Katekese Mengenai Usia Lanjut (8)
Eleazar, Kesetiaan Iman, Warisan Termulia
Saudara dan saudari terkasih, selamat pagi!
Dalam perjalanan katekese usia lanjut, pada hari ini kita akan berjumpa dengan tokoh Kitab Suci — seorang lelaki tua — bernama Eleazar, yang hidup pada masa penganiayaan Antiokus Epifanes. Dia punya karakter yang luar biasa. Karakternya memberi kita kesaksian tentang hubungan khusus yang ada antara kesetiaan di usia lanjut dan kehormatan iman. Ia pribadi yang membanggakan! Saya mau berbicara secara tepat tentang kehormatan iman, bukan hanya tentang kesetiaan, pernyataan, dan ketahanan iman. Kehormatan imannya secara berkala berada dalam tekanan, bahkan tekanan kekerasan, dari budaya para penguasa, yang berusaha merendahkannya dengan memperlakukannya sebagai temuan arkeologis, atau takhayul lama, fetish anakronistik, dan sebagainya.
Kisah Kitab Suci ini — kita telah mendengar bagian singkatnya, namun bagus untuk kita baca secara keseluruhan — menceritakan kisah orang-orang Yahudi yang dipaksa oleh keputusan raja untuk makan daging yang dikorbankan bagi berhala. Ketika giliran Eleazar, pria tua berusia 90-an yang sangat dihormati oleh semua orang – orang yang berpengaruh — pejabat raja menyarankannya untuk berpura-pura, yaitu berpura-pura makan daging tanpa benar-benar memakannya. Kemunafikan agama. Ada begitu banyak kemunafikan agama, kemunafikan pemuka agama. Orang-orang ini mengatakan kepadanya, “Jadilah sedikit munafik, tidak ada orang yang akan memperhatikan”. Dengan cara ini, Eleazar akan diselamatkan, dan — kata mereka — atas nama persahabatan, dia akan menerima sikap belas kasih dan kasih sayang mereka. Lagi pula, mereka mendesaknya, itu adalah hal sepele, berpura-pura makan tetapi tidak makan, perbuatan yang tidak penting.
Perbuatan ini merupakan hal sepele, namun tanggapan Eleazar yang tenang dan tegas didasarkan pada argumen yang menghentakkan kita. Intinya adalah: Sikap tidak menghormati iman di usia lanjut untuk mendapatkan hidup itu tidak sebanding dengan warisan yang harus ditinggalkannya kepada orang muda, untuk seluruh generasi yang akan datang. Tapi Eleazar melakukan yang benar! Seorang lelaki tua yang setia dalam iman seumur hidupnya dan yang sekarang dibujuk untuk berpura-pura menolak iman, menegur generasi baru yang berpikir bahwa semua iman itu palsu, sebuah selubung yang dapat dlepas, bahwa iman itu dapat dipertahankan secara batiniah. Dan Eleazar mengatakan bahwa tidaklah demikian. Pandangan seperti ini tidak menghormati iman, bahkan jika itu terjadi di hadapan Allah. Dan penyepelean eksternal ini akan berdampak pada rusaknya kehidupan batin anak muda. Melalui kesetiaannya, Eleazar memikirkan anak muda seperti ini, memikirkan warisan masa depan mereka, memikirkan rakyatnya.
Dalam kisah ini, justru usia lanjut— dan ini indah bagi orangtua – tampil dalam peran yang menentukan, peran yang tak tergantikan dalam kesaksian iman. Orangtua yang, karena kerentanannya menerima bahwa pengamalan iman itu tidak relevan, akan membuat orang muda percaya bahwa iman itu tidak memiliki hubungan nyata dengan kehidupan. Sejak awal, pandangan seperti itu akan membuat orang muda menangkap bahwa kehidupan iman itu seperti seperangkat perilaku, yang jika perlu, dapat dipalsukan atau disembunyikan, karena tidak ada yang penting bagi kehidupan.
“Gnosis” heterodoks kuno, yang menjadi jebakan yang sangat kuat dan sangat menggoda bagi Kekristenan awal, berteori secara tepat tentang ini, hal lama: bahwa iman itu soal spiritualitas, bukan praktik; soal kekuatan pikiran, bukan bentuk kehidupan. Menurut ajaran sesat ini, kesetiaan dan kehormatan iman itu tidak ada kaitannya dengan perilaku hidup, lembaga-lembaga masyarakat, simbol-simbol tubuh. Pengaruh pandangan ini kuat, karena menafsirkan, dengan metodenya sendiri, kebenaran yang tak terbantahkan: bahwa iman tidak pernah dapat direduksi menjadi seperangkat aturan atau praktik sosial. Iman itu sesuatu yang lain. Masalahnya adalah bahwa radikalisasi Gnostik atas kebenaran ini meniadakan realisme iman Kristen, karena iman Kristen itu realistis. Iman Kristen tidak hanya mengucapkan Syahadat: Iman Kristen itu memikirkan Pengakuan Iman, memahami Pengakuan Iman, melakukan Pengakuan Iman. Bekerja dengan tangan kita. Sebaliknya, cara pikir gnostik itu adalah berpura-pura. Yang penting anda memiliki spiritualitas, dan kemudian anda dapat melakukan apa pun yang anda inginkan. Dan ini bukan kristiani. Ini adalah bidaah pertama gnostik, yang sangat tren pada saat ini, di begitu banyak pusat spiritualitas dan sebagainya. Pemikiran seperti ini menjadikan kesaksian yang menunjukkan tanda-tanda nyata Tuhan dalam kehidupan komunitas itu tidak ada artinya dan menolak penyesatan budi melalui perbuatan badaniah.
Godaan gnostik – kita gunakan kata — salah satu bidaah, menjadi salah satu penyesatan agama pada saat ini; godaan gnostik ini masih ada. Dalam banyak tren dalam masyarakat dan budaya kita, pengamalan iman digambarkan secara negatif, terkadang dalam bentuk ironi budaya, terkadang dengan marginalisasi terselubung. Bagi para gnostik ini, yang sudah ada pada zaman Yesus, praktik iman dianggap sebagai eksternalitas yang tidak bermanfaat dan bahkan berbahaya, sebagai peninggalan kuno, sebagai takhayul yang terselubung. Singkatnya, praktik iman itu untuk orangtua. Kritik tanpa pandang bulu seperti ini memberikan tekanan sangat kuat pada generasi muda. Tentu saja, kita tahu bahwa praktik iman dapat menjadi praktik eksternal tanpa jiwa — ini bahaya lain, lawannya — tetapi pada dirinya sendiri tidaklah demikian. Mungkin perutusan yang paling penting ini justru tergantung pada kita, orang-orang usia lanjut: untuk mengembalikan kehormatan iman, untuk setia; seperti yang nampak dalam kesaksian Eleazar: setia sampai akhir. Praktik iman bukanlah tanda kelemahan kita, bukan, melainkan tanda kekuatan. Kita bukan lagi anak muda. Kita tidak gegabah ketika kami berjalan pada jalan Tuhan!
Iman layak untuk dihargai dan dihormati sampai akhir: iman itu mengubah hidup kita, memurnikan pikiran kita, mengajarkan kepada kita menyembah Allah dan mengasihi sesama. Iman adalah berkat untuk semua orang! Namun iman yang utuh bukan sebagian saja. Kita tidak akan menukar iman demi beberapa hari tenang, namun kita akan berbuat seperti Eleazar, setia sampai akhir, untuk menjadi martir. Dalam kerendahan hati dan keteguhan, kita mau menunjukkan, tepatnya para usia lanjut ini, bahwa iman bukanlah “untuk yang lanjut usia”, tetapi ini soal hidup. Percaya kepada Roh Kudus, yang membuat segala sesuatu menjadi baru, dan Roh Kudus akan membantu kita dengan senang hati.
Saudara dan saudari para orangtua terkasih — jangan katakan tua, kita berada dalam kelompok yang sama — tolong perhatikan orang-orang muda: mereka memperhatikan kita. Mereka mengawasi kita. Jangan lupakan itu. Saya teringat akan film pascaperang yang luar biasa: The Children Are Watching Us. Kita dapat mengatakan hal yang sama mengenai kaum muda: kaum muda memperhatikan kita dan kesetiaan kita dapat membuka jalan hidup yang indah bagi mereka. Di sisi lain, potensi kemunafikan akan sangat merugikan. Mari kita saling mendoakan. Semoga Tuhan memberkati kita semua orangtua.
(Saint Peter’s Square, Rabu, 4 Mei 2022)