(Hendaknya Surat Gembala ini dibacakan di semua gereja dan kapel dalam wilayah Keuskupan Surabaya pada tanggal 27 - 28 Desember 2014)


No. 298/G.111/XII/2014

Saudara-saudari umat beriman yang terkasih,
Bersama Gereja universal hari ini kita merayakan Pesta Keluarga Kudus: Yesus, Maria, dan Yusuf. Dalam Bacaan Injil dikisahkan: Maria dan Yusuf membawa kanak Yesus ke Yerusalem dan menyerahkanNya kepada Allah di baitNya yang kudus. Sikap ini menjadi tanda ketaatan dan cinta mendalam mereka sebagai orangtua kepada Allah. Dalam Keluarga Kudus Nazaret segala hal yang berkaitan dengan Yang Ilahi dihidupi dan dihormati sedari awal. Di tengah iklim keluarga seperti inilah “kanak Yesus bisa bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada padaNya” di bawah bimbingan kedua orangtuaNya (bdk. Luk 2: 40). Kekudusan keluarga ini terbentuk karena satu sama lain saling membantu dalam perjumpaan pribadi yang mengantar pada perjumpaan dengan Allah sendiri dalam pengalaman sehari-hari.
Sesuai hasil Musyawarah Pastoral 2009, tahun 2015 yang akan datang merupakan Tahun Keluarga dan Pendidikan. Fokus pastoral tahun ini mengajak kita untuk mengembangkan komunikasi iman yang tulus dalam keluarga dan menjadikan perjumpaan pribadi dalam keluarga kristiani menjadi perwujudan Gereja Rumah Tangga yang penuh sukacita. Sedangkan dalam pastoral pendidikan, fokus ini mengajak kita untuk berani mengembangkan solidaritas bagi lembaga-lembaga pendidikan Katolik dan untuk peduli terhadap proses pendidikan yang bermutu di wilayah Keuskupan Surabaya.
Bertepatan dengan Pesta Keluarga Kudus yang kita peringati hari ini, baik kalau kita menimba inspirasi dari mereka bagi fokus pertama Ardas, pastoral keluarga. Setiap anggota keluarga kristiani

dipanggil untuk berjumpa sebagai pribadi yang saling menguduskan dalam semangat kasih. Kesadaran akan panggilan ini meletakkan Allah, sumber kasih, sebagai dasar persatuan keluarga. Keluarga kristiani diharapkan menjadi komunitas kasih di mana persekutuan kasih Allah Tritunggal sendiri dibangun dan diwujudkan secara nyata
Dalam perjumpaan pribadi seperti ini, keluarga kristiani menjadi “Ecclesia Domestica” (Gereja Rumah Tangga): kehadiran dan pelaksanaan persekutuan Gereja, yaitu persekutuan iman, harapan dan kasih dalam bentuknya yang paling kecil. Keluarga kristiani memiliki peran di dalam Gereja karena mereka mengambil bagian dalam lima tugas Gereja sendiri: Persekutuan (Koinonia), Liturgi (Leiturgia), Pewartaan Injil (Kerygma), Pelayanan (Diakonia) dan Kesaksian Iman (Martyria). Keluarga adalah sekolah kehidupan kristiani yang pertama dan “suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan” (GS 52,1). Di dalam keluarga masing-masing, setiap orang belajar ketabahan dan kegembiraan dalam pekerjaan, cinta saudara sekandung, pengampunan dengan jiwa besar, dan terutama pengabdian kepada Allah dalam doa dan dalam penyerahan hidup.
Untuk sampai pada pemahaman yang tepat ini, saya memandang perlunya persiapan serius bagi mereka yang ingin membangun hidup berkeluarga. Kursus persiapan perkawinan hendaknya tidak sekedar dilihat sebagai syarat formal dan administratif. Kursus diadakan agar setiap calon pasangan akhirnya memahami bahwa membangun hidup keluarga artinya membangun perjumpaan dan persekutuan pribadi atas dasar kasih yang menguduskan, bukan sekedar kontrak yag dibuat demi kebersamaan hidup manusiawi.
Namun persiapan pertama tentu saja kehidupan setiap keluarga itu sendiri sehari-hari. Keluarga yang penuh kasih, disemangati oleh doa dan sakramen, serta diteguhkan oleh kesetiaan akan sabda Allah akan menjadi dasar kokoh bagi setiap anak untuk berkembang dan pada gilirannya untuk membangun keluarganya sendiri di masa depan.
Kita tentu tidak bisa menutup mata atas ragam persoalan yang dihadapi banyak keluarga kristiani. Persoalan itu kerap kali bahkan berujung pada renggangnya komunikasi dan putusnya perjumpaan pribadi di antara anggota keluarga. Situasi ini selayaknya menjadi

keprihatinan pastoral bersama. Perlu kiranya kehadiran pelbagai orang yang mau terlibat dalam tim pastoral pendampingan keluarga.
Dalam proses persiapan maupun pendampingan yang serius, semoga kita bisa sungguh mengikis mentalitas dan kecenderungan individualisme yang makin marak di jaman ini. Inilah salah satu akar masalah yang mengancam kesediaan untuk berjumpa antar pribadi dalam keluarga. Mentalitas seperti ini jelas menjadi tantangan bagi semangat kasih yang mengajak setiap pribadi semakin murah hati, setia, dan rela berbagi-diri bagi kebahagiaan bersama dalam keluarga.
Fokus pastoral kedua adalah pendidikan. Gereja menyadari bahwa secara istimewa pendidikan termasuk dalam tugas Gereja, terutama karena Gereja harus mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang, menyalurkan kehidupan Kristus kepada umat beriman, serta tiada henti membantu mereka supaya mampu meraih kepenuhan kehidupan (bdk. GE 3).
Tugas ini dalam Ardas terungkap dalam dua prioritas program untuk mengembangkan kesadaran dan partisipasi umat beriman dalam upaya mewujudkan pendidikan bermutu bagi semua orang dan menye-lenggarakan forum pembinaan iman bagi insan katolik dalam dunia pendidikan (guru/karyawan/pelajar). Melalui dua gagasan pokok itu diharapkan agar kita sebagai kesatuan Gereja Keuskupan Surabaya dapat menghidupi nilai tanggungjawab sebagai saudara dan persaudaraan iman, khususnya dalam dunia pendidikan.
Penghayatan nilai tanggungjawab sebagai saudara dapat kita lakukan dengan menggalang keterlibatan konkrit umat bagi perwujudan pendidikan bermutu di sekolah-sekolah katolik. Melalui keterlibatan semacam ini kita diingatkan akan jati diri Gereja bahwa semua unsur yang ada di dalamnya merupakan satu tubuh, satu keluarga dan satu saudara. Karya pendidikan adalah wujud kehadiran Gereja dalam masyarakat. Peningkatan mutu pendidikan di sekolah katolik adalah tanggungjawab bersama kita sebagai Gereja.
Kita memiliki tanggung-jawab moral bagi kelangsungan karya pendidikan sekolah Katolik. Dengan keterlibatan dan solidaritas sebagai saudara, kita berharap bahwa semakin banyak anak-anak katolik tetap

mendapatkan akses pendidikan bermutu meskipun kadang terhambat kendala ekonomi dan jarak.
Nilai persaudaraan iman mengingatkan kita akan misi sekolah katolik untuk mewartakan nilai-nilai kristiani bagi masyarakat dalam dunia pendidikan. Oleh sebab itu, katolisitas sekolah katolik adalah nilai fundamental dalam mewujudkan misinya (Diakonia, Kerygma, dan Martyria). Sebagaimana ‘rasa asin’ bagi garam, demikian jugalah katolisitas bagi sekolah katolik. Katolisitas bukanlah sekedar nilai yang ditujukan bagi murid, tetapi terutama adalah kehidupan, kedalaman dan kesaksian iman para guru, karyawan, dan semua pihak lain yang terlibat langsung di dalam proses pendidikan.
Dengan maksud itu, saya mengajak segenap umat beriman untuk membantu serta mendukung pertumbuhan iman atau kesejahteraan rohani para guru dan karyawan katolik, baik mereka yang berkarya di sekolah katolik maupun sekolah negeri dan swasta lainnya di wilayah paroki masing-masing, sebagai kesatuan Gereja. Baik pula kiranya jika di tempat masing-masing para pastor paroki memfasilitasi terbentuknya forum pertemuan bagi insan pendidikan agar mereka mendapatkan ‘keluarga rohani’ di dalam Gereja dan mengusahakan pelbagai bentuk solidaritas serta subsidiaritas antara Gereja dan sekolah katolik.
Akhirnya, seraya mempersatukan diri dengan Santa Maria, Bunda Gereja, kita memohon doa dan perlindungannya. Semoga Bunda Maria tetap mendampingi kita dalam setiap upaya mewujudkan Gereja Keuskupan Surabaya sebagai persekutuan murid-murid Kristus yang semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan, dan misioner.


Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015.


Surabaya, 19 Desember 2014

Berkat Tuhan,

 

Vincentius Sutikno Wisaksono

Uskup Surabaya