KONGGREGASI SUCI UNTUK LEMBAGA-LEMBAGA HIDUP BAKTI
DAN TAREKAT-TAREKAT HIDUP APOSTOLIK
TAHUN HIDUP BAKTI
BERSUKACITALAH!
Sebuah surat kepada para biarawan-biarawati
Sebuah warta dari ajaran-ajaran Paus Fransiskus.
“Saya ingin mengatakan satu kata
kepada Anda dan kata itu adalah sukacita.
Di mana pun ada biarawan-biarawati
di situ selalu ada sukacita”
(Paus FRANSISKUS).
INDEX
- • Saudara-saudari terkasih
- • Bergembiralah, bersukacitalah, dan pancarkanlah sukacita
- • Mendengarkan
- • Sukacita, suatu keindahan hidup bakti
- • Panggilanmu
- • Ditemukan, dijamah, dan diubah
- • Sukacita, sebuah “Ya” yang setia terus menerus
- • Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku
- • Mendengarkan
- • Membawa pelukan Allah
- • Kelemah-lembutan itu baik bagi kita
- • Kedekatan sebagai pendampingan
- • Kegelisahan Kasih
- • Untuk refleksi
- • Beberapa pertanyaan-pertanyaan dari Paus Fransiskus
- • Salam, Bunda Sukacita
1, “Sukacita Injil memenuhi hati dan kehidupan semua orang yang berjumpa dengan Yesus. Dengan Yesus Kristus, sukacita dilahirkan lagi secara tetap” (1)
Awal dari Evangelii Gaudium, di dalam kerangka ajaran Paus Fransiskus, berbunyi keras sekali dengan vitalitas yang mencengangkan, sebab dia memaklumkan misteri indah Kabar Baik yang mengubah kehidupan pribadi orang yang meresapkannya dalam hati. Kita diberi-tahu perumpamaan mengenai sukacita itu, bahwa perjumpaan kita dengan Yesus menyalakan menerangi dalam diri kita kecantikannya yang asli, kecantikan wajah yang disinari kemuliaan Bapa (2 Kor 4:6), yang memancarkan kabahagiaan.
Dengan undangan khusus yang disampaikan Paus kepada mereka yang menjalani hidup bakti, Konggregasi Suci untuk Lembaga Hidup Bakti dan Tarekat-tarekat Hidup Apostolik mengajak kita merefleksikan masa berahmat yang dianugerahkan kepada kita agar kita hayati.
Menerima ajaran ini berarti memperbaharui keberadaan kita selaras dengan Injil, bukan dimengerti dalam arti radikal sebagai model kesempurnaan dan seringkali model pemisahan diri dari dunia, namun dengan masuk sepenuh hati dalam perjumpaan yang menyelamatkan dengan Tuhan, yang mengubah kehidupan kita. “Itu adalah masalah meninggalkan segalanya untuk mengikuti Tuhan. Saya tidak mau mengatakan ini “radikal”. Tidak. Keradikalan Injil tidak hanya untuk kaum relijius: tetapi tuntutan bagi semua umat Kristiani. Namun kaum relijius mengikuti Tuhan dengan cara khusus, dengan cara profetis kenabian. Itulah kesaksian yang saya harapkan dari Anda. Kaum relijius haruslah laki-perempuan yang mampu menggugah dunia” (2).
Dalam kemanusiaannya yang serba terbatas, dalam perjuangannya sehari-hari, kaum biarawan-biarawati menghayati dengan sungguh-sungguh ketaatannya, dengan memberi alasan mengapa sukacita berkembang dalam diri mereka. Dengan demikian mereka menjadi saksi-saksi yang indah. Menjadi pewarta-pewarta yang efektif, teman dan sesama bagi orang-orang seperjalanan dalam sejarah yang sama yang mau menemukan rumah Bapanya dalam Gereja (3). Fransiskus Asisi, yang mengambil Injil sebagai jalan hidupnya “membuat iman tumbuh. Dia memperbaharui Gereja dan sekaligus masyarakat. Dan dia membuat masyarakat lebih bersahabat. Tapi dia melakukannya selalu dengan Injil dan melalui kesaksiannya. Selalu wartakanlah Injil dan jika perlu gunakanlah kata-kata” (4).
Banyak anjuran, kita terima, ketika mendengarkan kata-kata Paus, namun kita khususnya ditantang oleh kesederhanaan ajarannya, selaras dengan kesungguhan Injil yang menarik hati. Kata-kata sederhana yang ditabur oleh tangan penabur yang baik, yang dengan tulus tidak membeda-bedakan tanah macam ini dan itu.
Ajakan yang berwibawa ditawarkan kepada kita dengan kepercayaan yang lembut, sebuah ajakan tanpa argumentasi kelembagaan dan pembenaran diri. Tapi sebuah kata yang memprovokasi dan mempertanyakan cara hidup kita yang kadang-kadang acuh-tak-acuh dan mengantuk, sebagaimana kita kerap melakukannya di tepian tantangan: jika kalian punya iman sebesar biji sesawi saja (Luk 17:5). Sebuah ajakan yang menyemangati dan mendorong semangat kita untuk mengakui Sabda yang hidup di tengah kita, Roh yang menciptakan dan terus memperbaharui Gereja.
Surat ini mendapat motivasi dari ajakan tersebut, dengan harapan akan mengawali refleksi yang disharingkan. Surat ini ditawarkan sebagai alat sederhana untuk memeriksa kehidupan kita dengan jujur di bawah cahaya Injil. Karena itu Konggregasi ini menampilkan langkah-langkah yang dibicarakan bersama, ruang untuk refleksi, baik secara pribadi, bersama maupun kelembagaan, ketika kita akan memasuki tahun 2015, tahun yang dipersembahkan Gereja untuk hidup bakti, dengan keinginan dan maksud agar membuat keputusan-keputusan injili yang berani, yang menghasilkan kehidupan baru dan berbuah sukacita. “Keunggulan Allah telah memberi makna dan sukacita penuh kepada kehidupan manusia, sebab manusia laki-perempuan diciptakan untuk Allah; dan hati mereka selalu gelisah jika belum beristirahat dalam Dia” (5).
BERGEMBIRALAH, BERSUKACITALAH DAN PANCARKANLAH SUKACITA
Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya!
supaya kamu mengisap dan menjadi kenyang dari susu yang menyegarkan kamu, supaya kamu menghirup dan menikmati dari dadanya yang bernas.
Sebab beginilah firman TUHAN: Sesungguhnya, Aku mengalirkan kepadanya keselamatan seperti sungai, dan kekayaan bangsa-bangsa seperti batang air yang membanjir; kamu akan menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai di pangkuan.
Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku ini akan menghibur kamu; kamu akan dihibur di Yerusalem.
Apabila kamu melihatnya, hatimu akan girang, dan kamu akan seperti rumput muda yang tumbuh dengan lebat; maka tangan TUHAN akan nyata kepada hamba-hamba-Nya, dan amarah-Nya kepada musuh-musuh-Nya.
(Yes 66:10-14).
2, Dalam Kitab Suci, istilah sukacita (dalam bahasa Ibrani: s’imh. a/s’amah, gyl) dipakai untuk mengungkapkan berbagai pengalaman kolektif dan pribadi yang dihubungkan secara khusus dengan upacara-upacara dan pesta keagamaan, dan bisa dipakai untuk mengenal makna kehadiran Allah dalam sejarah Israel. Memang ada 13 kata kerja dan kata benda yang berbeda-beda yang ditemukan dalam Kitab Suci, semuanya untuk menggambarkan sukacita dari Allah, manusia dan alam ciptaan sendiri, dalam sangkut-pautnya dengan keselamatan.
Dalam Perjanjian Lama, hal-hal yang sama terulang paling banyak dalam kitab Mazmur dan kitab nabi Yesaya. Dengan variasi linguistik yang kreatif dan orisinil, ada banyak ajakan untuk bersukacita. Sukacita karena berita “Tuhan sudah dekat” dimaklumkan, dn sebagai kesukaan akan ciptaan Allah. Beratus kali dalam kitab Mazmur ada ungkapan-ungkapan yang tepat untuk menunjukkan bahwa sukacita merupakan buah kehadiran Allah yang baik hati maupun merupakan gaung pesta yang ditimbulkannya, serta merupakan pemakluman kepada umat mengenai janji agung yang akan terwujud di masa depan. Bagi nabi Yesaya, buku bagian kedua dan ketiga menyerukan berkali-kali ajakan untuk bersukacita, dengan menunjuk masa depan ... sukacita itu akan melimpah (bdk Yes 9:2). Surga, padang gurun dan bumi akan melompat kegirangan (Yes 351; 44:23; 49:13), tawanan-tawanan yang dibebaskan akan masuk ke Yerusalem sambil meneriakkan sukacita (Yes 35:9dst; 51:11).
Dalam Perjanjian Baru, kata-kata yang disukai berhubungan dengan akar kata kar (kairein, kara), walaupun istilah-istilah lain juga ada, seperti agalliaomai, euphrosi’ne. Ini biasanya menyangkut puji-pujian yang mencakup sekaligus masa lalu dan masa depan. Sukacita merupakan anugerah messianik yang istimewa, seperti dijanjikan Yesus sendiri ... 15:11 supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh (Yoh 15:11; 16:24; 17:13). Mulai dengan kejadian-kejadian yang mendahului kelahiran Juru Selamat, Lukas kemudian menyebarluaskan puji-pujian penuh sukacita (cf. Lk 1:14.44.47; 2:10; cf. Mt 2:10) lalu menyebarkan Kabar Baik dengan efek sukacita yang meluas (cf. Lk 10:17; 24:41.52). Dan sukacita itu merupakan tanda khas kehadiran dan tersebar luasnya Kerajaan Allah (cf. Lk 15:7.10.32; Kis 8:39; 11:23; 15:3; 16:34; cf. Rom 15:10-13; etc.).
Menurut Paulus, sukacita merupakan buah Roh (cf. Gal 5:22) dan merupakan gambaran yang khas dan tetap mengenai Kerajaan Allah. Sukacita itu dikukuhkan oleh godaan dan cobaan (cf. 1Titus 1:6). Sumber sukacita didapatkan dalam doa, amal dan syukur yang tak berkesudahan (cf. 1Titus 5:16; Phil 3:1; Col 1:11 f.). Dalam kesukaran-kesukarannya, rasul para bangsa itu merasakan dirinya penuh sukacita dan menjadi peserta dalam kemuliaan yang sama-sama kita nantikan (cf. 2Cor 6:10; 7:4; Col 1:24). Kemenangan terakhir Allah dan penikahan Anak Domba akan melengkapi setiap sukacita dan puji-pujian (cf. Rev 19:7), ini memulai ledakan sebuah Alleluya yang kosmik (Rev 19:6).
Mari melihat makna teks “Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya” (Yes 66:10). Ini adalah akhir dari bagian ketiga kitab nabi Yesaya. Perlulah menyadari bahwa bab 65-66 disatukan erat dan saling melengkapi, sebagaimana nyata dalam kesimpulan dari bagian kedua kitab nabi Yesaya (bab 54-55).
Dalam dua bab tersebut tema dari masa lampau diingat kembali, kadang-kadang dengan penggambaran mentah, seakan-akan mau mengajak orang untuk melupakannya sebab Allah mau membuat agar cahaya baru bersinar memancar, dan mau membuat sebuah peyerahan diri yang akan langsung menyembuhkan ketidaksetiaan dan kekejaman. Kutuk, sebagai akibat dari rasa tidak hormat terhadap Perjanjian, akan hilang, sebab Allah akan membuat Yerusalem penuh sorak-sorak dan penduduknya penuh kegirangan (bdk Yes 65:18). Ini akan ditampilkan dalam pengalaman bahwa jawaban Allah datang bahkan sebelum permohonan diucapkan (ay. 24). Konteks ini mulai sejak ayat-ayat pertama Yes 66, dan memunculkan lagi di sana-sini sikap-sikap yang menandakan ketebalan hati dan telinga mereka di hadapan kebaikan Tuhan dan Sabda pengharapan-Nya.
Di sini keserupaan Yerusalem dengan seorang ibu nampaknya minta diperhatikan. Itu diilhami oleh janji-janji Yesaya 49:18-29 and 54:1-3: bahwa tanpa dinyana-nyana tanah Yehuda akan dipenuhi dengan mereka yang kembali dari diaspora, setelah masa penghinaan mereka berakhir. Berita-berita “pembebasan”, katakanlah, telah membuat Sion “hamil” penuh dengan kehidupan baru dan pengharapan, dan bahwa Allah, tuan dari kehidupan, akan membuat kehamilan ini sampai pada kelahiran mudah anak-anak baru. Maka bunda Sion dikelilingi oleh anak-anak yang baru dilahirkan, memberi mereka semua makanan dan merawatnya dengan murah hati. Gambaran yang lembut ini mempesonakan St. Theresia dari Lisieux yang menjadikannya kunci penting untuk menafsirkan spiritualitasnya (6).
Akumulasi kata-kata yang mendalam: bergembiralah, bersukacitalah, dan pancarkanlah, begitu pula penghiburan, kesenangan, kelimpahan, kemakmuran, belai sayang, dsb. Hubungan antara kesetiaan dan cinta telah putus, dan mereka telah berakhir dalam kesedihan dan tanpa buah. Sekarang kekuatan dan kesucian Allah memulihkan makna dan kepenuhan hidup serta kebahagiaan, yang terungkap dalam istilah-istilah yang berasal dari akar-akar penuh perasaan dari setiap insan, sambil membangkitkan rasa lemah-lembut dan rasa aman yang tiada duanya.
Itulah profil penampilan Allah yang lemah-lembut tapi nyata. Allah memancarkan getaran keibuan dan menggerakkan emosi-emosi yang dalam. Sukacita yang terasa di hati (cf. Is 66:14) yang datang dari Allah – dengan wajah keibuan dan tangan yang menopang –memancar melalui sebuah bangsa yang lumpuh, yang tulang-tulangnya rapuh karena seribu penghinaan. Itulah perubahan yang diberikan cuma-cuma, dan yang dengan sukacita menyebar sampai ke mana-mana sampai ke langit baru dan bumi yang baru (cf. Is 66:22), sehingga semua bangsa akan tahu kemuliaan Tuhan, penebus yang setia.
Sukacita, suatu keindahan hidup bakti
Sukacita bukanlah hiasan diri yang tak bermanfaat, tapi sesuatu yang perlu; sebagai fondamen kehidupan manusia. Dalam perjuangannya setiap hari, tiap orang mencoba memperoleh sukacita dan mau tinggal di dalamnya dengan sepenuh keberadaannya.
Di dunia sering ada kekurangan sukacita. Kita tidak dipanggil untuk menunaikan tugas kepahlawanan atau untuk memaklumkan kata-kata dengan suara keras, melainkan untuk memberi kesaksian mengenai sukacita, yang muncul dari keyakinan bahwa kita dicintai, dan yang lahir dari kepercayaan bahwa kita diselamatkan.
Memori-memori kita yang pendek dan pengalaman-pengalaman kita yang tidak mengesankan kerapkali menghalangi kita untuk menemukan “negeri-negeri sukacita” di mana kita dapat menikmati kehadiran Tuhan. Padahal kita punya seribu alasan untuk tinggal dalam sukacita.
Akar-akar sukacita mendapat makanan dari mendengarkan Sabda Allah dengan iman dan kemantapan hati. Dalam ajaran sang Guru, kita mendengar: semoga sukacita-Ku ada dalam kamu dan semoga sukacitamu menjadi penuh (Yoh 15:11) dan kita diajari bagaimana mempraktekkan sukacita yang sempurna.
“Kesedihan dan ketakutan harus minggir demi sukacita: Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! (Yes 66:10). Sungguh sebuah ajakan yang luar biasa untuk bersukacita. Tiap orang Kristiani, dan khususnya Anda dan saya, kita semua diajak untuk menjadi pembawa warta pengharapan ini dan menebar kepada semua orang, ketenteraman dan sukacita, penghiburan Allah, serta kelemah-lembutan-Nya. Namun asalkan kita pertama-tama mengalami sukacita karena dihibur oleh Allah, dan karena dikasihi-Nya, maka kita akan dapat membawa sukacita kepada orang lain. Saya beberapa kali berjumpa dengan biarawan-biarawati yang malah takut akan penghiburan Allah. Mereka merasa tersiksa, karena takut akan kelembutan ilahi itu. Tapi jangan takut, sebab Tuhan adalah Tuhan penghiburan, Tuhan kelemah-lembutan. Tuhan adalah seorang Bapa yang berkata bahwa Dia akan selalu tersedia bagi kita seperti ibu bagi bayinya dengan kelemah-lembutan seorang ibu. Jangan takut akan penghiburan Tuhan” (9).
4, “Ketika memanggil Anda, Allah berkata kepada Anda: Kamu penting bagi-Ku, Aku mengasihi kamu, Aku mengharapkan kamu. Yesus mengatakan ini kepada kita masing-masing! Dari situ lahirlah sukacita! Sukacita saat Yesus memandang aku. Mengerti dan mendengar hal ini adalah kuncinya sukacita kita. Merasa dikasihi oleh Allah, merasa bahwa bagi Dia kita bukan sekedar nomor tetapi orang; dan kita tahu bahwa Allahlah yang memanggil kita” (10).
Paus Fransiskus menarik perhatian kita pada fondamen-fondamen rohani kemanusiaan kita, untuk melihat apa yang diberikan kepada manusia dengan cuma-cuma oleh kuasa ilahi yang merdeka dan ditanggapinya dengan bebas pula: Tetapi Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya, lalu berkata kepadanya: "Hanya satu lagi kekuranganmu: pergilah, juallah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." (Mk 10:21).
Paus ingat: “Yesus pada Perjamuan Malam Terakhir berpaling kepada para Rasul dan berkata: Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. (Yoh 15:16). Kata-kata itu mengingatkan kita semua (bukan hanya para imam), bahwa panggilan itu selalu inisiatif Allah. Kristuslah yang memanggil Anda untuk mengikuti Dia dalam hidup bakti dan ini berarti Anda harus terus menerus melakukan exodus (keluar) dari diri Anda sendiri untuk memusatkan kehidupan Anda pada Kristus dan Injil-Nya, pada kehendak Allah, dan meminggirkan rencana-rencana Anda, agar bisa berkata bersama St. Paulus: aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20).
Paus mengajak kita ikut dalam peziarahan kembali ke dalam diri sendiri, sebuah jalan pengetahuan untuk menemukan diri kita di jalan-jalan Palestina atau dekat perahu nelayan kecil dari Galilea. Dia mengajak kita untuk mengkontemplasikan awal-awal dari perjalanan hidup, atau tepatnya awal dari peristiwa ajakan pertama Kristus, ketika jala ditinggalkan di pantai danau, meja pemungut cukai ditinggalkan di pinggir jalan, dan ambisi orang zelot ditinggalkan bersama rencana-rencana yang dibatalkan. Karena semua itu adalah sarana yang tidak cocok untuk tinggal bersama Yesus.
Dia mengajak kita untuk dalam waktu lama ikut dalam peziarahan batin, sebelum fajar, pada waktu Dia dalam suasana persahabatan yang hangat, membimbing intelek kita agar terbuka kepada misteri, agar kita memutuskan bahwa memang baik untuk berangkat mengikuti sang Guru ini yang punya sabda kehidupan kekal (Yoh 6:68). Dia mengajak kita untuk membuat “seluruh hidup kita menjadi suatu peziarahan perubahan diri yang penuh kasih” (12).
Paus Fransiskus memanggil kita untuk berhenti sejenak pada babak pembukaan: “ketika aku bersukacita karena Yesus memandang aku” (13) dan agar kita ingat akan makna penting panggilan kita: “Itu adalah jawaban atas sebuah panggilan kasih” (14). Untuk tinggal bersama Kristus itu kita dituntut agar kita berbagi kehidupan, mensharingkan pilihan-pilihan kita, ketaatan iman kita, kebahagiaan hidup miskin, dan keradikalan kasih.
Itu adalah mengenai dilahirkan kembali melalui panggilan. “Saya mengajak semua umat Kristiani, sekarang juga, untuk mengadakan perjumpaan pribadi secara baru dengan Yesus Kristus hari ini juga, sekurang-kurangnya untuk membuka hati dan membiarkan diri dijumpai-Nya. Saya minta Anda semua melakukan hal ini tiap hari tanpa luput sehari pun” (15).
Paulus membawa kita kembali kepada visi fundamental ini: Tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus (1 Kor 3:11). Kata “panggilan” menunjukkan anugerah bebas, bagaikan sumber kehidupan yang tak pernah berhenti memperbaharui kemanusiaan maupun Gereja di dalam kedalaman keberadaannya.
Dalam pengalaman kita “dipanggil”, Allah memang menjadi subjeknya yang penuh misteri dari panggilan itu. Kita mendengar suatu suara yang memanggil kita untuk hidup dan menjadi murid Kerajaan Allah. Paus Fransiskus ketika mengingatkan kata-kata “Kamu penting bagi-Ku”, dia memakai kalimat-langsung, dengan “orang pertama” (Aku), agar kesadaran diri kita muncul di situ. Dia mengajak kita agar dengan penuh kesadaran memberi pendapat dan pertimbangan, dan dia menuntut peri-laku yang sesuai dengan kesadaran diri kita itu, dan yang sesuai dengan panggilan yang kita dengar sendiri secara pribadi.
“Saya mau mengatakan kepada mereka yang acuh-tak-acuh terhadap Allah atau terhadap iman, dan kepada mereka yang jauh dari Allah atau mereka yang sudah menjauhkan diri dari Dia, dan juga kepada kita, yang mengambil-jarak dan meninggalkan Allah, yang mungkin nampaknya sudah tidak penting lagi bagi kita. Begitu sering sikap negatif itu terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari: tengoklah dalam-dalam di hatimu, tengoklah ke kedalaman hatimu, dan tanyakan pada dirimu sendiri: apakah Anda punya sebuah hati yang mendambakan sesuatu yang hebat, ataukah hati Anda sudah tertidur? Apakah hati Anda memendam kegelisahan yang terus mencari dan mencari, ataukah Anda membiarkan hati Anda tercekik oleh hal-hal yang akhirnya membuat hati mengeras? (16)
Hubungan dengan Yesus Kristus minta dipelihara dengan pencarian yang penuh kegelisahan ini. Ini membuat kita sadar akan gratisnya anugerah panggilan dan ini akan menolong kita untuk menjelaskan alasan-alasannya mengapa dulu kita menentukan pilihan dan bertahan terus dengan pilihan itu. “Membiarkan Kristus membuat diri kita selalu menjadi milik-Nya, berarti menjangkau apa yang ada di depan, yaitu tujuan Kristus (bdk Fil 3:14) (17). Terus menerus mendengarkan Allah menuntut bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas menjadi penjuru yang menuntun irama hidup kita sehari-hari.
Misteri yang tak terkatakan ini, menuntun kita dari dalam, dan memasukkan kita dalam misteri Allah yang tak terbayangkan. Ini hanya dapat dimengerti dalam iman. “Iman adalah jawaban kita kepada sabda yang melibatkan kita secara pribadi kepada “Engkau” yang memanggil kita dengan nama kita masing-masing” (18). Dan “sebagai jawaban atas sabda yang kita dengar sebelumnya, iman itu selalu merupakan kenangan. Namun kenangan itu tidak selalu mengenai sesuatu di masa lampau, tetapi sebagai kenangan akan suatu janji, kenangan yang mampu membuka masa depan, dan menerangi jalan yang masih harus ditempuh” (19). “Iman mengandung memori mengenai sejarah Allah bersama kita, memori mengenai perjumpaan kita dengan Allah yang selalu lebih dulu mengambil langkah pertamanya, dan memori mengenai perjumpaan yang menciptakan, menyelamatkan dan mengubah kita. Iman adalah kenangan akan sabda yang menghangatkan hati kita, dan akan karya penyelamatan-Nya yang memberi kehidupan, yang membersihkan kita, memperhatikan kita, dan memelihara kita. Orang yang selalu ingat akan Allah, dan selalu dibimbing oleh ingatan akan Allah dalam seluruh hidupnya, akan mampu membangkitkan ingatan itu dalam hati orang lain juga (20). Itulah ingatan mengenai dipanggil Tuhan, di sini dan sekarang.
5, Paus meminta kita agar membaca kembali riwayat pribadi kita sendiri dan menyelidikinya dalam cahaya pandangan kasih Allah, sebab jika sebuah panggilan selalu merupakan inisiatif Allah, maka terserah kitalah untuk menerima tata-hubungan Allah-manusia sebagai hubungan kehidupan dalam agape, sebagai jalan seorang murid, sebagai “mercu-suar pada perjalanan Gereja” (21). Hidup dalam Roh tak pernah “sudah”, tapi selalu terbuka kepada misteri, bilamana kita tahu membeda-bedakan untuk mengenal Tuhan dan menangkap realitas yang berawal bersama Dia. Bilamana Allah memanggil kita, Dia membiarkan kita masuk dalam istirahat-Nya dan mengajak kita beristirahat dalam Dia, dalam suatu proses pemahaman yang penuh kasih. Kita mendengar Sabda “kamu mencemaskan banyak hal” (Lk 10:41). Di jalan kasih, kita melangkah maju melalui kelahiran baru: ciptaan lama dilahirkan kembali. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru (2 Kor 5:7).
Paus Fransiskus menunjukkan nama kelahiran baru itu. “Jalan ini punya nama dan wajah yaitu wajah Yesus Kristus. Dia mengajar kita agar menjadi suci. Dalam Injil Dia menunjukkan jalan kepada kita, jalan kebahagiaan (bdk Mat 5:1-12). Ini adalah kehidupan para kudus, yaitu umat Allah yang karena kasihnya kepada Allah tidak menentukan syarat-syarat bagi-Nya sepanjang hidup (22).
Hidup bakti merupakan sebuah panggilan untuk menjelmakan Kabar Baik, untuk mengikuti Kristus yang disalibkan dan dibangkitkan, dan untuk mengambil jalan hidup Yesus dan perbuatan Yesus sebagai sabda yang menjadi manusia dalam hubungan dengan Bapa dan saudara-saudari-Nya” (23). Secara praktis, itu merupakan panggilan untuk mengambil jalan hidup-Nya, untuk mengadopsi sikap batin-Nya, untuk membuka diri agar dimasuki Roh-Nya, untuk menyerap jalan-pikiran-Nya serta skala nilai-nilai-Nya yang mencengangkan, dan untuk ikut menerima resiko-resiko dan pengharapan-Nya. “Hendaknya Anda dibimbing oleh keyakinan yang sederhana namun penuh sukacita dari orang-orang yang telah ditemukan, dijamah dan diubah oleh Kebenaran yaitu oleh Kristus yang harus selalu dimaklumkan” (24).
Tinggal selalu dalam Kristus itu membuat kita mampu menangkap kehadiran Misteri yang hidup dalam diri kita dan yang membesarkan hati kita menjadi seperti hati Putera-Nya. Mereka yang tinggal dalam kasih-Nya, adalah bagaikan ranting yang menempel pada pokok anggur (Yoh 15:1-8), mereka masuk dalam hubungan mesra dengan Kristus dan menghasilkan buah. “Tinggallah dalam Yesus! Artinya, tetap tinggallah dan menempellah pada-Nya, tinggal bersama Dia, selalu berbicara dengan Dia” (25).
“Kristus adalah cap di dahi kita dan di hati kita. Di dahi sebab kita selalu mengakui Dia. Di hati karena kita selalu mengasihi Dia. Dan cap pada tangan kita, sebab kita selalu bekerja bagi Dia” (26). Hidup bakti sesungguhnya adalah panggilan berkelanjutan untuk mengikuti Kristus, dan untuk menjadi seperti Dia. “Seluruh kehidupan Yesus, cara-Nya bergaul dengan orang miskin, perbuatan-Nya, keutuhan pribadi-Nya, kemurahan hati-Nya sehari-hari yang sederhana, dan akhirnya penyerahan Diri-Nya sepenuhnya, semua itu berharga dan bersangkut-paut dengan kehidupan pribadi kita” (27).
Berjumpa dengan Tuhan membuat kita bergerak, dan mendorong kita untuk mengesampingkan self-absorption (suka mengambil semua untuk diri sendiri) (28). Hubungan dengan Tuhan tidaklah statis berfokus pada diri sendiri. “Sebab bilamana kita menaruh Kristus pada pusat kehidupan kita, kita sendiri tidak akan menjadi pusatnya! Semakin Anda menyatukan diri dengan Kristus dan Dia menjadi pusat hidup Anda, semakin Dia membawa Anda keluar dari diri Anda, menjauhkan Anda dari pemusatan diri dan membuka diri Anda kepada orang lain” (29). “Kita tidak ada di pusat, kita sudah ‘dipindahkan’. Kita sekarang hanya melayani Kristus dan Gereja” (30).
Ciri kehidupan Krsitiani adalah “bergerak”. Bahkan bilamana dihayati dalam konteks pertapaan atau biara kontemplatif tertutup, kehidupan Krsitiani adalah pencarian terus berkelanjutan.
“Mustahillah mempertahankan semangat pewartaan kabar baik kalau kita sendiri tidak yakin dari pengalaman pribadi bahwa mengenal Yesus dan tidak mengenal Dia itu tidak sama, berjalan bersama Dia dan berjalan secara buta itu tidak sama, mendengar Sabda-Nya dan tidak mengenalnya itu tidak sama, dan mengkontemplasi Dia, menyembah-Nya, menemukan kedamaian pada-Nya dan tidak melakukan itu tidaklah sama. Tidaklah sama pula mencoba membangun dunia dengan Injil-Nya dan mencoba melakukannya dengan cahaya kita sendiri. Kita sangat tahu bahwa bersama Yesus, kehidupan menjadi lebih kaya dan bahwa bersama Dia, lebih mudahlah menemukan arti segala sesuatu” (31).
Paus Fransiskus menganjurkan kepada kita, agar selalu mencari dengan gelisah, seperti Agustnus dari Hippo. Ada sebuah “kegelisahan di hatinya yang membawa dia berjumpa secara pribadi dengan Kristus, dan membawa dia kepada pengertian bahwa Allah yang jauh yang dicarinya itu adalah Allah yang dekat dengan setiap manusia, Allah yang dekat di hati kita, yang lebih dalam di hati kita dari pada diri kita sendiri”. Itulah pencarian yang terus menerus. “Agustinus tidak berhenti, dia tidak menyerah, dia tidak menarik diri seperti mereka yang merasa “sudah sampai”, tapi dia terus mencari. Kegelisahan pencarian kebenaran, dan pencarian Tuhan, menjadi kegelisahan ingin mengenal Dia lebih dalam dan untuk keluar dari diri sendiri untuk mengajak orang lain mengenal Dia. Persis itulah kegelisahan kasih (32).
Sukacita, sebuah “Ya” yang setia terus menerus.
6, Setiap orang yang telah berjumpa dengan Tuhan dan mengikuti Dia dengan setia adalah utusan sukacita Roh Kudus.
“Hanya berkat perjumpaan – atau dalam perjumpaan yang selalu diperbaharui – berkat perjumpaan dengan kasih Allah ini, dan dalam perjumpaan yang bersemi dalam persahabatan yang memperkaya, kita dibebaskan dari kesempitan hati dan dari self-absorption (suka mengambil semua untuk diri sendiri) (33).
Bilamana kita dipanggil, kita dipanggil kepada diri kita sendiri, yakni, kepada kemampuan untuk hidup. Mungkin tidaklah tanpa alasan untuk mengatakan bahwa krisis hidup bakti diakibatkan oleh ketidakmampuan untuk mengenal panggilan terdalam semacam itu, bahkan ketidakmampuan dijumpa pula dalam orang yang sudah menghayati panggilan ini.
Kita mengalami sebuah krisis kesetiaan, artinya, kita secara sadar mengikuti panggilan yakni sebuah jalan kecil, sebuah perjalanan dari awal yang penuh misteri kepada akhirnya yang juga penuh misteri.
Mungkin kita juga ada dalam krisis humanisasi. Kita merasa terbatas terus menerus, karena terluka oleh ketidakmampuan kita untuk membawa kehidupan kita menjadi sebuah panggilan yang terintegrasi dan sebuah perjalanan yang setia.
Perjalanan sehari-hari ini, baik secara pribadi maupun bersama-sama, ditandai oleh ketidak-puasan dan kepahitan yang mengurung kita dalam sesal yang dalam, dan dalam kerinduan yang hampir tanpa henti akan jalan-jalan yang belum dijelajahi dan dalam mimpi-mimpi yang tak terwujud, sehingga menjadi sebuah jalan yang sepi-sendiri. Panggilan kita untuk hidup dalam hubungan pribadi, dalam kepenuhan kasih, dapat berubah menjadi padang-gurun kosong yang tak berpenghuni. Di setiap jaman, kita dipanggil untuk mengunjungi kembali pusat kehidupan pribadi yang dalam, di mana motivasi kehidupan kita bersama sang Guru sebagai murid sang Guru, menemukan makna dan kebenarannya.
Kesetiaan adalah kesadaran akan kasih yang menunjuk kepada “Engkau”-nya Allah dan kepada orang lain, dengan cara yang ajeg dan dinamis bilamana kita mengalami dalam diri kita sendiri kehidupan Dia yang bangkit. “Mereka yang mau menerima tawaran kaselamatan-Nya akan dibebaskan-Nya dari dosa, derita, kehampaan batin dan kesepian” (34).
Semangat murid yang setia merupakan rahmat dan kasih yang dipraktekkan; dia adalah praktek dari amal penuh korban diri. “Bilamana kita menjalaninya tanpa Salib, bilamana kita membangun tanpa Salib, bilamana kita mengakui Kristus tanpa Salib, kita ini bukan murid Tuhan, kita ini betul-betul dari dunia. Bisa saja kita ini uskup, imam, kardinal, dan paus, namun kita bukan murid Tuhan (35).
Untuk tekun sepanjang jalan ke Golgota, untuk mengalami dicabik-cabik oleh keragu-raguan dan penolakan, untuk bersukacita dalam keajaiban dan mukjijat Paska, sampai kepada pemakluman Pentakosta dan pemberitaan kabar baik kepada bangsa-bangsa, inilah tonggak-tonggak ketaatan yang penuh sukacita, sebab di situ ada pengosongan diri yang dilakukan sepanjang hidup, bahkan dalam bentuk kemartiran, tapi akhirnya juga ikut dalam kehidupan Kristus yang bangkit. “Dan dari Saliblah, yakni dari perbuatan belas dan kasih yang terbesar itulah kita dilahirkan kembali menjadi ciptaan baru” (Gal 6:15) (36).
Dalam locus teologicus, ketika Allah mewahyukan Diri, Dia juga mewahyukan diri kita pula kepada diri kita sendiri. Tuhan meminta kita agar kembali kepada pencarian, fides quaerens (iman yang mencari). Kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni (2 Tim 2:22).
Peziarahan batin mulai dengan doa. “Hal pertama bagi murid adalah tinggal bersama Guru, mendengarkankan-Nya dan belajar dari pada-Nya. Ini selalu benar, ini benar pada setiap saat dari kehidupan kita. Jika kehangatan Allah, dan kehangatan kasih dan kelembutan-Nya tidak ada dalam hati kita, bagaimana kita pendosa yang hina ini dapat menghangatkan orang lain?” (37). Ini adalah perjalanan seumur hidup, perjalanan dalam doa yang rendah hati, di mana Roh Kudus meyakinkan kita akan ketuhanan Kristus dalam diri kita. “Tuhan memanggil kita untuk mengikuti-Nya dengan keberanian dan kesetiaan, Dia telah memberi kita suatu anugerah besar yaitu ‘memilih kita sebagai murid-Nya’; Dia mengajak kita agar dengan sukacita memaklumkan-Nya sebagai Yang Bangkit, namun Dia meminta kita agar melakukan pemakluman itu dengan perbuatan dan kesaksian hidup, dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan adalah satu-satunya Allah dalam kehidupan kita, dan Dia mengajak kita agar melucuti diri dari banyak berhala dan agar menyembah Dia saja”. (38).
Paus menganggap doa sebagai sumber buah lebat dari misi. “Mari kita kelola dimensi kontemplatifnya, bahkan juga di tengah angin puyuh tugas-tugas yang mendesak dan berat. Dan semakin misi memanggil Anda untuk pergi keluar ke batas-batas keberadaan, biarlah hati Anda semakin dipersatukan erat dengan hati Kristus, yang penuh dengan belas dan kasih. (39).
Tinggal bersama Yesus akan membangkitkan pendekatan kontemplatif atas sejarah sehingga tahu bagaimana melihat dan mendengar kehadiran Roh Kudus di mana-mana dan dengan cara khusus, tahu bagaimana membedakan kehadiran Roh Kudus untuk hidup di dalam waktu sebagai waktunya Tuhan. Bilamana kedalaman iman hilang, maka “kehidupan sendiri kehilangan maknanya, dan wajah saudara-saudari kita pun memudar, sehingga menjadi mustahillah mengenal wajah Tuhan di dalam diri mereka, peristiwa-peristiwa historis pun menjadi mendua-arti dan kehilangan pengharapannya” (40).
Kontemplasi meluas sampai menjadi kemampuan profetis kenabian. Nabi adalah seorang “yang matanya terbuka, yang mendengar, dan mengatakan sabda Allah; dia adalah seorang pribadi dari tiga jaman: dia mengingatkan janji masa lampau, dia melakukan kontemplasi atas masa kini, dan dia berani menunjukkan jalan menuju masa depan” (41).
Kesetiaan untuk tetap punya semangat-murid dilakukan melalui dan ditunjukkan dalam pengalaman berkomunitas. Ini adalah sebuah kenyataan teologis di mana kita dipanggil untuk saling menopang satu-sama-lain untuk mengatakan dengan penuh sukacita “Ya” kepada Injil. “Dia adalah Sabda Allah yang mengilhami iman, memberinya makan dan menghidupinya terus menerus. Dan Dia adalah Sabda Allah yang menyentuh hati, mengarahkannya kembali kepada Allah dan kepada cara berpikir-Nya yang begitu berbeda dari cara berpikir kita. Dia adalah Sabda Allah yang terus menerus memperbaharui komunitas kita” (42).
Paus mengajak kita untuk memperbaharui panggilan kita dan mengisinya dengan sukacita dan gairah, sehingga bertambahnya kegiatan kasih menjadi sebuah proses yang berkelanjutan – “makin matang, makin matang, makin matang” (43) – dalam sebuah perkembangan yang terus menerus, di mana “Ya” kita terhadap kehendak Allah menyatukan kehendak, intelek dan perasaan. “Kasih tidak pernah berakhir atau selesai. Sepanjang hidup, kasih mengubah dan mendewasakan, dan dengan demikian tetap merupakan kasih yang setia” (44).
HIBURKANLAH, HIBURKANLAH UMAT-KU,
Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikian firman Allahmu.
Tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya
(Yes 40:1-2).
7, Pemakaian gaya bahasa yang khas akan kelihatan nanti dalam teks Yes 51:17;52:1: Terjagalah, bangunlah. Ramalan dari bagian kedua Yesaya (Yes 40-55) merupakan seruan permohonan pertolongan bagi Israel di pembuangan, yang terkurung dalam ingatan kosong akan kegagalan. Konteks historis jelas merupakan bagian dari pembuangan yang berkepanjangan dari bangsa Israel di Babilon (587-538 Seb M) dengan semua penghinaannya dan rasa tidak mampu untuk melarikan diri. Bagaimana pun juga pecahnya kerajaan Assiria di bawah tekanan kekuatan Persia yang baru muncul di bawah Koresh (Cyrus) bintang yang baru terbit, memungkinkan nabi Yesaya melihat masa depan Israel yang tanpa dinyana-nyana akan dibebaskan. Dan memang terjadi. Nabi Yesaya, diilhami oleh Allah, menyuarakan di muka umum kemungkinan itu, dengan menafsirkan perkembangan politik dan militer sebagai bimbingan Allah yang penuh misteri atas Koresh. Yesaya memaklumkan bahwa pembebasan sudah dekat dan bahwa Israel akan segera kembali ke tanah nenek moyang.
Kata-kata yang digunakan Yesaya: Hiburkanlah ... katakanlah dengan lembut, ditemukan berkali-kali dalam Perjanjian Lama. Ulangan kata-kata ini bernilai istimewa dalam dialog-dialog yang lembut dan penuh perasaan. Seperti Rut mengakui bahwa Boaz telah “menghibur aku dan berbicara dengan halus” (Rut 2:13), atau di halaman yang tersohor nabi Hosea yang mengumumkan kepada wanita, Gomer, bahwa dia akan membujuknya, dan membawanya ke padang gurun, dan berbicara menenangkan hatinya” (Hos 2:13) untuk masuk dalam masa baru, masa kesetiaan. Dan ada nas-nas lain yang serupa: dialog Sikem anak Hamor yang jatuh cinta pada Dina (Kej 34:1-5) dan dialog seorang Lewi dari Efraim yang berbicara kepada gundiknya yang meninggalkannya (Hak 19:1-3).
Ini sebuah bahasa yang harus ditafsirkan dalam konteks cinta. Begitulah perbuatan, bersama kata-kata, yang lembut dan membesarkan hati, mengingatkan kita akan ikatan yang emosional dan mendalam dari Allah sang “mempelai” Israel. Penghiburan ini tentulah sebuah epifani penampakan sikap saling memiliki, sebuah sikap saling empati yang mendalam, dan sebuah ikatan batin yang hangat dan menghidupkan. Ini bukan hanya kata-kata yang di terucap di bibir saja dan menjemukan, tapi belaskasih dan keprihatian yang sungguh ada di dalam lubuk hati, sebuah pelukan yang meneguhkan, dan pendampingan yang sabar untuk menemukan kembali jalan-jalan yang menyelamatkan.
8, “Sekarang ini umat tentu membutuhkan kata-kata, namun lebih-lebih kesaksian kita mengenai belaskasih dan kelemah-lembutan mengenai Tuhan yang menghangatkan hati, menyalakan pengharapan dan menarik orang kepada kebaikan. Betapa sukacitanya membawa penghiburan Allah kepada orang lain!” (45).
Paus Fransiskus mempercayakan misi ini kepada biarawan-biarawati: agar menemukan Tuhan yang menghibur kita seperti seorang ibu, dan agar mereka juga menghibur umat Allah.
Pelayanan dalam Gereja membangkitkan sukacita “berjumpa dengan Tuhan” dan sukacita “dipanggil-Nya”. Misi ini bertujuan membawa kepada semua orang dari jaman kita, suatu penghiburan Allah, dan untuk memberi kesaksian mengenai belaskasih-Nya. (46)
Dalam pandangan Yesus, penghiburan itu berupa anugerah Roh Kudus, Parakletus Sang Penghibur, penasihat yang menghibur kita dalam segala cobaan dan yang membangkitkan pengharapan yang tidak mengecewakan. Dengan demikian penghiburan Kristiani menjadi suatu penghiburan yang membesarkan hati, dan menumbuhkan pengharapan. Dia adalah kehadiran Roh Kudus yang aktif (Yoh 14:16-17) dia adalah buah Roh Kudus. Dan buah-buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri (Gal 5:22).
Di dunia yang penuh dengan kecurigaan, keputus-asaan dan depresi, dan di dalam sebuah budaya yang membuat orang makin rapuh dan lemah, makin individualis dan hanya memperhatikan diri sendiri, kita diminta untuk memperkenalkan keyakinan bahwa kebahagiaan sejati itu sesuatu yang mungkin, bahwa pengharapan itu bisa terjadi, tidak hanya berdasarkan pada talenta, keunggulan atau pengetahuan, tapi pada Allah. Semua orang diberi kemungkinan untuk berjumpa dengan Allah, asal saja mereka mencari Dia dengan kesungguhan hati.
Orang-orang jaman sekarang ini mengharapkan kata-kata penghiburan, dan tersedianya pengampunan serta sukacita sejati. Kita terpanggil untuk membawa bagi setiap orang pelukan Allah, yang membungkuk dengan kelembutan seorang ibu. Kita biarawan-biarawati adalah tanda kepenuhan kemanusiaan, fasilitator dan pengendali rahmat (47) yang membungkuk dengan sikap memberi penghiburan.
Kelemah-lembutan itu baik bagi kita
9, Karena kita adalah saksi mengenai persekutuan yang melampaui paham dan keterbatasan kita, kita terpanggil untuk mengenakan senyum Allah. Komunitas adalah injil pertama dan yang paling bisa dipercaya yang bisa kita wartakan. Kita diminta untuk memanusiakan komunitas kita. “Bangunlah persahabatan di antara Anda sendiri, dalam kehidupan keluarga, dan kasih di antara Anda. Semoga biara tidak menjadi api penyucian tapi sebuah keluarga. Permasalahan ada dan akan ada, tapi seperti sebuah keluarga selalu ada kasihnya. Penyelesaiannya dicari dengan kasih. Jangan menghancurkan yang ini untuk menyelesakan yang itu. Jangan membangkitkan persaingan. Bangunlah kehidupan komunitas, sebab kehidupan komunitas yang seperti sebuah keluarga itulah tempat kehadiran Roh Kudus. Biarlah segala yang buruk berlalu, jangan dibesar-besarkan. Bersabarlah dalam segalanya, tersenyumlah dengan hati tulus. Dan tanda adanya itu semua adalah sukacita (48).
Sukacita dikukuhkan dalam pengalaman berkomunitas, sebuah ruang teologis di mana tiap orang bertanggungjawab atas ketaatannya kepada Injil dan atas pertumbuhan semua anggota. Bilamana sebuah komuntas diberi-makan dengan Tubuh dan Darah Yesus, mereka berkumpul di sekitar anak Allah, untuk berbagi perjalanan iman, yang dibimbing oleh Sabda. Mereka menjadi satu dengan Dia, bersama dalam persekutuan, mengalami anugerah kasih dan merayakan pesta dalam kebebasan dan sukacita, penuh dengan keberanian.
“Sebuah komunitas yang tanpa sukacita adalah komunitas yang sekarat. Sebaliknya sebuah komunitas yang kaya akan sukacita merupakan anugerah asli dari atas bagi sesama-saudara yang tahu bagaimana memohon anugerah itu dan bagaimana menerima satu sama lain, dengan mempertaruhkan diri sepenuhnya kepada kehidupan komunitas, dan mempercayai karya Roh Kudus (49).
Di hari-hari ini ketika perpecahan menghalalkan individualisme yang menyebar luas, dan ketika hubungan pribadi yang melemah merusak kepedulian kepada pribadi manusia, kita diundang untuk memanusiakan hubungan komunitas, untuk mendorong persekutuan hati dan roh dalam semangat Injil, sebab “hidup persekutuan ada di antara mereka yang menjadi milik Kristus. Itulah persekutuan yang lahir dari iman” yang membuat suatu “Gereja, dalam kebenarannya yang terdalam, persekutuan dengan Allah, kemesraan dengan Allah, persekutuan kasih dengan Kristus dan dengan Bapa dalam Roh Kudus, yang melimpah sampai ke persekutuan persaudaraan”. (50)
Bagi Paus Fransiskus, tanda persaudaraan adalah kelemah-lembutan, sebuah”kelemah-lembutan Ekaristis” sebab “kelemah-lembutan itu baik bagi kita”. Persaudaraan mempunyai “kekuatan yang besar sekali untuk menarik orang berkumpul bersama. Persaudaraan (selalu dengan perbedaan di dalamnya) adalah pengalaman kasih yang melampaui konflik-konflik (51).
Kedekatan hati sebagai pendampingan
10, Kita dipanggil untuk menjalani exodus keluar dari diri kita sendiri, melalui jalan adorasi dan pelayanan. (52) “Kita harus pergi keluar melalui pintu itu untuk mencari dan menjumpai orang lain! Milikilah keberanian untuk pergi melawan gelombang budaya tidak efisien, dan budaya boros (culture of waste). Sambil menjumpai dan menyambut setiap orang, maka solidaritas dan persaudaraan inilah yang membuat masyarakat kita menjadi sungguh masyarakat manusia. Jadilah pelayan persekutuan, dan pelayan budaya perjumpaan! Saya sangat ingin Anda benar-benar tergila-gila akan hal ini. Jadilah demikian tanpa kecurigaan apa-apa. (53).
“Hantu yang harus dilawan adalah citra kehidupan relijius yang dimengerti sebagai pelarian dan cari penghiburan ketika berhadapan dengan dunia luar yang sukar dan kompleks”. (54) Paus mendesak kita agar meninggalkan “sangkar” (66), untuk ikut menghayati kehidupan orang-orang jaman sekarang, dan menyerahkan diri kepada Allah dan sesama.
“Sukacita lahir dari perjumpaan yang cuma-cuma tidak menuntut imbalan! Dan sukacita yang timbul dari perjumpaan dengan Dia dan dari panggilan-Nya, tidak membuat kita menutup diri tapi membuka diri, dan membawa kita kepada pelayanan dalam Gereja. St. Thomas berkata: bonum est diffusum sui, kebaikan itu melimpahkan diri. Kebaikan itu menyebar. Dan sukacita juga menyebar. Jangan takut untuk menunjukkan sukacita karena menanggapi panggilan Tuhan, sukacita karena menjawab pilihan kasih-Nya dan karena menjadi saksi mengenai Injil dalam pelayanan kepada Gereja.
Dan sukacita, sukacita sejati, itu menular ... mendorong maju (56).
Berhadapan dengan kesaksian mengenai sukacita yang menular, ketenangan, kesuburan, dengan kesaksian mengenai kelemah-lembutan dan kasih serta amal yang rendah hati, tanpa keangkuhan, maka banyak orang merasa perlu untuk “datang dan melihat” (57).
Berkali-kali Paus Fransiskus menunjukkan jalan untuk menarik orang lain dan menularinya, jalan untuk menumbuhkan Gereja, jalan untuk pewartaan kabar baik. “Gereja harus menarik. Gugahlah dunia! Jadilah saksi mengenai cara baru untuk bertindak, untuk hidup! Hidup secara berbeda di dunia ini adalah mungkin. Itulah kesaksian yang saya harapkan dari Anda” (58).
Dengan mempercayakan kepada kita suatu tugas untuk menggugah dunia, Paus mendesak kita untuk mempelajari kisah-kisah orang-orang jaman sekarang dalam cahaya dua kategori pastoral yang berakar dalam kebaruan Injil: kedekatan hati dan perjumpaan. Melalui dua cara ini Tuhan sendiri diwahyukan dalam sejarah yang kemudian memuncak dalam perjelmaan.
Di tengah jalan menuju Emmaus, seperti Yesus dengan murid-murid-Nya, dalam perjalanan hidup bersama sehari-hari dengan orang lain. kita mau menerima sukacita dan derita mereka, dengan memberi mereka kehangatan hati (59) sementara kita dengan lemah-lembut menaruh perhatian pada mereka yang lelah dan lemah, sedemikian rupa sehingga perjalanan kita bersama mereka, mendapat terang dan makna dari Kristus.
Perjalanan kita bersama-sama “menjadi matang dengan semakin memiliki semangat kebapaan dan keibuan pastoral. Dan bilamana seorang imam tidak menjadi bapa dalam komunitasnya, dan seorang suster tidak menjadi ibu bagi teman kerjanya, dia sendiri akan mengalami kesedihan. Ini persoalannya. Karena alasan ini saya berkata kepada Anda: bahwa akar kesedihan dalam kehidupan pastoral itu, persisnya ada dalam tiadanya semangat kebapaan atau keibuan yang asalnya dari penghayatan hidup bakti secara tidak memuaskan, yang sebaliknya nanti akan membuat kita tidak berbuah” (60).
11, Sebagai ikon-ikon hidup dari keibuan dan kedekatan Gereja, kita pergi keluar menjumpai orang-orang yang mengharapkan Sabda penghiburan; dan kita membungkuk kepada orang yang papa dan lemah dengan kasih keibuan dan semangat kebapaan.
Paus mengajak kita, jangan menganggap kasih sebagai urusan pribadi, namun hayatilah dengan kegelisahan seorang pencari “yang tanpa kenal lelah mencari kebaikan untuk orang lain, untuk yang dikasihinya” (61)
Krisis makna pribadi modern dan krisis ekonomi dan moral dari masyarakat barat serta lembaga-lembaganya, bukanlah fenomena sementara dari jaman di mana kita hidup, tapi krisis-krisis tersebut merupakan garis besar momen historis yang sangat penting. Sekarang kita sebagai Gereja terpanggil untuk pergi keluar menuju tepian, baik tepian geografis, urban maupun eksistensial – tepian misteri dosa, rasa sakit, ketidak-adilan dan penderitaan –. Kita terpanggil untuk pergi keluar ke tempat-tempat tersembunyi dari jiwa, di mana tiap orang mengalami sukacita dan penderitaan hidup (62)
“Kita hidup dalam budaya konflik, budaya pecah-belah, dan budaya boros (culture of waste). Di situ diketemukannya gelandangan yang mati kedinginan tidak lagi menjadi berita”. Padahal kemiskinan bagi kita merupakan kategori teologis, “sebab Allah kita, Putera Allah, merendahkan Diri, membuat Diri-Nya miskin, ikut berjalan sepanjang jalan hidup kita. Gereja yang miskin bagi orang miskin mulai dengan menjangkau “daging” Kristus. Barulah kalau kita menjangkau “daging” Kristus, kita mulai mengerti sesuatu, mengerti apa sesungguhnya kemiskinan itu, dan apa itu kemiskinan Tuhan” (63). Mengalami dalam diri sendiri “kebahagiaan berjiwa miskin” berarti menjadi tanda dikalahkannya kepedihan hidup sendirian dan hidup serba terbatas, lalu digantinya dengan sukacita orang yang merdeka dalam Kristus dan orang yang telah belajar bagaimana mengasihi.
Dalam kunjungan pastoralnya ke Assisi, Paus Fransiskus ditanya, apa yang harus ditanggalkan oleh Gereja. Dan beliau menjawab: (Tanggalkanlah) tiap perbuatan yang bukan untuk Tuhan, dan bukan dari Tuhan; tanggalkanlah ketakutan untuk membuka pintu dan untuk pergi keluar menjumpai semua orang, khususnya orang miskin yang paling miskin, mereka yang membutuhkan, mereka yang jauh, tanpa menunggu-nunggu lagi. Tentu saja bukan untuk ikut terdampar bersama dunia, melainkan untuk dengan berani membawa cahaya Kristus, cahaya Injil, bahkan di dalam kegelapan di mana tidak kelihatan apa-apa, di mana orang bisa tersandung. Tanggalkanlah apa yang nampaknya jaminan yang diberikan oleh struktur-struktur, yang walaupun tentu saja perlu dan penting, namun tidak boleh mengaburkan kekuatan sejati yang ada di dalamnya yakni Allah sendiri. Dialah kekuatan kita! (64)
Ini bunyinya seperti ajakan bagi kita “jangan takut akan kebaruan karya Roh Kudus dalam diri kita, jangan takut untuk membaharui struktur-struktur. Gereja itu merdeka, karena dia ditopang oleh Roh Kudus. Inilah yang diajarkan oleh Yesus kepada kita dalam Injil, yaitu kemerdekaan yang selalu kita butuhkan untuk menemukan kebaruan Injil di dalam kehidupan kita dan di dalam struktur-struktur, kemerdekaan untuk memilih kantung anggur yang baru untuk mewadahi kebaruan itu (65). Kita diajak agar menjadi orang-orang garis depan yang pemberani. “Iman kita bukan iman laboratorium tapi iman perjalanan, iman yang menyejarah. Allah sudah mewahyukan Diri sebagai sejarah, bukan sebagai ringkasan kebenaran-kebanaran abstrak. Anda tidak dapat membawa garis depan itu ke rumah, tapi Anda harus hidup di garis depan dan jadilah pemberani. (66)
Di samping tantangan sabda bahagia bagi yang berjiwa miskin, Paus mengajak kita untuk mengunjungi garis depan pemikiran dan budaya, untuk menggiatkan dialog, bahkan pada tataran intelektual, untuk memberikan alasan-alasan mengapa harus punya pengharapan, atas dasar kriteria etis dan rohani, sambil selalu mempertimbangkan sendiri mana yang baik. Iman tak pernah membatasi ruang gerak akal, tapi terbuka terhadap visi holistik mengenai pribadi manusiawi dan terbuka terhadap visi mengenai realitas. Dan iman membelanya melawan bahaya yang mengerdilkan pribadi manusia menjadi sekedar “material manusia” (67).
Budaya yang otentik, yang terus menerus terpanggil untuk melayani kemanusiaan dalam semua kondisinya, akan membuka jalan-jalan yang belum dilewati, membuka pintu-pintu untuk memberi peluang kepada pengharapan untuk bernafas, memperkuat makna kehidupan dan menjaga kepentingan umum. Sebuah proses budaya yang otentik akan ”memajukan humanisme seutuhnya, “memajukan” budaya perjumpaan serta budaya hubungan pribadi: Inilah cara Kristiani untuk memajukan kepentingan umum, yaitu sukacita kehidupan. Di sini, iman dan akal bersatu, dimensi relijius dan pelbagai aspek budaya manusia – seni, ilmu pengetahuan, kerja, sastra – berpadu (68). Penelitian budaya yang otentik akan mengakrabi sejarah dan terbuka kepada jalan-jalan baru untuk mencari wajah Allah.
Tempat-tempat di mana pengetahuan dikembangkan dan dikomunikasikan adalah juga tempat-tempat di mana diciptakan budaya kedekatan hati, budaya perjumpaan dan budaya dialog, sehingga dengan demikian, pertahanan diri diturunkan, pintu-pintu dibuka dan jembatan-jembatan dibangun (69).
12, Sebagai sebuah jaringan global di mana kita terhubung satu sama lain, di mana tidak ada tradisi lokal yang memonopoli kebenaran, di mana teknologi mempengaruhi tiap orang, di situ dunia menghadirkan tantangan terus menerus terhadap Injil dan terhadap orang yang membentuk kehidupannya menurut Injil.
Dalam proses historis tsb, dan melalui pilihan-pilihan dan cara-cara hidup, Paus Fransiskus membangun hermeunetik yang hidup atas dialog antara Allah dan dunia. Kepada kita diperkenalkannya sebuah gaya kebijaksanaan yang berakar pada Injil dan dalam eskatologi manusiawi, yang menafsirkan pluralisme, mencari keseimbangan, dan mengajak kita mengembangkan kemampuan untuk bertanggungjawab atas perubahan sedemikian rupa sehingga kebenaan Injil terkomunikasikan secara lebih baik, sementara kita sendiri bergerak “dalam batas-batas bahasa dan situasi” (70). Sadar akan batas-batas ini kita masing-masing menjadi lemah bersama kaum lemah ... menjadi semua bagi semua orang (1 Kor 9:22).
Kita diajak untuk menggerakkan dinamika yang bukan sekedar administratif, tapi dinamika yang melahirkan sesuatu, dinamika untuk mengakrabi peristiwa-peristiwa rohani yang ada di komunitas kita dan di dunia, dinamika untuk terlibat dalam gerakan-gerakan dan menyambut rahmat yang dikerjakan Roh Kudus di dalam tiap pribadi sebagai pribadi. Kita diajak untuk melibatkan diri sepenuhnya dalam upaya membuang model-model yang tak berkehidupan, untuk mencitrakan pribadi manusia yang ditandai Kristus, yang Dia sendiri tidak pernah diwahyukan secara mutlak dalam kata-kata atau perbuatan.
Paus Fransiskus mengajak kita agar memiliki suatu kebijaksanaan yang mesti ditampilkan dengan konsistensi yang fleksibel, sebuah kemampuan kaum biarawan-biarawati untuk menanggapi sesuatu sesuai Injil, untuk bertindak dan memilih sesuai Injil, tanpa kehilangan jati diri di tengah pelbagai macam tingkat hidup, bahasa atau hubungan pribadi, sambil terus menerus sadar akan tanggungjawab, akan adanya jaringan yang mengikat kita bersama, akan maksud keterbatasan kita, dan sadar akan begitu banyaknya cara pengungkapan kehidupan. Hati yang misioner adalah hati yang telah mengenal sukacita karya keselamatan Kristus lalu membagi-bagikannya untuk menghibur orang lain. “Hati yang selalu menyadari bahwa harus tumbuh dalam pemahaman mengenai Injil dan tumbuh dalam kemampuan membeda-bedakan jalan-jalan Roh Kudus, dan tetap begitu itu sebisanya dan sebaik-baiknya, juga jika dalam proses pun, sepatunya berlepotan lumpur jalanan (71).
Mari kita sambut dorongan yang ditawarkan Paus kepada kita untuk melihat diri sendiri dan dunia dengan mata Kristus dan untuk tetap berprihatin mengenainya.
Beberapa pertanyaan dari Paus Fransiskus
- Saya mau mengatakan satu kata kepada Anda dan kata itu adalah “sukacita”. Di mana pun ada biarawan-biarawati, seminaris (frater), kaum relijius pria-wanita, kaum muda, di situ ada sukacita, selalu ada sukacita! Yakni sukacita karena kebaruan, sukacita karena ikut Yesus, sukacita yang dianugerahkan Roh Kudus kepada kita, bukan sukacita dunia. Selalu ada sukacita! Tapi di manakah sukacita dilahirkan? (72)
- Tengoklah di kedalaman hati Anda, tengoklah di kedalaman diri Anda dan tanyakan pada diri Anda, apakah Anda punya sebuah hati yang mendambakan sesuatu yang hebat, ataukah sebuah hati yang tertidur pulas terlelap oleh benda-benda? Apakah hati Anda memupuk terus kegelisahan dalam mencari ataukah Anda membiarkan hati Anda dicekik oleh benda-benda sehingga berakhir dengan mengerasnya hati? Allah menanti Anda. Dia mencari Anda. Bagaimana Anda menanggapi-Nya? Apakah Anda sadar akan situasi jiwa Anda? Ataukah Anda acuh-tak-acuh terhadap-Nya? Apakah Anda percaya akan Allah yang menanti Anda ataukah kebenaran tsb hanya sekedar “kata-kata” belaka? (73)
- Kita adalah korban kebudayaan se-saat. Saya mau Anda memikirkan ini: Bagaimana saya bisa bebas merdeka, melepaskan diri dari “budaya se-saat” ini? (74)
- Inilah tanggungjawab pertama semua orang dewasa, dan para formator yakni memberi teladan yang konsisten terus menerus bagi mereka yang termuda. Apakah kita menginginkan kaum muda yang konsisten? Apa kita sendiri konsisten? Sebaliknya, Tuhan ingin mengatakan kepada kita sesuatu yang dikatakan-Nya kepada Umat Allah mengenai kaum Farisi: “Lakukanlah apa yang mereka ajarkan, tapi jangan meniru apa yang mereka lakukan”. Konsisten dan otentik! (75)
- Kita bisa bertanya pada diri sendiri: apakah saya mengkhawatirkan Allah, khawatir kalau-kalau saya tidak memaklumkan Dia, dan tidak membuat Dia dikenal orang? Atau apakah saya membiarkan “keduniawian rohani” menarik hati saya? “Keduniawian rohani” itu mendorong orang untuk melakukan segala sesuatu demi cinta diri. Apakah kita kaum biarawan-biarawati memikirkan minat pribadi, berfungsinya karya kita, dan karier kita? Memang kita dapat memikirkan begitu banyak hal. Dengan kata lain, apakah saya mencari kenyamanan dalam kehidupan Kristiani saya, dalam kehidupan imamat saya, dalam kehidupan relijius saya, dan juga dalam kehidupan komunitas saya? Ataukah saya menjaga baik-baik kekuatan kegelisahan dalam mencari Allah dan dalam melakukan Sabda-Nya yang telah berhasil mendorong saya keluar dari diri sendiri untuk menjumpai orang lain? (76)
- Apakah kita merasakan kegelisahan kasih? Apakah kita percaya akan kasih kepada Allah dan orang lain? Ataukah kita acuh-tak-acuh terhadapnya? Bukan acuh-tak-acuh dengan cara abstrak, bukan hanya dibilang begitu, tapi sungguh acuh-tak-acuh terhadap saudara yang kita jumpai, terhadap saudari di samping kita! Apa kita tergerak oleh kebutuhan mereka ataukah kita tetap saja tertutup dalam diri sendiri, dalam komunitas-komunitas kita, yang seringkali menjadi “komunitas yang nyaman” bagi kita (77)
- Inilah jalan yang indah menuju kesucian. Apakah Anda berkata-kata buruk dengan orang lain? “Tapi Romo, saya punya masalah ....” Jangan katakan kepada saya. Katakan saja itu kepada superior, katakan itu kepada Uskup, yang dapat menyelesaikannya. Jangan menceritakan sesuatu kepada orang yang tidak dapat menolong. Ini penting, yaitu persaudaraan! Tapi apakah Anda berani berkata-kata buruk kepada ibu, ayah, dan saudara Anda? Tidak pernah. Kalau begitu, kenapa berbuat begitu itu dalam kehidupan sebagai biarawan-biarawati, di seminari, di dalam kehidupan imamat Anda? Ini saja: pikir, pikirlah ... Persaudaraan! Kasih persaudaraan! (78)
- Di bawah kaki Salib, Maria itu sekaligus wanita yang berduka dan wanita yang menanti-nantikan misteri yang jauh lebih besar dari pada duka, yang segera terwujud. Nampaknya segalanya sudah tamat; setiap pengharapan dapat saja dikatakan padam. Maria juga, pada waktu itu, sambil ingat akan janji-janji Kabar Sukacita, dia bisa saja berkata: itu kok tidak jadi ... saya dibohongi. Tapi Maria tidak mengatakannya. Maka dia yang terberkati karena percaya, melihat dengan mata imannya, mekarnya sebuah masa depan baru. Dan dia menantikan “hari esoknya Allah” dengan penuh pengharapan. Seringkali saya pikir, apakah kita tahu, bagaimana menantikan “hari esoknya Allah”? Atau kita mau hal itu terjadi pada hari ini juga? Bagi Maria, “hari esoknya Allah” adalah fajar pagi hari Paska, fajar hari pertama minggu itu. Akan baiklah bagi kita, membayangkan dalam kontemplasi, ibu yang berpelukan dengan anaknya. Sebuah lampu yang dinyalakan di makam Yesus adalah pengharapan seorang ibu yang saat itu menjadi pengharapan semua manusia. Saya bertanya pada diri saya sendiri dan pada Anda: apakah lampu ini masih menyala dalam biara? Dalam biara Anda, apakah Anda menantikan “hari esoknya Allah”? (79)
- Kegelisahan kasih selalu menjadi insentif untuk pergi kepada orang lain, tanpa menunggu orang lain menyatakan kebutuhannya. Kegelisahan kasih akan menganugerahi kita ”pastoral yang berbuah lebat”. Dan kita masing-masing harus bertanya pada diri sendiri: apakah keberhasilan rohani saya sehat adanya? Apakah kerasulan saya berbuah? (80)
- Sebuah iman yang otentik selalu mengandung keinginan terdalam untuk mengubah dunia. Inilah pertanyaan yang harus kita ajukan kepada diri kita sendiri: apakah kita juga mempunai visi dan dorongan hati yang hebat? Apakah kita juga pemberani? Apakah impian kita terbang tinggi? Apakah semangat kita begitu bernyala sampai menghanguskan diri kita (Mz 69:10)? Ataukah kita berjiwa tanggung, setengah-setengah, dan mudah puas diri dengan program kerasulan yang “made in laboratorium”? (81)
13, Bersukacitalah, wahai yang penuh rahmat (Luk 1:28). Salam dari malaikat kepada Maria ini merupakan ajakan untuk bersukacita, sukacita yang mendalam, sambil mewartakan berakhirnya kesedihan. Itu adalah salam yang menandai awal dari Injil, Kabar Baik (82)
Bersama Maria, sukacita meluas. Putera yang dikandung di rahimnya adalah Allah Sukacita, kesukaan yang menular dan mengikutsertakan orang. Maria membiarkan pintu hatinya terbuka dan segera pergi ke Elisabet. “Dengan hati penuh sukacita karena mendapat Dia yang didambakannya, dan tahu akan tugasnya, dan pikirannya penuh sukacita, Maria bergegas menuju pegunungan. Ke mana Maria pergi dengan senang hati, dia yang sudah penuh dengan Allah itu, kalau bukan ke puncak gunung? (83)
Dia pergi dengan sangat tergesa-gesa (Luk 1:39) untuk membawa kabar bahagia kepada dunia, untuk membawa semua sukacita yang tak termuat dalam rahimnya, yaitu Yesus, Tuhan. Dengan sangat tergesa-gesa: bukan hanya dengan kecepatannya saja Maria pergi ke sana. Tapi dengan kerajinan dan perhatian sepenuhnya, dia melakukan perjalanan dengan entusiasme.
Aku ini hamba Tuhan (Luk 1:38). Hamba Tuhan berlari dengan sangat tergesa-gesa, untuk menjadi hamba semua orang.
Di dalam diri Maria, Gereja adalah semua orang yang mengadakan perjalanan bersama-sama: dalam kasih orang yang pergi keluar menjumpai orang-orang yang sangat rapuh; dalam pengharapan orang yang tahu bahwa mereka akan ditemani ketika pergi keluar; dan dalam iman orang yang punya anugerah khusus untuk dibagi-bagikan. Di dalam Maria, kita masing-masing, terdorong oleh angin Roh Kudus, memenuhi panggilan kita masing-masing untuk bergerak keluar!
O bintang evangelisasi baru,
tolonglah kami untuk memancarkan
kesaksian mengenai persekutuan dan pelayanan,
mengenai iman yang menyala dan murah hati,
memancarkan kesaksian kepada orang miskin
mengenai keadilan dan kasih,
agar sukacita Injil
bisa mencapai ujung-ujung bumi,
bahkan bersinar sampai ke tepian bumi.
O Bunda Injil yang hidup.
sumber kebahagiaan bagi kaum kecil dari Allah,
Doakanlah kami,
Amin. Alleluya! (84).
Roma, 2 Februari 2014
Pesta Tuhan dipersembahkan di Kenisah
João Braz Card. de Aviz
Prefect
José Rodríguez Carballo, O.F.M.
Archbishop Secretary
(1) FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 1. All the cited texts of Pope Francis, with the exception of the morning meditations, are published in English on the Vatican website(http://w2.vatican.va/content/vatican/en.html). (2) ANTONIO SPADARO, “Wake up the World!”. Conversation with Pope Francis About the Religious Life, in: La Civiltà Cattolica, 165 (2014/I), 5 (English translation by Fr. Donald Maldari, S.J.). (3) Cf. FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 47. (4) FRANCIS, Meeting with the Young People of Umbria, Assisi (Perugia), 4 October 2013. (5) JOHN PAUL II, Post-Synodal Apostolic Exhortation Vita consecrata (25 March 1996), n. 27, in: AAS 88 (1996), 377-486. (6) With more references: cf. SAINT THÉRÈSE OF THE CHILD JESUS, Opere complete, LEV - Ed. OCD, Città del Vaticano - Roma 1997: Manoscritto A, 76vº; B, 1rº; C, 3rº; Lettera 196. (7) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (8) Ibidem (9) FRANCIS, Homily for Holy Mass with Seminarians and Novices, Rome, 7 July 2013. (10) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (11) FRANCIS, Address to the Participants at the Plenary Assembly of the International Union of Superiors General (Rome, 8 May 2013), in: AAS 105 (2013), 460-463. (12) FRANCIS, Message to the Prior General of the Order of Brothers of the Blessed Mary of Mount Carmel, on the Occasion of the General Chapter, Rome, 22 August 2013. (13) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (14) Ibidem. (15) FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 3. (16) FRANCIS, Homily for the Opening of the General Chapter of the Order of St. Augustine, Rome, 28 August 2013. (17) FRANCIS, Homily at the Holy Mass on the Feast of St. Ignatius Loyola, Rome, 31 July 2013. (18) FRANCIS, Encyclical Letter Lumen fidei (29 June 2013), n. 8, in: AAS 105 (2013), 555-596. (19) Ivi, n. 9. (20) FRANCIS, Homily at the Holy Mass for the Day for Catechists, Rome, 29 September 2013. (21) FRANCIS, Address to the Participants at the Plenary Assembly of the International Union of Superiors General (Rome, 8 May 2013), in: AAS 105 (2013), 460-463. (22) FRANCIS, Angelus, Rome, 1 November 2013. (23) JOHN PAUL II, Post-synodal Apostolic Exhortation Vita consecrata (25 March 1996), n. 22, in: AAS 88 (1996), 377-486. (24) FRANCIS, Homily at the Holy Mass with Bishops, Priests, Religious and Seminarians on the XXVIII World Youth Day, Rio de Janeiro, 27 July 2013. (25) FRANCIS, Address to the Participants at the International Congress on Catechesis, Rome, 27 September 2013. (26) AMBROSE, De Isaac et anima, 75: PL 14, 556-557. (27) FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (8 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 265. (28) Cf. FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 265. (29) FRANCIS, Address to the Participants at the International Congress on Catechesis, Rome, 27 September 2013. (30) FRANCIS, Homily at the Holy Mass on the Feast of St. Ignatius Loyola, Rome, 31 July 2013. (31) FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 266. (32) FRANCIS, Homily for the Opening of the General Chapter of the Order of St. Augustine, Rome, 28 August 2013. (33) FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 8. (34) Ivi, n. 1. (35) FRANCIS, Homily at the Holy Mass with the Cardinals (Rome, 14 March 2013), in: AAS 105 (2013), 365-366. (36) FRANCIS, Homily for Holy Mass with Seminarians and Novices, Rome, 7 July 2013. (37) FRANCIS, Address to the Participants at the International Congress on Catechesis, Rome, 27 September 2013. (38) FRANCIS, Homily at the Eucharistic Celebration at St. Paul Outside the Walls, Rome, 14 April 2013. (39) FRANCIS, Homily for Holy Mass with Seminarians and Novices, Rome, 7 July 2013. (40) CONGREGATION FOR INSTITUTES OF CONSECRATED LIFE AND SOCIETIES OF APOSTOLIC LIFE, Instruction Starting Afresh from Christ: A Renewed Commitment to Consecrated Life in the Third Millennium (19 May 2002), n. 25, in: EnchVat 21, 372-510. (41) FRANCIS, Daily Meditation in the Chapel of Domus Sanctae Marthae, Rome, 16 December 2013. (42) FRANCIS, Meeting with the Clergy, Consecrated People and Members of Diocesan Councils, Assisi (Perugia), 4 October 2013. (43) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (44) BENEDICT XVI, Encyclical Letter Deus caritas est (25 December 2005), n. 11, in: AAS 98 (2006), 217-252. (45) FRANCIS, Homily for Holy Mass with Seminarians and Novices, Rome, 7 July 2013. (46) Cf. FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (47) Cf. FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 47. (48) FRANCIS, Address to the Cloistered Nuns, Assisi (Perugia), 4 October 2013. (49) CONGREGATION FOR INSTITUTES OF CONSECRATED LIFE AND SOCIETIES OF APOSTOLIC LIFE, Instruction Fraternal Life in Community. “Congregavit nos in unum Christi amor” (2 February 1994), n. 28: in EnchVat 14, 345-537. (50) FRANCIS, General Audience, Rome, 30 October 2013. (51) ANTONIO SPADARO, “Wake up the World!”. Conversation with Pope Francis about the Religious Life, in: La Civiltà Cattolica, 165 (2014/I), 13 (English translation by Fr. Donald Maldari, S.J.). (52) Cf. FRANCIS, Address to the Participants at the Plenary Assembly of the International Union of Superiors General (Rome, 8 May 2013), in: AAS 105 (2013), 460-463. (53) FRANCIS, Homily at the Holy Mass with Bishops, Priests, Religious and Seminarians on the XXVIII World Youth Day, Rio de Janeiro, 27 July 2013. (54) ANTONIO SPADARO, “Wake up the World!”. Conversation with Pope Francis about the Religious Life, in: La Civiltà Cattolica, 165 (2014/I), 10 (English translation by Fr. Donald Maldari, S.J.). (55) Cf. ivi, 6. (56) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (57) Cf. FRANCIS, Morning Meditation in the Chapel of Domus Sanctae Marthae, Rome, 1 October 2013. (58) ANTONIO SPADARO, “Wake up the World!”. Conversation with Pope Francis about the Religious Life, in: La Civiltà Cattolica, 165 (2014/I), 5 (English translation by Fr. Donald Maldari, S.J.). (59) Cf. FRANCIS, Meeting with the Brazilian Bishops, Rio de Janeiro, 27 July 2013. (60) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (61) FRANCIS, Homily for the opening of the General Chapter of the Order of St. Augustine, Rome, 28 August 2013. (62) Cf. FRANCIS, Vigil of Pentecost with the Movements, New Communities, Associations and Lay Groups (Rome, 18 May 2013), in: AAS 105 (2013), 450-452. (63) Ibidem. (64) FRANCIS, Meeting with the Poor Assisted by Caritas, Assisi (Perugia), 4 October 2013. (65) FRANCIS, Morning Meditation in the Chapel of Domus Sanctae Marthae, Rome, 6 July 2013. (66) ANTONIO SPADARO, Interview with Pope Francis, in: La Civiltà Cattolica, 164 (2013/III), 474. (67) Cf. FRANCIS, Meeting with the World of Culture, Cagliari, 22 September 2013. (68) FRANCIS, Meeting with the Brazilian Leaders, Rio de Janeiro, 27 July 2013. (69) Cf. FRANCIS, Address to the Community of Writers of “La Civiltà Cattolica”, Rome, 14 June 2013. (70) FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 45. (71) Ibidem. (72) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (73) FRANCIS, Homily for the opening of the General Chapter of the Order of St. Augustine, Rome, 28 August 2013. (74) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (75) Ibidem. (76) FRANCIS, Homily for the Opening of the General Chapter of the Order of St. Augustine, Rome, 28 August 2013. (77) Ibidem. (78) FRANCIS, Meeting with Seminarians and Novices, Rome, 6 July 2013. (79) FRANCIS, Celebration of Vespers with the Community of Camaldolese Benedictine Nuns, Rome, 21 November 2013. (80) FRANCIS, Homily for the Opening of the General Chapter of the Order of St. Augustine, Rome, 28 August 2013. (81) FRANCIS, Homily at the Holy Mass in the Church of the Gesù on the Feast of the Holy Name of Jesus, Rome, 3 January 2014. (82) BENEDICT XVI, General Audience, Rome, 19 December 2012. (83) AMBROSE, Expositio Evangelii secundum Lucam, II, 19: CCL 14, p. 39. (84) FRANCIS, Apostolic Exhortation Evangelii gaudium (24 November 2013), LEV, Città del Vaticano 2013, n. 288.
© Copyright 2014 - Libreria Editrice Vaticana
00120 Città del Vaticano
Tel. 06 69 88 10 32 - Fax 06 69 88 47 16
www.libreriaeditricevaticana.com
www.vatican.va
ISBN 978-88-209-9325-2