logo

Paroki Santo Mateus, Pare

Mateus

Jl. Letjen Sutoyo No. 78 Pare 64211 Kediri, Jawa Timur

: [email protected]

: (0354) 391188

: @paroki st. mateus pare

: Paroki St. Mateus Pare

: Komsos St. Mateus Pare

: ---

Sejarah

Sejarah perkembangan iman Katolik di Pare dapat dibagi dalam tiga fase. Fase pertama pada masa sebelum kemerdekaan, fase kedua setelah kemerdekaan, dan fase ketiga masa seputar ber­dirinya Paroki Santo Mateus Pare sampai sekarang

 

Fase Pertama : Masa Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia

Benih iman Katolik di Pare terlacak kurang lebih sejak tahun 1890. Pada waktu itu terdapat beberapa umat Katolik keturunan Belanda yang tinggal disekitar wilayah Pare, seperti Sidodadi, Kencong, Tegowangi, Bendo dan sebagainya. Mereka mendapat pelayanan misa oleh Pastor Cornelis Stiphout, SJ dari stasi Madiun yang wilayah kerjanya mencakup Karesidenan Madiun dan Karesidenan Kediri ( Pare, Nganjuk, Tulungagung, Blitar) Wilayah kerja stasi yang luas, perjalanan yang membutuhkan banyak waktu, serta fasilitas transportasi yang masih sulit itulah menyebabkan umat Katolik di Pare hanya mendapat pelayanan 3 bulan sekali. Mes­kipun demikian umat dengan senang hati bekumpul bersama imamnya untuk merayakan Ekaristi yang diadakan di kantor KSM (Kantor Kereta Api) jalan Jombang (sekarang Jalan A.Yani) Pare, dekat Lapangan Persendo. Umat yang pada saat itu berjumlah kurang lebih 40 orang tersebut lama kelamaan berkembang dan tidak terbatas pada orang Belanda saja, tetapi juga orang Jawa (pribumi) dan Tionghoa. Keadaan tersebut berlangsung hingga tahun 1931.

...

Setelah Pastor Stiphout SJ pindah dari stasi Madiun, karya beliau dilanjutkan beberapa pastor, antara lain : Pastor BG. Schweitz SJ, Mulder SJ, T'immers SJ dan Sondal SJ. Kemudian menyusul beberapa imam Lazaris, antara lain; Pastor Th. Smith CM, Van Megen CM, J. Wolters CM, G. Van Revensteyan CM..

Pada tahun 1924, pelayanan terhadap umat Pare dapat lebih intensif, sebab pada waktu itu Kediri telah mempunyai Pastor tetap dari Konggresgasi Misi (CM); yakni Pastor J. Wol­ters CM, Pada masa ini ada 10 (sepuluh) orang pribumi enam diantaranya berasal dari sekitar Pare menyatakan mengikuti Tuhan Yesus dan menerima Sak­ramen baptis yang jejaknya diikuti oleh orang lain yaitu Bapak Wiryo, Bapak Margo Sutrisno, Bapak Kusnadi, Bapak Darsono serta simpatisan lainnya. Karya pastoral Pastor J. Wol­ters CM dilanjutkan oleh Rm. Van Megen CM dan H. Westels CM.

Pengenalan iman Katolik juga melalui jalur pendidikan dengan didirikannya sekolah HCS atau sekolah Belanda untuk anak Tionghoa yang terletak di jln Kandangan (Hotel Amanda sekarang), pada tahun 1931. Sekolah tersebut disamping sebagai tempat ibadat, juga sebagai tempat untuk menginap Pastor. Sekolah ter­sebut merupakan sekolah Yayasan Yohanes Gabriel.

Pendidikan berupa kursus ketrampilan men­jahit dan ketrampilan keluarga lainnya untuk remaja pribumi digerakkan oleh seorang awam yaitu Ibu Virgine Vornemen. Disamping pelajaran ketrampilan, juga diberi pelajaran agama Katolik dalam kursus tersebut. Nama kursus tersebut adalah "Melania", yang bertempat di desa Gadungan. Salah satu pengajar pada kursus tersebut adalah Ibu Koesnadi dari Templek, Gadungan. Sedangkan yang lain Ibu Letje Bauwens.

Ibu Virgine Vornemen merupakan salah satu umat Katolik keturunan Belanda yang ikut aktif dalam bidang kerasulan umat. Jasa beliau begitu besar bagi kaum wanita pribumi. Meskipun bukan biarawati beliau tak pernah menikah. Dari kesaksian hidup ibu V. Vornemen, terpanggil seorang remaja putri Jombangan, Pare menjadi biarawati walaupun dari keluarga non Katolik, yakni Sr. Leta OSU (alm). Maka bisa dibayangkan, betapa kuat pengaruh teladan hidup ibu Vornemen. tersebut. Dengan karya yang tidak kecil, Ibu Vornemen bisa disebut rasul wanita dari Paroki Pare. Ibu V.Vornemen wafat dan dimakamkan di Kembang Kuning, Surabaya.

Pada tahun 1942 Belanda menyerah kepada Jepang. Orang Belanda, termasuk pastor Belan­da ditawan, sekolah milik Belanda ditutup. Termasuk sekolah Belanda, yaitu HCS dan "Melania". Banyak perabot sekolah yang hilang, dan banyak murid yang sudah Katolik lari, bahkan ada yang meninggal terbunuh, tempat ibadat dipindahkan ke jalan Lawu. Tempat tersebut disewa dari seorang Tionghoa yang baik hati. Walaupun sekolah dibubarkan, pastor Belanda ditangkap, namun perayaan ekaristi tetap berjalan dengan lancar sampai menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.

 

Fase Kedua : Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia

Sewaktu pastor Belanda ditahan, Kediri mendapatkan pastor pribumi (Jawa), kelahiran Madiun, yaitu Pastor Ign Josef Soedjono Dwijosoesastro CM. Beliau ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1940 di negeri Belanda. Karena perang Dunia II, terpaksa ditunda keberangkatannya ke Indonesia. Jadi selama pastor Belanda ditahan, Pastor Dwijosoesastro CM inilah yang melanjutkan karyanya di Pare. Di samping Pastor Dwijosoesastro CM, juga terdapat imam-imam Projo (diosesan), yakni Pastor A. Dibyo Karyono, Pastor A. Hadi Sudarso Pr, selanjutnya tahun 1952 dilanjutkan oleh Pastor G.A. V. Rijnsoever CM. Seperti para pastor sebelumnya, pastor G.A.V. Rijnsoever CM ini menjabat sebagai kepala Paroki St Vincentius Kediri, yang antara lain melayani stasi Pare.

Menyadari pentingnya pendidikan sebagai sarana perkembangan Gereja, maka dirintis kembali pendirian sekolah Katolik. Pada tahun 1953, Pastor Rijnsoever CM mengusahakan tanah yang cukup luas beserta rumah dan bangunan lainnya untuk misi. Tanah ter­sebut milik seorang pegawai kehutanan bernama Jassen. Tanah itu penuh dengan pohon kelapa, jeruk, di samping pohon-pohon yang lain, dan dipakai untuk perusahaan susu. Tanah dan gedung tersebut dipakai untuk SDK dan SMPK di Jalan Kandangan (Letjen Sutoyo) 78 sekarang ini, sehingga dahulu dikenal dengan julukan sekolah kandang sapi. Selain tanah di kompleks gereja dan sekolah, juga dibeli tanah yang terletak di jalan Kandangan (Letjen Sutoyo), yakni tanah yang terbentang antara Jalan Sakti ke utara kurang lebih 50 meter, ke timur sampai ke Pemandian Canda Birawa.

Selanjutnya karya Pastor G.A.V. Rijnsoever CM dibantu dan dilanjutkan oleh beberapa pastor secara bergantian, antara lain : Pastor A. Dibyo Karyono Pr, Pastor H. Schlooz CM, Pastor Hadi Sudarso Pr, dan Pastor H. Van Megen CM, dsb. Pada waktu itu umat belum bertambah. Pare tetap menjadi stasi dari Paroki Kediri

 

Fase Ketiga : Riwayat Berdirinya Paroki dan Pembangunan Gereja Stasi

Pada tahun 1966, setelah peristiwa G 30 S, banyak orang yang pergi ke tempat ibadat. Pengunjung tempat ibadat beberapa agama yang diakui di Indonesia bertambah banyak. Pada waktu itu agama Katolik juga mendapatkan umat dari beberapa pelosok desa. Mereka datang berbondong-bondong ke suatu rumah untuk mendengarkan Sabda Tuhan Yesus. Dari beberapa tempat tersebut sekarang menjadi stasi-stasi yang termasuk wilayah Paroki Pare. Tem­pat-tempat pelayanan agama Katolik itu antara lain : Klepek, Sekaran, Sumberejo, Kapasan, Dorok, Sumbersuko, Dampit, Kampung Baru, Satak, Damarwulan dan sebagainya. Pada waktu itu yang melayani umat di stasi Pare beserta beberapa tempat tersebut di atas adalah Pastor dari Kediri, yakni Pastor S. Soenaryo CM. Karena banyaknya tempat yang harus dilayani, maka pastor menyerahkan kepada beberapa guru dari SMP Katolik dan frater-frater CM dari Kediri untuk mengajar agama Katolik di tempat-tempat tersebut.

Sebelum ada tenaga guru-guru dari Pare dan katekis yang berkarya di stasi tersebut, ada beberapa guru SD Negeri yang mengajar agama Katolik, antara lain : Bpk Murdjoko dari Kepung, Bpk Petrus Kadar dari Dorok, Bpk Paulus Mardi Sangkaya dari Sekaran. Pada tahun 1967 mulai ada baptisan umat Katolik dan ada katekis yang melayani umat di pelosok desa tersebut di atas. Katekis yang mula-mula berkarya adalah Bapak Mateus Surat. Beliau adalah pensiunan guru SD Negeri yang mewartakan ajaran Kristus dengan talenta kesenian wayangnya. Kemudian pada tahun 1968 mendapatkan ketekis yang memperoleh pendidikan akademis dari Madiun, yakni Bapak Heribertus Sadijo BA.

 Dengan bertambahnya tenaga yang berkarya untuk umat, maka pertumbuhan iman semakin mantap. Hal tersebut menuntut pelayanan yang lebih intensif dari seorang imam. Maka atas musyawarah tokoh umat dengan imam, beserta pembantu-pembantunya stasi Pare diusulkan untuk menjadi paroki. Stasi Pare disahkan menjadi Paroki pada tanggal 19 September 1970 oleh Mgr. A. Dibyo Karyono Pr, Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya waktu itu. Pastor yang pertama ditugaskan di Paroki Pare adalah Pastor S.Sunaryo CM. Nama pelindung Paroki Pare adalah Santo Mateus. Nama tersebut diambil dari nama baptis Bapak Mateus Surat yang diakhir hayatnya meninggal dunia pada tahun 1979 karena kecelakaan di dekat Parerejo setelah mewartakan Injil di stasi Wates. Paroki Santo Mateus Pare meliputi Stasi Kampung Baru, Damarwulan, Dampit, Sukomoro, Satak, Kapasan, Dorok, Sekaran, Sumberjo, Klepek, Jengkol, Wates, Bedali, Batu Aji, dengan jumlah umat Katolik ± 2.000 jiwa, yang sudah dibaptis 900 jiwa. katekumen dan simpatisan ada diberbagai tempat.

Menyadari pentingnya pembinaan umat dan kurangnya tenaga akademis, pastor mendatangkan katekis dari Madiun, yakni : Bp. P.J. Sumino BA,dan Bpk. Nyoto Harjo. Berkat kerja sama antara Romo Sunaryo yang sabar dan murah senyum ini dengan umat serta katekis, umat semakin giat beribadat, dan giat dalam membangun tempat ibadat masing ­masing. Organisasi kegerejaan mulai terbentuk, antara lain : Dewan Paroki, Dewan Stasi, Legio Maria, Muda-mudi. WKRI. Umat seperti dimanjakan oleh Romo karena kebutuhan buku buku misa dan kitab suci serta kebutuhan jasmani antara lain bantuan susu bubuk dan bulgur dari LKD (Lembaga Karya Darma) Surabaya dipenuhi.

Awal tahun 1973 Rm. Sunaryo CM pindah tugas ke Surabaya, digantikan oleh Romo Cahyo Kusumo CM, Romo yang terkenal disiplin, tegas ini mengadakan pembenahan dilingkungan sekolah, stasi maupun paroki. Meskipun kegiatan sudah ada dan umat bertambah, namun iman umat ternyata masih muda, mereka belum siap menerima perubahan setelah dimanja oleh gembala sebelumnya sehingga banyak umat yang meninggalkan Gereja. Situasi menjadi semakin sulit setelah berturut-turut para katekis mengundurkan diri.

Pada awal tahun 1975, Paroki Pare mendapat pastor baru mantan Provinsial CM, yakni Pastor C. Reksosubroto CM. Beliau mulai berkarya mengunjungi tokoh-tokoh di paroki maupun di stasi. Untuk menggugah semangat umat yang tidur lelap didatangkan ketekis dari Kertosono, lulusan Madiun, yakni Bpk. Y. Surono (1975). Dengan usaha yang giat dan kerja sama yang baik, didorong oleh bimbingan Roh Kudus, Gereja mulai bangkit, kegiatan mulai tampak lagi. Waktu itu organisasi Gereja mulai dihidupkan kembali. Untuk menunjang kegiatan tersebut, pastor menambah katekis lulusan AKI Madiun, yakni Bapak L. Kiswanto (1977) Berkat kepandaian Romo Rekso mencari pendanaan dan menjalin relasi dengan para tokoh seperti Bpk J Soewondo Bsc yang saat itu duduk sebagai anggot DPRD Kabupaten Kediri maka dapat dibangun gereja stasi Kampung Baru dan Dorok, sedang gereja stasi Dampit menempati SDK yang dibangun Romo Sunaryo CM.

Kegiatan umat sungguh semarak karena tim pastoral (Romo, Katekis, Pengurus Dewan Paroki, Stasi, Lingkungan) bekerja dengan solid. Ibu ibu dihimpun dalam KHK (Kelompok Hidup Katolik), muda mudi diserahkan pembinaannya kepada para katekis, dan tokoh umat seperti Bpk FM Santoso, drama jalan salib dilaksanakan dengan baik, anak anak misdinar mengadakan rekoleksi, retret, kunjungan ke paroki lain secara teratur. Dengan bertambahnya, umat yang harus dilayani, dan menurunnya kesehatan Romo Rekso, maka stasi Jengkol, Bedali, Wates, Batu Aji diserahkan ke Paroki Santo Yusuf Kediri, dan stasi Klepek ke Paroki Santa Maria Jombang. Namun pada tahun 1982 rupa-rupanya umat stasi Klepek lebih senang memilih ikut Paroki Pare karena jaraknya lebih dekat ke Pare.

Pada tahun 1982, tenaga Pastor Paroki dibutuhkan di Provisial CM Surabaya. Paroki Pare mendapat rahmat Tuhan dengan hadirnya Pastor baru yakni Rm. Eligius Rahmat CM. Beliau adalah seorang pastor muda yang ideal dan cakap dalam membimbing serta mengarahkan umat Paroki, dengan meningkatkan serta menambah kedewasaan iman umat paroki Pare. Ide-ide baru muncul, semangat umat terus digalakkan dengan berbagai macam kegiatan, baik fisik maupun rohani. Seluruh umat dari berbagai usia dilibatkan, mulai dari anak-anak, remaja, dan orang dewasa sesuai bidangnya masing-masing. Umat stasi besar maupun kecil diajari untuk mandiri sehingga bisa merayakan pekan suci sendiri walaupun tanpa Romo.

Umat di paroki Pare dikerahkan kepada pembangunan gedung gereja pusat paroki di Pare. Pembangunan gedung gereja dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 1985 dan selesai pada tanggal 31 Agustus 1986 yang kemudian diberkati oleh Mgr. Aloysius Dibyokaryono, Uskup Surabaya pada waktu itu.

Pada tanggal, 20 September 1986 bertepatan dengan hari paroki Santo Mateus Pare, seluruh umat paroki memuji syukur atas anugerah Tuhan, dan menyerahkan sepenuhnya gereja ini kepada Tuhan. Pada tahun itu juga Pastor Eligius Rahmat pindah tugas ke paroki Santo Yosep Blitar, dan Pare mendapatkan pastor yang baru yakni Romo J.A.M. Bartels CM.

Romo J. Bartels CM adalah seorang pastor yang sangat humoris, sangat menyukai dan memperhatikan anak-anak. Melalui beliaulah dimunculkan aksi bagi anak (ABA), dan memperhatikan anak yang kurang mampu dalam ekonomi untuk membiayai sekolah, sehingga orang tua mereka sangat berterimakasih sekali karena dapat diringankan bebannya. Setiap tahun tidak kurang dari 20 siswa mendapat bantuan. Siswa yang rumahnya jauh, juga disediakan Asrama, supaya tenaga mereka dapat dicurahkan untuk belajar. Meskipun peraturan asrama tidak seketat seperti asrama lainnya, namun cukup membantu. Rumah yang dijadikan asrama adalah rumah umat yang memang disediakan untuk keperluan tersebut yaitu rumah Bapak E. Widodo di jalan wilis. Tidak hanya anak-anak saja namun orang-orang dewasa, banyak yang diberikan pertolongan. Romo J. Bartels CM juga dikenal sebagai seorang pastor yang rajin mencari dan menumbuhkan bibit panggilan calon imam.

Setelah tiga tahun berkarya Romo Bartels rupa-rupanya kerasan di Pare. Oleh karena itu beliau tidak berkenan dipindah-tugaskan lagi. Pada tahun 1991 paroki Pare mendapatkan tambahan seorang pastor, sehingga waktu itu Pare memiliki dua pastor yakni Romo J. Bartels sebagai Romo paroki dan Romo Karolus Jande sebagai pastor rekan..

Waktu berjalan terus hingga kondisi Romo Bartels yang sudah semakin tua tidak memungkinkan lagi untuk tugas pelayanan. Akhirnya beliau dibebas tugaskan dan beliau kembali ke negeri Belanda. Romo Karolus Jande, Pr meneruskan dengan dibantu Romo PC Edy Laksito, Pr sebagai romo rekan. Romo Jande dikenal sebagai pastor yang merakyat tak kecuali dengan mudika. Litbang paroki dibentuk, pertemuan rutin tim katekese dan liturgi diadakan tiap bulan. Romo rekan PC Edy laksito Pr digantikan Romo P Kus Nugroho,Pr.

Tahun 1998 Romo Karolus Jande, Pr digantikan Romo Yosep Reko Boleng,Pr. Romo Reko sangat peduli terhadap bidang katekese. Para guru agama, tokoh umat diharapkan terlibat aktif dalam bidang katekese sehingga setiap hari Selasa ada pembelajaran yang diberikan Romo Reko sendiri. Peran Katekis mulai dikurangi sehingga tidak dominan lagi. Organisasi keagaam yang hadir dan memberi semangat pelayanan adalah KTM (Komunitas Tri Tunggal Maha Kudus). Romo Reko di bantu Romo Cornelius Triwidya Tjahya Utama Pr (Tommy), dan diteruskan Romo Benediktus Prima Novianto, Pr sebagai pastor rekan setelah Romo Tomy pindah ke Paroki Nganjuk.

Tahun 2006 Romo Reko digantikan oleh Romo Paulus Ikwan Wibowo,Pr sampai sekarang dengan Romo Sony Apri Untoro, Pr, sebagai pastor rekan dan dilanjutkan Romo GAS Andri, Pr.

 

UMAT LOKAL PERTAMA

Dalam catatan baptisan umat milik paroki Santo Vincentius A Paulo Kediri yang dimulai pada tahun 1924 banyak sekali catatan baptisan umat yang berasal dari seputar Pare terutama daerah Sidodadi, Kencong, Badas, Bendo, Kandangan, Tulungrejo, namun semua nama yang ada adalah umat Katolik berkebangsaan Belanda. Tetapi pada catatan baptisan yang dilaksanakan pada tanggal 18 Januari 1930 pada halaman 180-181 sangat berbeda karena ada nama lokal dan istimewanya adalah satu keluarga terdiri dari bapak, ibu dan 2 anaknya yang masih bayi bersama 6 orang lokal lainnya. Mereka adalah Bapak Matteus Soerat (Surat-EYD), Ibu Petronella Kartinah, Julia Asrini (4 bulan) dan Juliana Asmini (1,5 tahun). Ada pula nama Antonius Kasim dari Kencong dan Romanus Mualimi dari Templek. Mereka dibaptis oleh Th. E. De Backere selaku perfekture Apostolik Surabaya. Empat bulan sebelumnya juga ada nama lokal yang dibaptis yaitu Asta Romana Maria, 23 September 1929 oleh Romo J Wolters dan di dampingi wali baptis ibu Vergine Voornamen

Profil

Mateus-1

Gereja St. Mateus - Pare

Mateus-2

Balai Paroki St. Mateus - Pare

Mateus-3

Goa Maria - St. Mateus - Pare

Mateus-4

Gereja - St. Mateus - Pare

Jadwal Misa - Paroki

MISA WAKTU
Senin - Sabtu (kecuali Jumat I) 05.30
Jumat I 18.00
Minggu 06.00 | 08.00
Stasi Visitasi Mariae Dorok ---
Stasi St. Theresia Satak ---
Stasi St. Maria Imaculata Kapasan ---
Stasi Kristus Nata Kampungbaru ---
Stasi St. Petrus & Paulus Dampit ---
Stasi St. Maria Asumpta Sumbersuko ---
Stasi St. Gregorius Sukomoro ---
Stasi St. Maria Mediatrix Sumberjo ---
Stasi St. Yakobus Sekaran ---
STasi St. Andreas Klepek ---