logo

Mgr. Yohanes Hadiwikarta, Pr

“Pastor Bonus” (Gembala Yang Baik)

Mgr. Yohanes Hadiwikarta, Pr adalah uskup pengganti Mgr. Dibjokaryono, Pr yang telah mengundurkan diri karena alasan usia dan kesehatan. Beliau adalah imam diosesan Keuskupan Agung Semarang dan memiliki banyak pengalaman, teristimewa selama beliau menjadi Sekertaris KWI dan pengetahuan yang lebih akan hidup menggereja.

Kehadiran beliau di Keuskupan Surabaya memberikan warna tersendiri bagi Gereja Keuskupan Surabaya. Banyak usaha yang telah beliau lakukan dalam membina umat dan menyediakan sarana prasarana untuk mendukung pembinaan agar iman umat semakin berkembang, seturut Yesus, Sang Gembala. Sayangnya dalam waktu yang singkat berkarya, beliau berpulang menuju ke rumah Bapa seperti yang menjadi tujuannya.

 

RIWAYAT HIDUP DAN PANGGILAN

Mgr. Hadiwikarta, Pr mempunyai nama lengkap Yohanes Sudiarna Hadiwikarta, yang merupakan putra kedua dari delapan bersaudara. Beliau dilahirkan dari pasangan suami istri, Geradus Majela Taehmud Wikartaatmadja dan Ambrosia Sri Sudati. Beliau dilahirkan di Wonosobo pada tanggal 28 Maret 1944 dan dibaptis pada 13 April 1944 di Gereja Katolik Wonosobo dengan nama Yohanes Sudiarna. Beliau dibesarkan di keluarga yang hidupnya sering berpindah-pindah mengikuti tempat ayahnya bekerja, yang adalah pegawai B.R.I. Dari tempat tugas pertamanya di Pekalongan, ayahnya berpindah ke Wonosobo. Perpindahan tersebut dilanjutkan pada 1946 ke Magelang sampai dengan tahun 1953, beliau beserta keluarganya berpindah lagi ke Yogyakarta.

Beliau memulai pendidikannya di SR Pendawa (sekarang SD) di Magelang sampai pada tahun 1955. Perpindahan pun dimulai lagi oleh beliau dengan melanjutkan sekolahnya di SD Kanisius Kotabaru, Yogyakarta pada 1955-1956. Di tempat inilah benih panggilannya untuk menjadi imam mulai bertumbuh, ketika beliau menjadi putra altar di Paroki Kotabaru Yogyakarta. Rahmat panggilan menjadi imam yang didapatkan dari Tuhan, ditanggapi oleh beliau dengan melanjutkan pendidikannya di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang, pada tahun 1956-1965. Setamatnya belajar di Seminari Menengah, pada bulan agustus 1965, beliau melanjutkan pendidikan dan pembinaan sebagai calon imam Praja Keuskupan Agung Semarang di Seminari Tinggi St Paulus di Code, Yogyakarta dan belajar filsafat sampai bulan juni 1965. Pada bulan Agustus 1965-1966 beliau menjalani Tugas Orientasi Pastoral di Paroki Wonosari terletak di Gunung Kidul, yang terkenal dengan gunung kapurnya dan daerah kering, sulit mendapatkan air. Pada tahun 1966 sampai 1970 Sesudah tahun praktik pastoral diselesaikan, beliau meneruskan studi Teologi. Ketika menjalani masa pendidikannya, pada tahun 1967, beliau mengalami perpindahan lagi, yaitu, Seminari Tinggi St Paulus yang berada di Code berpindah ke utara di JL. Kaliurang, Kentungan, Yogyakarta. Proses perpindahan tersebut tidak membuat hasrat dan keinginannya untuk menjadi imam memudar. Hal ini diwujudkan oleh beliau dalam tabhisannya menjadi imam Praja Keuskupan Agung Semarang oleh Kardinal Justinus Darmajuwono, Pr di Gereja Kalasan bersama Romo F.X Wiyana, Pr pada Pesta Maria Dikandung Tanpa Noda pada tanggal 8 Desember 1970.

Misa perdana sebagai imam baru dirayakan di Gereja Purbawardayan. Ada kisah yang menarik ketika beliau merayakan misa tersebut. Beliau merasa diterima oleh umat, meskipun sebagian besar umat belum mengenal beliau. Hal ini diungkapkan oleh beliau, “Misa perdana bersama umat saya rayakan di Gereja Purbawardayan pada bulan desember itu juga. Walaupun saya belum banyak dikenal oleh umat Purbawardayan pada waktu itu, saya merasa diterima dan disambut dengan hangat oleh mereka.”[1] Suasana misa perdana yang begitu mengesan harus beliau tinggalkan untuk mengikuti Ujian Negara di Kentungan Yogyakarta dan pada bulan Maret 1971 Ujian tersebut telah diselesaikan.

Untuk mengawali pelayanannya kepada umat, pada tanggal 1 April 1971, Romo Hadiwikarta, Pr menjadi Pastor Pembantu Paroki di St. Ignatius, Magelang. Pada bulan September 1974 sampai bulan Juni 1977, beliau melanjutkan studinya di Pontifical Institute of Arabic Studies (Institut Kepausan untuk Bahasa Arab dan Islamologi) di Roma dan mendapat Licensiat Islamologi. Akan tetapi ketika beliau sedang menjalani masa pendidikaannya di Kepausan, Ayahnya meninggal dunia pada tanggal 22 Juni 1976 di Solo. Meskipun demikian, beliau tetap teguh dan mantap dalam menjalani panggilan dan studinya.

Berbagai tugas yang pernah diemban oleh beliau pada bulan November 1977 sampai bulan Juli 1986 selama di Jakarta antara lain: menjadi Pro Sekertaris MAWI (sekarang KWI), sebagai Direktur Toko buku dan Penerbit Obor, membantu pelayanan di Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu, Blok G Kebayoran Baru Paroki St. Yohanes Penginjil, Blok B Kebayoran Baru St. Bonaventura dan Pulo Mas, mengajar Islamologi dan Moral di STKAT, menjadi tim kursus Persiapan Perkawinan Keuskupan Agung Jakarta serta menjadi anggota Dialog Antar Agama KWI. Pada tahun 1984-1986, MAWI mengutus Romo Hadiwikarta menjadi anggota BSF (Badan Sensor Film) untuk mewakili MAWI.

Romo Hadiwikarta Pr, telah lama berkarya di Keuskupan lain bukan di Keuskupannya sendiri kurang lebih sembilan tahun. Pada bulan Agustus 1986 beliau kembali ke Yogyakarta dan menjadi dosen tidak tetap di FTW (Fakultas Teologi WedhaBakti) Yogyakarta. Di FTW, beliau mengajar Islamologi dan menjadi dosen pembimbing bagi para frater/Suter/Bruder dan mahasiswa FTW untuk TOP ( Tahun Orientasi Pastoral) pada tahun 1986-1989. Untuk itu, beliau tinggal di Paroki Kemetiran, Paroki Hati St. Maria Tak Bercela, sebagai pastor Pembantu di Yogyakarta dan kemudian menjadi Pastor Kepala Paroki. Pada bulan September 1989 sampai bulan Agustus 1990 beliau menjadi Romo kepala di Paroki Hati kudus Tuhan Yesus, Pugeran, Yogyakarta. Pada bulan September 1990 sampai bulan Juni 1994 diangkat menjadi Vikjen (Vikaris Jendral)[2] Keuskupan Agung Semarang. Semasa menjabat menjadi Vikjen, beliau menjadi Moderator R.S. St Elesabeth Semarang, Perdhaki wilayah Jateng/DIY, WKRI DPD Jateng, Serviam in Caritate Jawa Tengah, Institut Sekular Rosa Mistika.

 

MENJADI USKUP DI KEUSKUPAN SURABAYA

Setelah perayaan ulang tahun yang ke 50, beliau mendapatkan panggilan menghadap kedutaan Vatikan di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1994. Ketika beliau dipanggil oleh Pro Nuntio Apostolik, Duta besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Pietro Sambi pada tanggal 5 April 1994. Beliau menyangka bahwa dirinya akan mendapat pertanyaan, apakah beliau mau atau tidak menjadi Uskup Surabaya. Mgr. Pietro Sambi pun menyampaikan berita keputusan bahwa Bapa Suci Yohanes Paulus II mengangkat beliau menjadi Uskup Surabaya menggantikan Mgr. A.J Dibjakaryana Pr. Setelah menerima keputusan tersebut, beliau langsung disuruh berdoa dan diberi motivasi serta penjelasan. Beliau diberi kertas untuk menuliskan jawabannya kepada Paus.

Keputusan menjadi Gembala di tempat yang baru menjadi pergulatan dan tantangan tersendiri, “Namun demi ketaatan saya kepada pimpinan Gereja dan pelayanan kepada umat, saya siap ditugaskan di mana saja.”[3] Ungkapan sebagai pribadi yang taat tersebut diucapkan ketika beliau dipanggil oleh Pro Nuntio. Beliau sendiri mengharapkan, semoga pengalaman yang dimilikinya dapat berguna bagi pembinaan umat di Surabaya.

Mgr Hadiwikarta, Pr ditahbiskan menjadi uskup pada hari senin tanggal 24 Juli 1994, pukul 16.00 WIB oleh Mgr. A.J. Dibjokaryono, Pr mantan Uskup Surabaya, didampingi oleh Mgr.J. Darmaatmadja, SJ, Uskup Agung Semarang dan Mgr. H.Y.S Pandoyoputro O Carm, Uskup Malang. Upacara tahbisan itu diadakan di Stadion Wijaya Kusuma, Kompleks KODIKAL-AAL Bumimoro Surabaya dan dihadiri juga oleh Pro Nuntio Mgr Pietro Sambi, dan Yang Mulia Kardinal Arinze Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama Utusan Vatikan yang diundang oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Mgr. A. Sinaga OFM Cap Ketua Komisi HAK-KWI, Pater Alfons Suhardi OFM dan Direktur Dokumentasi/Penerangan KWI, Penjabat Dep. L.N, Penjabat Kanwil, Dep. Agama Jawa Timur. Hal ini menunjukkan sosok Mgr. Hadiwikarta, Pr memiliki keistimewaan tersendiri. Pagi hari sebelum tahbisan, beliau mengadakan kunjungan resmi ke Gubernur Jawa Timur. Dalam perjalanan pulang menuju gereja Katedral untuk bertemu para uskup, beliau dikawal oleh petugas keamanan. Hal ini memberi catatan tersendiri bagi beliau, karena relasi dengan pemerintah yang baik telah dijalin.

Pentahbisannya sebagai seorang Uskup menjadikan Keuskupan Surabaya mendapat beberapa sorotan dari beberapa umat. Sejumlah umat kurang menanggapi secara positif. Apakah di Surabaya tidak ada imam yang layak menjadi uskup? Apakah seorang Uskup harus didatangkan dari Keuskupan lain? Sorotan yang berbeda diungkapkan oleh Drs. Laurentius dosen IKIP, seorang dosen teladan, dengan menegaskan bahwa sorotan tersebut kurang tepat. Dia mengatakan bahwa sebaiknya kita mensyukuri terpilihnya uskup baru, karena kita tidak perlu bersusah-payah untuk menyiapkan calon uskup yang cocok dengan kondisi di Keuskupan Surabaya. Ia menghimbau agar kita jangan tergesa-gesa mempersoalkan apakah uskup yang baru mengenal atau tidak tempat kerjanya. Sekarang Umat Surabaya membutuhkan seorang gembala yang mengerti keadaan umat katolik di Keuskupan Surabaya yang tinggal di tengah umat muslim. Pemahaman Mgr. Hadiwikarta, Pr akan Islam memperlancar kerukunan antar umat beragama di Keuskupan Surabaya. Romo Anton Kedang, SVD dan seorang aktivis Gereja mengatakan bahwa Vatikan memilih Uskup dengan sangat berhati-hati agar sesuai dengan aspirasi Umat Keuskupan Surabaya.[4] Dengan demikian terpilihnya Mgr. Hadiwikarta, Pr sebagai uskup Surabaya tidak salah.

Dalam penggembalaan umat Keuskupan Surabaya, beliau memilih motto “Pastor Bonus” Gembala Yang Baik (Yoh 10:11). Mgr. Hadiwikarta, Pr   meminta tolong kepada Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr untuk membuatkan lambang kegembalaannya. Motto gembala yang baik mempuyai makna tersendiri bagi beliau. Ada pun penjelasan mottonya sebagai berikut:

“… Saya ingin meneladan Kristus Sang Gembala Baik, dalam tugas kegembalaan saya nantinya.  Dengan  bimbingan dan bantuan dari Sang Gembala Baik, saya akan dimampukan menjalankan tugas yang masih penuh dengan tanda Tanya dan tantangan. ‘Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku dipadang rumput yang hijau…sekalipun aku berjalan dalam kelemahan, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau beserta : gadaMu dan TongkatMu, itulah yang menghibur aku’(Mzm 25:1-2,4)…”[5]

Tahbisan yang diterima oleh beliau merupakan tanda resmi menjadi Uskup Surabaya, yang memiliki otoritas atas seluruh wilayah Keuskupan Surabaya. Wilayah Keuskupan Surabaya meliputi beberapa wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu Kabupaten Blora dan Rembang, seluas 26.461 km2. Wilayah keuskupan surabaya mencakupi 17 Kabupaten di Propinsi Jawa Timur, 5 Kotamadya, dan 2 di Propinsi Jawa Tengah. Wilayah tersebut dibagi menjadi 4 kevikepan/Regio: kevikepan I terdapat 16 Paroki yang meliputi wilayah Kotamadya Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Kevikepan II terdapat 9 Paroki  yang meliputi wilayah  Mojokerto, Jombang, Pare, Wlingi, Blitar, Tulungagung, dan Kediri. Kevikepan III terdapat 6 Paroki yang meliputi wilayah Ngawi, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, Magetan. Kevikepan IV terdapat 5 Paroki yang meliputi wilayah Cepu, Blora, Rembang, Bojonegoro dan Tuban. Dari pembagian ini pada tahun 2000, Keuskupan Surabaya terjadi peningkatan memiliki 36 Paroki dari pada tahun 1991 hanya memiliki 28 paroki.

Jumlah paroki yang meningkat didukung pula dengan jumlah umat yang meningkat. Jumlah umat tersebut dapat diketahui dari Diagram 1.1 berikut:

Diagram 1.1 Jumlah Umat Keuskupan Surabaya 1995-1998.

 

Jumlah umat yang banyak tersebut dilayani oleh imam, Bruder, Frater, dan Suster-Suster antara lain; imam Diosesan, CM, SVD, Bruder, CSA dan Frater BHK, Suster AK, CB, CIJ, KSSY, OSU, MC, PK, PRR, SND, SPM, dan SSpS. Tugas pelayanan pun juga dibantu oleh awam: Pengurus Dewan Harian Paroki, Katekis, dan Asisten Imam.

 

TANTANGAN PENGGEMBALAAN

Mgr. Hadiwikarta, Pr menyadari bahwa dirinya belum mengenal dan mengetahui ladang yang akan menjadi tempat beliau melayani sebagai gembala. Hal tersebut menjadi tantangan baginya, namun tidak membuatnya ragu dan mengubah ketaatannya. Untuk mengenal umat, beliau banyak mengadakan kunjungan dan menghadiri undangan pertemuan-pertemuan. Kunjungan yang dijadwalkan oleh beliau merupakan rencana awal kerja dan tindak lanjut dari apa yang disampaikan oleh beliau pada Upacara Pentabhisannya[6]. Dalam penggembalaan di “lahan baru” beliau mengangkat Romo J. Haryanto, CM menjadi Vikjen Surabaya pada tanggal 8 Agustus 1994.

Harapan Mgr. Hadiwikarta, Pr sebagai pemimpin Umat Keuskupan Surabaya agar mengenal umatnya direspon positif. Banyak permintaan yang mengalir dari Organisasi dan Kelompok Umat, yang meminta pertemuan dan beraudiensi dengan beliau. Beliau juga mengadakan pengenalan melalui pelayanan Misa perdana di Gereja Katedral, pada tanggal 30 Juli 1994; memberkati gereja Regina Pacis di Magetan, pada tanggal 3 Agustus 1994; menerimakan Sakramen Krisma di gereja St. Marinus Yohanes Kenjeran pada tanggal 14 Agustus 1994; mengunjungi dan menerimakan Sakramen Krisma di Paroki St. Vincentius Kediri pada tanggal 28 Agustus 1994. Di Kediri beliau berkunjung dan bersilahturahmi dengan Bupati KDH Kabupaten Kediri. Kunjungan dilanjutkan pada tanggal 29 Agustus 1994 ke Walikota Kediri. Dari Kediri beliau meneruskan perjalanannya ke Madiun untuk menghadiri serah terima jabatan Drs. A. Sumarno, Msc, sebagai Rektor baru Unika Widya Mandala Madiun. Ini merupakan beberapa langkah awal yang baik, karena beliau akan dapat mengenal umatnya.

 

MUNCULNYA VISI DAN MISI KEUSKUPAN SURABAYA

Berbagai kunjungan dan pertemuan dengan berbagai kelompok umat  yang beliau lakukan, membuahkan visi dan misi yang menjadi arah dan pegangan bagi semua imam, dewan paroki, dan seluruh umat Keuskupan Surabaya. Perlunya visi dan misi itu diteguhkan juga oleh pengalaman beliau saat beliau menjadi uskup. Saat seorang pemuda bertanya kepada beliau, “Apakah yang menjadi arah kebijakan Bapak Uskup dalam memimpin Keuskupan Surabaya?”[7] Pertanyaan tersebut membuatnya kaget dan tidak mudah dijawab oleh beliau. Beliau menjawab bahwa setelah mengetahui keadaan Keuskupan Surabaya, kira-kira dua atau tiga tahun lagi beliau merumuskan dan mencarinya bersama para Romo dan Wakil Umat Keuskupan Surabaya.

Visi dan misi dibuat berdasarkan hasil Sidang KWI tahun 1994 dan 1995 yang membicarakan “PEDOMAN GEREJA KATOLIK INDONESIA” dan Sidang Agung KWI-Umat yang dilangsungkan tahun 1995 dan diterbitkan dalam buku berjudul “PEDOMAN GEREJA KATOLIK INDONESIA TAHUN 1995. Menurut Mgr. Hadiwikarta, pedoman tersebut mengharapkan agar setiap Keuskupan menerapkan hasil sidang sesuai keadaan Keuskupan setempat. Untuk itu beliau memiliki keinginan besar untuk membuat pedoman bagi Keuskupan Surabaya agar membentuk umat katolik yang bemutu dan untuk menyongsong pergantian abad ke 21.

Keinginan untuk merumuskan visi dan misi Keuskupan Surabaya diwujudkan oleh beliau dengan SINODE KEUSKUPAN[8] pada tanggal 20-22 Nopember 1996 di Prigen. Mereka yang menghadiri sinode ialah semua Pastor yang berkarya diwilayah Keuskupan Surabaya, semua Ketua Komisi Keuskupan, Wakil Tarekat Suster, Frater yang berkerja di Keuskupan Surabaya, Wakil Awam dari Keempat Regio dan Organisasi Katolik. Beliau mengundang beberapa nara sumber, yaitu, Mgr. Bl Pujaraharja, Pr, Uskup Ketapang, Mgr. P.C. Mandagi, MSC, Uskup Amboina, dan Romo P. Mariatma, SVD. Sinode itu membuahkan Visi dan Misi Keuskupan Surabaya 1997-2001[9]:

“Persekutuan Umat Allah yang dinamis, profetis, misioner, berkualitas, akrab dalam persaudaraan, yang hidupnya berpusat pada Yesus Kristus, Pastor Bonus serta dibimbing oleh Roh Kudus, sebagai musafir yang peka melihat tanda-tanda zaman, punya kepedulian pada sesamanya terutama yang kecil dan menderita, berani memperjuangkan keadilan dan kebenaran, membina persaudaraan sejati dengan semua orang, demi terwujudnnya Kerajaan Allah.”

Demi tercapainya Visi diatas makan ada beberapa langkah yang perlu diambil:

  1. Membuka diri dalam dialog kehidupan dan karya dengan semua umat beragama yang ada, serta membina persaudaraan sejati dengan semua orang.
  2. Membangun solidaritas pro aktif bagi mereka yang lemah dan menderita, membela kehidupan dan martabat manusia sebagai citra Allah.
  3. Membangun komunitas persaudaraan kristiani yang kokoh imannya, yang berakar pada Kitab Suci, Tradisi dan Sakramen-sakramen, serta kebudayaan setempat.
  4. Membangun persaudaraan di antara umat, mulai dari keluarga, lingkungan, paroki dengan melalui pola kepemimpinan yang partisipatip, komunitas basis gerejani.
  5. Membentuk orang-orang kristiani yang tangguh, dapat dipercaya, setia, mempuyai dedikasi tinggi, yang berjiwa missioner, mampu menjadi garam dan terang di masyarakat, melalui pendidikan iman dan kaderisasi.
  6. Membina dan mendampingi keluarga-keluarga agar dapat menjadi dasar atau basis hidup mengereja dan memasyarakat.

Sinode “1996” juga mempunyai tiga prioritas penting Pastoral, yaitu, Kaum Muda, Keluarga, dan Katekese yang integratif dan kontekstual. Tiga bidang Pastoral tersebut memliki penekanan tersendiri; pembinanan Kaum Muda mulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa secara berkesinambungan dan peningkatan kegiatan rohani, keterlibatan dalam hidup menggereja dan memasyarakat, dan kaderisasi; membina keluarga menanamkan pentingnya pembentukan nilai-nilai dalam keluarga, seperti: penghayatan iman bersama, keterbukaan, komunikasi, hormat pada kehidupan, pendidikan kristiani, dan doa bersama; mengusahakan katekese untuk semua umat dan berlaku bagi semua umur. Isi dari pewartaan disesuaikan dengan situasi umat setempat, serta perlu adanya semangat pertobatan terus menerus, solidaritas terutama yang miskin dan lemah, keterlibatan umat katolik dalam masyarakat sebagai aktualisasi iman dan pengutusan orang kristiani.[10]

 

MENYIKAPI VISI DAN MISI

Bertitik tolak dari  visi dan misi Keuskupan yang dirumuskan, beliau menindak lanjuti dengan mengadakan pembinaan-pembinaan dan penyediaan sarana bagi pembinaan dan pembentukan beberapa perkumpulan. Ada beberapa bidang yang menjadi prioritas:

  1. Pastoral prioritas kaum Muda, beliau menaikkan status BIAK menjadi Komisi BIAK Keuskupan Surabaya pada tanggal 10 Mei 1996. Dengan demikian paroki-paroki dapat membentuk seksi tersendiri dalam dewan paroki, bukan lagi sub-sub dari seksi (mis. seksi pewartaan). Hadirnya Komisi BIAK di Keuskupan Surabaya, bukanlah hal baru, tetapi Mgr. Hadiwikarta hanya meneruskan usaha yang dimulai oleh Mgr. Dibjokaryana, Pr, sebagai Uskup pendahulunya. Pembinaan tersebut diberikan pada mereka yang masih TK-SD. Hal ini menyebabkan Keuskupan memberi perhatian khusus bagi anak SLTP, karena usia mereka dipandang masih kecil jika mereka bergabung bersama Mudika, sedangkan usia mereka dipandang terlalu besar jika mereka dibina bersama BIAK. Akhirnya dibentuklah Komisi REKAT untuk anak usia SLTP. Sekarang Keuskupan Surabaya memiliki tiga komisi yang terlibat langsung dalam pembinaan: Komisi BIAK, Komisi REKAT, dan Komisi Kepemudaan. [11]
  2. Pada prioritas keluarga, dibentuk Komisi Keluarga di tingkat Keuskupan dan Seksi Keluarga di Paroki. Pada 25 Januari 2000 Mgr. Hadiwikarta, Pr memberikan pembekalan bagi romo-romo Keuskupan Surabaya untuk pengarahan Pastoral Keluarga. Pengarahan ini diberikan sebagai wujud tindak lanjut sinode: membina dan mendampingi keluarga-keluarga agar dapat menjadi dasar dalam hidup mengereja dan memasyarakat. Alasan lain dalam pengarahan ialah beliau mengatakan keluarga merupakan tempat kaum muda bertumbuh hingga mencapai kematangan pribadi dan sosial serta penanaman nilai-nilai kebaikan, Gereja rumah tangga (ecclesia domestica) dan “masa depan masyarakat dan gereja terjadi lewat keluarga”.[12]
  3. Pada Prioritas Katekese, mekanisme berkatekese Keuskupan memanfaatkan pendalaman umat beriman yang ada: APP, Bulan Kitab Suci, Adven, dan Doa Lingkungan yang biasa dilakukan di paroki-paroki, serta Novena. Memberikan pendampingan pada persekutuan doa karismatik oleh romo-romo, agar pandangan iman tidak goyah akan pengaruh sekte-sekte Kristen.[13]

Disamping beberapa bidang prioritas tersebut diatas, Mgr. Hadiwikarta Pr, juga memberikan pelayanan yang lain sesuai kebutuhan umat Keuskupan Surabaya. Pelayanan yang diberikan ialah sebagai berikut:

  1. Membentuk “Dana Minus” sebagai solidaritas umat Keuskupan dan sekolah Katolik untuk membantu “sekolah minus” pada 1996 yang berbentuk beasiswa dan pengembangan potensi lainya. Dalam karya kesehatan, karya yang ditangani ialah Poliklinik, BKIA dan karya sosial.
  2. Mengikuti pembentukan “Forum Persaudaraan Sejati” dan menjadi anggotanya yang diwakili oleh Komisi HAK pada 10 November 1996, karena terjadi peristiwa pembakaran Gereja-Gereja di Situbondo. Anggota forum terdiri dari tokoh-tokoh Kristen dan Katolik. Mereka yang bergabung berasal dari Keuskupan Surabaya, Malang, FKKI, GKJW, YPII, Bamag, PGIW Jawa Timur dan lain sebagainya. Kegiatan ini bertujuan untuk membina kerukunan dan persaudaraan dengan umat Islam.
  3. Mengangkat Romo J. Haryanto, CM, sebagai Vicaris Episcopalis[14] untuk Lembaga Hidup Bakti Di Keuskupan Surabaya  (Vikep), agar kerjasama dan komunikasi terjalin dengan baik, pada tahun 1999.
  4. Meresmikan berdirinya Pastoral Buruh PPB-KS (Pastoral Pendampingan Buruh Keuskupan Surabaya) pada 27 Oktober 1998, sebagai perhatian Keuskupan terhadap masalah buruh. Karena Mereka memerlukan pendampingan khusus seirama sistim shift kerja. Tujuan dari pastoral buruh ini ialah membangun persaudaran sejati buruh dengan sesama demi terwujudnya kerajaan Allah berdasarkan cinta kasih dan nilai-nilai hidup Kristiani, jaringan antar komunitas buruh, persahabatan pribadi melalui dialog dan komunikasi. Perhatian kepada buruh telah dimulai sejak tahun 1955-1965 dengan Ikatan buruh Pancasila, kemudian diteruskan oleh Romo J. Van Steen, CM dengan mendirikan KPK (Kerukunan Pekerja Katolik) dalam asrama-asrama. Sehingga PPB-KS hanya memperluas pelayanan pada buruh yang luas dalam tingkat Keuskupan.
  5. Membinan umat dalam kerangka Tahun Yubelium Agung bagi semua umat yang tinggal di Keuskupan Surabaya. Mereka yang mengikuti kegiatan ini adalah Para Imam, Tenaga Medis dan orang Sakit, Biarawan-Biarawati, Dewan Paroki Harian, Hari Minggu Panggilan, Asisten Imam, BIAK, REKAT, Katekis Keuskupan dan relawan, Para Buruh, Mudika, Lansia, Usahawan, Hari Minggu Misi, Para Guru, dan Karyawan Gereja.
  6. Menetapkan tahun suci dalam penyambutan Yubelium Agung atau Pesta Agung memperingati 2000 tahun penebusan manusia: Tahun 1997 yang ditetapkan sebagai TAHUN YESUS KRISTUS, dalam visi Keuskupan dirumuskan: “yang hidupnya berpusat pada Yesus Kristus, Pastor Bonus”, Tahun 1998 ditetapkan sebagai TAHUN ROH KUDUS, dalam Visi dirumuskan: “serta dibimbing oleh Roh Kudus.” Tahun 1999 ditetapkan sebagai TAHUN ALLAH BAPA, dalam visi dirumuskan: “demi terwujudnya kerajaan Allah.” Jadi penetapan tahun suci ini merupakan perwujudan visi dan misi Keuskupan Surabaya menyambut tahun 2000.
  7. Membangun rumah pembinaan, Sasana Krida Jatijejer, serta disediakan fasilitas perkemahan untuk anak-anak dan remaja, pada tahun 2000 diresmikan, karena rumah pembinaan yang di Keuskupan Surabaya tidak mencukupi.
  8. Merenovasi beberapa tempat ziarah. Hal ini dilakukan, karena umat katolik di Surabaya gemar berdevosi kepada bunda Maria dan melihat jumlah umat yang berdoa meningkat. Untuk mengantisipasi tempat alternatif apabila gereja lama direnovasi, Gedung Serba Guna dibangun pada bulan Oktober 1997. Sebagai awal pembangunan beliau meletakan batu pertama Gua Lourdes Poh Sarang Kediri yang mirip dengan Gua Maria di Lourdes Perancis pada tanggal 11 Oktober 1998. Pada tanggal 26 Desember 1999 Gua tersebut diberkati oleh Mgr Hadiwikarta Pr dan diresmikan oleh Bupati Kediri. Proses ini bertepatan dengan Tahun Yubelium Agung dan peresmian 3 buah pondok Rosario yang mirip dengan pondok yang ada di Basilika Rosario di Lourdes. Pada 28 Mei 2000 peresmian diteruskan pada bangunan jalan salib. Dengan berdirinya bagunan ini, banyak orang yang berdatangan dan berdoa dari kota maupun luar kota. Di Gua ini juga diadakan Misa jumat legi pada pukul 24.00 WIB, sebagai antisipasi, agar umat tidak pergi ke tempat-tempat keramat, melainkan pergi berdoa dan merayakan misa di Gua Maria Poh Sarang. Renovasi juga dilakukan di Sendang Waluyo Jatiningsih di Stasi Klepu, Kecamatan Sooka, Ponorogo. Gua maria ini bernama Maria Fatimah.
  9. Membentuk Komunitas Basis dan Komisi Pendampingan Umat Basis. Keputusan ini beranjak dari SAGKI tahun 2000-an agar komunitas Basis menjadi pilihan pastoral yang akan dikembangkan selama lima tahun mendatang terhitung dari tahun 2000. Keuskupan Surabaya memberikan prioritas pada pengembangan dan pemberdayaan komunitas Basis. Komunitas basis umat adalah satuan umat yang relatif kecil berkumpul secara berkala membagikan pengalaman dan memecahkan masalah berdasarkan kitab suci. Pemberdayaan komunitas ini dimulai dan dibentuk dari kelompok atau pembagian yang ada (mis. Lingkungan, Stasi dan sebagainya). Komunitas basis ini merupakan perwujudan dari umat untuk mengakarkan dan mewartakan injil di masyarakat secara kotekstual. Semangat yang dimiliki ialah trasformatif (mis. Kritis). Untuk mendukungnya, pada 11 Pebruari 2002, Mgr Hadiwikarta, Pr memutuskan dan membentuk Komisi Pendampingan Umat Basis yang menyediakan segala sarana-prasarana.

 

HARAPAN

Beliau memiliki harapan agar umat, imam, biarawan/ti dapat berkembang, karena banyak tantangan yang terjadi. Tantangannya ialah pengaruh gaya hidup dewasa ini: pergaulan bebas, narkoba, penggangguran, sikap individualistik, egois, fanatik sempit, gaya hidup konsumtif, kemiskinan dan era globalisasi. Tantangan tersebut bukanlah milik pribadi, namun menjadi tantangan semua umat dan ditanggapi bersama-sama. Dalam menghadapinya, kita membutuhkan sesama yang mendukung dalam bentuk persekutuan dan persatuan yang berakar di dalam Yesus Tuhan dan teladannya. Harapan itu telah ditanamkan dan diusahakan oleh Mgr Hadiwikarta, Pr, yang meninggal pada tanggal 23 Desember 2004 karena menderita sakit kadar gula yang tinggi dan komplikasi jantung koroner. Tugas kita sekarang untuk melanjutkannya.

 

REFLEKSI

Pengalaman keluarga berpindah-pindah dan perjalanan panggilan yang sering berubah dan tak pasti telah mendidik Mgr Hadiwikarta, Pr menjadi pribadi yang siap sedia. Dalam bertugas pun, Mgr Hadiwikarta, Pr menghadapi banyak perbedaan antara pedoman dan realitas yang terjadi. Meskipun demikian beliau berusaha menghadapi realitas berdasarkan pedoman agar umat tidak berjalan ke arah yang salah, pelaksanaan pedoman merupakan bentuk ketaatan beliau. Ketaatan ini dipegang oleh beliau sebagai dasar untuk mengembalakan umat.

Mengarahkan umat kepada Kristus merupakan upaya untuk membangun persekutuan. Semangat ini telah dibangun oleh Mgr Dibjakaryana Pr, dalam mottonya “Ut Omnes Unum Sint” (supaya mereka menjadi satu). Sekarang beliau memperkuat dasar persekutuan yang dibangun oleh Mgr, Dibjakaryana, Pr.

Dasar dan teladan menjalin dan membangun persekutuan adalah Yesus, Gembala Yang Baik. Gembala yang mau berkorban memberikan nyawanya. Karena Dia mengatakan “Ego sum pastor bonus, pastor bonus animam suam ponit pro ovibus” (Akulah Gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya (Yoh 10:11)). Karena itu persekutuan yang kuat didasarkan semangat pengorbanan.

Oleh karena itu, siap dengan perubahan dan perbedaan, ketaatan, persekutuan dan semangat pengorbanan merupakan dasar yang kokoh dalam menjalani hidup panggilan sebagai Gembala Umat. Dasar-dasar ini akan menjadi pegangan, saat melayani dan berkarya bagi umat.

 

 Uskup dari Masa ke Masa
♦ Mgr. Dr. Theophilus de Backere, CM - “Parare Vias Domini” (Mempersiapkan Jalan-jalan Tuhan)
♦ Mgr. Dr. Michael Verhoeks, CM (1938-1952) - Menimba Optimisme dan Semangat
♦ Mgr. Johannes Antonius Maria Klooster, CM - Menggembalakan dengan Cinta 
♦ Mgr. Aloysius Joseph Dibjakaryana - Kebersamaan Dalam Membangun Keuskupan Surabaya
♦ Mgr. Yohanes Hadiwikarta - “Pastor Bonus” (Gembala Yang Baik)
♦ Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono - Keberanian Seorang Gembala  Menghadapi Tantangan Kegembalaan 

 


DAFTAR PUSTAKA

  1. Hadiwikarta. J.S Pr.,Visi dan Misi Keuskupan Tahun 1997-2001. 1996.
  2. ------------------------,Keuskupan Surabaya Dari Awal Tahun 2000. 2000.
  3. ------------------------,Memberdayakan dan Membangun Komunitas Basis Umat, Keuskupan Surabaya. 2002
  4. -----------------------,Komunitas Basis Umat Yang Transformatif. Keuskupan.2002.
  5. Heuken, A, SJ.,Ensiklopedi Gereja Katolik 8 Jilid Sel-To. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka, 200
  6. ------------------,Ensiklpopedi Gereja Katolik Jilid 9 Tr-Z. Jakarta:Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
  7. Hidup,Edisi 3 Juni 1994.
  8. -------,Edisi November 2002.
  9. Media Komunikasi Keuskupan Surabaya, Edisi September 1994.
  10. Tondowidjojo, John, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya Jilid I. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2000.
  11. --------------------------------, Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 2 A. Surbaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 2001.
  12. --------------------------------, Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 3 B. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 2001.
  13. Unio Keuskupan Surabaya.Memahami Motto Uskup Surabaya Ut Vitam Abundantius Habeant. Rembang: Sang Timur, 2007.
  14. Luluk Widyawan's Page_ Mengenang Mgr. J. Hadiwikarta, Pr_ Pastor Bonus.mht

  • [1]Lih John Tondowidjojo, CM, Sejarah Keuskupan Surabaya Jilid  I ( Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama,  2000 ), hlm. 355.
  • [2]  Vikjen adalah “seorang imam (atau uskup Bantu), yang wajib diangkat oleh uskup diosesan sbg wakilnya dl (dalam) memimpin seluruh Keuskupan. Berdasarkan jabatannya, vikjen memiliki kuasa eksekutif dl seluruh Keuskupan,  tetapi bukan kuasa legislatif atau yudikatif. Vikjen biasanya memimpin admisnistrasi Keuskupan. Menurut hukum Gereja kuasa vikaris jendral (=wakil umum.,Lat) sama seperti dimiliki uskup sebagai pemipin Gereja Partikular (sebuah Keuskupan) (KHK Kan 134) yakni boleh melakukan semua tindakan administrasi selain yang direservasikan uskup bagi dirinya atau yang menurut hukum membutuhkan mandat khusus dari uskup…”. Lih. A. Heuken, SJ.,Esiklopedi Gereja Jilid IX Tr-Z,(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,2006), hlm. 95.
  • [3] Bdk Hidup, Edisi Maret 3 Juni 1994.
  • [4] Bdk John Tondowidjojo, CM, Sejarah Keuskupan Surabaya Jilid 2 A  (Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama,  2000 ), hlm. 477.
  • [5] Lih Ibid.,hlm. 486.
  • [6] Hidup Juli 1994 dalam Laporan Utama; Media Komunikasi Keuskupan Surabaya Edisi September 1994, hlm 23.
  • [7] Lih Mgr. J. Hadiwikarta, Pr, Visi dan Misi Keuskupan Surabaya Tahun 1997-2001 Hasil Sinode Keuskupan Surabaya Nopember 1996,  1996, hlm 8; Bdk Hadiwikarta Keuskupan Surabaya Dari Awal Hingga Tahun 2000, 2000, hlm. 12.
  • [8] Sinode Keuskupan merupakan “…sidang imam-imam dan orang beriman kristiani yang terpilih dari Gereja Partikular (sebuah Keuskupan) untuk membantu uskup diosesan demi kesejahteraan komunitas diosesan menurut norma kanon-kanon berikut. (KHK 460). Sidang Sinode merupakan suatu sidang konsultatif, dimana tidak ada keputusan akhir atau resolusi setelah sidang, tapi merupakan suatu sidang untuk membantu uskup dalam merumuskan kebijakan Keuskupan.” Ibid., hlm. 9.
  • [9] Ibid.,hlm 42-43. Sedangkan untuk penjelasan secara detail dari visi dan misi Ibid.,hlm. 14-40.
  • [10] bdk Ibid., hlm. 38-40; Hadiwikarta (1996), hlm. 12-13.
  • [11] Bdk  Tondowidjojo ( 2000 ), hlm 581; Bdk  Hadiwikarta (1996). hlm 38; Bdk Hadiwikarta (2000), hlm. 14-15.
  • [12] Pengarahan pastoral keluarga yang diberikan pada romo-romo Keuskupan Surabaya. Tema dari pengarahan ini adalah Keluarga dalam “Exortatio Apostolik Familiaris Consortio” yang merupakan  Sidang Umum Biasa Sinode Para Uskup tahun 1980. Tema ini diusung Mgr. Hadiwikarta, Pr dari Exortasi Apostolik Pasca Sinode Asia yang disampaikan oleh Paus Yohanes Paulus II di India pada 6 November 1999. Bdk Jhon Tondowidjojo, CM, Sejarah Keuskupan Surabaya Jilid 3 B  (Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama,  2000 ), hlm 180-181; Juga bdk Hadiwikarta(1996), hlm 12.
  • [13] Hadiwikarta (1996), hlm 39-40. Hadiwikarta (2000), hlm, 15.
  • [14] Vikaris episkopal (vikep) adalah seorang imam yang diangkat oleh uskup untuk mengurusi suatu bagian Keuskupan dalam jangka waktu tertentu. Ia mengurusi visitasi paroki, kelompok kategorial, dalam hal ini kelompok biarawan-biarawati. Bdk Heuken (2006), hlm 95; Hadiwikarta (2000) hlm. 18.