Saudara-saudara yang terkasih,

 

Sebagai bangsa Indonesia, pada tanggal 2 Mei setiap tahun kita rayakan Hari Pendidikan Nasional. Bagi para guru/pendidik dan tenaga non-kependidikan, Hari Pendidikan Nasional menjadi kesempatan untuk mengingat dan merenungkan kembali perjalanan pengabdian diri mereka di dunia pendidikan. Bagi bangsa Indonesia pada umumnya, Hari Pendidikan Nasional menjadi kesempatan untuk menyadari kembali pentingnya arti pendidikan dalam kehidupan bangsa, serta memberikan penghargaan yang pantas kepada para pendidik dan orang-orang lain yang berperan dalam memajukan dunia pendidikan.

Gereja Katolik sendiri sejak semula hadir di tengah masyarakat dengan menyelenggarakan sekolah-sekolah yang memperhatikan mutu pendidikannya, dan dengan sarana itu ikut serta memberikan sumbangan nyata bagi masyarakat di sekitarnya. Sampai sekarang, “diakonia pendidikan” melalui sekolah-sekolah Katolik menjadi karya pelayanan atau diakonia Gereja yang masih tetap dapat diandalkan peranan dan sumbangannya bagi masyarakat luas dari semua kalangan.

 

Kepedulian Pada sekolah-sekolah Katolik

Mengambil momentum Hari Pendidikan Nasional tahun 2008 ini kiranya tepatlah bagi kita sebagai Gereja Katolik Keuskupan Surabaya memberikan perhatian secara khusus kepada dunia pendidikan, khususnya dunia pendidikan Katolik di Keuskupan kita. Perhatian dari seluruh Gereja saat ini amat penting artinya, agar keikutsertaan kita dalam memajukan kehidupan masyarakat melalui pendidikan di sekolah-sekolah Katolik dapat terus berkembang dan ditingkatkan. Perhatian kita semua penting artinya, mengingat bahwa tantangan yang dihadapi oleh sekolah-sekolah kita sekarang ini terasa amat berat dan menyentuh hampir semua segi kehidupan persekolahan.

Secara khusus saya mengajak seluruh umat untuk memberi perhatian pada 150-an sekolah-sekolah Katolik (TK, SD, SMP, SMA, SMK) yang ada di bawah tanggung jawab Keuskupan Surabaya, yang dikelola di bawah Yayasan Yohanes Gabriel. Sekolah-sekolah kita itu kebanyakan melayani anak-anak dan kaum muda yang tidak memiliki sumberdaya ekonomi yang cukup untuk memperoleh pendidikan yang lengkap dan bermutu. Sejak 20-an tahun ini sekolah-sekolah ini mulai mengalami penurunan jumlah murid akibat KB dan berdirinya sekolah-sekolah negeri dan swasta lain. Di tengah tantangan itu, sekolah-sekolah kita di satu pihak mau tetap eksis demi pelayanan kepada masyarakat, namun di lain pihak perlu meningkatkan kemampuan, sarana-prasarana untuk usaha pendidikan yang bermutu.

Eksistensi sekolah-sekolah Katolik di tengah masyarakat tetap penting dan sangat diharapkan untuk memberikan sumbangan pendidikan nilai-nilai kehidupan yang boleh kita sebut nilai-nilai pendidikan Katolik, seperti: kejujuran, disiplin, cinta lingkungan, pengendalian diri dan emosi, dan sebagainya. Namun di sisi lain, sekolah-sekolah kita itu hanya dapat berperan dengan baik jika mendapat dukungan dari seluruh umat di Keuskupan kita. Bukan saja dalam hal materi, tetapi perhatian untuk ikut memiliki sekolah Katolik sebagai bagian dari hidup menggereja dan memasyarakat.

Dalam Konsili Vatikan II yang diadakan 43 tahun yang lalu (1962-1965), Paus Paulus VI bersama dengan para Bapa Konsili sudah melihat pentingnya keikutsertaan para putera-puteri Gereja dalam mendukung terselenggaranya pendidikan yang dapat menjangkau sebanyak mungkin anak-anak dan kaum muda sebagai hak azasi mereka: “Konsili menganjurkan, supaya putera-puteri Gereja dengan jiwa yang besar menyumbangkan jerih-payah mereka di seluruh bidang pendidikan, terutama dengan maksud agar buah-buah pendidikan dan pengajaran sebagaimana mestinya selekas mungkin terjangkau oleh siapapun di seluruh dunia” (Pernyataan tentang Pendidikan Kristiani, Gravissimum Educationis, art. 1).

Kesulitan yang dihadapi oleh sekolah-sekolah Katolik Yayasan Yohanes Gabriel yang tersebar di Paroki-paroki di wilayah Keuskupan sekarang ini terasa amat nyata dan mendesak, dan membutuhkan berbagai tindakan bantuan yang langsung dan segera, agar tidak tertinggal dan merosot mutu pendidikannya. Untuk itulah misalnya, saya sebagai Uskup sesuai saran Dewan imam mengajak umat lebih peduli terhadap sekolah-sekolah kita ini melalui kolekte kedua pada setiap Sabtu-Minggu pertama setiap bulan, yang dimulai pada bulan April 2008 yang lalu. Diharapkan, selain ini ada banyak bentuk kepedulian yang akan kita lakukan bersama.

 

Tahun pendidikan

Untuk mewujudkan kepedulian kita secara lebih nyata dan lebih mengikutsertakan seluruh unsur Keuskupan, saya mencanangkan tahun ini sebagai Tahun Pendidikan, mulai Mei 2008 sampai April 2009. Selama satu tahun ini, diharapkan perhatian kita diarahkan untuk mendukung dan mengembangkan usaha-usaha pendidikan di sekolah-sekolah kita melalui berbagai cara dan kegiatan. Kita juga bisa memperhatikan sekolah-sekolah yang tidak secara langsung dikelola oleh Keuskupan, melainkan oleh awam namun berperan besar memberikan wajah Katolik melalui pendidikan di tengah masyarakat. Sekolah-sekolah itu mengalami juga kesulitan-kesulitan eksistensi dan kelangsungan yang membutuhkan dukungan dari semua pihak.

Saya berharap, kita tidak tinggal diam, pasif, acuh tak acuh atau hanya menyalahkan keadaan. Sebagai contoh: orang tua cenderung tidak mau menyekolahkan anak di sekolah Katolik karena menilai kondisi sekolah Katolik di paroki tidak bermutu, karena itu menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah lain, dan tidak memberikan solusi apapun untuk perbaikan mutu sekolah Katolik di paroki. Contoh lagi: para guru Katolik menyadari kompensasi yang kurang memadai, cenderung untuk berputus asa atau bekerja kurang sungguh-sungguh. Pengurus Yayasan, dalam hal ini para romo, hanya memperlakukan guru-guru sebagai pegawai dan cenderung tidak mau repot atau terganggu. Keadaan-keadaan semacam ini mari kita perbarui di tahun ini. 

Diharapkan ada semangat tobat dari kita semua untuk lebih mau memperbaiki, memperhatikan dan berbuat sesuatu dari pada mengutuki dan menyalahkan. Diharapkan kita semua bangkit dan mengusahakan agar terjadi perubahan yang nyata di sekolah-sekolah kita, agar dengan demikian kita dapat menyaksikan bersama “Kebangkitan Sekolah-sekolah Katolik” di paroki-paroki kita di seluruh Keuskupan di masa depan. Dalam rangka “Kebangkitan Sekolah-sekolah Katolik” di masa depan, semangat untuk mempedulikan pendidikan Katolik di tahun ini melalui pencanangan Tahun Pendidikan saya harapkan terus bergulir dan menjadi semangat kita beberapa tahun ke depan. Ada banyak hal di bidang pelayanan atau diakonia pendidikan di masa depan yang membutuhkan perhatian kita agar kehidupan Gereja dapat sungguh-sungguh berarti di tengah masyarakat.

Dalam Tahun Pendidikan ini kita semua hendaknya terbuka untuk semua sumbangsih pikiran, usulan, action plan dan sebagainya, di tingkat Paroki, Regio maupun Keuskupan. Umat sendiri juga bisa melakukan inisiatif di tingkat keluarga, stasi atau lingkungan/wilayah. Demikian pula kelompok-kelompok kategorial diharapkan untuk terpanggil memberikan sumbangsihnya.

Di tingkat Keuskupan, saya berharap agar di tahun ini kita dapat mewujudkan perbaikan gaji bagi para guru/pegawai yang bekerja di sekolah-sekolah Katolik Yohanes Gabriel. Dari para pengurus Yayasan di tingkat Pusat, Perwakilan dan Sub-perwakilan, saya berharap agar perbaikan-perbaikan internal Yayasan secara bertahap terus diusahakan. Dari seluruh umat, saya berharap agar ada dukungan bagi upaya penggalangan dana yang dilakukan, baik melalui Kolekte kedua pada Sabtu-Minggu pertama setiap bulan, maupun melalui berbagai bentuk kepanitiaan seperti: Panitia Dana Sekolah Minus, Badan Pelayanan GRATIA, OTASA (Orang tua asuh) di paroki-paroki dan sebagainya. Dari sekolah-sekolah Katolik sendiri saya berharap bahwa semangat memperbaiki diri terus ditingkatkan. Agar kehadiran sekolah mempunyai daya tarik dan dirasakan sungguh pelayanannya, guru-guru saya harapkan agar mau repot untuk bekerja sama dan berbenah diri “memperbaiki wajah sekolah” dan meningkatkan mutu pelayanannya.

Penutup

Akhirnya hendaklah diingat bahwa usaha dan perbaikan-perbaikan yang kita lakukan di bidang pendidikan bukanlah usaha yang semata-mata duniawi, namun merupakan “usaha yang ilahi”, di mana Allah sendiri ikut bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan kita. St. Paulus mengajarkan “sikap hamba” dalam pekerjaan-pekerjaan kita, yaitu melakukan segala sesuatu untuk melayani Tuhan dan bukan manusia (Ef 6:7). Karena itu hendaknya kita tidak mengenal lelah mengerjakan “pekerjaan-pekerjaan Allah” lewat bidang pendidikan ini demi generasi mendatang. Apa yang kita lakukan sekarang ini tentulah akan berbuah kebaikan jika kita lakukan dengan tulus dan suka rela untuk melayani Tuhan.

 

Surabaya, 20 April 2008

 

Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono

Uskup Surabaya