Saudara-saudari yang terkasih,

 

Pada kesempatan Angelus, tanggal 31 Januari 2021, untuk pertama kalinya Paus Fransiskus mencanangkan Peringatan Hari Kakek Nenek dan Lansia Sedunia. Peringatan ini dirayakan di seluruh Gereja pada setiap minggu keempat bulan Juli, berdekatan dengan peringatan Santo Yoakhim dan Santa Anna – kakek dan nenek Yesus. Hari Kakek Nenek dan Lansia ini merupakan buah dari Peringatan Tahun Keluarga Amoris Laetitia, 19 Maret 2021 – 26 Maret 2022, yang dirayakan di tengah pandemi Covid-19.

Mengapa ada peringatan Hari Kakek Nenek dan Lansia? Ada beberapa jawaban atas pertanyaan itu. Pertama, jumlah lansia di dunia ini semakin besar, di mana jumlah tersebut berbanding terbalik dengan jumlah kelahiran yang semakin kecil. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2018, untuk pertama kalinya dalam sejarah, jumlah lansia (65 tahun <) melebihi jumlah anak-anak yang berusia kurang dari 5 tahun (World Population Ageing Report 2019). Kondisi demografi seperti ini akan semakin terasa dan dapat mempengaruhi semua sektor kehidupan, seperti sektor ekonomi, kesehatan, budaya dan lain sebagainya. Jawaban kedua berkaitan dengan pandangan sosial dan struktur sosial yang kurang menghargai lansia. Menurut Paus Fransiskus, hal ini tidak terlepas dari budaya yang menganut pandangan “yang tidak berguna sebaiknya dibuang.” Secara lebih khusus, budaya ini cenderung hanya menghargai seseorang berdasarkan kecepatan, efektifitas, dan hasil yang dapat diberikan. Akibatnya, budaya seperti ini sangat mendewakan keabadian usia muda, yang menggejala dalam kecenderungan “anti-aging”. Jawaban ketiga berkaitan dengan situasi dan kondisi dari lansia itu sendiri yang menggiring mereka untuk mengembangkan perasaan tidak berguna, perasaan tidak mampu berbuat apa-apa lagi, serta secara fisik-emosional-rohani menjadi rentan – apalagi di tengah situasi pendemi Covid-19. Terakhir, peringatan Hari Kakek Nenek dan Lansia merupakan hal yang penting karena ini berarti melanjutkan tradisi orang tua kepada generasi berikut serta membina kehidupan bersama lintas generasi, di mana hal ini merupakan salah satu ciri dasar dari kehidupan manusia.

Dalam konteks kehidupan Lansia di Indonesia, pada tanggal 21 Januari 2021 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis hasil survei penduduk 2020. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa penduduk Indonesia per-September 2020 berjumlah 270,20 juta jiwa atau terdapat penambahan sebesar 32,56 juta jiwa apabila dibandingkan dengan hasil survei penduduk 2010. Lebih lanjut, hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia didominasi oleh usia produktif (15-64 tahun) di mana jumlahnya mencapai 191,08 juta jiwa (70,72%). Jumlah itu jauh melampaui jumlah penduduk usia muda (0-14 tahun) yaitu sebesar 63,03 juta jiwa (23,33%), dan jumlah penduduk lansia (65 tahun ke atas) yaitu sebesar 16,07 juta jiwa (5,95%). Jumlah lansia tersebut diproyeksikan akan meningkat menjadi 57,0 juta jiwa atau 17,9% pada tahun 2045 (BPS, Bappenas, UNFPA, 2018). Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, para lansia ini sangat bervariasi kondisi hidup dan situasinya, baik secara rohani, psikologis, sosial, maupun budaya.

Secara yuridis, di Indonesia dikenal UU No. 13/1998 yang membahas mengenai Kesejahteraan Lanjut Usia (Lansia), yang dalam perkembangan selanjutnya juga disertai dengan berbagai macam peraturan pemerintah dan turunannya. Dalam regulasi tersebut, yang dimaksud Lansia adalah kelompok masyarakat yang telah berusia 60 tahun ke atas. Berbagai hak Lansia telah dijamin di dalamnya, di antaranya sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 5 ayat (2), yaitu: hak atas pelayanan spiritual dan keagamaan, hak atas pelayanan kesehatan, hak atas pelayanan kesempatan kerja, hak atas pelayanan pendidikan dan pelatihan, hak atas kemudahan menggunakan fasilitas, sarana dan prasarana publik, hak atas kemudahan dalam memperoleh layanan bantuan hukum, hak atas perlindungan sosial, serta hak atas pemerolehan bantuan sosial. Meskipun demikian, pemenuhan hak-hak Lansia tersebut masih belum menyentuh sejumlah persoalan mendasar, seperti yang menyangkut pemenuhan hak partisipasi Lansia sebagai aktor dalam pengambilan kebijakan serta perlindungan dari kekerasan.

Pada tahun-tahun terakhir ini, terutama pada masa pandemi, perhatian Gereja terhadap para Lansia terlihat dari adanya Kongres Lansia se Dunia dengan tema “Kekayaan Hidup Bertahun-tahun” (Kekayaan Lansia). Kongres ini diadakan pada 29-30 Januari 2020, Dikasteri Untuk Awam, Keluarga dan Kehidupan. Dalam Peringatan Hari Kakek Nenek dan Lansia Sedunia I pada tanggal 25 Juli 2021, Paus Fransiskus juga mengingatkan pentingnya peranan gereja dalam memperhatikan kehidupan para lansia. Tema yang dipilih adalah: Aku akan menyertaimu senantiasa (Mat 28, 20). Dan secara khusus menjelang Peringatan Hari Kakek Nenek dan Lansia Sedunia II ini, Paus Fransiskus memberikan 15 katekese mengenai Lansia. Di dalam 15 katekese ini, Paus menyatakan bahwa perhatian kepada para Lansia tidak lagi hanya dapat berupa bantuan atau program sesaat, namun juga diperlukan perubahan besar di mana para Lansia dapat dilibatkan untuk berperan aktif, baik itu di gereja maupun di masyarakat. Paus Fransiskus juga menegaskan pentingnya memulihkan martabat Lansia dan membangun jembatan lintas generasi. Selain itu, peran orang tua perlu ditempatkan lagi secara wajar dalam hidup bermasyarakat dan dalam seluruh reksa pastoral gereja.

Katekese Mengenai Lansia yang diterjemahkan oleh para Pengurus Harian Komisi Keluarga KWI ini kiranya dapat membantu kita dalam merenungkan makna dan nilai usia lanjut secara positif. Ada banyak hal indah yang tersurat maupun tersirat dalam Katekese ini yang dapat menginspirasi perubahan paradigma sikap maupun program pastoral. Kita dapat membacanya secara pribadi ataupun mendalaminya bersama dengan seluruh anggota keluarga serta umat di lingkungan atau komunitas paroki kita (pilihan terakhir ini tentunya akan lebih baik). Berikanlah kesempatan kepada para Lansia untuk bercerita dan membuka perbendaharaan kebijaksanaan hidup yang tentunya akan sangat penting dan berguna bagi kehidupan perabadan yang manusiawi.

 

 

Semoga Tuhan memberkati kita.

 

 

 

Mgr. Christophorus Tri Harsono

Ketua Komisi Keluarga KWI