru dan pendidik umat. Pernyataan iman menuntut kita menghayati apa yang kita ajarkan. Tugas-perutusan dan kehidupan-nyata itu tak terpisahkan (Paus Yohanes Paukus II, Pastores Gregis, no.31). Inilah pertanyaan yang terus kita tanyakan pada diri sendiri setiap hari: apakah saya melakukan sendiri apa yang saya khotbahkan?
  1. Setelah menyambut dan berjalan bersama, sekarang unsur ketiga dan terakhir yakni tinggal bersama domba-domba. Saya ingatkan hal yang tak berubah, punya dua sisi: “tinggal” di keuskupan dan tinggal di keuskupan “ini”, seperti saya katakan tadi, tanpa semangat menunggu pergantian dan kenaikan karir. Sebagai pastor mustahillah Anda tahu apakah domba-domba dalam keadaan baik, kecuali kalau Anda tinggal di keuskupan Anda – sambil berjalan di depan, di tengah, dan di belakang, sambil memperhatikan dan memelihara mereka dengan ajaran Anda, dengan pelayanan sakramen dan dengan teladan hidup Anda –. Dalam hal ini, ajaran konsili Trente terasa masih sangat cocok, yaitu: tempat tinggal. Tempat tinggal kita adalah tempat di mana kita selalu mengadakan perjalanan, bergerak dari satu ke lain tempat dengan mudah, ketika komunikasi begitu cepat, jaman internet. Bagaimana pun juga hukum kuno mengenai tempat tinggal tersebut, tidak ketinggalan jaman! Itu perlu demi pengelolaan pastoral secara baik (Pedoman Apostolorum Successores, no.161). Tentu saja perhatian kepada Gereja-gereja yang lain dan kepada Gereja universal dapat menarik Anda dari keuskupan Anda, tapi biarlah itu hanya untuk waktu yang sungguh-sungguh perlu saja dan bukan praktek sehari-hari. Anda melihat, tempat-tinggal tidak hanya dituntut demi kebaikan dan berfungsinya organisasi, tapi punya akar teologis! Anda adalah mempelai pria dari komunitas Anda, ada ikatan batin yang sangat dalam dengannya. Saya mohon, tinggallah di tengah-tengah umat Anda. Tinggallah di situ! Tinggallah di situ! Jauhilah batu sandungan menjadi “uskup bandara”. Siaplah menyambut pastor-pastor, sambil terus menempuh hidup ini bersama umat Anda, dengan penuh cinta, dengan belas-kasih, memperlakukan umat dengan lembut penuh kebapaan, dengan kerendahan hati dan bijaksana. Semoga Anda mampu melihat keterbatasan Anda sendiri dan punya rasa-humor yang banyak. Inilah rahmat yang harus dimohon kita para uskup. Kita semua harus mohon rahmat ini: Tuhan, berilah saya rasa-humor. Termasuk menemukan cara untuk lebih dulu menertawakan diri. Tapi tinggallah selalu di tengah domba-domba Anda.

 

Imam yang Datang Untuk Melayani

Sungguh benar Tuhan membuat seluruh umat kudus ini menjadi imamat rajawi dalam Kristus. Karena Imam Agung sendiri, yaitu Yesus Kristus, telah memilih murid-murid tertentu untuk melakukan dalam Gereja, tugas imam, atas nama Dia, dan atas nama kemanusiaan. Karena Kristus telah diutus Bapa dan selanjutnya mengutus para rasul ke dunia, agar melalui mereka serta pengganti-penggantinya, yakni Uskup-uskup, dapat meneruskan tugas-Nya sebagai Guru, Imam dan Gembala.

Memang imam-imam dijadikan teman sekerja jajaran para Uskup, mereka diikutkan dalam tugas imam dan dipanggil untuk melayani umat Allah.

Sesudah pertimbangan yang matang beserta doa, saudara-saudara kita ini sekarang ditahbiskan menjadi imam agar menunaikan tugas imamat untuk melayani Kristus sang Guru, Imam dan Gembala, yang oleh pelayanannya, Tubuh-Nya yakni Gereja dibangun dan tumbuh menjadi umat Allah, bait-Nya yang kudus.

Untuk menyerupai Kristus Imam Agung abadi, dan diikutkan dalam imamat para Uskup itulah, mereka ditahbiskan sebagai sungguh imam Perjanjian Baru, untuk mewartakan Injil, menggembalakan umat Allah, dan merayakan Liturgi Suci, khususnya kurban-Diri Tuhan.

Sekarang, saudara-saudaraku dan putera-puteraku terkasih, kalian diangkat dalam jajaran kaum imam. Dari pihak kalian, kalian akan menunaikan tugas suci mengajar dalam nama Kristus sang Guru. Menyampaikan kepada setiap orang sabda Allah yang sudah kalian terima dengan sukacita. Ingatlah ibumu, kakek-nenekmu, katekismu, yang telah menurunkan kepadamu sabda Allah, iman,  anugerah iman! Mereka menurunkan anugerah iman itu kepada kalian. Sambil merenungkan hukum Tuhan, perhatikanlah ini. Kalian telah mempercayai apa yang kalian baca, mengajarkan apa yang kalian percaya, dan mempraktekkan apa yang kalian ajarkan. Ingatlah juga bahwa sabda Allah bukanlah milik kalian sendiri: dia adalah sabda Allah. Dan Gereja adalah penjaga-Nya.

Dengan cara ini, biarkan apa yang kalian ajarkan menjadi makanan bagi umat Allah. Biarkan kesucian hidup kalian menjadi keharuman yang menyenangkan umat Kristus, sehingga dengan kata-kata dan teladan, kalian membangun rumah Allah yaitu Gereja. Begitu juga kalian menunaikan dalam Kristus tugas menguduskan. Karena berkat pelayanan kalian, kurban rohani umat beriman dijadikan sempurna, dipersatukan dengan kurban Kristus, yang dipersembahkan di altar melalui tangan kalian secara tidak berdarah, dalam persatuan dengan umat, dalam perayaan sakramen-sakramen.

Maka hendaknya kalian mengerti, bahwa kalian itu melakukan dan menjadi teladan mengenai apa yang kalian rayakan. Sebagai pemimpin perayaan misteri kematian dan kebangkitan Tuhan, berusahalah sungguh-sungguh agar kalian mematikan segala yang dosa dalam diri kalian dan berjalanlah dalam kehidupan yang baru.

Melalui sakramen baptis, kalian akan menggumpulkan orang-orang lain masuk dalam umat Allah, dan dalam sakramen tobat, kalian akan mengampuni dosa-dosa dalam nama Kristus dan Gereja. Saya minta kalian dalam nama Kristus dan Gereja, jangan kenal lelah untuk berbelas kasih. Dengan minyak suci, kalian akan meringankan si sakit dan orang tua-tua: jangan berlambat-lambat untuk menampilkan kelembutan bagi orang-tua-tua. Bilamana kalian merayakan upacara-upacara suci, bilamana kalian mempersembahkan doa-doa pujian dan syukur kepada Tuhan sepanjang jam-jam sehari, bukan hanya demi umat Allah tapi juga untuk seluruh dunia – maka ingatlah bahwa kalian diambil dari antara manusia dan ditunjuk untuk atas nama mereka melakukan hal-hal yang bersangkut paut dengan Tuhan.

Karena itu jalankanlah pelayanan Kristus sang Imam, dengan sukacita dan kasih yang tak kunjung henti, bukan menuruti kemauan sendiri melainkan kemauan Yesus Kristus. Kalian adalah pastor, bukan pejabat kantor. Jadilah pengantara, bukan perwakilan.

Akhirnya, anak-anakku terkasih, sambil menunaikan tugas Kristus sang Kepala dan Gembala, dalam persatuan dengan Uskup dan taat kepadanya, berusahalah mengumpulkan umat beriman semua menjadi satu keluarga, sehingga kalian dapat menuntun mereka kepada Allah Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus. Taruhlah di depan mata kalian, teladan Gembala yang baik yang datang tidak untuk dilayani melainkan melayani dan … untuk mencari serta menyelamatkan domba-domba yang hilang.

 

Mengurapi Umat

Kitab Suci seringkali bicara mengenai orang-orang yang diurapi Tuhan: Hamba yang menderita (Yesaya), Raja Daud dan Yesus Tuhan kita. Ketiga-tiganya mempunyai persamaan: pengurapan yang mereka terima dimaksudkan untuk mengurapi umat Allah yang setia, menjadi pelayan mereka. Mereka diurapi untuk kaum miskin, para tawanan, kaum tertindas … Suatu gambaran bagus mengenai “hidup untuk” orang lain dapat dijumpai dalam Mazmur 133:2: “Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya”. Gambaran pengurapan minyak, sampai meleleh turun ke janggut Harun lalu ke leher-jubahnya yang suci adalah gambaran pengurapan imam yang melalui Kristus sang Terurapi, sampai ke ujung-ujung bumi, yang dilambangkan oleh jubahnya.

Jubah Imam Agung itu kaya dengan lambang. Salah satunya adalah lambang tulisan nama-nama anak-anak Israel pada batu-onyx kecil yang ditaruh di pundak kiri-kanan pakaian kasula kuno imam Yahudi, enam nama di batu-onyx di bahu kanan dan enam nama di bahu kiri (lih.Kej 28:4-14). Nama dari 12 suku Israel juga ditulis pada papan kecil yang dikalungkan di dada (Kej 28:21). Ini berarti bahwa imam memimpin perayaan dengan membawa di pundaknya umat Allah yang dipercayakan kepadanya dan membawa nama-nama mereka dalam hatinya. Bilamana kita memakai kasula sederhana pun mestinya membuat kita merasa beban di bahu, serta di hati, wajah-wajah umat kita yang setia, santo-santa dan martir-martir kita yang jumlahnya sekarang banyak sekali.

Dari indahnya semua hal-hal liturgis ini, yang bukan sekedar kain indah yang direkayasa melainkan lebih-lebih melambangkan kemuliaan Allah yang terpancar kepada umat-Nya, yang hidup dan diteguhkan, sekarang kita memperhatikan gerakan dan perbuatan. Minyak yang mahal yang mengurapi kepala Harun tidaklah sekedar memberi keharuman pada pribadinya, minyak itu melimpah turun sampai ke ujung-ujungnya. Tuhan mau mengatakan ini dengan jelas: pengurapannya itu untuk kaum miskin, para tawanan, dan orang-orang sakit, untuk mereka yang merana seorang diri. Saudara-saudaraku yang terkasih, pengurapan tidaklah dimaksudkan hanya agar membuat kita harum-semerbak, lebih-lebih lagi tidak untuk disimpan dalam guci, karena itu lama-lama akan menjadi tengik … dan hati menjadi pahit.

Seorang imam yang baik, dikenal dari bagaimana umatnya diurapi: ini bukti yang jelas. Bilamana umat kita diurapi dengan minyak kegembiraan, itu kelihatan jelas, misalnya, bilamana mereka pulang dari misa dengan wajah seperti baru saja mendengarkan kabar baik. Umat kita suka mendengar Injil yang dikhotbahkan dengan “pengurapan”, mereka menyukainya bilamana Injil yang kita khotbahkan menyentuh kehidupan mereka sehari-hari, bilamana Injil turun ke bawah seperti minyak Harun turun sampai ke ujung-ujung kehidupan nyata, bilamana Injil membawa terang pada hidup mereka yang paling gelap, sampai ke “tapal-batas” di mana umat beriman terkena serangan gencar mereka yang mau meruntuhkan iman mereka. Umat berterima kasih kepada kita karena mereka merasa bahwa kita telah mendoakan kehidupan nyata mereka setiap hari, mendoakan kesukaran hidupnya, sukacitanya, beban hidupnya dan pengharapannya. Dan bilamana mereka merasa bahwa keharuman Sang Terurapi (keharuman Kristus) melimpah turun melalui kita kepada mereka, mereka merasa didorong untuk mempercayakan kepada kita segala yang ingin mereka bawa kepada Tuhan. “Romo, mohon doa ya karena saya ada masalah”. “Berkati saya, Romo”. Kata-kata itu adalah tanda bahwa pengurapan telah melimpah turun ke ujung-ujung jubah, dan sudah berubah menjadi doa permohonan, permohonan umat Allah. Bilamana kita punya hubungan mesra dengan Tuhan dan dengan umat-Nya, maka rahmat melimpah melalui kita kepada umat, maka itulah kita menjadi imam, pengantara antara Allah dan umat-Nya. Yang mau saya tekankan di sini ialah bahwa kita perlu secara terus menerus memohon rahmat Tuhan dan memperhatikan setiap permintaan, bahkan bilamana permintaan itu tidak enak dan seringkali sangat duniawi atau betul-betul dangkal – namun hanya nampaknya saja begitu – keinginan umat sebenarnya minta diurapi dengan minyak suci yang harum, karena mereka tahu bahwa kita mempunyainya. Menjadi seperti Tuhan Yesus, mengerti dan merasakan kesedihan penuh pengharapan dari wanita yang menderita pendarahan bilamana dia menjamah jumbai jubah-Nya. Pada seketika itu juga, Yesus yang dikerumuni umat di sekitarnya, menampilkan sosok Harun yang berpakaian indah seorang imam, dengan minyak suci meleleh turun atas jubahnya. Itu keindahan yang tersembunyi, keindahan yang bersinar memancar yang hanya terlihat oleh mata yang penuh iman dari wanita yang tertimpa kesukaran hidup pendarahan. Namun, para murid – yaitu imam-imam yang akan datang – tidak melihat atau mengerti: “tapal-batas kehidupan”. Mereka hanya melihat apa yang di permukaan yaitu khalayak ramai yang menghimpit Yesus (Luk 8:42). Tapi dari pihak Tuhan merasa ada kekuatan dari pengurapan minyak ilahi yang melimpah keluar turun sampai ke ujung-ujung jubah-Nya.

Maka kita perlu “pergi keluar”, agar mengalami pengurapan kita sendiri, daya-kekuatan-Nya, daya-penebusan-Nya bagi “tapal-batas” di mana ada penderitaan, pertumpahan-darah, kebutaan yang merindukan untuk melèk, serta para tahanan yang menjadi budak segala macam kejahatan. Bukanlah dengan cara memeriksa batin atau mawas-diri yang terus menerus, kita bisa berjumpa dengan Tuhan. Kursus-kursus untuk membina diri memang berguna untuk kehidupan pribadi, namun untuk menghayati kehidupan imamat kita, ikut kursus yang satu ke kursus yang lain, mencoba metode yang satu ke metode yang lain, hanya membuat kita jadi Pelagian dan memperkecil kuasa rahmat. Kuasa rahmat sebenarnya dapat mengembangkan hidup kita sampai kita bisa dalam iman pergi keluar dan mempertaruhkan hidup kita dan menyampaikan Injil kepada orang lain, sambil memberi sedikit minyak urapan yang kita punya kepada mereka yang tidak punya apa-apa sama sekali.

Imam yang jarang keluar dari diri sendiri, yang mengurapi sedikit, – tidak saya katakan “yang sama sekali tidak mengurapi”, sebab, puji Tuhan, umat bagaimana pun juga selalu minta minyak suci dari kita – imam seperti itu kehilangan yang terbaik yang bisa didapat dari umatnya, kehilangan sesuatu yang bisa menggerakkan kedalaman hati imamatnya. Imam yang tidak pergi keluar dari dirinya sendiri, tidak menjadi pengantara rahmat, tetapi hanya menjadi perwakilan, menjadi manager. Kita tahu artinya. Perwakilan atau manager itu “sudah mendapat upahnya”. Dan karena kulit dan hatinya tidak menyentuh langsung pada perkaranya, dia tidak mendengar ucapan terima kasih yang tulus. Inilah persisnya alasan timbulnya kekecewaan yang membuat beberapa imam menjadi sedih, seperti ibaratnya seorang kolektor pengumpul benda-benda antik kuno atau benda-benda baru, bukannya menjadi gembala yang bergaul dengan “bau domba”. Inilah yang saya minta kalian sebagai gembala, jadilah “gembala dengan bau-domba”, melakukannya sungguh nyata dalam praktek hidup sehari-hari, menjadi gembala di tengah domba-dombanya, menjadi penjala manusia. Cukup benarlah kalau apa yang disebut krisis identitas iman mengancam kita semua dan menambah makin luasnya krisis budaya. Namun jika kita dapat melawan serangan gencar tersebut, kita akan mampu pergi berlayar dalam nama Tuhan dan menebarkan jala kita. Tidaklah buruk bahwa kenyataan sendirilah yang memaksa kita “pergi berlayar ke tempat yang dalam”, di mana, berkat rahmat, jati-diri kita bisa nampak jelas sebagai rahmat murni, pergi keluar ke kedalaman dunia sekarang ini, di mana satu-satunya hal yang berarti sebenarnya adalah “pengurapan” (“unction”) – bukan fungsi (function) – dan jala yang akan penuh dengan ikan hanyalah jala yang ditebarkan dalam nama Dia yang sudah kita percaya, yaitu Yesus.

 


7. Memilih Mereka Yang Terakhir

 

Pergi Ke Tapal-batas Kehidupan

Gereja harus keluar dari diri sendiri. Ke mana? Ke tapal-batas kehidupan. Apa dan bagaimana pun adanya di sana, tapi Gereja harus melangkah keluar. Yesus menyuruh kita “Pergilah ke seluruh dunia! Pergi! Mengajarlah! Berilah kesaksian mengenai Injil! (Mk 16:15). Tapi apa yang terjadi kalau kita keluar dari diri sendiri? Sama saja untuk semua yang keluar rumah dan ada di jalan: kecelakaan! Tapi saya katakan, saya jauh lebih suka Gereja yang mengalami sedikit kecelakaan, dari pada Gereja yang sakit-sakitan karena tertutup. Keluarlah, keluarlah! Pikirkan kata-kata kitab Wahyu yang indah ini: Yesus berdiri di depan pintu dan mengetuk, minta masuk ke dalam hati kita (3:20). Inilah maksud kitab Wahyu. Tapi bertanyalah pada diri sendiri: berapa seringkah Yesus yang ada di dalam, mengetuk-ngetuk di pintu minta keluar? Dan kita tidak mengizinkan-Nya keluar, sebab kebutuhan keamanan kita, sebab begitu sering kita mengunci diri dalam struktur yang fana yang hanya bermanfaat untuk menjadikan kita budak dan bukan anak-anak Allah yang merdeka. Dengan “melangkah keluar” pentinglah siap-siap untuk perjumpaan. Bagi saya, kata ini sangat penting: perjumpaan dengan orang lain. Mengapa? Sebab iman adalah perjumpaan dengan Yesus, dan kita harus melakukan apa yang dilakukan Yesus: berjumpa dengan orang lain. Kita ini hidup dalam budaya konflik perselisihan, budaya pecah-belah, sebuah budaya di mana saya membuang semua yang tidak bermanfaat bagi saya, budaya membuang-buang! Namun justru di sini saya minta kalian berpikir – ini pula bagian dari krisis – mengenai orang tua-tua yang merupakan sumber kebijaksaan masyarakat, berpikir mengenai anak-anak … budaya membuang-buang! Bagaimana pun juga kita harus pergi keluar untuk menjumpai mereka. Dan dengan iman, kita harus menciptakan “budaya perjumpaan”, budaya persahabatan. Sebuah budaya di mana kita menemukan saudara, di mana kita juga bisa berbicara dengan mereka yang punya pemikiran berbeda, juga dengan mereka yang beragama kepercayaan lain, yang tidak seagama dengan kita. Mereka semua punya satu persamaan dengan kita: mereka adalah Citra Allah gambaran Allah, mereka adalah anak Allah. Pergi keluar untuk menjumpai siapapun, tanpa kehilangan kesadaran mengenai jati diri kita sendiri. Ada satu hal lain yang penting: berjumpa dengan kaum miskin. Jika kita melangkah keluar dari diri sendiri, kita menjumpai kemiskinan. Hari ini – sungguh menyakitkan hati – gelandangan yang meninggal karena kedinginan tidak menjadi berita. Hari ini yang disebut berita adalah peristiwa skandal. Skandal! Ah ya inilah berita! Hari ini sangat banyak anak tidak mendapat makanan itu bukan berita. Ini serius, ini serius! Kita tidak bisa berbuat apa-apa! Tetapi itulah adanya. Kita tidak boleh menjadi orang Kristiani yang kaku, orang-orang yang berpendidikan tinggi yang bicara mengenai hal-hal teologi sambil menyeruput secangkir teh. Tidak bisa! Kita harus menjadi orang Kristiani yang pemberani dan pergi mencari orang-orang yang merupakan tubuh-dagingnya Kristus. Bilamana saya pergi untuk mendengarkan pengakuan-dosa – saya masih tidak bisa tidak, karena saya harus mendengarkan pengakuan-dosa – di sini mustahil pergi keluar, tapi itu masalah lain – bilamana saya biasa pergi untuk mendengarkan pengakuan-dosa di keuskupan saya yang dulu, umatlah yang datang kepada saya dan saya selalu menanyai mereka “Apakah kamu juga memberi sedekah?” “Ya, romo”. “Bagus sekali”. Lalu saya menanyakan dua hal lagi: “Coba ceritakan, kalau kamu memberi sedekah, apakah kamu memandang orang pada matanya?”  “Oh, saya tidak tahu, room, saya tidak mikir apa-apa”. Lalu pertanyaan kedua: “Kalau kamu memberi sedekah, apakah kamu menyentuh tangan orang yang kamu beri sedekah ataukah kamu hanya meletakkan sedekahmu pada tangannya?” Inilah masalahnya: tubuh-daging Kristus. Menyentuh tubuh-daging Kristus, mengenakan-Nya pada diri kita derita demi orang miskin. Bagi kita umat Kristiani kemiskinan bukanlah termasuk kategori sosiologis, filosofis, atau budaya. Bukan. Melainkan teologis. Boleh dibilang, kategori teologis kemiskinan adalah kategori yang pertama, sebab Tuhan kita, anak Allah, merendahkan diri, menjadikan dirinya miskin untuk berjalan sepanjang jalan bersama kita. Ini menjadi kemiskinan kita juga: kemiskinan tubuh-daging Kristus, kemiskinan yang membawa Anak Allah itu kepada kita melalui penjelmaan-Nya. Gereja yang miskin untuk kaum miskin dimulai dengan menggapai tubuh-daging Kristus. Jika kita menggapai tubuh-daging Kristus, kita mulai sedikit mengerti kemiskinan, kemiskinan Tuhan.

 

Suka menerima Orang Lain dan Melayani

Bilamana kita bilang “rumah” maksud kita adalah sebuah tempat yang suka menyambut orang lain, sebuah tempat tinggal, sebuah lingkungan hidup yang manusiawi dan menyenangkan, yang siap ditinggali orang, di mana orang merasa masuk ke dalam suatu wilayah, suatu komunitas. Namun secara lebih dalam lagi, “rumah” adalah sebuah kata dengan cita-rasa yang khas kekeluargaan yang mengingatkan kita akan kehangatan, kasih, cinta yang dapat dirasakan dalam sebuah keluarga. Karena itu “rumah” menampilkan harta manusiawi yang sangat berharga, kekayaan perjumpaan, kekayaan hubungan antar orang, yang berbeda-beda usianya, budayanya dan sejarahnya, namun terutama tinggal bersama-sama dan saling tolong-menolong untuk tumbuh. Untuk itu “rumah” menjadi tempat yang sangat penting dalam kehidupan, di mana kehidupan tumbuh dan dapat terpenuhi, sebab dia adalah tempat di mana setiap orang belajar menerima dan memberi kasih. Itulah “rumah”. Dan itulah yang telah diupayakan oleh “rumah” selama 25 tahun! Di perbatasan antara Vatikan dan Italia ada sesuatu yang sungguh meminta kita semua, meminta Gereja dan kota Roma, agar menjadi lebih dari pada keluarga, agar menjadi sebuah “rumah” yang terbuka, yang suka menerima orang lain, yang suka peduli dan yang bersaudara.

Kemudian ada kata kedua yang penting yaitu “memberi”. Ini kekhasan “rumah”. Sesungguhnya ciri khas sebuah “rumah” adalah “memberi”, saling memberi. Apa maksud saya? Saya ingin mengatakan bahwa “rumah” ini memberi sambutan hangat, memberi topangan materiil spirituil kepada kalian, wahai tamu-tamu terkasih, yang telah datang dari penjuru dunia yang berbeda-beda, namun kalian sendiri juga merupakan pemberian untuk “rumah” ini dan untuk Gereja. Kalian mengatakan kepada kami bahwa mengasihi Allah dan sesama itu bukan sesuatu yang abstrak, tapi sangat konkrit: artinya melihat dalam diri tiap orang wajah Tuhan yang harus dilayani, artinya melayani Tuhan sendiri secara konkrit. Dan kalian, saudara-saudari terkasih, adalah wajah Yesus. Terima kasih! Kalian “memberi” kemampuan kalian kepada semua yang bekerja di tempat ini untuk melayani Yesus di dalam orang-orang yang sedang mengalami kesukaran, yang membutuhkan pertolongan. “Rumah” ini adalah penampakan kasih Allah yang bersinar-sinar, Bapa yang baik dan berbelas kasih bagi semua orang. Kesediaan menyambut semua orang nampak nyata di sini, tanpa membeda-bedakan bangsa atau agama, menurut ajaran Yesus “Kalian menerima dengan cuma-cuma, maka memberi dengan cuma-cuma pula” (Mat 10:8). Kita harus menemukan kembali seluruh arti “memberi”, arti cuma-cuma, dan arti solidaritas setia-kawan. Kapitalisme yang merajalela telah mengajarkan cara-pikir mencari keuntungan sehabis-habisnya, cara-pikir “memberi untuk menerima”, cara-pikir pemerasan tanpa memandang orang … dan kita melihat akibatnya dalam krisis yang sedang kita alami! Namun “rumah” adalah tempat yang mengajari kita kasih, “rumah” adalah “sekolah” kasih, yang mengajari saya untuk pergi keluar dan menjumpai setiap orang, bukan untuk cari keuntungan, tapi untuk mengasihi.

 

Pengungsi dan Mereka yang Tercabut dari Kehidupan

Gereja adalah ibu, Dan perhatian keibuannya diungkapkan dengan kelembutan dan keakraban istimewa kepada orang-orang yang terpaksa mengungsi dari negerinya, tercabut, lalu mencoba menyesuaikan diri di tempat baru. Kejadian buruk ini merusak orang. Maka belas kasih umat Kristiani – menderita bersama orang lain, belas kasih – harus terungkap pertama-tama dengan kesediaan untuk menerima pengetahuan baru dari kejadian tersebut, yang memaksa orang untuk meninggalkan kampung-halamannya, dan, di mana perlu, memberikan suara bagi mereka yang tidak tahu bagaimana bisa memperdengarkan jeritannya dan ketertindasannya. Dengan melakukan hal tersebut kalian juga melaksanakan tugas untuk membuat komunitas-komunitas Kristiani menjadi peka terhadap begitu banyak saudara yang hidupnya penuh luka karena kekerasan, perlakuan buruk, jauh dari kasih keluarga, kejadian-kejadian yang traumatis, meninggalkan rumah, mengalami ketidak-pastian masa depan di kamp-kamp pengungsian. Ini semua adalah unsur-unsur yang merendahkan derajad manusia dan harus memacu tiap orang Kristiani dan semua komunitas untuk menaruh kepedulian.

Bagaimana pun juga, teman-teman terkasih, hari ini saya mau minta kalian semua agar melihat sinar pengharapan, baik dalam mata maupun hati para pengungsi dan mereka yang dipaksa pindah ke tempat lain. Pengharapan mereka kelihatan dalam penantian mereka akan masa depan yang lebih baik, dalam kebutuhan mereka akan uluran tangan persahabatan, dalam keinginan mereka untuk terlibat dalam komunitas yang menyambut mereka antara lain dengan mempelajari bahasanya, mendapatkan pekerjaan, dan pendidikan untuk anak-anak mereka. Saya mengagumi keberanian mereka yang berharap akan mampu secara bertahap memperoleh kembali kehidupan yang normal, sambil menantikan sukacita dan kasih untuk kembali cerahnya kehidupan mereka. Kita semua dapat dan harus memupuk pengharapan ini!

Terutama saya minta para pemimpin, anggota DPR dan seluruh komunitas internasional agar menangani realitas mereka yang telah dipaksa pindah dari tempat tinggalnya, dengan program yang efektif dan pendekatan baru, dengan maksud untuk melindungi martabat mereka, memperbaiki kualitas hidup mereka dan mengatasi tantangan-tantangan yang muncul dari bentuk-bentuk modern penganiayaan, penindasan dan perbudakan. Mereka itu manusia. Saya tekankan ini. Mereka itu manusia yang meminta solidaritas setia-kawan dan bantuan, yang membutuhkan tindakan segera, tapi juga dan lebih-lebih membutuhkan pengertian dan kebaikan-hati. Tuhan itu baik. Mari kita teladani Dia. Keadaan mereka tidak dapat membiarkan kita acuh-tak-acuh. Lebih-lebih lagi, sebagai Gereja kita harus ingat bahwa dalam merawat luka-luka para pengungsi, dan korban jual-beli manusia, kita melaksanakan perintah kasih yang diwariskan kepada kita bilamana Tuhan menyamakan Diri dengan orang asing, orang yang menderita, dengan semua korban tak bersalah kekerasan dan pemerasan. Kita harus membaca ulang lebih sering lagi Matius 25:31-46 mengenai Pengadilan Terakhir. Dan di sini saya juga ingin mengingatkan kalian para pastor dan komunitas-komunitas Kristiani agar menaruh perhatian pada perjalanan iman para pengungsi dan emigran Kristiani yang dipaksa pergi dari lingkungan hidupnya. Mereka itu membutuhkan pemeliharaan pastoral yang menghormati tradisi mereka dan menemani mereka agar bisa mengintegrasikan dan menyelaraskan diri dengan situasi gerejani tempat baru mereka. Moga-moga komunitas-komunitas Kristiani kita, dapat sungguh-sungguh menjadi tempat yang terbuka bagi mereka, mau mendengarkan mereka dan bersikap sebagai saudara.

 

Budaya Solidaritas Setia Kawan

Melayani itu apa artinya? Melayani berarti menyambut seseorang yang datang dengan penuh perhatian. Artinya, membungkuk menolong orang yang membutuhkan lalu mengulurkan tangan kepada mereka tanpa main perhitungan, tanpa takut, tapi dengan kelembutan dan penuh pengertian, seperti Yesus yang berlutut untuk mencuci kaki para rasul. Melayani berarti bekerja mendampingi orang-orang yang paling membutuhkan, membangun bersama mereka pertama-tama dan terutama hubungan akrab manusiawi dan ikatan solidaritas setia-kawan. Solidaritas. Kata ini mengejutkan dunia yang sudah maju. Orang-orang berusaha menghindari, tidak mengucapkannya. Bagi mereka itu, solidaritas itu hampir-hampir sebuah perkataan yang buruk. Tapi itu perkataan kita sendiri! Melayani berarti mengakui dan menerima permintaan mereka akan keadilan dan pengharapan, sambil mencari jalan bersama-sama, jalan yang sungguh-sungguh menuju pembebasan.

Kaum miskin adalah juga guru kita yang istimewa untuk mengenal Allah. Kerapuhan dan kesederhanaan mereka menyibak egoisme kita, rasa aman kita yang palsu, dan tuntutan kita minta serba kecukupan. Kaum miskin menuntun kita mengalami kedekatan dan kelembutan Tuhan, menerima Kasih-Nya dalam kehidupan kita, belas kasih-Nya sebagai Bapa yang memelihara kita semua dengan bijaksana dan kepercayaan yang sabar.

Dari tempat penyambutan, perjumpaan dan pelayanan ini, saya mau memberikan pertanyaan kepada setiap orang, kepada semua yang hidup di sini, di keuskupan Roma, agar menanyai diri sendiri: apakah saya membungkuk menolong orang yang dalam kesukaran ataukah saya takut tangan saya kotor? Apakah saya tertutup dalam diri sendiri, dalam harta milik saya, ataukah saya peduli kepada mereka yang membutuhkan pertolongan? Apakah saya hanya melayani diri sendiri ataukah saya mampu melayani orang lain, seperti Kristus yang datang untuk melayani bahkan sampai mengurbankan hidup-Nya? Apakah saya memandang mata orang yang meminta keadilan, ataukah saya memalingkan pandangan mata saya menghindari memandang mata mereka?

Kata kedua ialah menemani. Dalam tahun-tahun akhir-akhir ini, Pusat Astalli mengalami kemajuan. Pada awalnya mereka menawarkan pelayanan yang berdasarkan penyambutan, berupa dapur sup, tempat menginap, bantuan hukum. Kemudian mereka mencoba menemani orang-orang untuk mencari kerja dan terlibat dalam masyarakat. Kemudian mereka juga menawarkan kegiatan budaya, misalnya menggiatkan budaya menerima orang lain, budaya perjumpaan, dan budaya solidaritas setia-kawan, bermula dengan membela hak-hak azasi manusia. Tidaklah cukup hanya menawarkan roti kalau tidak disertai usaha mengajari orang untuk mandiri. Karya amal yang hasilnya, orang miskin tetap miskin, tidaklah cukup. Belas kasih sejati, belas kasih Allah sendiri menuntut kita agar adil, menuntut agar orang miskin menemukan jalan untuk tidak miskin lagi. Belas kasih yang sejati meminta kita, Gereja, juga kota Roma ini, serta lembaga-lembaga lainnya menjamin tidak ada lagi orang yang membutuhkan dapur sup, tempat singgah sementara, bantuan hukum  untuk mendapat pengakuan atas hak hidup dan bekerja, untuk menjadi manusia sepenuhnya. Adam mengatakan: tugas kita sebagai pengungsi adalah berbuat sebaik-baiknya agar bisa menyatu dengan masyarakat Italia. Dan inilah penyatuan sesungguhnya dengan masyarakat! Dan Karol mengatakan “Orang-orang Siria di Eropa merasa juga bertanggung-jawab jangan sampai menjadi beban. Kami mau merasa menjadi bagian dari masyarakat baru. Ini juga benar! Jadi, tanggung-jawab adalah dasar etis, dan menjadi kekuatan untuk membangun secara bersama. Saya bertanya-tanya: apakah kita ikut membantu mereka berproses semacam itu?

Kata ketiga adalah membela. Melayani dan menemani juga berarti membela, memihak kaum paling lemah. Berapa seringkah kita menyuarakan pembelaan atas hak-hak kita sendiri, tapi berapa seringkah kita acuh-tak-acuh terhadap hak-hak orang lain! Berapa seringkah kita tidak mau tahu dan tidak mau menyuarakan suara mereka – seperti kalian sendiri – yang menderita, membela mereka yang haknya diinjak-injak, mereka yang menderita banyak kekerasan sehingga menunda keinginannya untuk diperlakukan secara adil.

Pentinglah bagi seluruh Gereja bahwa menerima kaum miskin dan menyuarakan keadilan bukan dipercayakan hanya kepada para “ahli” melainkan menjadi fokus perhatian pastoral Gereja, fokus pembinaan calon imam dan calon religius, dan fokus kegiatan sehari-hari semua paroki, semua pergerakan dan kelompok-kelompok gerejani. Khususnya – ini sungguh penting, ini saya katakan tulus dari hati – saya juga minta lembaga-lembaga religius agar menerjemahkan secara serius dan dengan rasa tanggung-jawab, tanda jaman ini. Tuhan memanggil kita agar hidup dengan berani dan murah-hati, dengan semangat suka menerima orang lain dalam komunitas-komunitas, di rumah-rumah dan di biara-biara kosong. Wahai kaum religius pria dan wanita yang terkasih, biara-biara kalian yang kosong tidak ada manfaatnya bagi Gereja jika hanya menjadi hotel dan menghasilkan uang. Biara-biara kosong itu bukan milik kalian, melainkan untuk tubuh Kristus yakni kaum pengungsi. Tuhan memanggil kita agar hidup dengan berani dan murah-hati, dan agar menampung para pengungsi itu dalam komunitas-komunitas, dalam rumah-rumah dan biara-biara kosong. T         entu ini tidak mudah. Ini menuntut kita punya pegangan dan tanggung-jawab, dan juga keberanian. Kita menghadapi pekerjaan besar, namun mungkin kita dipanggil untuk berbuat lebih banyak, sungguh-sungguh menyambut dan berbagi dengan mereka yang diserahkan kepada kita oleh Penyelenggaraan ilahi.

 

 

 


8. Membasmi Berhala-berhala

 

Cara-pikir Kekuasaan dan Kekerasan

Bukankah dunia yang kita inginkan adalah dunia yang rukun dan damai, baik dalam diri kita sendiri, dalam hubungan kita dengan orang lain, dalam keluarga, maupun dalam kota, di dalam dan antar bangsa? Dan bukankah kebebasan sejati berarti memilih jalan di dunia ini yang membawa kita kepada kebaikan untuk semua dan yang dibimbing oleh kasih?

Tapi kita heran, benarkah dunia kita ini seperti itu? Alam ciptaan masih indah dan mempesonakan dan masih tetap sebuah hasil karya yang baik. Tapi juga ada “kekerasan, perpecahan, perselisihan paham, dan perang”. Ini terjadi ketika bangsa manusia, puncak ciptaan itu, tidak melihat lagi keindahan dan kebaikan alam ciptaan, lalu menyalah-gunakannya untuk keserakahannya sendiri.

Bilamana kita hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, lalu menaruh diri di tengahnya, bilamana kita membiarkan diri ditawan oleh berhala kekuasaan dan kekuatan, bilamana kita mengambil-alih kedudukan Tuhan, maka semua relasi hubungan diputuskan dan segalanya runtuh berantakan. Dengan demikian terbukalah pintu bagi kekerasan, acuh-tak-acuh satu sama lain, dan konflik pertengkaran. Persis inilah yang mau diajarkan oleh Kitab Kejadian dalam kisah jatuhnya manusia: manusia berkonflik dengan dirinya, dia baru menyadari dirinya telanjang, lalu menyembunyikan diri sebab dia takut (3:10). Dia takut akan pandangan Allah, lalu menuduh isterinya, yang adalah daging dari dagingnya (ay 12). Dia merusak kerukunan dengan alam ciptaan. Dia mulai mengangkat tangan membunuh saudaranya. Dapatkah kita katakan dia beralih dari kerukunan kepada ketidak-rukunan? Tidak. Tidak ada yang namanya ketidak-rukunan. Yang ada tetap kerukunan, tapi kita jatuh ke dalam khaos kekacauan, di mana ada kekerasan, selisih paham, konflik, ketakutan …

Persis dalam khaos kekacauan inilah Allah menanyai nurani manusia “Di mana Habel adikmu?” dan Kain menjawab “Saya tidak tahu, apakah saya ini pengasuh adik saya?” (Kej 4:9). Memang baik kalau kita pun menanyai diri sendiri dengan pertanyaan yang sama: apakah saya ini sungguh pengasuh adik saya? Ya, kalian adalah pengasuh adik kalian. Menjadi manusiawi berarti menaruh kepedulian satu sama lain! Namun bilamana kerukunan sudah rusak, terjadilah metamorfosis perubahan: adik yang harus dipedulikan dan disayangi menjadi musuh untuk diajak berkelahi, untuk dibunuh. Kekerasan apa saja yang terjadi waktu ini, berapa banyak konflik, berapa banyak peperangan yang menandai sejarah kita? Cukuplah kita melihat penderitaan begitu banyak saudara. Ini bukan masalah kebetulan, tapi sungguh kenyataan: kita melahirkan kembali Kain-Kain di setiap tindak kekerasan dan di setiap peperangan. Kita semua! Bahkan hari ini kita masih melanjutkan sejarah konflik antar bangsa, bahkan hari ini kita masih mengangkat tangan melawan saudara kita. Bahkan hari ini kita membiarkan diri dipimpin oleh berhala, oleh egoisme, oleh kepentingan diri, dan sikap-sikap itu terus ada. Kita terus menyempurnakan senjata kita, nurani kita tertidur, dan kita mempertajam kepandaian kita hanya untuk membenarkan diri. Seakan-akan itu semua wajar-wajar saja bahwa kita menanggung kehancuran, sakit, dan kematian! Kekerasan dan peperangan hanya berbuah kematian! Kekerasan dan kematian adalah bahasa kematian!

 

Pemujaan Dewa Uang                      

Sekarang ini sudah bukan manusia lagi yang berkuasa, melainkan uang. Uang berkuasa. Padahal Allah Bapa kita, memberi kita tugas menjaga bumi – bukan demi uang, melainkan demi kita sendiri, baik laki maupun wanita. Itu tugas kita. Kalau manusia laki dan wanita dikurbankan kepada berhala cari untung dan berhala konsumtif, itulah budaya membuang-buang apa yang dianggap tidak berguna lagi. Jika sebuah komputer rusak, itu sebuah tragedi, tapi kemiskinan, kebutuhan, dan drama seperti itu yang dimainkan begitu banyak orang malah dianggap biasa-biasa saja. Jika malam musim dingin, di sini di jalan Ottaviano – misalnya – ada orang meninggal, itu bukan berita. Jika ada anak-anak di banyak tempat di dunia tidak punya makan untuk dimakan, itu juga bukan berita, seperti normal-normal saja. Tidak bisa begitu itu! Namun nyatanya juga masuk dalam hal yang wajar-wajar saja: beberapa orang gelandangan mati kedinginan di jalan – ini tidak jadi berita. Sebaliknya bilamana harga saham di beberapa kota turun 10 poin, itu dinyatakan sebagai tragedi. Orang yang mati bukan berita, tapi turunnya penghasilan 10 poin itu traged! Orang-orang malang itu dikesampingkan seakan-akan sampah tak berguna.

Budaya membuang-buang hal yang dianggap tidak berguna ini cenderung meluas menjangkiti setiap orang. Kehidupan manusiawi, seorang pribadi, sudah tidak lagi dipandang sebagai nilai pertama untuk dihormati dan dilindungi, khususnya jika orang itu miskin atau cacat, jika mereka belum bermanfaat – seperti bayi dalam kandungan – atau sudah tidak berguna – seperti orang jompo. Budaya membuang-buang ini juga membuat kita tidak peka lagi menyia-nyiakan dan membuang bahan makanan yang berlebih, padahal itu dosa, kita tidak peka lagi bilamana di setiap tempat di dunia, sayangnya, banyak orang dan keluarga menderita kelaparan dan gizi buruk. Dulu kakek-nenek kita sangat berhati-hati agar tidak membuang makanan yang tersisa. Konsumerisme sudah membuat kita terbiasa untuk berlebih-lebih dan setiap hari membuang makanan, yang kita sudah tidak bisa menilainya dengan benar, padahal nilainya jauh di atas ukuran uang. Mari kita ingat baik-baik, bahwa bilamana pun makanan dibuang, itu sama dengan mencuri makanan dari meja orang miskin dan membuat orang kelaparan! Saya minta kalian masing-masing merenungkan masalah-tidak-punya-makanan dan penyia-nyiaan-makanan ini. Coba setelah mendalami masalahnya, temukanlah jalan dan cara pendekatan yang bisa membuat kita menyatakan solidaritas setia-kawan dan berbagi kepada mereka yang tidak beruntung.

 

Penyakit Kusta “Mengejar Karir”

Apa artinya punya kebebasan batin?

Pertama-tama kebebasan batin berarti bebas dari rencana-rencana pribadi. Bebas dari suka-suka yang barangkali pernah suatu ketika kalian bayangkan dalam melaksanakan imamat. Bebas dari kemungkinan merencanakan masa depan kalian. Bebas dari kemungkinan merencanakan bisa tinggal lebih lama di suatu tempat pastoral kalian sendiri. Kebebasan batin berarti, dengan cara tertentu, membuat diri kalian bebas dalam menghadapi budaya dan cara-pikir dari mana kalian berasal. Bukan dengan maksud untuk melupakan budaya kalian atau malah menyangkalnya, tidak, tapi untuk membuka diri dalam setiap karya amal untuk mengerti budaya-budaya lain yang berbeda dan menjumpai orang-orang dari dunia lain yang jauh dari negeri kalian. Lebih-lebih lagi kebebasan batin berarti waspada dan memastikan diri kalian bebas dari ambisi atau keinginan-keinginan pribadi yang bisa sangat melukai Gereja. Kalian harus berhati-hati agar tidak menomor-satukan pemenuhan keinginan kalian atau kehormatan yang ingin kalian peroleh di dalam atau di luar komunitas Gereja. Tetapi hendaknya kalian dahulukan menjunjung tinggi keberhasilan Injil dan selesainya tugas perutusan yang dipercayakan kepada kalian. Saya pikir, bebas dari ambisi atau keinginan-keinginan pribadi itu penting. Penting, sebab mengejar karir itu seperti penyakit kusta. Mohon janganlah mengejar karir. Untuk itu kalian harus siap untuk menyatukan semua pandangan kalian mengenai Gereja – betapa pun sahnya itu – dan menyatukan semua pikiran serta pendapat pribadi dengan pandangan Petrus.  Kalian harus menyatukan semua itu dalam tugas khas perutusan Petrus dalam pelayanan mempersatukan kawanan domba Kristus, atau pelayanan amal pastoral yang menyatukan seluruh dunia dan ingin menghadirkannya, sebagian melalui karya para wakil Paus, khususnya di semua tempat yang seringkali terabaikan di mana kebutuhan Gereja dan kebutuhan kemanusiaan lebih besar.

 

Melepas Semangat Duniawi

Dalam kunjungan saya di Assisi untuk merayakan hari raya Santo Fransiskus, koran-koran dan media membesar-besarkan fantasi “Paus akan menelanjangi Gereja di sana”. “Apa yang akan ditelanjanginya?” “Dia akan menelanjangi uskup dan kardinal lalu Paus akan menelanjangi diri sendiri”. Ini sungguh menjadi kesempatan baik untuk mengajak Gereja menelanjangi dirinya sendiri. Tetapi Gereja itu kita sendiri, kita semua. Mulai dari yang baru saja dibaptis, kita semua adalah Gereja. Dan kita harus mengikuti jejak Yesus, yang menyusuri jalan penyangkalan diri. Dia menjadi hamba, seorang yang melayani, Dia memilih untuk dihina bahkan sampai di salib. Dan jika kita ingin menjadi orang Kristiani, tidak ada jalan lain. Tapi tidak dapatkah kita membuat semangat kristiani sedikit lebih manusiawi – kata mereka – tanpa salib, tanpa Yesus, tanpa penyangkalan diri? Dengan cara ini kita akan menjadi seperti seorang Kristiani di toko roti, yang mengatakan: ini roti indah ya, dan ini manisan indah ya! Memang indah, tapi pasti bukan Kristiani! Seseorang dapat bertanya: “Gereja harus menelanjangi diri bagaimana?” Hari ini Gereja harus menelanjangi diri dari semua bahaya yang mengancam setiap orang dalam Gereja, setiap orang: dari bahaya keduniawian. Orang Kristiani tidak bisa hidup bersama dengan semangat dunia, dengan keduniawian yang membawa kita kepada kesia-siaan, kesombongan, keangkuhan. Ini adalah berhala, ini bukan Tuhan. Ini berhala! Dan menyembah berhala itu dosa terbesar!

Bilamana media bicara mengenai Gereja, mereka percaya bahwa Gereja itu terdiri dari imam, suster, uskup, kardinal dan Paus. Jadi, kita semualah Gereja, seperti saya katakan tadi. Dan kita harus menelanjangi diri dari keduniawian, yaitu semangat yang bertentangan dengan semangat “Berbahagialah”, semangat yang bertentangan dengan semangat Yesus. Keduniawian melukai kita. Sangat sedih kita menjumpai orang Kristiani yang keduniawian, sungguh – menurut dia – rasa aman diperoleh baik dari iman maupun dari dunia. Kalian tidak bisa ada di kedua pihak itu. Gereja – yaitu  kita semua – harus menelanjangi diri dari keduniawian yang menuju kesia-siaan, keangkuhan, yang adalah berhala.

Yesus sendiri mengatakan: “Kalian tidak bisa mengabdi sekaligus Tuhan dan mammon” (Mat 6:24). Di dalam mammon sendiri ada semangat keduniawian, uang, kesia-siaan, keangkuhan, … jalan yang tidak boleh kita ambil … sungguh sedih kita menghapus dengan tangan yang satu apa yang kita tulis dengan tangan lainnya. Injil adalah Injil! Allah itu satu!  Dan Yesus membuat Dirinya hamba demi kita semua dan semangat dunia tidak bermanfaat di situ. Hari ini saya di sini bersama kalian. Banyak dari antara kalian telah ditelanjangi oleh dunia yang tak berperasaan yang tidak memberi kerja atau pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Bagi dunia tidak masalah kalau ada anak-anak yang mati karena kelaparan. Tidak masalah kalau banyak keluarga tidak punya sesuatu untuk dimakan, tidak punya martabat untuk membawa pulang makanan. Tidak masalah kalau banyak orang dipaksa mengungsi untuk menghindari perbudakan, kelaparan, dan pergi untuk mencari kebebasan. Dengan begitu banyak derita, seringkali kita lihat mereka menemui ajal, seperti di Lampedusa: hari ini adalah hari penuh air mata! Semangat dunia itulah penyebabnya. Sungguh tidak masuk akal bahwa seorang Kristiani – orang Kristiani sejati – entah itu imam, atau suster, atau uskup, atau kardinal, atau Paus, mau mengikuti jalan keduniawian ini, suatu perbuatan bunuh-diri. Keduniawian rohani membawa kematian jiwa! Membunuh pribadi manusia! Membunuh Gereja!

 


9. Budaya Kebaikan

 

Bebas Memilih Kebaikan

Pertama-tama saya ingin mengatakan sesuatu berkenaan dengan Santo Ignasius dari Loyola, pendiri Serikat Yesus. Pada musim gugur tahun 1537, dalam perjalanannya ke Roma dengan sekelompok serikatnya yang pertama, dia heran kalau ada orang bertanya kalian ini siapa, apa yang harus kita jawab? Jawaban spontan ialah “Kami adalah Serikat Yesus” (Fontes Narrativi Sociatis Iesus, vol.1, hal.320-2). Nama ini harus dikatakan, maksudnya untuk menawarkan sebuah hubungan persahabatan yang sangat erat dengan Yesus, dan hubungan kasih dengan-Nya yang ingin mereka ikuti jejaknya. Mengapa saya harus menceritakan kejadian ini? Karena santo Ignasius dan teman-temannya telah menyadari bahwa Yesus mengajari mereka bagaimana hidup baik, bagaimana menjalani hidup yang punya makna mendalam, yang menimbulkan entusiasme, sukacita dan pengharapan. Mereka telah mengerti bahwa Yesus adalah guru dan teladan kehidupan yang hebat, dan Dia tidak hanya mengajar mereka tapi juga mengajak mereka mengikuti jejak-Nya.

Orang muda yang terkasih, jika saya bertanya kepada kalian, mengapa kalian harus pergi ke sekolah, apa yang akan kalian jawab? Barangkali ada banyak sekali jawaban, tergantung kepekaan tiap orang. Namun saya pikir, semua jawaban bisa dirangkum dengan mengatakan bahwa sekolah itu salah satu lingkungan di mana kita berkembang dengan cara belajar bagaimana hidup, bagaimana menjadi dewasa, bagaimana menjadi pribadi yang matang, yang dapat menempuh perjalanan, mengikuti jalan kehidupan. Bagaimana caranya sekolah membantu kalian untuk tumbuh? Sekolah membantu kalian tidak hanya dengan mengembangkan akal-budi, tapi juga dengan membentuk semua aspek kepribadian seutuhnya.

Dengan mengikuti ajaran santo Ignasius, unsur utama dari sekolah adalah belajar berjiwa besar. Jiwa besar adalah kebajikan baik dari yang besar maupun yang kecil (Non coerceri maximo contineri minimo, divinum est, sesuatu yang ilahi tidak gentar oleh yang besar, tapi berani menaruh diri dalam yang kecil). Jiwa besar selalu mengarahkan pandangan kita ke cakerawala luas. Apa artinya jiwa besar? Artinya, punya hati besar dan alam-pikir besar. Artinya, punya cita-cita besar, ingin melakukan hal-hal yang besar untuk menanggapi permintaan Tuhan secara terbaik. Maka dengan alasan itu pula, kita melakukan hal-hal rutin dan perbuatan harian dengan sebaik-baiknya, menjumpai orang-orang; melakukan hal-hal kecil sehari-hari dengan jiwa besar terbuka kepada Tuhan dan orang lain. Maka pentinglah mengelola pembinaan manusiawi dengan jiwa besar. Sekolah tidak hanya memperluas dimensi pikiran tapi juga dimensi manusiawi. Dan saya pikir, sekolah-sekolah Yesuit menaruh perhatian khusus pada perkembangan kebajikan manusiawi: ketaatan, rasa-hormat, kesetiaan dan pengabdian. Saya mau merenungkan dua kebajikan dasar: kemerdekaan dan pelayanan. Pertama-tama: jadilah orang merdeka! Apa artinya? Mungkin yang terpikir ialah bahwa kemerdekaan berarti melakukan segala sesuatu sesukanya, atau melihat siapa bisa paling banyak minum alkohol untuk mengatasi kebosanan hidup. Itu bukan kemerdekaan. Merdeka berarti mampu selalu menyadari apa yang sedang kita lakukan; mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk; mampu melihat inilah perilaku yang membawa perkembangan; merdeka berarti mampu memihak kepada kebaikan. Dan dalam hal ini orang yang merdeka tidak takut melawan arus, betapa pun sukarnya! Selalu merdeka memilih kebaikan itu kewajiban kita, tapi itu akan membuat kita punya tulang punggung yang kuat yang mampu menantang kehidupan, menjadi orang pemberani dan sekaligus sabar (parrhesia dan ypomonè).

Kata kedua adalah melayani. Pada waktu sekolah, kalian ikut pelbagai kegiatan yang membiasakan kalian agar tidak mudah sembunyi dalam diri sendiri atau dalam dunia kalian yang sempit, tapi sebaliknya terbuka terhadap orang lain, khususnya mereka yang termiskin dan paling kekurangan. Kegiatan-kegiatan itu membiasakan kalian untuk kerja keras untuk memperbaiki dunia di mana kita tinggal. Jadilah “men with others and men for others” (orang yang hidup bersama dan untuk orang lain): menjadi juara sejati dalam lomba melayani orang lain.

Untuk berjiwa besar dengan kemerdekaan batin dan semangat melayani, perlulah pembinaan rohani. Wahai kaum muda yang terkasih, cintailah Yesus lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi! Hidup kita merupakan jawaban atas panggilan-Nya dan jika kalian dapat menjawab-Nya, kalian akan bahagia dan akan membangun kehidupan kalian dengan baik. Semoga kalian merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup kalian. Dia sangat dekat dengan kalian masing-masing sebagai teman dan sahabat yang tahu bagaimana menolong dan mengerti kalian, sahabat yang membesarkan hati kalian pada waktu-waktu sukar, dan tidak akan pernah menerlantarkan kalian. Dalam doa, dalam omong-omong dengan Dia dan dalam bacaan Kitab Suci, kalian akan menemukan bahwa Dia sungguh dekat. Kalian juga akan belajar untuk mampu membaca isyarat-isyarat Tuhan dalam kehidupan kalian. Dia selalu berbicara kepada kalan, juga melalui kejadian-kejadian dalam kehidupan kita sehari-hari. Selanjutnya terserah kitalah, apakah mau mendengar Dia apa tidak.

 

Lapar akan Martabat Luhur

Orang yang paling sederhana dapat secara khusus memberi pelajaran yang berharga mengenai solidaritas setia-kawan. Solidaritas di antara bangsa-bangsa sedunia ini seringkali dilupakan atau dibungkam, sebab tidak menyenangan. Solidaritas itu seperti sebuah kata buruk. Saya mau mengajak orang-orang yang menguasai sumber daya yang lebih besar, para penguasa masyarakat dan semua orang yang berkehendak baik yang bekerja untuk keadilan sosial: jangan lelah bekerja demi dunia yang makin adil, yang ditandai dengan solidaritas! Tidak ada orang yang bisa terus menerus tidak peka terhadap ketidak-setaraan yang bersikukuh mau tetap hadir di dunia ini. Tiap orang , menurut kesempatan dan tanggung-jawabnya masing-masing, harus mampu memberi sumbangan pribadi dalam mengakhiri begitu banyak ketidak-adilan sosial. Yang akan membuat dunia ini makin nyaman untuk dihuni, bukanlah, sekali lagi bukan, budaya egoisme dan individualisme yang seringkali menguasai masyarakat kita, melainkan budaya solidaritas. Budaya solidaritas berarti memandang orang lain bukan sebagai saingan atau sekedar angka, melainkan sebagai saudara dan saudari. Dan kita semua saudara dan saudari!

Saya mau mendorong upaya masyarakat Brazilia dalam menyatukan warganya, termasuk warga yang paling menderita dan sangat kekurangan, melalui perjuangan melawan kelaparan dan perampasan hak-hak. Banyaknya upaya perdamaian tidak berlangsung lama, dan kerukunan serta kebahagiaan pun tidak akan tercapai dalam sebuah masyarakat yang mengabaikan, meminggirkan atau tidak mengikut-sertakan sebagian warganya. Masyarakat semacam itu hanya akan memiskinkan diri sendiri, kehilangan hal yang paling penting dalam kehidupannya. Kita tidak pernah boleh, tidak pernah boleh, membiarkan budaya membuang-buang dan menyingkir-nyingkirkan itu masuk dalam hati kita. Kita tidak pernah boleh, tidak pernah boleh, membiarkan budaya membuang-buang dan menyingkir-nyingkirkan itu masuk dalam hati kita, sebab kita ini sesaudara, tak seorang pun boleh terbuang! Mari selalu ingat hal ini: hanya bilamana kita mampu berbagi, kita sungguh-sungguh menjadi kaya, sebab semua yang dibagi itu digandakan. Ingatlah akan mukjizat perbanyakan roti yang dilakukan Yesus! Ukuran besar-kecilnya suatu masyarakat terletak pada cara mereka memperlakukan orang-orang yang kekurangan, yang tidak mampu berbagi apa-apa dari kekurangannya.

Saya juga mau mengatakan kepada kalian bahwa Gereja adalah “penjaga keadilan dan pembela kaum miskin di hadapan ketimpangan sosial dan ekonomi yang tidak boleh dibiarkan, sebab berteriak ke surga” (Aparecida Document, 395), Gereja berharap dapat menawarkan dukungan bagi upaya semua orang yang memelopori dalam menghargai perkembangan sejati setiap dan seluruh pribadi. Teman-teman terkasih, sungguh perlu memberi roti kepada yang lapar – ini adalah sebuah tindakan keadilan. Namun ada pula kelaparan yang terdalam, lapar akan kebahagiaan yang hanya bisa dipuaskan oleh Tuhan sendiri, lapar akan martabat sebagai manusia. Tidak akan ada kemajuan dalam hal kepentingan umum dan tidak akan ada pula perkembangan yang sungguh-sungguh manusiawi, bilamana ada pengabaian terhadap tonggak-tonggak dasar untuk mengendalikan sebuah bangsa, yakni modal non-materiil: kehidupan, yang merupakan anugerah Tuhan, sebuah nilai yang selalu harus dilindungi dan ditingkatkan; keluarga, sebagai dasar kehidupan dan obat melawan perpecahan masyarakat; pendidikan utuh yang tidak dapat dimerosotkan menjadi sekedar penyampaian informasi untuk menghasilkan keuntungan;  kesehatan, yang harus bertujuan mencapai kebaikan pribadi yang utuh, termasuk kesehatan rohani, sebagai pokok untuk keseimbangan manusiawi dan kehidupan yang sehat; keamanan, tapi dengan keyakinan bahwa untuk mengalahkan kekerasan hanya dapat dengan mengubah hati manusia.

Saya mau menambah satu poin terakhir, satu poin saja. Di sini, seperti juga di seluruh Brazilia, ada banyak sekali kaum muda. Kalian, wahai kaum muda, teman-teman muda terkasih, kalian punya kepekaan yang istimewa mengenai ketidak-adilan, namun kalian seringkali dikecewakan oleh fakta mengenai korupsi di pihak orang-orang yang menaruh kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Bagi kalian dan semua saja, saya ulangi, jangan pernah berkecil-hati, jangan kehilangan kepercayaan diri, jangan biarkan pengharapanmu padam. Situasi dapat berubah, orang bisa berubah. Ayo jadilah yang pertama membawa kebaikan, jangan mau semakin terbiasa dengan kejahatan, tapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan. Gereja selalu beserta kalian, membawa sesuatu yang sangat berharga yaitu iman, membawa Yesus Kristus, yang “datang agar mereka mempunyai kehidupan yang berkelimpahan” (Yoh 10:10).

 

 

Komitmen Kepada Perdamaian

Kita, sebagai pemimpin pelbagai agama yang berbeda-beda, tidak dapat berbuat banyak. Perdamaian adalah tanggung-jawab setiap orang. Berdoa memohon perdamaian adalah juga suatu kerja untuk mendapat perdamaian! Seorang pemimpin agama adalah manusia perdamaian, karena perintah perdamaian tertera di kedalaman tradisi agama yang kita wakili. Namun apa yang bisa kita buat? Perjumpaan tahunan Anda mengusulkan jalan untuk maju yaitu keberanian untuk berdialog. Keberanian ini, dialog ini memberi kita pengharapan. Ini bukan masalah optimisme; sama sekali berbeda. Tapi pengharapan! Di dunia, di masyarakat, hanya ada sedikit damai, itu karena hilangnya dialog, sukarnya melampaui cakerawala kepentingan diri yang sempit, untuk membuka diri untuk perbandingan yang sejati dan tulus. Perdamaian menuntut dialog yang tekun, sabar, kuat dan cerdas. Hanya dengan begitu tidak ada yang terlewatkan. Dialog dapat membatalkan perang. Dialog dapat membawa orang dari generasi yang berbeda yang seringkali tidak mempedulikan satu sama lain, kepada hidup bersama. Dialog membuat warga-negara dari pelbagai latar belakang suku-ras dan kepercayaan yang berbeda, bisa hidup bersama. Dialog adalah jalan perdamaian. Untuk dialog dibutuhkan saling pengertian, kerukunan, keselarasan, dan damai. Karena alasan inilah sangat vital bahwa dialog dikembangkan dan meluas di antara orang-orang dari setiap kondisi dan kepercayaan, bagaikan jaring perdamaian yang melindungi dunia dan khususnya melindungi anggotanya yang paling lemah.

Sebagai pemimpin agama, kita terpanggil untuk menjadi manusia dialog yang sejati, untuk bekerja-sama membangun perdamaian, bukan sebagai perantara melainkan sebagai penengah. Perantara kerjanya untuk mendapat keuntungan diri sendiri. Tetapi penengah adalah orang tidak dapat keuntungan apa-apa untuk dirinya sendiri, sebaliknya mengabdikan diri dengan murah hati sampai dia sendiri habis, karena tahu bahwa tujuannya satu-satunya hanyalah perdamaian. Kita masing-masing dipanggil untuk menjadi tukang perdamaian, dengan mempersatukan bukan memecah-belah, dengan memadamkan kebencian bukan menyimpannya dalam hati, dengan membuka jalan untuk perdamaian bukan mendirikan tembok pemisah yang baru! Marilah berdialog dan berjumpa satu-sama-lain untuk membangun sebuah budaya dialog di dunia, budaya perjumpaan.

 

 

Menuju Solidaritas Yang Baru

Apa artinya “memikir ulang solidaritas setia-kawan”? Tentu saja bukan berarti mempertanyakan ajaran pedoman, melainkan mencoba makin menemukan keluasan dan kebaruan suatu pandangan mengenai hal itu. Lebih dari “memikir ulang”, menurut saya, pertama-tama berarti memadukan ajaran pedoman dengan perkembangan sosial-ekonomis yang terus menerus dan cepat, serta mengungkap aspek-aspek yang serba baru. Yang kedua, berarti memperdalam pengetahuan, merefleksi lebih jauh untuk mendapat makin banyak buah dari sebuah nilai – yakni solidaritas – yang ditarik ke kedalaman Injil yang memuat potensi yang tak habis ditimba.

Krisis ekonomi dan sosial sekarang ini membuat “memikir ulang” ini makin mendesak. Ini akan menampakkan kebenaran dan aktualitas penegasan ajaran sosial Laborem Exercens: “Ketika kita memandang seluruh keluarga besar bangsa manusia … kita tentu tersentak oleh fakta yang merisaukan bahwa ketika sebagian besar sumber daya alam nyata-nyata tak terpakai, ada sangat banyak orang yang menganggur atau mendapat upah rendah, dan tak terbilang banyaknya orang yang menderita kelaparan. Tak diragukan lagi, fakta ini menunjukkan bahwa … memang ada sesuatu yang tidak beres (no.18). Pengangguran adalah fenomena seperti licinnya minyak yang menyebar luas di wilayah-wilayah di Barat dan menjadi tanda bahaya akan meluasnya wilayah kemiskinan. Saya tekankan sungguh-sungguh di sini, bahwa tidak ada kemiskinan materiil yang lebih buruk dari pada kemiskinan karena terhambatnya orang untuk memperoleh makanan dan terhalangnya mereka mendapatkan kemuliaan kerja. Ya, hal yang tidak beres ini sekarang tidak hanya bersangkut-paut dengan belahan dunia Selatan saja, tapi juga seluruh planet bumi ini. Dari sebab itu perlunya “memikir ulang solidaritas” tidak lagi sekedar memikirkan bagaimana membantu kaum miskin, tapi memikirkan bersama seluruh dunia bagaimana membuat sistem lengkap menyeluruh, bersama-sama mencari cara dan jalan untuk terus memperbaharui dan mengkoreksi solidaritas sejalan dengan hak asazi manusia yang fundamental. Sangat pentinglah memperbaiki makna kata “solidaritas” ini, yang dipertanyakan oleh dunia ekonomi – seakan-akan solidaritas ini kata buruk – mengenai keanggotaan seseorang dalam masyarakat yang menjadi haknya. Solidaritas bukanlah sebuah sikap tambahan pada seorang manusia, bukan sebentuk kewajiban memberi sedekah, melainkan sebuah nilai sosial, yang menyuruh kita mengakui keanggotaan orang lain dalam masyarakat.

Krisis sekarang ini bukan hanya krisis ekonomi dan keuangan, tapi berakar dalam krisis etis dan antropologis. Minat pada berhala kekuasaan, uang, dan cari untung telah menjadi norma dasar dan ukuran berfungsinya dan berhasilnya sebuah organisasi. Kita telah lupa dan terus menerus lupa bahwa manusia ada di atas bisnis, cara-pikir pasar, dan ukuran pasar, dan bahwa laki-perempuan itu manusia sejauh berdasarkan martabatnya yang mendalam: kalau menunaikan kewajibannya menawarkan kepada mereka peluang untuk mendapat kehidupan yang bermartabat dan untuk ikut aktif dalam kepentingan bersama.

 


10Maria Bunda Pewartaan Kabar Baik

 

Teladannya

Tiga kata ini menyimpulkan sikap Maria: mendengarkan, memutuskan dan bertindak. Inilah tiga kata yang juga menunjukkan jalan kepada kita, ketika dalam kehidupan, kita berhadapan dengan perintah Tuhan. Mendengarkan, memutuskan dan bertindak.

 

  1. Mendengarkan. Apa yang mendorong Maria untuk pergi mengunjungi Elizabeth suadaranya? Kata-kata malaikat Tuhan “Elizabeth pada usia tuanya juga sedang mengandung seorang putera …” (Luk 1:36). Maria tahu bagaimana sikap yang benar dalam mendengarkan Tuhan. Perhatikan, ini bukan sekedar “mendengar”, sebuah kata yang dangkal, tapi “mendengarkan”, yang terdiri dari memperhatikan, mau menerima dan menyediakan diri bagi Tuhan. Bukan dengan cara sepintas-lalu seperti biasanya kalau kita menghadapi Tuhan atau orang lain: kita mendengar kata-kata mereka, namun tidak sungguh-sungguh mendengarkan. Maria sangat perhatian pada Tuhan. Dia mendengarkan Tuhan.

Bagaimanapun juga Maria juga memperhatikan kejadian-kejadian, yakni, menerjemahkan kejadian-kejadian hidupnya, dia sangat perhatian pada kenyataannya sendiri, dia tidak berhenti di permukaannya melainkan mendalaminya untuk mengerti maksudnya. Elizabeth saudaranya yang sudah lanjut usia, sedang mengandung seorang anak: inilah kejadiannya. Namun Maria sangat perhatian pada maknanya. Dia dapat mengerti maknanya bahwa: “Bagi Tuhan tidak ada yang mustahil” (Luk 1:37).

Ini juga terjadi dalam kehidupan kita: mendengarkan Tuhan yang sedang bicara kepada kita dan memperhatikan juga kenyataan sehari-hari, menaruh perhatian pada orang, pada kejadian, sebab Tuhan sedang ada di depan pintu kehidupan kita, sedang mengetuk dengan pelbagai cara, menaruh rambu-rambu di jalan hidup kita; dan memberi kita kemampuan untuk melihatnya. Maria adalah bunda yang mendengarkan, mendengarkan Tuhan dengan sangat perhatian dan mendengarkan kejadian-kejadian kehidupan dengan sangat perhatian.

  1. Kata kedua: memutuskan. Maria tidak hidup dalam ketergesa-gesaan, hampir tidak sempat bernafas, melainkan, seperti santo Lukas menegaskannya, Maria “menyimpan semua hal dalam hati” (Luk 2:19, 51). Lebih-lebih pada saat pewartaan kabar malaikat, dia juga bertanya “Apa ini artinya?” (Luk 1:34). Namun dia juga tidak berhenti pada saat merenungkannya. Dia melangkah setapak lebih jauh: dia memutuskan. Dia tidak hidup dalam ketergesa-gesaan tapi bila perlu “berjalan bergegas”. Maria tidak membiarkan dirinya terseret oleh kejadian-kejadian, dia tidak menghindari kewajiban untuk mengambil keputusan. Ini dilakukannya, baik dalam keputusan yang mendasar yang mengubah kehidupannya, “aku ini hamba Tuhan” (Luk 1:38), maupun dalam keputusan-keputusan dalam hidup rutin sehari-hari tapi penuh arti. Episode perkawinan di Kana (Yoh 2:1-11) muncul di pikiran saya: di sini kita juga melihat keadaan nyata Maria, kemanusiaannya dan kepraktisannya; dia sangat perhatian pada kejadian-kejadian, pada permasalahan-permasalahan. Dia melihat dan mengerti kesukaran yang dihadapi pasangan suami-isteri muda yang dalam pesta perkawinannya kehabisan anggur. Maria ikut memikirkannya, dia tahu bahwa Yesus bisa melakukan sesuatu lalu Maria memutuskan menyampaikannya kepada Anaknya agar ikut campur di situ “mereka kehabisan anggur” (ay.3). Maria memutuskan.

 Dalam kehidupan, mengambil keputusan itu sukar. Kita seringkali cenderung mengabaikannya, menyerahkannya kepada orang lain, biar mereka yang memutuskan. Kita acapkali memilih membiarkan diri hanyut dalam kejadian-kejadian, mengikuti gaya mutakhir. Kita kerapkali tahu apa yang seharusnya kita lakukan tapi tidak punya keberanian untuk melakukannya atau nampaknya hal itu terlalu sukar bagi kita sebab berarti berenang melawan arus. Dalam pewartaan kabar sukacita, dalam kunjungan Maria ke Elizabeth, dan dalam perkawinan di Kana, Maria melawan arus. Maria melawan arus, dia pilih mendengarkan Tuhan, merenungkannya dan berusaha mengerti kenyataannya dan memutuskan untuk mempercayakan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Biarpun dia sendiri sedang mengandung, dia memutuskan untuk mengunjungi kerabat tuanya. Dan dia memutuskan untuk mempercayakan diri kepada Anaknya dengan mendesak-Nya agar menjaga sukacita pesta perkawinan.

  1. Kata ketiga ialah bertindak. Maria berangkat menempuh perjalanan “dengan bergegas” (Luk 1:39). Minggu lalu saya menggaris-bawahi cara Maria bertindak. Walaupun ada kesulitan-kesulitan, kritik yang dihadapinya, karena keputusannya untuk berangkat, tidak ada yang dapat menghentikannya. Dan di situ dia berangkat “dengan bergegas”. Dalam doa, di hadapan Tuhan yang sedang bebicara padanya, dalam pikiran dan meditasi mengenai fakta kehidupannya, Maria tidak tergesa-gesa, dia tidak membiarkan diri tersapu oleh waktu, tidak membiarkan diri terhanyut dalam kejadian-kejadian. Bagaimanapun juga bilamana dia sudah mengerti jelas apa yang diminta Tuhan padanya, apa yang harus dilakukannya, dia tidak berputar-putar, tidak menunda-nunda, melainkan pergi “bergegas”. Santo Ambrosius mengomentarinya “Mengenai Roh Kudus, tidak ada yang lambat” (Epos. Evang. Sec. Lucam, II, 19: PL 15, 1560). Tindakan Maria adalah buah ketaatannya kepada kata-kata malaikat tapi diamalkan: dia pergi kepada Elizabeth agar bermanfaat baginya, dan dengan pergi meninggalkan rumah, meninggalkan diri sendiri, demi cinta, Maria membawa miliknya yang sangat bernilai yaitu Yesus. Dia membawa Anaknya. 

Kita sendiri juga kadangkala berhenti pada mendengarkan dan berpikir mengenai apa yang harus kita lakukan. Walaupun mungkin sudah jelas mengenai keputusan apa yang harus kita ambil, tapi kita tidak segera bertindak. Dan lebih-lebih lagi kita tidak berani mempertaruhkan diri untuk bergerak menuju orang lain “dengan bergegas” menolong mereka, mencoba mengerti mereka, mencintai mereka; dan seperti Maria membawa kepada mereka sesuatu yang paling bernilai yang telah kita terima, yaitu Yesus dan Injil-Nya, baik dengan kata-kata maupun paling penting dengan kesaksian nyata dengan perbuatan.

Maria adalah perempuan yang mendengarkan, yang memutuskan dan bertindak.

 

Iman Maria

Kita bisa bertanya: bagaimana iman Maria itu?

 

  1. Aspek pertama dari iman Maria adalah ini: membuka ikatan-tali dosa (lih. Lumen Gentium, 56). Apa artinya? Bapa-bapa Konsili Vatikan-II mengambil ungkapan santo Ireneus, yang menyatakan bahwa “ikatan-tali ketidak-taatan Hawa dibuka oleh ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa dengan ketidak-percayaannya, dibuka oleh Perawan Maria dengan kepercayaannya (Adversis Haereses, III, 22, 4).

“Ikatan-tali” ketidak-taatan dan “ikatan-tali” ketidak-percayaan. Bilamana anak tidak taat kepada orangtuanya, bisa kita katakan, tercipta sebuah “ikatan-tali”. Ini terjadi bilamana anak bertindak dengan sadar akan apa yang diperbuatnya, khususnya jika di situ juga ada kebohongannya. Pada saat itu, anak merusak kepercayaan dengan orangtua. Kalian tahu betapa seringnya itu terjadi! Dengan begitu hubungan dengan orangtua perlu dibersihkan kembali dari kesalahan ini; anak harus minta maaf agar keserasian dan kepercayaan bisa dipulihkan. Hal semacam itu juga terjadi dalam hubungan kita dengan Tuhan. Bilamana kita tidak mendengarkan-Nya, tidak mengikuti keinginan-Nya, kita terang-terangan menunjukkan kurang kepercayaan kita pada-Nya –itulah dosa – dan semacam ikatan-tali tercipta di dalam diri kita. Ikatan-ikatan-tali ini membuang kedamaian dan kecerahan hati. Itu semua sangat berbahaya, karena banyaknya ikatan-tali bisa membentuk jerat yang makin menyakitkan makin menyakitkan dan ikatan-ikatan-tali itu sukar dibuka.

Namun kita tahu satu hal ini: tidak ada yang mustahil bagi belas-kasih Allah! Bahkan ikatan-tali yang paling menjeratpun bisa dibuka oleh belas-kasih-Nya. Dan Maria, yang kata “Ya”-nya telah membuka pintu bagi Tuhan untuk datang melepaskan ikatan-tali ketidak-taatan Hawa, Maria adalah Ibu yang dengan sabar dan penuh kasih membawa kita kepada Tuhan, sehingga Dia bisa melepas ikatan-ikatan-tali yang menjerat jiwa kita dengan belas-kasih kebapaan-Nya. Kita semua punya ikatan-ikatan-tali ini dan kita bisa bertanya di kedalaman hati kita: apa saja ikatan-ikatan-tali kehidupan kita? “Bapa, ikatan-ikatan-tali saya tidak mungkin dilepas!” Mengatakan semacam itu salah besar! Sebab semua ikatan-tali hati kita, setiap ikatan-tali hati nurani kita bisa dilepas. Apakah saya pernah minta Maria menolong memohon belas-kasih Tuhan, agar melepas ikatan-tali kita, mengubah saya? Maria sebagai perempuan beriman, tentu akan mengatakan kepada kalian “Ayo bangun, pergilah kepada Tuhan: Dia sudah mengerti kalian”. Dan Maria membimbing kita dengan tangan keibuannya, ibu kita, kepada pelukan Bapa kita, Bapa penuh belas-kasih.

  1. Aspek kedua adalah bahwa iman Maria memberi tubuh manusia kepada Yesus. Seperti yang dikatakan oleh Konsili Vatikan-II: “Melalui iman dan ketaatannya, Maria melahirkan di dunia Putera tunggal Bapa, tanpa mengenal seorang pria tetapi dengan naungan Roh Kudus” (Limen Gentium, 63). Yang hendak ditekankan oleh Bapa-bapa Konsili adalah ini: ketika Maria mengatakan “Ya” atas warta yang diberikan Tuhan kepadanya melalui malaikat, dia pertama-tama mengandung Yesus dalam iman, baru kemudian dalam daging. Apa artinya ini? Ini berarti bahwa Tuhan tidak mau menjadi manusia dengan mengabaikan kebebasan kita; Dia mau melalui persetujuan bebas Maria, melalui “Ya”nya. Dia bertanya kepadanya “Apakah kamu bersedia melakukan hal ini?” Dan Maria menjawab “Ya”.

Namun yang terjadi secara khusus pada Perawan Maria juga terjadi pada kita, secara rohani, bilamana kita menerima Sabda Allah dengan hati yang baik dan tulus dan mempraktekkannya. Seakan-akan Tuhan memakai tubuh kita dan tinggal di antara kita, sebab Dia tinggal di dalam mereka yang mengasihi-Nya dan menaati Firman-Nya. Tidak mudah mengerti hal ini, tapi sungguh mudah merasakannya di hati.

Apakah kita kira penjelmaan Yesus itu sekedar peristiwa masa lampau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita pribadi? Percaya kepada Yesus berarti memberi kepada-Nya tubuh kita dengan kerendahan hati serta keberanian Maria, sedemikian rupa sehingga Yesus bisa selalu tinggal di tengah kita. Itu berarti memberikan kepada-Nya tangan kita untuk membelai anak-anak kecil dan kaum miskin, serta menopang yang lemah agar bisa bekerja di kebun anggur Tuhan; memberi kaki kita untuk pergi keluar menjumpai saudara-saudari kita; memberi pikiran kita untuk memikirkan dan bertindak dalam terang Injil; dan khususnya menawarkan hati kita untuk mengasihi dan mengambil pilihan sesuai dengan kehendak Tuhan. Semua ini bisa terjadi berkat karya Roh Kudus. Dengan cara ini kita menjadi alat di tangan Tuhan sehingga Yesus dapat bertindak di dunia melalui diri kita.

  1. Lalu aspek ketiga adalah iman Maria sebagai sebuah perjalanan. Konsili mengatakan bahwa Maria “melanjutkan perjalanan imannya” (ibid. 58). Dengan cara ini dia mendahului kita dalam peziarahan ini, dia menemani dan mendukung kita.

Perjalanan iman Maria itu bagaimana? Seperti ini: seluruh kehidupan Maria adalah mengikuti Anaknya; Dia – Yesus – adalah jalan! Mendesak maju ke depan dalam iman, meneruskan perjalanan dalam peziarahan rohani (yakni iman), tak lain adalah mengikuti Yesus; mendengar Dia dan dituntun oleh Sabda-Nya; melihat bagaimana Dia bertindak dan mengikuti jejak langkah-Nya, memiliki perasaan yang sama dengan Dia. Dan apa itu perasaan Yesus? Kerendahan hati, belas-kasih, kedekatan dengan orang lain, tapi juga tegas menolak kemunafikan, bermuka-dua, dan berhala. Jalan Yesus adalah jalan kasih yang setia kepada tujuan, bahkan sampai mengorbankan kehidupan-Nya, itulah jalan salib. Jadi, perjalanan iman itu melalui jalan salib. Maria mengerti hal ini sejak awal, ketika raja Herodes mau membunuh Yesus yang baru lahir. Tapi akhirnya pengalaman salib menjadi lebih dalam ketika Yesus ditolak orang. Maria selalu bersama Yesus, dia mengikuti Yesus, di tengah-tengah orang banyak dan dia mendengar semua gossip dan kekejian mereka yang melawan Tuhan. Dan dia memikul salib! Iman Maria menjumpai kesalah-pahaman dan penghinaan. Bila tiba “saatnya” Yesus, saat kesengsaraan, pada waktu itu iman Maria menjadi nyala api kecil di malam-hari, cahaya kecil yang berkedip di kegelapan. Melalui Sabtu malam Paska, Maria juga berjaga. Nyalanya, kecil tapi cemerlang, tetap bernyala sampai subuh pada hari kebangkitan. Dan ketika dia menerima berita bahwa makan kosong, hatiya dipenuhi dengan sukacita iman: iman Kristiani akan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Iman selalu membawa sukacita, dan Maria adalah bunda sukacita! Semoga dia mengajari kita memilih jalan sukacita, untuk mengalami sukacita ini! Itulah titik tertinggi – sukacita ini, perjumpaan Yesus dan Maria ini, dan kita dapat membayangkan seperti apa itu. Perjumpaan Yesus-Maria adalah titik tertinggi perjalanan iman Maria, dan juga titik tertinggi perjalanan iman seluruh Gereja. Iman kita semacam apa? Apakah seperti iman Maria, kita menjaganya agar tetap bernyala, bahkan pada waktu kesulitan, pada saat-saat kegelapan?  Apakah saya merasakan sukacita iman?

 

Pengantaraannya

Di salib, ketika Yesus mengalami dalam tubuh-Nya perjumpaan dramatis antara dosa dunia dengan belas-kasih Allah, Dia dapat merasakan di bawah kaki-Nya kehadiran ibu-Nya dan teman-Nya yang sangat menghibur. Pada saat yang penting itu, sebelum Dia mengakhiri sepenuhnya karya yang telah dipercayakan Bapa kepada-Nya, Yesus berkata kepada Maria “Ibu, itu anakmu”. Kemudian Dia berkata kepada teman terkasih-Nya “Itu ibumu” (Yoh 19:26-27). Kata-kata dari Yesus yang akan mati ini bukan terutama ungkapan bakti dan perhatian-Nya kepada ibunda-Nya, tapi lebih-lebih merupakan rumusan wahyu yang mengungkapkan misteri misi penyelamatan yang istimewa. Yesus meninggalkan kepada kita, ibu-Nya menjadi ibu kita. Hanya dengan berbuat demikian Yesus tahu bahwa “selesailah sudah” (Yoh 19:28). Pada kaki salib, pada saat puncak penciptaan baru, Kristus mengantar kita kepada Maria. Dia membawa kita kepadanya sebab Dia tidak ingin kita menempuh perjalanan tanpa seorang ibu, dan umat kita bisa membaca dalam gambar keibuan ini semua misteri Injil. Tuhan tidak ingin meninggalkan kita tanpa sosok keibuan. Maria, yang membawa Yesus masuk ke dunia dengan iman yang kuat, juga menemani “keturunannya yang lain, yang menuruti hukum-hukum Allah dan memiliki kesaksian Yesus” (Wahyu 12:17). Hubungan erat antara Maria, Gereja dan setiap umat beriman, didasarkan pada fakta bahwa setiap umat dengan caranya masing-masing membawa Kristus keluar, itu telah diungkapkan secara indah oleh Beato Isaac Stella “Dalam Kitab Suci, apa yang dikatakan secara universal mengenai Gereja, sang bunda perawan, dipahami secara individual mengenai Perawan Maria … Dengan satu cara, tiap orang Kristiani juga dipercaya sebagai seorang mempelai sabda Allah, seorang ibu Kristus, anak-putri dan saudari-Nya, dan sekaligus perawan dan berputera banyak … Kristus tinggal selama sembilan bulan dalam tabernakel rahim Maria. Sampai akhir jaman, Dia tinggal dalam tabernakel iman Gereja. Dia akan tetap tinggal dalam pikiran dan hati setiap umat beriman.

Dengan kain lampin yang sederhana dan limpahan kasih yang berlimpah, Maria mampu membuat kandang menjadi rumah bagi Yesus. Dia adalah hamba yang melagukan pujian bagi Bapa. Dia adalah teman yang sangat peduli agar kita tidak kekurangan anggur dalam kehidupan. Dia adalah wanita yang hatinya dilukai pedang dan yang mampu mengerti semua derita kita. Sebagai ibu kita semua, dia adalah tanda pengharapan bagi orang yang menderita pedihnya melahirkan keadilan. Dia adalah misionaris yang selalu mendampingi kita dan menemani kita sepanjang hidup kita, dengan membuka hati kita kepada iman dengan kasih keibuannya. Sebagai ibu sejati, dia berjalan di samping kita, ikut berjuang dan membentengi kita terus menerus dengan kasih Allah. Melalui banyak gelarnya, yang seringkali tertulis di tempat-tempat peziarahannya, Maria menyertai dalam sejarah setiap umat yang telah menerima Injil dan dia menjadi bagian dari identitas historis mereka. Banyak orangtua Kristiani minta agar anaknya dibaptis di tempat ziarah Maria, sebagai sebuah tanda iman mereka kepada keibuan Maria yang melahirkan anak-anak baru bagi Tuhan. Di tempat-tempat ziarah itu kita dapat melihat bagaimana Maria mengumpulkan anak-anaknya yang dengan susah-payah datang sebagai peziarah untuk melihat Maria dan dilihat oleh Maria. Di situ mereka mendapat kekuatan dari Tuhan untuk mampu menanggung kelelahan dan derita hidupnya. Seperti yang dibuatnya di Juan Diego, Maria menawarkan penghiburan dan kasih keibuannya, dan membisikkan di telinga mereka: “Jangan risau hatimu … apa aku ibumu tidak hadir di sini?”

Kita mohon pada Bunda Injil yang hidup ini untuk mengantarkan permohonan agar undangan untuk memulai tahap pewartaan Kabar Sukacita ini akan diterima oleh seluruh komunitas gereja. Maria adalah wanita iman, yang menghayati dan maju dalam iman. “Dan peziarahan imannya yang istimewa memberi teladan dan pedoman bagi Gereja”. Maria membiarkan dirinya dibimbing oleh Roh Kudus dalam sebuah perjalanan iman untuk memenuhi panggilan untuk melayani dan berbuah. Hari ini kita memandang dia dan memohon kepadanya agar menolong kita memaklumkan berita keselamatan kepada semua orang dan untuk memampukan para murid yang baru agar pada gilirannya menjadi pewarta Kabar Sukacita. Sepanjang perjalanan mewartakan Kabar Sukacita kita akan mengalami waktu-waktu kekeringan, kegelapan dan bahkan kelelahan. Maria sendiri sudah mengalaminya selama tahun-tahun masa kanak-kanak Yesus di Nazareth. Inilah awal dari Injil, kabar baru yang penuh sukacita. Bagaimanapun juga tidaklah sukar melihat pada awalnya adanya rasa berat hati, sehubungan dengan malam kelamnya iman – memakai kata-kata santo Yohanes dari Salib –  semacam “tirai” yang harus ditembus untuk mendekat kepada Yang Tak Kelihatan dan untuk menjalin hidup mesra dengan yang misteri itu. Dan inilah caranya Maria selama bertahun-tahun hidup dalam kemesraan dengan misteri Anaknya, dan meneruskan perjalanan imannya.

Ada gaya Maria dalam cara kerja Gereja mewartakan Kabar Sukacita. Bilamanapun kita memandang Maria, kita jadi percaya lagi kepada koderat cinta dan kelembutan yang revolusioner. Di dalam Maria kita melihat bahwa kerendahan hati dan kelembutan itu bukan kelemahan tapi kekuatan yang tidak butuh memperlakukan orang lain secara buruk untuk merasa diri penting. Dengan merenungkan Maria, kita menyadari bahwa dia yang memuliakan Allah sebab “menurunkan orang yang berkuasa dari tahtanya dan menyuruh pergi orang yang kaya dengan tangan hampa” (Luk 1:52-53) Maria juga yang membawa kehangatan rumah tangga dalam upaya kita mencari keadilan. Maria juga secara hati-hati menyimpan semua hal di dalam hati (Luk 2:19). Dia mampu mengenal jejak-langkah Roh Tuhan dalam kejadian-kejadian besar dan kecil. Dia terus menerus merenungkan misteri Tuhan di dunia, dalam sejarah manusia dan dalam kehidupan sehari-hari. Dia adalah wanita doa dan wanita kerja di Nazareth, dan dia juga Bunda Penolong, yang berangkat keluar kota “dengan bergegas-gegas” (Luk 1:39) untuk melayani orang lain. Campuran riwayat keadilan dan kelembutan, kontemplasi dan kepeduliaan pada orang lain, itulah yang membuat komunitas Gereja menyerupai Maria, model pewartaan Kabar Sukacita. Kita mohon pengantaraan keibuannya agar Gereja dapat menjadi rumah bagi banyak orang, ibu untuk semua orang, dan agar membuka jalan untuk lahirnya dunia baru. Kristus yang bangkitlah yang dengan kekuatan yang mengisi kita dengan kepercayaan dan pengharapan yang tak tergoyahkan, mengatakan kepada kita “Lihatlah, Aku membuat semuanya jadi baru” (Wahyu 21:5). Dengan Maria, kita maju dengan penuh kepercayaan menuju kepenuhan janji Allah ini.


Tanggal-tanggal Utama Kehidupan Paus Fransiskus

1936   17 Desember. Jorge Mario Bergoglio lahir di Buenos Aites dalam sebuah keluarga, yang aslinya dari Marche (Italia), yang migrasi ke Argentina. Mario, ayahnya, adalah seorang akuntan di PJKA (perusahaan jawatan kereta api). Regina Sivori, ibunya, seorang ibu rumah-tangga. Jorge adalah anak sulung dari 5 bersaudara. Oscar, Maria, Alberto, dan Maria Elena.

1957   Setelah lulus sarjana kimia, dia memilih menjadi imam dan mulai pendidikan seminari di Villa Devoto.

1958 11 Maret. Dia mulai pendidikan Novisiat pada Serikat Yesus dan, 2 tahun kemudian (12 Maret 1960) mengucapkan kaul pertama.

1963   Setelah menyelesaikan kuliah humanistik di Santiago di Cile, dia kembali ke Argentina, di mana dia memperoleh gelar sarjana filsafat di San Jose Cellege di San Miguel.

1964-66 Dia mengajar kesusastraan dan psikologi, awalnya di Santa Fe dan kemudian di Buenos Aires.

1969   13 Desember, ditahbiskan menjadi imam.

1970   22 April dia mengucapkan kaul kekal.

             31 Juli sesudah menjadi anggota Dewan Konsultor Yesuit, dia menjadi Superior Provinsial Yesuit Argentina.

1980   Diangkat menjadi Rektor San Jose College sampai 1986 dan kemudian studi teologi di Jerman dan mengadakan riset mengenai Romano Guardini sebagai disertasi Doktornya. Studinya di Jerman terhenti karena panggilan dari para Superiornya di Argentina untuk menerima tugas-tugas lebih tinggi. Sebagai seorang imam dia mengurus sebuah paroki di Cordoba.

1992   20 Mei. Sesudah melayani beberapa tahun sebagai direktur spiritual dan bapa pengakuan dosa, dia diangkat oleh Paus Paulus-II menjadi Uskup Auksilier Buenos Aires. Dia bekerja sangat dekat dengan Kardinal Antonio Quarracino, yang mentahbiskannya menjadi Uskup (27 Juni). Sebagai motto, dia memilih “Miserando atque eligendo” (Karena belas-kasih-Nya Dia memilih aku) dan pada lambang keuskupannya dia menyisipkan singkatan IHS (iesus humanum salvator, Yesus penebus manusia), lambang dari Serikat Yesus.

1993   21 Desember dia diangkat menjadi Vikjen (vikaris jendral) Keuskupan Agung,

1997   3 Juni dia dipromosi menjadi Pembantu Uskup Agung Buenos Aires. Setahun kemudian, ketika Kardinal Quarracino wafat, dia menggantikannya mengurus Keuskupan-Agung (28 Februari) dan juga menjadi Primat Argentina.

2001   dia diangkat oleh Paus Yohanes-Paulus-II menjadi Kardinal.

2005   dia ikut sidang konklav yang memilih Paus Benediktus-XVI.

  • 2013  
    • 11 Februari Paus Benedictus-XVI mengumumkan mau meninggalkan tahta Petrus pada akhir bulan.
    • 13 Maret dia terpilih menjadi Pontifex Supremus (Imam MahaAgung, Paus), memilih nama Fransiskus. Dia adalah Paus pertama dari Amerika Latin, Paus Yesuit pertama dan Paus pertama yang memakai nama Fransiskus.
    • 07 April dia menduduki tahta Uskup Roma, Chatedra Romana.
    • 24 Juni dia membentuk Komisi Kepausan untuk menyelidiki kasus Institut Untuk Karya-karya Agama (bank Vatikan).
    • 29 Juni dia menerbitkan eksiklik pertama Lumen Fidei dokumen Paus Benedictus-XVI yang diwariskan kepadanya.
    • 8 Juli mengadakan kunjungan bersejarah pertama ke pulau Lampedusa.
    • 22-29 Juli  ikut ambil-bagian dalam Hari Kaum Muda Sedunia di Rio de Janeiro, Brasilia.
    • 22 September kunjungan pastoral di Cagliari.
    • 28 September. Membentuk “Dewan Kardinal”, yang tugasnya memberi nasihat kepada Paus Fransiskus dalam mengelola seluruh Gereja Universal dan memulai reorganisasi Konstitusi Apostolik Pastor Bonus mengenai peran Kuria Roma.
    • 4 Oktober kunjungan pastoral ke Asisi.
    • 24 November, menerbitkan Anjuran Kepausan Evangelii Gaudium.

2014   22 Februari, mengundang Konsistori (Dewan Kardinal) untuk mengangkat kardinal baru.


Daftar Sumber

 

  1. Kabar Baik Kristus
    1. The Embrace of God’s Mercy: Homili untuk misa Naik Tahta Uskup Roma, 7 April 2013 (www.vatican.va).
    2. The Light of Faith: Lumen Fidei, 29 Juni 2013, no.3 dan 34 (www.vatican.va).
    3. The Christian Message: Homili untuk Vigili Paska, 30 Maret 2013 (www.vatican.va).
    4. The Revolution of Freedom: sambutan Paus Fransiskus kepada konvensi gereja Keuskupan Roma, 17 Juni 2013 (www.vatican.va).
    5. Being with Christ: Sambutan Bapa Suci kepada peserta Konggres Internasional mengenai Katekese, 27 September 2013 (www.vatican.va).
  2. Gereja yang miskin untuk kaum miskin
    1. Listen to the Cry of the Poor: Evangelii Gaudium, 24 November 2013, no.186-8.198 (www.vatican.va).
    2. A House of Communion: Audiensi Umum, 25 November 2013 (www.vatican.va).
    3. A House that Welcomes All: Audiensi Umum, 2 Oktober 2013 (www.vatican.va).
    4. A House of Harmony: Audiensi Umum, 9 Oktober 2013 (www.vatican.va).
    5. Sent to Bring the Gospel to All the World: Audiensi Umum, 10 Oktober 2013 (www.vatican.va).
  3. Mendengarkan Roh Kudus
    1. Be Guided by the Holy Spirit: Audiensi Umum, 15 Mei 2013 (www.vatican.va).
    2. Newness, Harmony, Mission: Homili pada Hari Raya Pentakosta, 19 Mei 2013 (www.vatican.va).
  4. ​​​​​​​Pewartaan dan Kesaksian
    1. Do not be Afraid: Regina Coeli, 14 April 2013 (www.vatican.va).
    2. Bringing the Word of God: Homili untuk misa di Basilika St Paulus Luar Tembok, 14 April 2013 (www.vatican.va).
    3. Called to Proclaim the Gospel: Homili pada misa bersama Uskup-uskup Brasilia, 27 Juli 2013 (www.vatican.va).
    4. Conveying Hope and Joy: Homili di Basilika Bunda Maria dari Aparecida, 24 Juli 2013 (www.vatican.va).
    5. Giving All: Homili pada pengakuan iman bersama Uskup-uskup Konferensi Waligereja Italia, 23 Mei 2013 (www.vatican.va).
  5. ​​​​​​​Orang Kristiani Sepanjang Waktu
    1. Coming Out of Ourselves: Audiensi Umum, 27 Maret 2013 (www.vatican.va).
    2. Walking: Sambutan Paus Fransiskus kepada para imam di Katedral St Rufino di Asisi, 4 Oktober 2013 (www.vatican.va).
    3. Taking the Cross: Homili pada Minggu Palem, 24 Maret 2013 (www.vatican.va).
    4. Evangelising: Audiensi Umum, 22 Mei 2013 (www.vatican.va).
  6. ​​​​​​​Gembala-gembala “Berbau Domba”
    1. To be a Pastor: Sambutan Paus Fransiskus kepada grup Uskup-uskup yang baru saja ditahbiskan dalam sebuah konferensi, 19 November 2013 (www.vatican.va).
    2. Priests who come to Serve: Homili 21 April 2013 (www.vatican.va).
    3. The Annointing of the People: Homili pada Misa Krisma, 28 Maret 2013 (www.vatican.va).
  7. ​​​​​​​Memilih Mereka yang Terakhir
    1. To the Outskirts of Existence: Sambutan Paus Fransiskus kepada gerakan-gerakan awam pada Vigili Pentakosta, 18 Mei 203 (www.vatican.va).
    2. Hospitality and Service: Sambutan Paus Fransiskus kepada missionaris yang bekerja pada Domo di Maria, rumah-singgah bagi gelandangan, 21 Mei 2013 (www.vatican.va).
    3. Refugee and Those Uprooted from the Life: Sambutan Paus Fransiskus kepada peserta Dewan Kepausan untuk pemeliharaan pastoral bagi migran dan kaum musafir, 24 Mei 2013, (www.vatican.va).
    4. A Culture of Solidarity: Sambutan Paus Fransiskus pada Pusat Astalli, pelayanan Yesuit untuk para pengungsi di Roma, 10 September 2013 (www.vatican.va).
  8. ​​​​​​​Membasmi Berhala-berhala
    1. Logics of Power and Violence: Homili pada Vigili Doa bagi Perdamaian, 7 September 2013, (www.vatican.va).
    2. The Cult of the God of Money: Audiensi Umum, 5 Juni 2013 (www.vatican.va).
    3. The Leprosy of Careerism: Sambutan Paus Fransiskus kepada Komunitas Akademi Kegerejaan Kepausan, 6 Juni 2013 (www.vatican.va).
    4. Undressing the Spirit of the World: Pidato di kediaman Uskup Agung Asisi, 4 Oktober 2013 (www.vatican.va).
  9. ​​​​​​​Budaya Kebaikan
    1. Free to Choose Good: Sambutan Paus Fransiskus kepada siswa-siswa dari sekolah-sekolah Yesuit, 7 Juni 2013 (www.vatican.va).
    2. The Hunger of Dignity: Sambutan Paus Fransiskus kepada Komunitas Virginha 25 Juli 2013 (www.vatican.va).
    3. The Commitment to Peace: Sambutan Paus Fransiskus kepada para peserta Pertemuan Internasional untuk Perdamaian yang disponsori oleh Komunitas St Egidio, 30 September 2013 (www.vatican.va).
    4. For a New Solidarity: Sambutan Paus Fransiskus kepada Yayasan Centesimus Annus Pro Pontifice, 25 Mei 2013 (www.vatican.va).
  10. ​​​​​​​Maria, Bunda Pewartaan Kabar Sukacita
    1. Her Example: Sambutan Paus Fransiskus pada akhir Bulan Maria bulan Mei, 31 Mei 2013 (www.vatican.va).
    2. Her Faith: Doa untuk Hari Maria, 12 Oktober 2013 (www.vatican.va).
    3. Her Intercession: Evangelii Gaudium, 24 Novemver 2013, no.285-8 (www.vatican.va).