Sekitar 4-5 bulan ini mulai digulirkan gagasan Gereja sebagai Persekutuan (communion) dalam dinamika pastoral umat di Keuskupan Surabaya. Gagasan ini muncul terutama lewat pembahasan mengenai “Pola Pastoral Berbasis Persekutuan”, dengan tekanan implementasinya yang diharapkan akan berlangsung di tingkat paroki dan lingkungan atau stasi.

Rupanya, penataan ulang kevikepan-kevikepan di Keuskupan yang sudah belangsung sebelumnya, serta ketentuan Keuskupan yang baru mengenai  dana solidaritas antarparoki, merupakan momentum pastoral yang cukup mendukung guliran gagasan Persekutuan ini dalam dinamika umat Keuskupan. Namun rupanya di lain pihak ada juga permasalahan: belum ada rujukan yang mendasar namun sederhana mengenai gagasan “Gereja Persekutuan”, dalam ragam bahasa yang dapat dijangkau pemahamannya oleh kebanyakan pelaksana pastoral dan umat pada umumnya.

Jika hal ini dibiarkan, akibat yang akan ditimbulkan adalah: antusiasme terhadap gagasan ini akan berhenti di tingkat “atas” pimpinan Gereja, entah di Keuskupan atau paroki, dan tidak menjadi sebuah semangat yang mengalir dari komunitas atau paguyuban umat itu sendiri. Padahal justru di sinilah letak signifikansi gagasan persekutuan (communion) sebagai jati diri Gereja dalam suatu reksa pastoral, yaitu ketika semangat persekutuan dengan Allah Tritunggal yang diperoleh melalui Sakramen Baptis dapat semakin dimengerti, dihayati dan diwujudkan pula secara nyata dalam kebersamaan hidup di antara umat beriman dalam paguyuban-paguyuban (komunitas-komunitas) basis kristiani yang mereka alami sehari-hari.

 

Mengembangkan Persekutuan Dalam Terang Gereja Sebagai Sakramen Keselamatan

 

Dalam surat kepada para uskup Gereja Katolik di seluruh dunia, Kongregasi Ajaran Iman (1992) antara lain menggarisbawahi pentingnya menunjukkan secara lebih baik keterkaitan yang amat besar antara gagasan Gereja sebagai persekutuan (communion) dengan gagasan Gereja sebagai Sakramen keselamatan (Communionis Notio art. 1). Dalam kerangka reksa pastoral di Keuskupan Surabaya, yang ingin membangun jemaat beriman melalui sebuah “Pola Pastoral Berbasis Persekutuan”, petunjuk Kongregasi Ajaran iman ini dapat dijadikan sebagai sebuah peluang untuk mulai memikirkan bagaimana implementasi Pola Pastoral tersebut dalam praktek pastoral di lapangan, tanpa harus terlebih dahulu dipusingkan dengan pewacanaan teologis yang mendalam seputar dua gagasan besar di atas.

Hal ini amat dimungkinkan karena bagi setiap orang beriman Gereja sebagai Sakramen keselamatan bukan hanya merupakan gagasan teologis yang masih kosong isinya.

Mengapa demikian? Karena dalam kenyataannya justru “hidup sakramental” ini sudah dialami oleh setiap orang beriman terutama ketika dia menerima Sakramen Baptis, Sakramen Krisma dan merayakan Ekaristi (Sakramen-sakramen Inisiasi Kristiani), serta membaharui hidup iman dengan Sakramen Tobat dan mendapatkan daya kekuatan dari Sakramen Orang Sakit  (Sakramen-sakramen Penyembuhan). Lebih istimewa lagi karena dalam Gereja dikaruniakan pula 2 (dua) sakramen yang dimaksudkan secara permanen menjadi landasan komuniter dalam membangun persekutuan, yakni Sakramen Imamat dan Sakramen Perkawinan (Sakramen-sakramen untuk melayani Persekutuan).  Lihat Katekismus Gereja Katolik (1994), art. 1212-1666.

Jika dikaitkan dengan kebutuhan untuk “mendagingkan” gagasan pastoral berbasis persekutuan, maka secara sepintas dapat dilihat bahwa upaya “membangun Gereja sesuai jati dirinya sebagai Persekutuan” pada dasarnya tidak boleh terbatas pada aspek-aspek administratif atau manajerial belaka. Mengikuti anjuran Kongregasi Ajaran Iman di atas, perlu diberi perhatian yang cukup besar pada dimensi atau hidup sakramental Gereja, sebagai peluang maupun keharusan dalam mengembangkan pola pastoral berbasis persekutuan.

Jika anjuran ini sungguh diperhatikan dalam proses pastoral, maka upaya membangun Gereja sebagai Persekutuan tidak akan terjebak melulu pada dimensi-dimensi organisasi atau manajerial dan dapat lebih lebih bertolak dari dasarnya yang hakiki secara fundamental. Sekurang-kurangnya, perhatian pada hidup sakramental dalam reksa pastoral berbasis persekutuan akan mendapat perhatian yang utama. Hal di atas dapat dilakukan entah melalui persiapan-persiapan maupun dalam perayaan sakramen-sakramen dan sakramentali itu sendiri, ataupun dalam reksa pastoral sepanjang waktu untuk mewujudkan semangat dan karunia rahmat yang diperoleh melalui sakramen-sakramen tersebut.

 

Dalam Communionis Notio dikatakan:

 

Persekutuan Gerejawi pada saat yang sama bersifat sekaligus tak-kelihatan dan kelihatan. Sebagai sebuah kenyataan tak-kelihatan, persekutuan ini merupakan persekutuan setiap manusia dengan Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus, dan dengan orang-orang lain sebagai rekan berbagi (fellow sharers) dalam kodrat ilahi, dalam penderitaan Kristus, dalam iman yang sama, dalam roh yang sama. Dalam Gereja di atas bumi ini, terdapat hubungan mendalam antara persekutuan tak-kelihatan ini dan persekutuan kelihatan dalam ajaran Para Rasul, dalam sakramen-sakramen dan dalam tata hirarki. Melalui karunia-karunia ilahi ini, yang merupakan kenyataan-kenyataan yang amat kelihatan, Kristus melaksanakan dengan cara yang berbeda-beda dalam sejarah fungsi nabiah, imami dan rajawi-Nya demi keselamatan umat manusia. Kaitan antara unsur-unsur persekutuan gerejawi yang tak-kelihatan dan kelihatan ini mendasari terbentuknya (constitutes) Gereja sebagai Sakramen keselamatan.” (CN art. 4).

 

Tulisan ini sendiri tidak bermaksud untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan di awal tulisan (yakni belum adanya rujukan yang mendasar namun sederhana bagi para pelaksana pastoral dan umat pada umumnya) secara lengkap dan menyeluruh. Hanya diberikan sebuah pengantar pembahasan untuk nantinya kita secara bersama-sama saling belajar dan mengembangkan pola pastoral berbasis persekutuan dalam hidup sakramental, khususnya yang diperoleh dan diwujudkan melalui salah satu sakramen yang secara khusus dimaksudkan oleh Kristus untuk membangun persekutuan umat-Nya yang adalah Tubuh Mistik-Nya, yaitu Sakramen Imamat.

Pilihan ini dapat dilihat sebagai pilihan strategis yang perlu untuk diambil (karena para imam adalah “ujung tombak” pastoral persekutuan; bagaimana mungkin persekutuan dapat dikembangkan dengan baik, jika para pelayan persekutuan itu sendiri tidak menyadari dan membina dengan baik hidup persekutuannya?). Dapat juga pilihan ini dilihat sebagai pilihan praktis (untuk mulai menggulirkan diskusi kita bersama dalam mengembangkan kehidupan Gereja sebagai persekutuan di Keuskupan Surabaya).

 

Imamat Dalam Dimensi Sakramentalnya

 

                Imamat sebagai suatu partisipasi dalam imamat Kristus yang diperoleh melalui tahbisan memiliki aneka dimensi. Salah satu dimensi yang ditekankan oleh KGK di atas adalah dimensi ministerial atau pelayanan untuk membangun persekutuan. Dengan demikian, imamat bukanlah pertama-tama milik eksklusif seseorang (uskup, imam atau diakon) yang ditahbiskan, melainkan milik Gereja dan diadakan demi Gereja. Imamat dilembagakan oleh Kristus (institution) dan dikaruniakan-Nya untuk melayani in persona Christi tugas-tugas Kristus. Melalui imamat Kristus menghadirkan diri-Nya secara nyata dalam Gereja sebagai Tubuh-Nya yang organis, yang adalah suatu persekutuan yang berdimensi ilahi (vertikal) dan insani (horisontal), yang bersifat tak-kelihatan selain kelihatan.

Gereja sendiri sebagai Persekutuan didirikan oleh Kristus di atas dasar Batu Karang, berziarah di bumi ini dan terus berjuang menuju kemurnian jiwa-jiwa untuk sampai pada persekutuan surgawi yang abadi. Persekutuan surgawi ini kelak disempurnakan secara definitif pada saat kedatangan Kristus kembali, pada saat mana semua orang mati akan dibangkitkan bersama dengan Dia yang telah bangkit, dan jiwa orang-orang benar akan dipersatukan kembali dengan tubuh mereka sendiri untuk diubah oleh Kristus menjadi suatu tubuh yang mulia dan rohani. Pada saat inilah Gereja yang didirikan oleh Kristus untuk keselamatan universal sampai pada tujuannya yang definitif, yaitu sebagai persekutuan ilahi manusia-manusia yang diciptakan baru dalam langit dan bumi baru, yang dipersatukan secara sempurna dengan Allah yang menjadi tujuannya, yang adalah persekutuan abadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Dalam konteks karya keselamatan Kristus yang menyeluruh di atas, imamat perlu dilihat sebagai karunia pelayanan persekutuan dalam Gereja yang ingin menggapai tujuan perjalanannya yang definitive, yaitu persekutuan abadi Bapa, Putera dan Roh Kudus. Imamat dalam kerangka ini tidak diperoleh oleh Gereja dari dirinya sendiri, melainkan sebagai karunia yang diberikan oleh Kristus untuk berpartisipasi dalam imamat-Nya yang ingin menghadirkan keselamatan bagi seluruh umat manusia secara terus menerus dan menyentuh setiap manusia sampai pada kepenuhannya. Dengan ditahbiskan (ordinatio), seseorang diinkorporasikan ke dalam suatu tatanan (ordo) yang didirikan dan ditugasi untuk melanjutkan karya Kristus sampai kelak Dia datang kembali menyempurnakan karya penebusan.

Dengan latar belakang di atas, sebagai pelayan persekutuan yang bersifat sakramental, imam tidak cukup hanya menjalani tugasnya sebagai fungsi suatu organisasi. Selain dijalani secara profesional (karena itu ada jadual, disiplin, tata kelola dan pengetahuan yang perlu terus disempurnakan), imamat perlu dijalani secara rohani sebagai panggilan untuk ambil bagian. Bahkan didalam menjalani hidup imamat selalu perlu digarisbawahi inisiatif Kristus serta pentingnya dimensi hidup yang tak-kelihatan dan kekal lebih daripada yang kelihatan dan sementara. Selalu perlu digarisbawahi dimensi rahmat yang bekerja di atas kodrat manusiawi yang pada dasarnya baik tetapi seringkali tidak sempurna.

Sementara imam sendiri dalam hidupnya senantiasa disempurnakan oleh Kristus, dari dan dengan daya ilahi yang tak-kelihatan yang dikaruniakan oleh Kristus imam dipanggil untuk bersama-sama Kristus menyempurnakan karya pelayanannya secara terus menerus, dan dengan tidak merasa cukup untuk berhenti dalam kemapanan dan keengganan diri sendiri.

 

Mengembangkan Dimensi Sakramental Yang Utuh Dari Pastoran

 

Secara pastoral, tugas seorang imam selalu dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan rohani Gereja universal. Secara praktis namun penuh, hal ini direalisasikan terutama ketika para imam dalam persatuan dengan pimpinan Gereja partikular mengupayakan kebutuhan-kebutuhan rohani umat beriman, baik yang digembalakannya sendiri di paroki, atau dalam komunitas khusus yang secara legitim pelayanannya diserahkan kepadanya. Karena paroki-paroki terkoordinasi dalam kevikepan-kevikepan, maka kebersamaan para imam di kevikepan di bawah pimpinan vikep juga merupakan unsur penting untuk mengembangkan persekutuan.

Dalam gerak pastoral Gereja partikular atau keuskupan sebagai satu kesatuan, tugas imamat untuk melayani persekutuan juga terwujud melalui Dewan Imam, yang bersama dengan dan di bawah pimpinan Uskup memikirkan kebutuhan-kebutuhan rohani seluruh umat beriman. Dalam Dewan Imam, semangat partisipatif dan kebersamaan dalam mengembangkan Gereja persekutuan diantara para imam sekeuskupan mendapatkan ruang. Dengan cara yang sama, dalam menjalankan tugasnya sendiri di paroki yang digembalakan, para pastor paroki (parochus) hendaknya mengikutsertakan para pastor lainnya (vicarius parochus) dalam menjalankan tugas pastoral paroki yang dipercayakan kepadanya dalam semangat kolegialitas atau kebersamaan.

Dengan mengingat segi-segi “tugas” dalam karya pastoral imam di atas, kembali perlu diangkat dimensi-dimensi yang utuh dan fundamental dari imamat, dan diupayakan bagaimana hal itu dapat terwujud selagi tugas-tugas pastoral dijalankan.

Pertama, kehidupan rohani imam sendiri perlu selalu diangkat sebagai prioritas bukan hanya di tingkat keuskupan (atau kongregasi) melalui program-program dan pengarahan-pengarahan, namun terlebih sebagai panggilan dan tanggung jawab pribadi setiap imam itu sendiri. Sakramen-sakramen yang dilayani atau diterima sendiri (Ekaristi, Tobat, Orang Sakit), juga doa-doa yang diwajibkan ataupun yang bersifat devosional perlu dilihat sebagai sebuah undangan untuk terus berkembang dalam hidup rohani yang adalah dasar persekutuan, baik dalam dimensinya yang vertikal (dengan Allah Tritunggal) maupun yang horisontal (dengan rekan imam dan seluruh umat beriman).

Kedua, di atas landasan kerohanian ini perlu dikembangkan dan diwujudkan persaudaraan yang hidup, ramah dan menumbuhkan di antara para imam sebagai rekan-rekan dalam satu panggilan yang telah dimeterai oleh Kristus secara sakramental. Selain paguyuban-paguyuban yang sifatnya lebih besar atau luas cakupannya (misalnya: UNIO imam-imam diosesan), komunitas-komunitas imam di pastoran-pastoran, meskipun kecil atau terdiri dari pribadi yang beraneka ragam, pada dasarnya adalah basis kehidupan yang nyata dan harian bagi para imam sendiri untuk menghayati dan mengembangkan persekutuan. Bagaimana kehidupan pastoran diciptakan bersama sehingga tumbuh relasi yang saling menguatkan dalam pertumbuhan pribadi, rohani dan panggilan menjadi sebuah keharusan.

Saat-saat kebersamaan dalam doa, makan dan perjumpaan-perjumpaan ringan seringkali menjadi saat di mana hidup imamat disegarkan, meskipun kesegaran ini kerapkali dirasakan batas-batasnya karena rutinitas. Justru menjadi tantangan, bagaimana perjumpaan dan kebersamaan rutin dalam komunitas tidak menjadi layu dan dapat tetap memberi kesegaran bagi para imam di pastoran.

Kerapkali jika dimensi-dimensi yang sangat mengandalkan relasi serta kemauan untuk berbagi dan berkorban (dimensi salib dalam hidup pastoran) di antara para imam ini mulai ditinggalkan, imam-imam sendiri mulai kehilangan pula otentisitas dan kekuatannya untuk berelasi secara baik dan sehat dengan umat. Imam-imam merasa berat untuk mau secara rela berbagi dan berkorban bagi Gereja. Tingkat kebutuhan untuk dimengerti dan dilayani oleh persekutuan tidak lagi wajar dan sekedarnya. Padahal Kristus Gembala Baik yang menjadi panutan para imam datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, dan menjadikan diri-Nya sebagai tebusan “agar kita hidup dan memilikinya di dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10).

Ketiga, dari sini lalu terlihat betapa sentral dan “sakral” sesungguhnya arti pastoran bagi hidup para imam sebagai pelayan persekutuan. Pastoran adalah rumah di mana para imam secara penuh membina hidup persekutuan di tingkat yang paling basis dari kehidupannya yang nyata dan sehari-hari. Yaitu membangun persekutuan di antara rekan imam dalam satu atap kebersamaan, bukan secara sendiri-sendiri melainkan secara bersama-sama dengan rekan sepastoran.

Dari kehidupan pastoran, yaitu dari kebersamaan para imam yang berkembang dan terjalin dalam persekutuan, para imam di paroki atau dalam suatu komunitas pelayanan dapat menggali kekuatan untuk melayani persekutuan. Sekaligus pastoran menjadi suatu “komunitas teladan” bagi keluarga-keluarga kristiani di paroki dan umat pada umumnya yang ditantang juga untuk mewujudkan persekutuan di tingkatan basis hidup mereka. Teladan bukan dalam arti “semuanya tampak baik-baik saja”, namun dalam arti yang lebih asli dan sakramental, yaitu proses di mana komunitas pastoran dan pribadi-pribadi imam anggotanya menjadi “tanda dan sarana” keselamatan yang sifatnya universal, yang di dalam dan oleh Kristus senantiasa akan disempurnakan. Dari pastoran dibagikan rahmat sakramental keselamatan kepada komunitas-komunitas kristiani: keluarga, lingkungan, paroki dan keuskupan.

 

 

Surabaya, 31 Januari 2009

 

 

Rm. P.C. Edi Laksito

Vikjen