No. 30/G.111/II/2013
Saudara-saudari terkasih, Pada hari Rabu Abu, 13 Februari nanti, dahi kita akan ditandai dengan abu sebagai tanda dimulainya masa Prapaskah, masa tobat, masa untuk mempersiapkan diri merayakan Paskah. Kita semua tahu bahwa abu yang ada pada dahi kita mengingatkan betapa rapuh dan lemahnya kita. Masa Prapaskah adalah masa pembaharuan diri karena perjumpaan dengan Tuhan. Pengampunan Tuhan yang kita terima akan menjadi saat kehidupan baru bagi kita. Seperti bacaan pertama yang kita dengar pada hari ini, Nabi Yesaya mendapatkan anugerah kehidupan baru karena kesalahannya dihapus dan dosanya diampuni. Buah dari kehidupan baru itu tidak lain ialah kesiapsediaan untuk diutus. ''Ini aku, utuslah aku!'' (Yes. 6: 7-8). Demikian pula pengalaman perjumpaan dengan Tuhan yang dialami oleh Simon dan teman-temannya di danau Genesaret. Hidup yang tampaknya kosong karena kegagalan sepanjang malam, berubah menjadi hidup yang berkelimpahan. Sabda Yesus menumbuhkan harapan dan kepastian. Pengalaman keberhasilan bersama dengan Yesus membuka peluang bagi Simon untuk memulai suatu kehidupan baru. Hidup baru itu dimulai dengan suatu kesadaran yang sangat berharga, yaitu pengakuan sebagai orang berdosa: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini orang berdosa” (Luk 5:8). Simon menyadari masa lampaunya tanpa Tuhan, suatu periode hidup yang ditandai dengan pilihan hanya mengandalkan diri sendiri, adalah masa lampau yang dikuasai oleh dosa. Dia hidup jauh dari Tuhan. Kesadaran baru memberi orientasi baru dalam hidup. Perjumpaan
dengan Yesus diakhiri dengan panggilan untuk Simon: “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia” (Luk 5:10). Iman Simon Petrus bukannya tanpa perjuangan. Dia memilih untuk mengikuti sabda Tuhan, lebih daripada mengikuti kemauan sendiri. Hal ini menuntut keberanian iman.
Tema APP untuk Keuskupan Surabaya tahun 2013 ini ialah Bekerja Dengan Iman. Bekerja dengan iman, berarti bekerja dengan mengandalkan Tuhan sendiri, bekerja sesuai dengan rencana dan kehendak Tuhan.
Dewasa ini banyak orang tanpa sadar sering melihat makna bekerja sekedar untuk mencari penghasilan demi memenuhi kebutuhan hidup. Sementara makna bekerja yang lain, seperti ungkapan aktualisasi diri, pelayanan kepada sesama, serta panggilan untuk ambil bagian dalam karya penciptaan Allah, mulai diabaikan.
APP sebagai momen pertobatan eklesial mengajak kita merefleksikan hidup, panggilan dan kerja kita sebagai jawaban terhadap panggilan Tuhan. Sebagai orang beriman kita hendak melihat kembali aktivitas bekerja sebagai perwujudan iman kepada Tuhan.
Kerja selalu bermartabat dan bernilai luhur karena yang mampu bekerja hanyalah manusia yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jikalau kita melakukan pekerjaan dengan penuh cinta, ketulusan, syukur, kejujuran, disiplin, penghargaan yang tinggi akan jenis pekerjaan, dan selalu menyadari penyertaan Tuhan, maka kita akan menemukan kepuasan batin, dan bekerja secara bermartabat.
Kerja merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Dalam pandangan Gereja Katolik, kerja bukanlah sekedar cara untuk melangsungkan hidup melainkan rahmat dari Allah. Gereja mendasarkan pandangannya pada kisah penciptaan di mana Allah menciptakan manusia seturut gambar-Nya sendiri dan memberi mereka perintah untuk menaklukkan bumi beserta segala isinya. Semuanya itu terwujud dalam dan melalui tindakan kerja. Melalui kerja, manusia mewujudkan dan menyempurnakan martabat dirinya sebagai citra Allah, sebab di sana ia mencerminkan kegiatan Sang Pencipta sendiri dan menjadi partner kerja Allah. Maka, dimensi subjektif kerja (manusia) haruslah
lebih diperhatikan dari pada dimensi objektif kerja (teknologi). Kerja adalah pertama-tama demi manusia dan bukan manusia untuk kerja.
Selain bersifat pribadi, kerja juga memiliki sifat sosial dan rohani. Setiap orang bekerja tidak pernah sendirian, melainkan - baik langsung maupun tak langsung - bersama dengan sesama dan berdampak bagi sesama. Kerja akan menjadi semakin subur dan produktif ketika manusia semakin menyelami potensi produktif sumber daya ciptaan dengan dijiwai oleh kasih kepada Tuhan, pemahaman akan kebutuhan sesama, keutuhan ciptaan, dan kesejahteraan umum saat ini serta masa depan. Lebih dari itu semua, bagi setiap orang kristiani bekerja adalah ambil bagian pada rencana keselamatan Tuhan.
Keyakinan iman itulah yang harus kita wartakan. Perutusan untuk mewartakan iman itulah juga yang menjadi pesan Bapa Paus Benediktus XVI sewaktu beliau mencanangkan Tahun 2012-2013 sebagai Tahun Iman. Selama Tahun Iman ini kita diajak untuk menggali, menghidupi, dan mewartakan iman kepercayaan kita di tengah dunia yang senantiasa berubah, penuh tantangan dan permasalahan. Tahun iman adalah saat dimana kita memurnikan kembali semangat kerja kita serta membangun integritas iman di tengah maraknya korupsi, politisasi pendidikan, pelecehan martabat, dan perusakan keutuhan ciptaan. Iman mewujud melalui komitmen untuk tetap bertahan dalam menghadapi aneka godaan khususnya dalam menjalankan pekerjaan kita sehari-hari. Godaan-godaan itu bisa berupa: kesombongan, keserakahan, ketidakjujuran, serta pamer kekuasaan. Padahal, kekuasaan dan wibawa haruslah berdasarkan kasih. Sebab tindakan kekuasaan Allah adalah tindakan kasih. Mereka yang bekerja bersama kita atau di bawah naungan kita bukan hanya sebagai orang-orang yang sedang terikat kontrak kerja, melainkan juga adalah sesama saudara. Orang yang menganggap semua persoalan sudah beres bila mengikuti ritual atau perayaan-perayaan lahiriah adalah orang yang menghayati imannya dengan kurang tepat. Penghayatan seperti ini justru akan memandulkan penghayatan iman itu sendiri serta menodai integritas iman kita. Saudara-saudari terkasih, Sebagai tanda kehadiran Gereja di tengah masyarakat, hendaknya kita dapat melihat permasalahan yang ada pada dunia kerja kita masing- masing dalam semangat Ajaran Sosial Gereja. Di samping menghayati pekerjaan dalam
semangat solidaritas kasih dan subsidiaritas, marilah kita menghadirkan nilai-nilai luhur seperti : keadilan, kebenaran, pengorbanan, kesabaran, kejujuran, hati nurani dan tanggung jawab. Jikalau demikian, maka di tengah pekerjaan sehari-hari, Anda menghadirkan ciri kenabian Gereja dan saksi iman yang hidup. Keluarga, sebagai Gereja kecil tempat penanaman nilai dan makna kerja, dapat menjadi tempat pembinaan awal mempraktekkan kerja dan pelayanan kepada sesama. Hal ini bisa dikembangkan dengan melibatkan anggota keluarga dalam pekerjaan rumah tangga serta membangun sikap selalu bersyukur atas pekerjaan yang kita miliki. Pekerjaan adalah anugerah dan tugas dari Tuhan sendiri. Melalui pertobatan di Masa Prapaskah ini, kita diingatkan kembali akan nasehat St. Yakobus bahwa iman tanpa perbuatan pada hakekatnya mati (bdk. Yak. 2:14-18). Iman adalah jawaban kita kepada panggilan Tuhan. Iman itu hendaknya diwujudkan dalam tindakan nyata, termasuk dalam bekerja. Semoga dalam Masa Prapaskah ini, kita semakin terbuka terhadap kehendak Tuhan untuk bekerja dengan semangat iman, demi kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan manusia, menghargai pekerjaan dan pekerja, peduli terhadap fenomena pengangguran serta bersemangat dalam karya pelayanan. Jadikan masa tobat ini sebagai jalan untuk menyucikan dan memulihkan martabat pekerjaan Anda di hadapan Tuhan dan sesama.
Surabaya, 7 Pebruari 2013
Berkat Tuhan,
Msgr. Vincentius Sutikno Wisaksono
Uskup Keuskupan Surabaya