PERNYATAAN AKHIR & REKOMENDASI  SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA (SAGKI) 2010 

Ia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10)

Silakan click:

 http://pujasumarta.multiply.com/journal/item/280/SIDANG_AGUNG_GEREJA_KATOLIK_INDONESIA_2010_7


 

PENGANTAR

1. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) yang berlangsung dari tanggal 1 sampai dengan 5 November 2010 di Kinasih, Caringin – Bogor, Jawa Barat, dihadiri oleh utusan dari 37 keuskupan di Indonesia.  Hadir 385 orang peserta, yang terdiri dari para Uskup, imam, biarawan-biarawati, dan sejumlah wakil umat.  Sidang Agung ini bertema, Ia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan (bdk. Yoh 10:10). Hidup dalam kelimpahan berarti ada dalam relasi dekat dengan Sang Gembala serta selalu merasakan perlindungan-Nya. Kedekatan dengan Sang Gembala itulah yang akan menjamin kehidupan manusia, dalam relasinya dengan sesama dan seluruh alam ciptaan.

2.  Kami menyadari tema SAGKI ini diilhami pula oleh suatu perayaan iman Kongres Misi Asia I di Chiang Mai (Thailand, 2006) yang bertemakan, Telling the Story of Jesus in Asia. SAGKI ini merupakan suatu perayaan iman akan Yesus Kristus sekaligus kesempatan untuk berjumpa satu sama lain dan berbagi pengalaman iman dalam perjumpaan dengan keberagaman budaya, agama dan kepercayaan, serta dalam pergumulan hidup kaum terpinggirkan dan terabaikan.

3. SAGKI 2010 menegaskan pentingnya metode narasi (kisah) dalam pewartaan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dengan metode narasi (kisah) ini, pengalaman iman dapat disampaikan kepada orang lain secara lebih meyakinkan. Dengan cara mengisahkan Yesus, sebagaimana Ia sendiri berkisah, kami berharap diteguhkan dan digerakkan sebagai saksi Kristus. Sesungguhnya, metode narasi tidak asing dalam tradisi Asia, terutama Indonesia.  Dalam metode bertutur para peserta SAGKI terlibat secara aktif mengungkapkan pengalaman dalam konteks bhinneka tunggal ika.

4. Seluruh proses SAGKI bertolak dari narasi publik. Para narator publik berkisah bukan saja dengan melaporkan apa yang dikerjakannya, melainkan juga dan terutama dengan pengalaman imannya. Sharing dalam kelompok yang menyusuli narasi publik pada prinsipnya merupakan ungkapan  dan ajang berbagi pengalaman berkenaan dengan ketiga sub tema SAGKI 2010. Pada gilirannya hasil sharing kelompok itu dilaporkan dalam sidang pleno dan diperkaya dengan refleksi teologis.

 

HASIL 

5. Sedemikian pentingnya makna paparan narator publik, berikut sharing dalam kelompok, yang masih diperkaya dalam pleno dan refleksi teologis, maka berikut ini akan dikemukakan rangkuman yang memuat sejumlah pokok gagasan terpenting dalam SAGKI. Kami menyadari bahwa rangkuman ini tidak memuat seluruh kekayaan Sidang ini. Aneka kisah dalam SAGKI masih akan terdokumentasikan dalam bentuk buku, video, dan foto. Kami yakin, para peserta SAGKI sendiri merupakan dokumen hidup yang terus menuturkan SAGKI ini.

6. Keberagaman budaya di Indonesia merupakan suatu kenyataan dan kekayaan yang patut kami syukuri. Dengan kebudayaan kami maksudkan segala sesuatu, dengan mana manusia mengasuh dan mengembangkan pelbagai bakat rohani dan jasmaninya, berupaya menguasai bumi dengan pengetahuan dan karyanya, lebih memanusiawikan kehidupan sosial, mengungkapkan melalui karya-karya, pengalaman-pengalaman rohani dan aspirasi-aspirasi besar sepanjang sejarah, serta mengkomunikasikannya dan memeliharanya sebagai inspirasi bagi kemajuan banyak orang, malah bagi seluruh umat manusia (bdk. Gaudium et Spes 53). Oleh karena itu, di dalam keragaman budaya, Allah hadir dan disapa dengan pelbagai macam nama. Kehadiran-Nya dikenali melalui orang dan unsur-unsur kebudayaan yang menghormati dan mencintai kehidupan. Kehadiran-Nya itu dimengerti oleh para pendukung setiap kebudayaan.

7. Gereja sebagai umat Allah yang percaya akan Yesus Kristus menampilkan sikap hormat dan kasih terhadap kebudayaan (bdk. Lumen Gentium 13). Gereja memperhatikan dan menjunjung tinggi setiap bentuk kebaikan, kasih persaudaraan dan kebenaran yang terdapat dalam kebudayaan. Gereja pun mengungkapkan diri dalam unsur-unsur kebudayaan setelah dilakukan refleksi teologis yang sesuai dengan Injil, tradisi, dan magisterium. Dalam perjumpaan dengan kebudayaan setempat, Gereja diperbarui dan sekaligus memperbarui beberapa unsur kebudayaan dengan kekuatan Injil. 

8. Gereja mengakui bahwa Allah telah menyatakan karya-karya agung melalui pelbagai peristiwa keselamatan yang dituturkan dari generasi ke generasi lain. Dalam pertemuan dengan kebudayaan, Gereja ternyata mengenali aneka wajah Yesus, sebagai gembala yang baik, inspirator, guru, pengampun, raja damai, dan terutama pengasih tanpa batas dan syarat.

9. Dalam pelbagai kisah mengenai dialog dengan agama dan kepercayaan, para peserta SAGKI ternyata menyadari bahwa Gereja mampu menemukan nilai-nilai injili yang dihidupi oleh para penganut agama dan kepercayaan. Maka, Gereja perlu keluar dari dirinya sendiri, menjumpai para pemeluk agama dan penganut kepercayaan, sebagaimana yang diperlihatkan dan diajarkan oleh Yesus yang berani terbuka dan mengambil inisiatif untuk menyeberangi batas-batas agama – budaya (bdk. Yoh 4).  Melalui perjumpaan tersebut, Gereja ditantang untuk menilai kembali pemahaman imannya akan Yesus Kristus. Kecuali itu, gambaran Gereja tentang Yesus juga diteguhkan.

10. Gereja mendengarkan ajakan Yesus untuk dengan rendah hati belajar beriman dari setiap orang yang beragama dan berkepercayaan (bdk. Mat 8: 10; Luk 7: 9). Gereja disadarkan akan pentingnya mewujudkan iman yang mendalam akan Kristus dalam tindakan-tindakan kemanusiaan dan mengungkapkannya dalam ibadat. Dengan belajar dari Yesus yang berwajah lembut, penuh empati, dan pendoa, Gereja mengembangkan kerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik yang berasal dari pelbagai agama dan kepercayaan untuk mengembangkan dialog dan aksi-aksi kemanusiaan demi terwujudnya perdamaian (bdk. Mat 9: 13).

11. Sementara itu, kisah-kisah pergumulan hidup kaum terpinggirkan dan terabaikan menyadarkan para peserta SAGKI bahwa Gereja harus mengakui proses pemiskinan merupakan pencideraan manusia yang adalah citra Allah yang luhur, mulia, dan kudus (bdk. Kej 1:26-27). Hidup dalam kemiskinan sesungguhnya merupakan keadaan serba terbatas dalam sandang, pangan, papan, dan kehilangan akses terhadap hak-hak dasar. Gereja memandang pribadi si miskin sebagai “pewahyu” wajah Yesus yang sedang menderita, yang terluka, tabah, menangis, karena Yesus hadir dalam dirinya yang miskin, menderita, tertekan dan susah (bdk. Mat 25: 31-46).

12. Meneladani Yesus, Sang Penyelamat, Pembebas, Penolong, Pembawa Harapan, Gereja wajib solider dengan orang miskin. Solidaritas itu dinyatakan melalui keberpihakan dan pemberdayaan orang miskin, tindakan berbagi serta keterlibatan secara aktif dalam memperbaiki struktur atau sistem yang tidak adil, dan memelihara lingkungan hidup.

 

REKOMENDASI

13. Setelah pengayaan melalui proses narasi publik, sharing kelompok, pleno, dan refleksi teologis, kami sampai pada sejumlah rekomendasi berikut ini, yang merupakan misi perutusan Gereja agar seluruh keuskupan menanggapinya dalam program keuskupan.

13.1. Kami berkomitmen untuk melanjutkan dialog dengan kebudayaan setempat supaya kami semakin mampu mengenali dan menghadirkan wajah Yesus dalam kebudayaan.

13.2. Kami juga berkomitmen untuk menciptakan model-model baru dalam pewartaan dan katekese dengan metode naratif serta menggunakan pelbagai bentuk kesenian.

13.3. Tidak kurang juga komitmen kami untuk mengembangkan katekese naratif bagi anak-anak, yang sesuai dengan zaman, tempat dan budaya.

13.4. Kami akan meneruskan dan meningkatkan kerja sama dan dialog antar-umat beragama yang sudah dilaksanakan oleh Gereja di setiap tingkatan.

13.5. Kami merasa wajib mengembangkan sikap rela merendahkan diri dengan telinga seorang murid yang selalu siap mendengarkan.

13.6. Kami bertekad mengedepankan pewartaan lewat kesaksian hidup dan melakukan aksi-aksi kemanusiaan baik secara pribadi (orang per orangan), Gereja sendiri sebagai komunitas beriman maupun dalam kerja sama dengan pelbagai lembaga untuk memerdekakan orang miskin dari cengkeraman kemiskinan dan peminggiran.

13.7. Kami berkomitmen untuk menghidupi spiritualitas yang memerdekakan. Untuk itu diperlukan pertobatan hati yang mendalam dan diwujudkan secara nyata dalam aksi solidaritas. Para petani, nelayan, buruh, kelompok terabaikan, dan terpinggirkan perlu didampingi secara pastoral. Tidak kalah pentingnya, kami memelihara lingkungan hidup.

 

PENUTUP

14. Pada akhirnya, kami semakin diteguhkan bahwa kesaksian kami untuk menghadirkan Kristus di tengah masyarakat dapat terjadi secara efektif melalui komunitas-komunitas basis gerejawi. Kami percaya bahwa Roh Kudus membimbing dan menyertai Gereja dalam upaya mengenali dan mencintai wajah Yesus dalam keanekaragaman budaya, dalam dialog dengan agama dan kepercayaan, dan dalam pergumulannya dengan dan bersama orang-orang yang dipinggirkan dan diabaikan. Dan sebagaimana Maria selalu menyertai Puteranya, kami yakin bahwa Bunda Maria menyertai dan mendoakan kami.

 

Caringin, 5 November 2010

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia