Bapa Kardinal,
Para Rektor dan Guru Besar yang saya hormati,
Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi dan selamat datang!

Saya berterima kasih kepada Profesor Navarro atas sambutannya, dan kepada Anda semua atas kehadiran Anda.

Seperti yang diingatkan oleh Konstitusi Apostolik Veritatis Gaudium (lih. Proemio 1), Anda adalah bagian dari sistem studi gerejawi yang luas dan beragam, yang telah berkembang selama berabad-abad berkat kebijaksanaan Umat Allah, tersebar di seluruh dunia dan terkait erat dengan misi evangelisasi Gereja secara keseluruhan. Anda adalah bagian dari kekayaan yang tumbuh di bawah bimbingan Roh Kudus dalam penelitian, dialog, dan disermen atas tanda-tanda zaman, dan dalam mendengarkan banyak ekspresi budaya yang berbeda. Dalam hal ini Anda menonjol karena kedekatan khusus Anda – juga secara geografis – dengan Penerus Petrus dan pelayanannya dalam pewartaan kebenaran Kristus yang penuh sukacita.

Anda adalah orang-orang yang didedikasikan untuk belajar, sebagian untuk beberapa tahun, dan yang lain untuk seumur hidup, dengan berbagai asal dan kompetensi. Oleh karena itu, meminjam kata-kata martir Santo Ignasius dari Antiokia saya ingin mengatakan kepada Anda pertama-tama: belajarlah “bernyanyi sebagai paduan suara”.[1] Bernyanyi sebagai paduan suara! Memang, universitas adalah sekolah tentang keterpaduan dan keselarasan antara banyak suara dan instrumen yang berbeda. Universitas bukan sekolah keseragaman: tidak, ini adalah harmoni dan keselarasan atas berbagai suara dan instrumen yang berbeda. Santo Yohanes Henry Newman melukiskannya  sebagai tempat di mana berbagai bentuk pengetahuan dan perspektif diekspresikan dalam simfoni, mereka saling melengkapi, saling mengoreksi, dan saling menyeimbangkan.[2]

Keharmonisan ini harus dikembangkan pertama-tama dalam diri Anda, di antara kecerdasan yang menggerakkan jiwa manusia: pikiran, hati, dan tangan, masing-masing dengan timbre dan karakternya sendiri, dan semua yang diperlukan. Semoga bahasa pikiran bersatu dengan bahasa hati dan tangan: apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan.

Secara khusus, saya ingin sejenak bersama dengan Anda untuk mendalami yang terakhir dari ketiganya, yaitu: kecerdasan tangan. Itu adalah yang paling indrawi, tetapi dalam hal ini tidak kalah penting dari yang lain. Bahkan sebenarnya dapat dikatakan kecerdasan tangan itu seperti percikan pemikiran dan pengetahuan dan, dalam beberapa hal, merupakan hasil yang paling matang. Ketika pertama kali saya pergi ke Lapangan, sebagai Paus, saya mendekati sekelompok pemuda tuna netra. Dan seseorang berkata: “Bisakah saya melihat Anda? Bolehkah saya melihatmu?”. Aku belum paham. Ya, kataku. Dan, dengan tangannya, dia mencari… dia menatapku dengan menyentuhku dengan tangannya. Ini sangat mengejutkan saya dan membuat saya memahami kecerdasan tangan. Aristoteles, misalnya, biasa mengatakan bahwa tangan itu “seperti jiwa”, berkat kepekaannya, tangan memiliki kemampuan untuk membedakan dan mengeksplorasi.[3] Dan Kant tidak ragu untuk mendefinisikan tangan sebagai “bagian otak yang terlihat”.[4]

Bahasa Italia, seperti bahasa neo-Latin lainnya, menggarisbawahi konsep yang sama, menggunakan kata kerja prendere [mengambil, menahan] yang menunjukkan tindakan manual yang khas, sebagai akar kata seperti comprendere [mengerti], apprendere [belajar], sorprendere [untuk mengejutkan], yang malah menunjukkan tindakan pemikiran.

Saat tangan mengambil, pikiran memahami, belajar, dan membiarkan dirinya terkejut. Namun, dibutuhkan tangan yang sensitif untuk mewujudkannya. Pikiran tidak dapat memahami apapun jika tangan tertutup oleh keserakahan, atau jika mereka menyia-nyiakan waktu, kesehatan dan bakat, atau lagi jika mereka menolak untuk memberikan kedamaian, untuk menyapa dan untuk memegang tangan. Seseorang tidak dapat memahami apapun jika jari-jari tangan dengan tanpa ampun menunjuk saudara dan saudari yang melakukan kesalahan. Dan seseorang tidak akan terkejut jika tangan yang sama tidak tahu bagaimana untuk disatukan dan diangkat ke surga berdoa.

Mari kita lihat tangan Kristus. Bersama mereka, Dia mengambil roti, mengucapkan berkat, memecahkannya dan memberikannya kepada para murid, sambil berkata: “Ini TubuhKu”. Ia kemudian mengambil cawan itu dan, setelah mengucap syukur, mempersembahkannya kepada mereka sambil berkata “Inilah darahku” (bdk. Mat 14:23-24). 

Apa yang kita lihat? Kami melihat tangan yang, saat mengambil, mereka berterima kasih. Tangan Yesus menyentuh roti dan anggur, tubuh dan darah, kehidupan itu sendiri, dan mengucap syukur, mereka menerima dan mengucap syukur karena mereka merasa bahwa semuanya adalah anugerah dari Bapa. Bukan suatu kebetulan bahwa para Penginjil, untuk menunjukkan tindakan mereka, menggunakan kata kerja lambano, yang sekaligus menunjukkan tindakan mengambil dan menerima.

Karena itu marilah kita menciptakan keharmonisan dalam diri kita sendiri, dengan menjadikan tangan kita juga “ekaristi”, seperti tangan Kristus, dan dalam setiap sentuhan dan genggaman, kita menyertainya dengan rasa syukur yang rendah hati, gembira dan tulus.

Untuk menjaga keharmonisan batin, saya mengajak Anda untuk “bernyanyi sebagai paduan suara”, juga di antara berbagai anggota komunitas Anda, dan di antara berbagai institusi yang Anda wakili.

Selama berabad-abad, kemurahan hati dan pandangan jauh ke depan dari banyak ordo religius, yang diilhami oleh karisma mereka, telah memperkaya Roma dengan sejumlah fakultas dan universitas terkemuka. Namun saat ini, meski dihadapkan pada jumlah siswa dan guru yang menurun, banyaknya pusat studi ini berisiko menyia-nyiakan energi yang berharga. Jadi, alih-alih mendorong transmisi sukacita injili dalam belajar, mengajar, dan penelitian, kadang-kadang [mereka] justru mengancam dengan memperlambat dan membuatnya lelah. Hal ini harus kita perhatikan. Terutama setelah pandemi Covid 19, ada kebutuhan mendesak untuk memulai proses yang mengarah pada sinergi yang efektif, stabil dan organik antara institusi akademik, untuk lebih menghormati tujuan spesifik masing-masing dan untuk mempromosikan misi universal Gereja.[5] Dan janganlah kita berdebat untuk mengambil siswa atau waktu lebih. Oleh karena itu, saya mengundang Anda untuk tidak puas dengan solusi jangka pendek; dan janganlah menganggap proses pertumbuhan ini hanya sebagai tindakan “defensif” untuk menyikapi penurunan sumber daya ekonomi dan manusia. Sebaliknya, kita harus melihat hal itu sebagai dorongan menuju masa depan, sebagai ajakan untuk merangkul tantangan era baru dalam sejarah. Anda memiliki warisan yang sangat kaya, yang dapat mempromosikan kehidupan baru, tetapi juga dapat menghambatnya jika menjadi terlalu mementingkan diri sendiri, jika menjadi karya museum. Jika Anda ingin memiliki masa depan yang berbuah, perwaliannya tidak dapat dibatasi pada pelestarian apa yang telah Anda terima: sebaliknya, itu harus terbuka untuk perkembangan yang berani dan belum pernah terjadi sebelumnya, jika perlu. Itu seperti benih yang, kecuali ditaburkan di tanah realitas yang nyata, akan tinggal tetap sendirian dan tanpa menghasilkan buah (bdk. Yoh 12:24). Karena itu saya mendorong Anda untuk sesegera mungkin dan dengan percaya diri memulai proses ke arah ini, dengan kecerdasan, kehati-hatian dan keberanian, selalu mengingat bahwa kenyataan lebih penting daripada gagasan (bdk. Seruan Apostolik Evangelii gaudium, 222-225). Dikasteri untuk Kebudayaan dan Pendidikan, dengan mandat saya, akan menemani Anda dalam perjalanan ini.

Saudara dan saudari yang terkasih, harapan itu seperti paduan suara! Lihatlah di belakang saya, patung Kristus yang Bangkit, karya seniman Pericle Fazzini, yang diberi kewenangan penuh oleh Santo Paulus VI atas panggung dan aula ini. Perhatikanlah baik-baik tangan Kristus: mereka seperti tangan seorang pemimpin paduan suara. Kanan terbuka: mengarahkan paduan suara secara keseluruhan dan, diangkat ke atas, seolah meminta crescendo. Sebaliknya yang kiri, meski menyapa seluruh paduan suara, mengacungkan jari, seolah memanggil seorang solois, sambil berkata: “Giliranmu!”. Tangan Kristus pada saat yang sama melibatkan paduan suara dan penyanyi solo, karena dalam konser peran yang satu berpadu serasi dengan yang lain, saling melengkapi dan konstruktif. Tolong: jangan pernah penyanyi solo tanpa paduan suara. “Semuanya ada di tangan anda sekalian!” dan pada saat yang sama, “Sekarang giliranmu!” Inilah yang dikatakan oleh tangan Kristus Yang Bangkit: untuk Anda semua, dan hanya untuk Anda sendiri! Sementara kita merenungkan gerakannya, kita kemudian memperbaharui komitmen kita untuk bernyanyi sebagai paduan suara, dalam harmoni dan sesuai dengan suara, dan sesuai dengan tindakan Roh Kudus yang hidup. Itulah yang saya minta dalam doa untuk Anda masing-masing dan untuk Anda semua.

Dengan sepenuh hati saya memberkati Anda, dan ingatlah: jangan lupa untuk berdoa bagi saya.


[1] Lih. Ef, 2-5.

[2] Lih. Gagasan universitas, Roma 2005, 101.

[3] Lih. Jiwa, III, 8.

[4] Antropologi Pragmatis, Roma-Bari 2009, 38.

[5] Lih. Pidato kepada peserta Sidang Paripurna Kongregasi untuk Pendidikan Katolik, 9 Februari 2017.