Relevansi Lambang Episkopal Uskup (Episcopal Coat Of Arms) Bagi Implementasi Hasil Mupas 2019
Relevansi Lambang Episkopal Uskup
(Episcopal Coat of Arms)
bagi Implementasi Hasil Mupas 2019
Pada tulisan ini, saya angkat kembali tulisan saya dua belas tahun yang lalu, pada masa awal tahbisan Mgr. Sutikno sebagai Uskup Surabaya. Waktu itu saya diminta UNIO Keuskupan Surabaya untuk menulis artikel tentang proses penciptaan Lambang Uskup, dalam buku “Memahami Motto Uskup Surabaya” (2007). Pada kesempatan ini, tulisan tersebut saya edit ulang demi mengangkat signifikasi makna simbolik Lambang Uskup dan relevansinya bagi pewujudan Arah Dasar Keuskupan Surabaya sepuluh tahun ke depan.
Seorang Uskup, setelah ditunjuk oleh tahta suci, selalu diminta membuat lambang dan motto bagi dirinya. Demikian juga Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono. Lambang Uskup biasa disebut Episcopal Coat Of Arms. Sebagai orang yang senang menggambar, saya tertarik untuk merefleksikan visi episkopat Uskup baru ini melalui lambang atau logo beliau. Bukan bermaksud memberikan penjelasan resmi arti lambang keuskupan, tetapi suatu penafsiran dan permenungan. Saya beruntung karena beberapa saat sebelum tahbisan Uskup, saya diajak oleh berdiskusi dan memberikan usulan ketika beliau merancang sketsa lambang Episkopat tersebut, akhirnya ikut dalam proses koreksi akhir hingga tercipta lambang episkopal tersebut.
Pertanyaan awal yang membersit di benak saya, setelah mendengar penunjukan Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono sebagai Uskup, salah satunya adalah, gambar macam apa yang akan menjadi lambang (Coat of Arms) beliau ? Saya menganggap pertanyaan mengenai lambang ini tidak sepele. Bahkan mendasar dan malah bisa menjadi pintu gerbang untuk memahami citra diri Uskup tentang jabatan yang diembannya. Saya merasa bahwa umat dan para imam akan lebih mudah memahami visi dan misi beliau terhadap keuskupan ini, jikalau mereka memahami simbolisme yang beliau rangkai dalam lmbang episkopatnya.
Apa Itu Coat of Arms ? Apa Bedanya Dengan Logo ?
Disebut Coat Of Arms karena memang gambar tersebut disusun dari sekumpulan simbol yang dirangkai dengan formasi tertentu untuk ditempelkan atau melapisi suatu mahkota, bubungan rumah, bendera, perisai, baju, panji-panji dan sebagainya. Rangkaian simbol tersebut biasa dipakai tertempel (bandingkan dengan badge, emblem) di lengan seorang tentara (pasukan) atau tersulam pada panji-panji (banner) bentara atau herald / harbinger (herald juga bermakna pesan penting bagi raja / khalayak). Lambang tersebut menunjuk pada identitas sebuah pasukan atau klan keluarga tertentu (Family Crest), dan biasa digunakan untuk kalangan keluarga raja atau bangsawan.
Tradisi Coat of Arms berusia sudah cukup lama di dunia kerajaan, Eropa khususnya. Standar pembakuan sudah ada sejak awal abad ke 12. Bartolus de Saxoferrato, seorang Professor Hukum di Universitas Padua sudah menulis secara khusus tentang hal itu dalam buku De Insigniis Et Armiis pada tahun 1350. Ilmu khusus yang mempelajari tentang Coat of Arms dinamai heraldry. Tradisi tentang Coat of Arms juga terjaga sangat baik dalam tradisi tahta Paus, Kardinal dan Uskup.
Di Vatikan ada biro khusus, di bawah seorang Kardinal tertentu, yang menjaga tradisi Coat of Arms para pucuk pimpinan Gereja Katolik ini. Keseriusan ini menunjukkan adanya sesuatu yang penting dan bernilai di balik simbolisme dan ketentuan bentuk lambang seorang uskup. Lambang seorang uskup bersifat heraldic karena membawa pesan penting perutusan dari dalam lubuk terdalam dan komitmen seorang Uskup bagi Tuhan dan keuskupannya. Coat of Arms bukanlah sekedar logo.
Logo adalah suatu bentuk gambar atau sketsa dengan arti tertentu untuk mewakili suatu cita-cita dan arti dari berdirinya perusahaan, daerah, kelompok, produk dan hal-hal lain yang dianggap membutuhkan penyingkatan, supaya mudah diingat sebagai ganti dari nama sebenarnya. Maka logo sering dikaitkan dengan trademark and brand. Sedangkan Coat of Arms dalam tradisi ‘Roman Episcopal Heraldry’ dipahami bukan sekedar sebagai logo identitas melainkan autoritas dan martabat. Maka Vatikan sangat serius menjaga tradisi lambang episkopal ini. Ini masalah pewarisan kuasa ke-rasul-an. Dengan melihat lambang tersebut, dimaksudkan untuk memahami otoritas dan iurisdiksi yang diemban seorang uskup bagi Tuhan dan domba yang dipercayakan kepadanya.
Lambang Episkopal Dalam Tradisi Gereja Katolik
Pada prinsipnya, pola dasar lambang episkopat seorang tertahbis memuat 5 simbol utama: topi, tessel (simpul tali), salib prosesi, tameng / perisai, dan motto yang dituliskan di bendera panji-panji (banner, motto scroll).
- Topi. Merupakan simbol otoritas suci dan martabat yang diberikan dari Tuhan sendiri. Kalau Paus adalah Mitra, kardinal pakai topi ungu violet, uskup pakai topi warna hijau.
- Tessel. Pada umumnya ruang diluar perisai disebut sebagai ornamen pendukung. Ada yang berupa gambar singa, garuda atau yang lain. Dalam lambang episkopat menggunakan gambar tessel (tali pengikat pingang seorang gembala). Tali berujung rumbai ini menunjukkan simpul tali pengikat janji seseorang yang ditahbiskan sebagai gembala. Tessel di tingkat pertama adalah simpul tahbisan diakonat, kedua untuk imamat, ketiga untuk tingkat episkopat (uskup), keempat: untuk uskup agung, kelima: Kardinal. Jadi lambang seorang Uskup ada enam tessel di kiri dan kanan. Jumlahnya 12 berwarna hijau.
- Salib Prosesi. Simbol Penggembalaan Kristus (baculum pastoralis). Lambang seorang kardinal memakai salib ber-palang dobel (double traverse) sedangkan untuk uskup berpalang satu. Seorang uskup, sebagai Rasul Kristus, dipilih untuk menjadi gembala yang siap berkorban demi domba-dombaNya. Untuk tahta suci memakai gambar dua kunci Petrus berkepala salib.
- Perisai (Shield), dalam tradisi perlambangan, bentuk perisai ini beranekaragam tergantung budaya daerah asalnya. Perisai adalah lambang perlindungan terhadap serangan senjata musuh. Perisai biasanya dibagi menjadi dua, tiga, atau empat ruang. Dalam Ruang –ruang ini diletakkan symbol falsafah atau teologi yang dipegang sebagai perisai atau visi keuskupan.
- Banner atau Scroll. Dalam pita yang seakan berkibar ini dituliskan motto episkopat.
Proses terwujudnya Lambang Episkopat Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono
Sedikit banyak saya mengenal Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono. Beliau adalah orang nyeni, suka memahat dan menggambar. Kalau uskup lain banyak meminta orang lain untuk membuatkan lambang episkopat mereka, seperti misalnya Kardinal keuskupan Agung Jakarta, Uskup Agung Semarang dan Uskup lain meminta tolong Rm. YB. Mangunwijaya, Pr, saya yakin Mgr Sutikno akan membuat sendiri. Dan ternyata betul, beliau merancang dan membuat sketsa untuk lambang episkopatnya sendiri. Sketsa awal beliau gambar sendiri pakai pensil dan ballpen di kertas folio ditunjukkan ke saya dan meminta saya berpendapat tentang gambar tersebut. Saya berpendapat, bahwa sketsa awal terasa padat berjejal dan terlalu melebar sehingga terkesan berat. Penggarapan akhir dengan komputer dipercayakan kepada Sam Sebastian Aryono, yang adalah keponakan beliau. Kami berdua kontak lewat email berkenaan dengan gambar lambang ini.
Berawal dari kebelumtahuan tentang ketentuan lambang episkopat, Mgr Vincentius Sutikno menuangkan kreasi simboliknya atas sejarah panggilan beliau dengan aneka gambar. Namun dalam perjalanannya sketsa mengalami pengurangan dan penyederhanaan dengan mempertimbangkan koreksi dari Vatikan. Ketika saya mengusulkan gambar bintang dan merpati di atas topi ternyata tidak diperbolehkan oleh Vatikan.
Rancangan jadi tahap pertama pada tanggal 1 Mei 2007 dikirim ke Vatikan lewat email. Ternyata pada tanggal 7 Mei 2007 sudah dijawab oleh Mr. Renato Polleti, orang yang dipercaya Vatikan untuk mengoreksi lambang keuskupan, juga lewat email. Jawaban itu berbunyi demikian:
I received your kind email with the image of the coat of arms of Bishop Vincent. Beeing honest, I have to underline some heraldic mistakes. First of all, the dove with the star cannot stand outside the shield; the symbols must stay inside the shield and only the external ornaments can be outside, like the hat and the processional cross (which doesn't appear here and it has to be reported); the hat and the tassels have to be green (colour of bishops and archbishops, red is the colour of the cardinals); the motto has to be inscribed in a regular scroll: Then, there are some rules about the colours in heraldry. To show my style and to clear some tules, I enclose some coat of arms I recently prepared for some Bishops. If Bishop Vincent wants me to prepare some sketches of the coat of arms, I am deeply available and honoured to help him. Best greetings from Rome.
Saya tahu talenta seni Mgr. Sutikno sejak saya masih di seminari menengah Garum, beliau adalah pembimbing rohani saya. Dengan saya, beliau lebih banyak cerita dalam kerangka bereksplorasi seni dari pada tema tema rohani. Beliau menceritakan bahwa ketika di seminari juga pernah jadi ilustrator majalah seminari. Relasi macam itu berlanjut ketika beliau kembali dari Filipina dan menjadi rektor di Seminari Tinggi Giovanni. Saya semakin mengenal insting seni dan pola simbolisasi beliau ketika saya diajak menggarap kapel Seminari Tinggi Interdiosesan Giovanni XXIII. Kebetulan banyak kecocokan dalam persepsi terhadap simbol. Namun lebih tepat kalau saya sebut dia adalah pimpinan yang terlalu rendah hati dalam menerima kegilaan saya. Sejak dulu saya tergila-gila dengan pola segitiga sebagai lambang kesempurnaan Allah Tritunggal menjadi pola setiap kesempurnaan.
Kalau seluruh filsafat hidup budaya Timur dalam mendugai misteri kehidupan dan kosmos dilambangkan dengan lingkaran, maka bagi saya bentuk segitiga sama sisi adalah lambang kesempurnaan kosmos dan proses kehidupan kristiani. Itulah sebabnya background kapel seminari Giovanni ada bentuk segitiga yang membingkai salib dan kebangkitan Kristus di atas Tabernakel dan gambar Kitab Suci. Secara sugestif, segitiga sama sisi adalah sebuah bentuk kesempurnaan yang menarik segala hiruk-pikuk kegelisahan manusiawi dari dasar-bawah (mundane-humus-hominis) mengalir menuju atas (extra mundane-divinus), hanyut terserap menuju keheningan di sudut atas. Dari dasar yang melebar semakin mengerucut ke atas, semakin memfokuskan suasana hati, seraya semakin mendongakkan kepala, maka kekhusukan kalbu semakin terbentuk menuju satu titik di sudut atas yang sedang menunjuk ke samudra lepas semesta misteri. Suatu misteri kesempurnaan yang ber-“pribadi” dan ber-“ekonomi” triniter bagi seluruh paradigma tradisi Kristiani.
Latar belakang epistemologis tersebut kembali saya angkat ketika dimintai komentar atas gambar sketsa beliau. Beliau mengiyakan jikalau seluruh lambang episkopat dibingkai dengan garis lengkung imaginer segitiga sama sisi. Segala simbolisasi atas pengharapan, cita-cita, visi, misi dan program keuskupan ini berpartisipasi dan dibingkai dalam ruang “rahim” Allah Tritunggal. Ad maiorem Dei Gloriam, semuanya dipersembahkan demi kandungan misteri kemuliaan Allah Tritunggal. Lambang Episkopat akhirnya bernuansa feminin. Semua program dan tindakan penggembalaan yang dilahirkan, demikian juga hal-hal yang dihasilkan selama masa episkopat beliau biarlah dilahirkan dari kandungan kerahiman Allah Tritunggal sendiri. Jangan sampai peziarahan keuskupan ini sekedar hasil rekayasa manajemen keorganisasian duniawi belaka melainkan buah yang melimpah dari hasil kerjasama sinergis penuh cinta antara natura (daya manusiawi) dan gratia (rahmat ilahi).
Refleksi berdimensi feminin ini saya temukan setelah hasil akhir editing draft pertama selesai. Tangan terampil dan komputer grafis Sam Sebastian dipakai Roh Kudus untuk menampilkan dimensi indah ini. Sam memang lulusan design grafis yang saya kenal sejak kecil suka menggambar. Saya dan Mgr. Sutikno meminta Sam supaya seluruh simbol ini terangkai dalam bingkai imaginer segitiga sama sisi. Sam berhasil mengembangkannya menjadi segitiga dengan sisi garis lengkung. Suatu bentuk “rahim”. Luar biasa, suatu blessing in disguise. Dan jadilah suatu kesatuan symbol yang indah sekaligus kaya makna ‘kerahiman’.
Pemaknaan Dalam Lambang Episkopat Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono
Jikalau secara sekilas kita memandang lambang episkopat ini, kita akan menangkap dua hal: dinamika alam laut dan nuansa feminin. Saya menangkap dua pola pandang yang sepertinya menjelaskan kepada kita penyeimbangan terhadap kesan terhadap Gereja yang statis-organisatoris dan terlalu maskulin. Lambang uskup ini memberi kesan dinamika dan kelembutan.
Mgr. Sutikno tidak memakai gambar perisai perang tetapi perahu. Gambar ini mengingatkan kita bahwa Gereja adalah bahtera yang terus berlayar mengarungi samudra sejarah. Namun titik pusat seluruh bidang segitiga imaginer terletak pada cincin pengikat tali di kepala jangkar. Dinamika dan fleksibilitas mengarungi jaman dengan tetap berjangkar pada tradisi Magisterium Gereja. Lebih dari itu, jangkar itu sendiri adalah bagian utuh dari lingkaran pembingkai salib yang menjadi perisai di ujung depan lambung kapal. Satu-satunya perisai dalam peziarahan hidup hanya ada pada hidup yang berjangkar pada salib Tuhan (Gal 6:14). Pada salib, cinta sampai pada kesudahannya (Yoh 13:1).
Garis vertikal ujung kapal membelah lambung depan kapal menjadi dua sisi: kanan dan kiri. Masing masing memuat dua simbol. Lambung kanan kapal bagian atas adalah gambar Piala dan Hosti yang bercahaya. Ekaristi adalah sumber dan puncak kehidupan Kristiani (Katekismus Gereja Katolik, artikel 1324-1327). Ekaristi adalah sumber kekuatan jabatan Imam (KGK art. 1566). Kepenuhan Imamat pertama-tama adalah menjadi pelayan Ekaristi Kristus.
Bagian bawah: padi, kapas, dan setangkai daun zaitun yang melambangkan Shalom. Damai dan keadilan adalah satu ikat, Tidak ada damai tanpa keadilan dan tak akan ada keadilan tanpa damai. Damai dan keadilan harus saling berpelukan (Mzm 85:11).
Di lambung sebelah kiri bagian atas ada tongkat gembala seorang uskup. Bagian bawah ada gambar tugu pahlawan kota Surabaya. Rm Sutikno ditahbiskan menjadi uskup Surabaya. Dua gambar ini menunjuk pada yurisdiksi dan inkardinasi teritorial. Beliau diangkat menjadi Gembala bagi umat keuskupan Surabaya. Cara penggembalaan yang mesti sungguh-sungguh berjangkar pada konteks perjuangan umat Katolik bahkan masyarakat Surabaya (Jawa Timur). Tugu melambangkan kenangan perjuangan sejarah dan sekaligus keteguhan hati yang mesti ditegakkan. Tugu Pahlawan adalah juga simbol perjuangan arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan. Dalam perjalanan sejarah yang semakin kompleks, heroisme dan kenekatan arek-arek Surabaya mengalami bias nilai dan kepentingan sehingga terbentuklah fenomena bonek, heroisme dan triumpalisme bondho nekat. Dalam kerangka moral, nekat adalah kutup ekstrim di seberang “takut”’. Dan bukan itu yang dimaksudkan dengan perjuangan. Perjuangan mestinya merupakan keberanian dan keteguhan hati karena membela dan memperjuangkan nilai kebenaran. Tepatnya lagi, yang disimbolkan dengan tugu pahlawan adalah energi dan keteguhan yang dibutuhkan untuk memperjuangkan nilai-nilai Kerajaan Allah bagi masyarakat Keuskupan Surabaya.
Tugu Pahlawan dan Jangkar adalah suatu tambatan prinsip. Tugu adalah tonggak yang menjulang ke langit di atas tanah, semacam gunung. Jangkar adalah tambatan kokoh yang menghunjam ke batu karang di dasar kedalaman laut. Bukan sekedar mikul dhuwur mendhem jero tetapi juga ketegasan ekspresi dan sekaligus kedalaman kontemplasi / internalisasi. Ekspresi kreatif sekaligus mendalam. Suatu kebebasan dan ketegasan ekspresi dengan prinsip normatif yang kokoh- mendalam (in altum) sangat dibutuhkan dunia saat ini.
Sebagaimana diserukan Paus Benediktus XVI di awal pontifikatnya, ancaman terbesar posmodernitas saat ini adalah pluralitas tanpa kebenaran, kebebasan tanpa tanggungjawab serta keterbukaan tanpa prioritas nilai. Hal ini nampaknya juga menjadi feeling bawah sadar Mgr. Sutikno, yang sejak masa kecil hidup di lingkungan pesisir / budaya pelabuhan. Hal ini nampak juga dalam simbolisasi lambang episkopat beliau. Ada gambar piala (liturgis), padi, kapas (agraris), daun zaitun (dunia agraris timur tengah), tongkat gembala (martabat), tugu (prinsip), dan kapal (perjalanan melintasi ombak dan samodra).
Banyak hal dari aneka budaya dan kepentingan masuk dalam bingkai hatinya. Terbuka lebar bagi kreasi apapun, sebagaimana pantai dan pelabuhan terbuka bagi siapapun. Siapa saja boleh bersandar dan bertransaksi. Pelabuhan adalah ruang interaksi budaya tanpa batas. Demikian juga dunia posmodern ini, dunia menjadi sebuah kampung nelayan dibibir pelabuhan. Tanpa batas! Yang ada hanyalah garis maya horizon laut, garis pantai tanpa ujung, dan lengkung langit tanpa hingga. Maka dalam budaya semacam ini diperlukan kompas kepastian. Bagi beliau kompas itu adalah jangkar teologis dan tugu moral yang kokoh.
Last but not least, tali ikat pinggang gembala berujung 12 tessel yang tengahnya tersimpul di dalam topi episkopat itu membentuk dua huruf “S - M” dan meliuk lentur simetris menaungi seluruh kapal. “S-M” tersebut adalah singkatan dari nama Sancta Maria. Uskup baru ini dengan rendah hati menyadari seluruh perjalanan episkopatnya dijalani bersama Bunda Maria. Bunda Marialah orang yang paling pertama mengenal dan menyelami hati Yesus dan Gereja awali. Uskup kita ini, sebagaimana terjadi dalam mujizat perkawinan di Kana (Yoh 2: 1-11), meyakini akan kekuatan adikodrati dalam kehadiran Bunda Maria. Bersama dan dalam lindungan doa Maria beliau merasa dikuatkan dan berjalan dijalur yang benar menuju Sang Putra. Bersama kehadiran Bunda Maria, tak ada kecemasan. Bersama Maria ada mujizat yang berkelimpahan, dan anggur yang selalu baru.
Lambung kanan kapal menggambarkan dimensi teologis dan lambung sebelah kiri menyatakan dimensi pastoral serta komitmen teritorial-kontekstual-inkarnatif. Tentu bagi orang yang mengenal masa kecil Mgr. Sutikno tidaklah kesulitan menerka bahwa semua simbolisasi yang dia pakai tidak lepas dari latar belakang masa kanak-kanak beliau. Semasa kecil, beliau hidup di Perak, Surabaya, dekat dunia laut, ombak, kapal dan pelabuhan. Ketika masih kecil beliau sering menemai Romo Cock, CM, seorang misionaris yang setia dalam perutusan penggembalaan di Paroki St Mikael Perak. Kenangan hidup keseharian dan pengalaman iman sebagai misdinar di masa kecil sangat mewarnai visi episkopal beliau.
Lambang episkopal adalah suatu karya seni dan media berkontemplasi, bukan sekedar seni untuk seni. Pastor Giles Dimock OP, tentang makna teologis karya seni, mengatakan: “...of their nature, the art are directed toward expressing in some way the infinite beauty of God in works made by human hands”. Lambang episkopat uskup ini diharapkan menjadi salah satu sumber inpirasi dan kontemplasi bagi para imam dan seluruh umat katolik di keuskupan Surabaya. Melalui lambang episkopat ini dapat kita temukan makna dan energi pastoral yang mencerminkan ruang kreatif dan kelembutan rahim Alllah Tritunggal yang merencanakan keselamatan bagi Keuskupan Surabaya.
Lambang Uskup menjadi cerminan spirit pewujudan Arah Dasar Keuskupan
Lambang Uskup merupakan figurasi simbolik atas riwayat panggilan dan motto beliau. Seluruh unsur perlambangan dalam gambar tersebut menghadirkan kekayaan visi penggembalaan yang terlahir dari Sabda Visioner penggembalaan Tuhan Yesus sebagaimana tertulis dalam Injil Yohanes 10:10. Di banner bagian dasar tertulis motto Uskup dalam bahasa Latin “Ut Vitam Abundantius Habeant”. Kalimat tersebut merupakan penyingkatan dari kalimat Ego veni ut vitam habeant et abundantius habeant , “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10). Itulah visi penggembalaan Uskup bagi Umat Allah (Gereja) Keuskupan Surabaya.
Dua tahun setelah pencanangan motto episkopalnya, Uskup bersama Dewan Pastoral dan Dewan Imam menyiapkan langkah pertama mewujudkan visi penggembalaan tersebut dengan mengadakan Musyawarah Pastoral yang menghasilkan cita-cita (arah dasar) bagi Keuskupan Surabaya selama 10 tahun pertama kepemimpinan. Cita-Cita tersebut adalah “Menjadi persekutuan murid-murid Kristus yang semakin dewasa dalam iman, guyub, penuh pelayanan dan misioner”.
Lambang dan Motto Uskup tersebar dan terpajang diberbagai tempat : di mitra uskup, di kasula, di amplop, kop kertas surat, buku pedoman, poster, spanduk, gambar di dinding setiap pastoran, kantor gereja, dan sebagainya. Ini semua bukan sekedar hiasan melainkan suatu pengingat dan penanda akan kehadiran cita-cita Gembala utama di keuskupan ini. Kepada makna simbolisme lambang episkopat inilah seluruh tindakan pastoral diarahkan. Lambang Uskup menjadi sarana kontemplasi (contemplation in action) dalam setiap perancangan program dan tindakan pastoral mewujudkan Arah Dasar Keuskupan.
Selama masa berlakunya hasil Musyawarah Pastoral yang pertama (MUPAS 1), seluruh unsur karya pastoral sekeuskupan, yakni pilihan strategis penataan struktur pastoral di seluruh Paroki berbasis persekutuan (communio) , tiada lain karena hendak mengarahkan reksa penggembalaan keuskupan ini menuju cita cita Arah Dasar demi terwujudnya ‘abundantius habeant’ karena ‘manjingnya’ Tuhan Yesus dalam kehidupan menggereja.
Demi Arah Dasar itu, sejak tahun 2010 hingga 2019 , dibangunlan habitus pengelolaan pastoral secara bertanggungjawab, yakni dengan menetapkan tiga puluh prioritas program dan nilai penghayatan bagi 15 bidang pastoral. Masing masing bidang ada dua prioritas. Kekayaan makna simbolik dalam lambang episkopal Uskup menjiwai setiap program bidang dan subyek sasaran pastoral.
Makna Lambang Uskup di pusat logo MUPAS kedua
Pada Rekoleksi Dewan Pastoral Keuskupan bersama Panitya penyelenggara Mupas ke-2 (27-28 Juli 2019) diluncurkan Logo resmi Musyawarah Pastoral ke dua. Logo yang mencerminkan semangat yang hendak diwujudkan pada Mupas kedua : Uskup bergandengan tangan dengan tujuh manusia membentuk lingkaran persekutuan yang solid dengan 8 sudut arah universum - kekatolikan (segala penjuru arah angin). Semua manusia (termasuk uskup) berbaju warna ungu (liturgi Adven dan Prapaskah), yakni mengenakan sikap pertobatan dan pengharapan. Meskipun setiap kepala berisikan aneka warna pandangan, budaya, latarbelakang dan rencana, namun semua berpusat pada Lambang Episkopat Uskup. Semua pihak dan unsur termasuk diri uskup mengarahkan pandangan yang berpusat pada visi penggembalaan yang telah dimandatkan kepada Uskup sewaktu Mgr Sutikno ditahbiskan.
Seluruh stakeholder pastoral di keuskupan Surabaya bertobat dan mengarahkan kembali pada cita-cita bersama demi terwujudnya hidup yang berkelimpahan karena telah menerima dan menghidupi visi inkarnasi Tuhan Yesus.
Pada Mupas kedua ini, Keuskupan Surabaya menentukan pilihan strategis pastoralnya dengan “Mendewasakan Paroki berakar Lingkungan yang hadir di tengah masyarakat”. Sekali lagi Lambang episkopat ini menjadi sarana kontemplasi dalam pengelolaan pastoral. Untuk mewujudkan Ut Vitam Abundantius habeant, disemangati oleh cita-cita Ardas, kita melanjutkan perjalanan menuju tahap yang lebih lanjut, yakni menguatkan akar penopang Paroki yang paling riil yaitu Lingkungan. Makna simbolisme lambang Uskup tersebut bisa menjadi sarana penanda dan pengingat bagi umat dan fungsionaris Lingkungan dalam seluruh reksa pastoralnya.