Sambutan Uskup Surabaya

 

Pax et Bonum,

 

            Menyambut terbitnya Majalah Liturgi Keuskupan Surabaya, saya mengucapkan profisiat dan berharap majalah ini dapat menjadi sarana informasi dan transformasi kita semua di keuskupan Surabaya untuk mengusahakan liturgi dengan sadar, aktif dan penuh makna” (SC 11). Dalam syahadat iman, Gereja mengakui misteri Tritunggal Mahakudus dan “keputusanNya yang berbelas kasih” untuk seluruh ciptaan: Bapa menyelesaikan “rahasia kehendakNya” (Ef 1:9), dengan menganugerahkan PuteraNya dan Roh Kudus demi keselamatan dunia dan demi kehormatan NamaNya. Inilah misteri Kristus! Bagaimanapun perayaan liturgis kita hendaknya bertumpu pada mengungkap dan merayakan karya keselamatan dalam Kristus, singkatnya dimensi kristologis hendaknya melatarbelakangi segala upaya hidup liturgis.

 

            Adalah tantangan kita semua, untuk menjaga dan memelihara dimensi utama ini dari hidup liturgi Gereja Katolik dari sekedar “mau mencari bentuk-asal bentuk baru, dengan inovasi, dan parahnya ekperimentasi”. Kita wajib menjaga “sensus ecclesiae (seperasaan dengan seluruh Gereja)” sehingga liturgi tidak masuk dalam kesia-siaan sensualisme (sensus, L. rasa, pencerapan oleh panca indera, oleh karenanya asal dirasa nyaman, enak, instan ditangkap panca indera, karena yang “lama” membosankan dan menjadi rutin/biasa) dan dengan demikian komunikatif, tetap up-to-date (bdk. Redemptionis Sacramentum 2). Dengan kata memelihara itulah kita perlu meluruskan salah kaprah tuduhan Gereja Katolik itu cenderung konservatif dalam hal liturgi, yang sering diterjemahkan dengan kata kuno atau kolot. Konservatif berasal dari kata conservare (L. memelihara, Jw. nguri-uri), memelihara yang penting, pokok dalam liturgi, yaitu merayakan karya keselamatan Kristus.

 

            Tantangan lain adalah menjernihkan apa yang sering menjadi isu konflik “inkulturasi”. Inkulturasi hendaknya diluruskan dalam rangka hubungan timbal-balik antara “transformasi nilai2 kebudayaan otentik melalui integrasi dalam iman kristiani dan meresapnya iman kristiani dalam pelbagai kebudayaan” (bdk. Ajakan Apostolik Catechesi Tradendae, 1979), bukanlah asal lebur jadi satu (kalau demikian menjadi soal adaptasi, indigenisasi, atau acculturasi). Dalam hal ini, pantaslah kita ingat akan adagium “lex credendi, lex orandi” (apa yang kita imani itulah yang kita doakan, rayakan, ibadahkan), bukan sebaliknya.

 

            Kiranya harapan inilah yang saya ingin sampaikan sehubungan dengan isi majalah liturgi keuskupan Surabaya, singkatnya lebih dari sekedar informatif-komunikatif tetapi hendaknya transformatif, membina kepekaan kita semua untuk merayakan misteri Allah dalam diri Kristus.

 

   Berkat Tuhan,

 

+ Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono

    Uskup Surabaya

 

Menghayati Misteri Paskah

 

            Umat kristiani menghayati misteri Paskah sebagai karya keselamatan Allah yang nyata dalam peristiwa inkarnasi, hidup dan karya Yesus Kristus, sengsara dan wafatNya dan ... oleh karena penyerahan kepada kehendak Bapa, Ia dibangkitkan dari antara orang mati (“Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami semua adalah saksi.” Kis. 2:32). Dan inilah pokok iman kristiani yang terus diwartakan sejak awal Gereja untuk tekun dan setia memberitakan sampai akhir jaman (“Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaanmu dan kamu masih hidup dalam dosamu.”  1 Kor 15:17).

 

            Orang bisa bertanya apa relevansi perayaan Paskah yang setiap tahun kita alami, dan selalu sama dan sama saja. Bukankah peristiwa itu terjadi sekali waktu kurang lebih 2 ribu tahun yang lalu. Mengapa kita masih perlu merayakannya? Kita bisa bertanya juga mungkin ini perayaan Paskah yang kesekian kalinya dan hidup saya tetap seperti ini. Memang perayaan Paskah tidak akan berarti apa2 jika kita tidak mengalami proses hidup untuk ikut bersamaNya dalam kesengsaraan dan wafatNya di kayu salib.

 

            Iman kristiani mewartakan bahwa perayaan kebangkitan Kristus tidak bisa dilepaskan dari arti kematianNya bagi dosa2 kita (“Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka, pada waktu yang ditentukan oleh Allah. Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar-tetapi untuk orang yang baik ada orang yang berani mati”. Rm. 5:6-7). Lebih jelas iman kristiani menjelaskan apa arti wafat Kristus sebagai tebusan (“memberikan nyawaNya sebagai tebusan bagi banyak orang.” Mat 20:28; Mrk 10: 45; “menyerahkan dirinya sebagai tebusan” 1 Tim 2:6). Gagasan untuk menjelaskan apa wafat Kristus bagi kita diambil dari gagasan pegadaian. Secara analogis, digambarkan sebagai yang menggadaikan hidup suci dengan kenikmatan hidup dosa dan kita tidak dapat melepaskan/mengeluarkan diri dari lingkungan kungkungan gelapnya “pegadaian” dosa kalau tidak ditebus oleh kematian Kristus. Dengan gagasan ini dinyatakan bahwa hanya karena rahmat Allah saja, manusia dapat bebas dari kesia-siaan dan kungkungan dosa jika tidak diselamat-tebuskan oleh Allah.

 

            Dengan pemaknaan seperti di atas, perayaan Paskah sebenarnya lebih dari suatu peristiwa, kejadian, atau pengalaman belaka, melainkan suatu pesan perjuangan. Pesan perjuangan untuk mati dari kemanusiaan kita yang lama yang dicemari olah dosa. St. Paulus mengingatkan kita akan perjuangan mematikan kemanusiaan lama kita (“Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” Rm. 6:2) dan menjadi manusia baru (“... kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus carilah perkara yang diatas, di mana Kristus ada. Pikirkanlah perkara yang diatas bukan yang di bumi. Sebab  kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.” Kol 3:1-3). Dalam konteks jaman ini perkara-perkara yang diatas itu bisa berarti hal2 yang berhubungan dengan hidup yang kekal, di mana cinta kasih, kemurnian hati, kekudusan batin, dll. lebih dari semua yang bersifat sementara/fana, entah itu kenikmatan, kelimpahan materi, keamanan diri yang egosentris, kebutaan rohani, kesia-siaan, dsb.

            Pesan perjuangan untuk mati atas dosa, kiranya tetap relevan bahkan bagi manusia di jaman modern ini. Apalagi, manusia di jaman modern ini nampaknya tidak mau tahu dan merasakan bahwa dosalah yang menyebabkan kehancuran manusia. Paus Yohanes XXIII almarhum pernah mengatakan bahwa “dosa manusia di jaman modern itu bahkan disebabkan karena tidak merasakan (tidak mau tahu) dosa dan kerusakan yang diakibatkan olehnya bagi diri sendiri, lingkungan, tentu kepada sesama.”  Dalam konteks penegakan habitus baru bagi bangsa Indonesia yang ditengarai sebagai kerusakan moral individual sosial (bdk. Pernyataan hasil Sidang Agung Umat Katolik Indonesia, SAGKI 2005, masalah korupsi ditengarai sudah menjadi kebiasaan yang tidak mengenal rasa malu bahkan cenderung “dibenarkan”). Kita masih dapat menambah daftar ketidak-mau-tahuan atas dosa dan kerusakaannya karena ketidakpekaan kita akan diri sendiri yang diharapkan mati atas dosa dan bangkit bersama dengan Kristus.

 

            Selamat Paskah 2008!

 

         + Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono

            Uskup Surabaya