logo

Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono

"Keberanian Seorang Gembala Menghadapi Tantangan Kegembalaan"

Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono lahir di Surabaya pada tanggal 26 September 1953. Ia adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Kakak perempuannya bernama Oei Lwan Nio dan Adik perempuannya bernama Oei Swan Nio. Oei Tik Hauw adalah nama kecil Sutikno. Ayahnya bernama Oei Kok Tjia dan ibunya bernama Kwa Siok Nio. Ayah Sutikno bekerja di PAL (Penataran Angkatan Laut) sebagai pegawai tekhnik (perencanaan dan pemeliharaan) hingga pensiun sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.

Oei Tik Hauw mempunyai hubungan yang dekat dengan orang tuanya. Orang tuanya begitu menyayanginya. Hal ini dapat terlihat ketika ditinggal oleh orang tua khususnya ditinggal papinya untuk dinas ke luar negeri yang memakan waktu relatif panjang Oei Tik Hauw merasa sendiri. Diantara kedua saudaranya Oei Tik Hauw gampang sakit, sehingga ketika sakit kedua orang tua, kakak dan adiknya mengkawatirkan keadaanya. Orang tuanya mengajari Oei Tik Hauw soal kejujuran dan hidup bermasyarakat. Nilai-nilai ini sangat dijunjung tinggi dalam keluarga.

Pada tahun 1959 ketika usia Oei Tik Hauw mulai memasuki 6 tahun ia masuk TKK St. Anna. Pada tahun 1961, Oei Tik Hauw melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDK St. Mikael, Perak – Surabaya. Sekolah ini bernaung di bawah Yayasan Yohanes Gabriel. Saat itu pengurus pusat Yayasan Yohanes Gabriel dipegang oleh Romo  Kumorowidjojo Pr dan pengurus lokalnya Romo Herman Kock CM. Semasa kecil Oei Tik Hauw dikenal sebagai pribadi yang suka mengalah dan menolong oleh para guru dan temannya. Salah satu contoh yaitu ia rela memberikan pakaiannya kepada teman yang bajunya rusak, sehingga ketika pulang ia tidak berpakaian.

Oei Tik Hauw mempunyai seorang romo idola yaitu Romo Herman Kock, CM. Baginya Romo Kock, CM adalah pribadi yang sederhana dan setia dalam melakukan tugas. Ia menyukai gaya khas Romo Kock, CM yang sering memakai topi polka dan jubah sembari naik sepeda onthel ketika kunjungan ke rumah umat di paroki Perak. Ia sering diajak oleh Romo Kock, CM saat kunjungan ke rumah umat hanya sekedar untuk menjaga sepeda onthel yang sering hilang ketika melakukan kunjungan keluarga. Kedekatan relasinya dengan Romo Kock, CM memupuk panggilannya untuk menjadi imam. Ia telah menjadi misdinar meski belum dibaptis secara Katolik diparokinya. Setelah lulus SD Oei Tik Hauw melanjutkan jenjang pendidikannya di SMPK Angelus Custos (AC).

Tanggal 7 Mei 1966, keluarga Oei Kok Tjia dibaptis oleh Romo A. Van Rijnsoever CM. Maminya adalah pelopor keluarga dalam memeluk Katolik. Maminya tertarik untuk menjadi Katolik karena kesakralan dalam liturgi Katolik. Maminya mengikuti Katekumen selama 4 tahun. Berkat usaha maminya untuk mengajak seluruh keluarga memeluk Katolik dan dukungan Romo A.Van Rijnsever, CM keluarga Oei Kok Tjia mau dan dibaptis secara Katolik. Saat itu Oei Tik Hauw dibaptis saat kelas VI SD. Oei Tik Hauw memilih nama baptis Vincentius dari Santo Vincentius A Paulo.

Pasca peristiwa G/30 S PKI 1965 muncul Keputusan Presidium bernomor 127/U/Kep/12/1966 tentang perubahan nama keturunan menjadi nama Indonesia.[1] Melihat situasi Negara saat itu yang tidak stabil dan isi surat himbauan itu bernada keharusan membuat keluarga Oei Kok Tjia menuruti himbauan itu. Berikut perubahan nama yang terjadi di keluarga Pak Oei

        

No

Nama Asli

Susunan

Nama Pengganti

1 Oei Kok Tjia Papi Widiatmo Wisaksono
2 Kwa Siok Nio Mami Mardijanti
3 Oei Lwan Nio Anak 1 Reniwati
4 Oei Tik Hauw Anak 2 Sutikno Wisaksono
5 Oei Swan Ni Anak 3 Mia Swandayani


JALAN MENUJU PANGGILAN

Ketika kelas 3 SMP Sutikno mempunyai keinginan untuk masuk Semian Keputusan untuk masuk Seminari Menengah Garum adalah inisiatif, niat dan ide Sutikno sendiri. Orang tua menyetujui keinginan anaknya ini. Sebelum masuk Seminari Menengah Garum keluarga Wisaksono mendapat penjelasan dari Romo Holtus CM mengenai Seminari, imamat dan seputarnya. Tahun 1969 Romo Holtus CM yang mendaftarkan Sutikno masuk Seminari menengah. Sebelum menjalani pendidikan di bangku SMA ia menjalani kursus kilat 1 tahun[2], lalu menjalani pendidikan SMA Seminari selama 3 tahun dan 1 tahun masa orientasi[3] sebelum masuk Seminari tinggi.

Selama menjalani hidup di Seminari, Sutikno merasakan kehidupan Seminari cukup berat dan pahit. Di Seminari inilah Sutikno “belajar” marah, karena sering terjadi perbedaan pendapat dengan teman yang lain. Ia juga merasakan  hidup di Seminari serba terbatas dan tidak nyaman akibat pecahnya perang G30S/ PKI. Romo Karel Prent, CM yang menjabat sebagai rektor Seminari saat itu meneguhkan para Seminaris dalam situasi yang sulit dengan membuat suasana Seminari lebih kondusif. Dalam perjalanannya ia mengalami pergulatan ingin keluar namun Romo K. Prent, CM meneguhkannya untuk melanjutkan keinginan menjadi imam. Romo K. Prent, CM pulalah yang berperan mengarahkan panggilan Sutikno dalam jenjang pendidikan lebih tinggi. Dalam masa orientasinya, tahun 1974 ia memutuskan untuk memilih Dioses Surabaya sebab ia cinta Keuskupan Surabaya dan tidak mau pindah jauh dari tanah kelahiran. Pada tanggal 7 Oktober 1974 ia mengajukan surat permohonan menjadi imam diosesan Keuskupan Surabaya dan pada tanggal 16 Oktober 1974 Mgr. Klooster, CM meluluskan permohonannya masuk pendidikan imam diosesan dengan surat yang bernomer 362/74.

Tahun 1974 ia melanjutkan studi Seminari tinggi di Sekolah Tinggi Santo Paulus Kentungan, karena Keuskupan Surabaya belum mempunyai pendidikan imam Diosesan. Beberapa kakak kelasnya yang telah menjalani pendidikan di sana yaitu Fr. Agus Mayanto, Fr. Uroto Sastro, Fr. Yustisianto, Fr. Gregorius Purwadi, Fr. Radi Karyojoyo, Fr. Haryadi, dan Fr. Aswinarno. Sementara adik kelasnya yaitu Fr. Jelantik dan Fr. Kian Haryanto. Dalam komunitas frater, frater Sutikno dikenal sebagai pribadi yang periang, berani, ramai, banyak celoteh,dan ringan tangan (suka membantu).

Pada tanggal 19 Juli 1977 Mgr. Klooster, CM mengeluarkan surat bernomor 400/77 perihal tahun orientasi pastoral bagi Fr. Sutikno. Ia menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Yosef dan St. Vincentius A Paulo Kediri. Ketika menjalani TOP Fr. Sutikno belajar menjadi seorang imam dengan mempraktekkan tata ibadat, menyiapkan acara kaum muda, dan kunjungan keluarga. Fr. Sutikno diterima baik oleh umat. Ia juga pernah live in di pabrik kulit di sela-sela masa studinya.

 

PERJALANAN IMAMAT

Tanggal 23 September 1980 Kardinal Justinus Darmoyuwono melantik Fr.Sutikno menjadi akolit.[4] Tanggal 23 September 1981 ia ditahbiskan sebagai diakon dan pada tanggal 21 Januari 1982 ditahbiskan menjadi Imam oleh Mgr J. Klooster CM. Ada dua Motto yang selalu mengiring langkah perjalanananya adalah “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian. Supaya Ia mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu (Luk 10:3)” dan “Upahku ialah: bahwa aku boleh memberitakan Injil tanpa upah....” (I Kor 9:8). Dua motto ini mempunyai maksud perjuangan dan kerja keras dirinya menjadi seorang Imam walaupun seorang diri, serta menjadi imam tidak boleh ada imbalan atau upah sebab Imamat merupakan tugas perutusan yang mulia.

Romo Sutikno merayakan misa perdana di Gereja St. Mikael bersama umat sebagai imam baru. Tanggal 1 Februari 1982 ditugaskan sebagai pastor pembantu di paroki St. Vincentius A Paulo Kediri bersama Romo Sunaryo, CM. Ia berusaha membangun kerjasama dengan romo paroki. Ia sempat menggantikan tugas sementara Romo Y Van Mensvoort di Paroki St Yosef Kediri yang cuti. Dalam pelayanan tugasnya beliau tidak memperhatikan kaum muda saja tetapi juga pada umat atau orang yang tersingkir, sakit dan susah.

Tanggal 1 Maret 1984 ia ditugaskan sebagai pastor Pembina di Seminari Garum. Beliau mengajar Bahasa Latin, Sejarah Gereja, Kitab Suci dan masih banyak lagi. Beliau juga menjabat sebagai romo disiplin dan romo ekonom. Romo Sutikno dikenal sebagai  pastor dengan kreatifitas tinggi. Salah satu hasil karyanya yang dapat dilihat di Seminari adalah papan meja dari kayu gelondongan besar yang digergaji sehingga menjadi menarik. Di Seminari ia lebih banyak berperan sebagai psikolog bagi para Seminaris. Penemuan nilai-nilai pokok hidup yang meneguhkan imamat menjadi pokok keprihatinannya.

Tahun 1987 Mgr. AJ. Dibjakaryana, Pr menugaskan Romo Sutikno studi master di bidang psikologi konseling di De La Salle University, Manila Filipina. Mgr AJ. Dibjakaryana, Pr mempunyai harapan agar membantu Seminaris Keuskupan Surabaya dalam menemukan panggilannya. Tahun 1991 ia mengakhiri studi dan pulang ke Indonesia dan Tanggal 11 September 1991 menjadi Rektor Seminari Tinggi Interdiosesan Beato Giovanni- Malang sekaligus menjabat sebagai Dewan Konsultores Keuskupan Surabaya. Jabatannya sebagai Dewan Konsultores tidak jarang memberikan pertimbangan strategis dan penting bagi Keuskupan Surabaya. Sebagai Rektor Seminari Tinggi ia harus rajin berpikir untuk menyelesaikan persoalan yang muncul, sebab di Seminari Tinggi terdapat banyak frater dari berbagai daerah yang memungkinkan terjadinya gesekan budaya. Empat hal pokok yang menjadi sorotannya adalah aspek intelektual, kemanusiaan, pastoral, dan spiritual. Karya yang telah dilakukan Romo Sutikno selama menjabat Rektor Seminari Tinggi, antara lain pemugaran kapel Seminari, memelihara sapi dengan biogasnya, pembuatan kolam Seminari, dan menyelamatkan anak didiknya yang terlibat aksi demo menuntut reformasi Indonesia yang dilakukan Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang pada tahun 1998 dengan mengajak anak didiknya mempertanggung jawabkan aksinya kepada pihak STFT Widya Sasana. Hal ini dilakukan karena sebagai rektor ia mempunyai tanggung jawab pada para Uskup dan tidak ingin anak didiknya kehilangan kesempatan menjadi imam karena dikeluarkan dari kampus.

Setelah kurang lebih 10 tahun memimpin Seminari Tinggi Interdiosesan Giovanni XXIII Malang, Mgr. Hadiwikarta, Pr meminta Romo Sutikno melanjutkan tugas belajar lanjut S3 untuk memperdalam psikologi konseling di De La Salle University, Manila, Filipina. Tahun 2005 ia kembali ke Keuskupan Surabaya untuk lebih fokus dalam mengerjakan desertasinya. Ia mengerjakan desertasi selama kurang lebih enam bulan di Sasana Krida Jati Jejer, Trawas.

 

MENJADI GEMBALA KEUSKUPAN SURABAYA

Pada tanggal 23 Desember 2004 Mgr. Yohanes Hadiwikarta, Pr meninggal, saat itu Romo Sutikno, Pr masih berada di Manila untuk menyelesaikan tugas belajarnya. Setelah kematian beliau terjadi kekosongan kursi kegembalaan di Keuskupan Surabaya. Untuk sementara waktu tugas Keuskupan diserahkan dan dijalankan oleh Administrator Diosesan, almarhum Romo Yulius Haryanto, CM. Kosongnya kursi kegembalaan di Keuskupan Surabaya terjadi selama kurang lebih 3 tahun menimbulkan keresahan dalam hati umat Keuskupan Surabaya. Mereka mengharapkan sosok seorang gembala penerus Mgr. Yohanes Hadiwikarta, Pr.

Ada empat alasan mengapa pemilihan uskup begitu lama. Pertama persyaratan jadi Uskup yang berat sesuai dengan kanonik 378, kedua kondisi Bapa Suci yang tidak memungkinkan karena saat itu Bapa Suci Yohanes Paulus II sedang sakit, ketiga trauma surat domba, dan keempat data calon uskup yang diajukan tidak memuaskan.[5]

Pada tanggal 1 April 2007 Bapa Suci menunjuk Romo Sutikno, Pr lewat Pro Nuncio. Saat ditunjuk menjadi uskup, Romo Vincentius sedang berada di Filipina untuk menyelesaikan tugas belajarya. Ketika mendengar bahwa dirinya ditunjuk menjadi Uskup, Romo Sutikno meminta waktu untuk memikirkannya. Beliau meminta doa pada maminya pada masa ini. Pada tanggal 2 April 2007, dengan penuh rendah hati Romo Sutikno menerima tugas barunya. Pengumuman Romo Sutikno baru resmi diumumkan pada saat Misa Krisma bersama Nuncio Duta Besar Vatican, Mgr Leopoldo Girelli.

      

MOTTO KEGEMBALAAN

Mgr. Sutikno Wisaksono ditahbiskan pada tanggal 29 Juni 2007 di Stadion Wijaya Kusuma-komplek Kodikal, AAL, Surabaya. Beliau mengambil motto kegembalaan “Ut vitam abundantius habeant” (Yoh 10:10). Pemilihan motto ini terinspirasi dari motto uskup pendahulunya, yaitu Mgr. Hadiwikarta dengan motto yang diambil dari Yohanes 10: 11, “Gembala yang baik memberikan nyawa bagi domba-dombanya” yang kemudian disingkat Pastor Bonus (gembala yang baik). Dengan motto tersebut Mgr. Sutikno mengundang kita semua bersama Uskup, para imam, awam, biarawan-biarawati untuk mengarahkan seluruh hidup kita pada Kristus, dengan demikian kita akan memiliki hidup dengan segala kelimpahannya. Hidup dengan segala kelimpahannya adalah hidup yang berarti. Jika kita hidup seperti Kristus dan bersama dengan Kristus, hidup kita akan berarti.

Alasan Mgr. Sutikno mengambil motto ini ternyata penuh dengan filosofis. Menurut sumber asli pemakai motto, pemaknaannya tidak sekadar bios (yang hidup) tetapi lebih pada zoe (Yunani) yang dalam filosofi jawa berarti hidup sejati (sejatining urip), hidup manunggal dengan Allah. Kehidupan manusia dipahami sebagai yang ilahi dan duniawi. Secara ilahi meyakini kehidupan iman akan kehadiran Tuhan. Secara duniawi, meyakini bahwa di dunia ini kita mengambil peran sesungguhnya secara baik untuk menebarkan kelimpahan rohani, yaitu kebaikan, kejujuran, kesetiaan dan sebagainya kepada sesama manusia. Pemaknaan ini merupakan cara memusatkan hidup pada Allah, yaitu ketika manusia bekerja dan berkarya hanya demi Allah semata sehingga menjadi Kristus yang lain di dunia.[6]

Ditinjau dari etimologis kata, berkelimpahan berarti membagi dan meneruskan, maka esensi kelimpahan disini adalah meluber, untuk sesama yang lain. Dengan demikian dapat diartikan sebagai hidup yang inklusif-altruistik, terbuka, mementingkan kebaikan dan kebahagiaan bersama, menjadi bagian dari sesama, tidak untuk diri sendiri dan tidak mementingkan diri sendiri (eksklusif/egois).

 

MAKNA DAN LAMBANG (COAT OF ARMS) SANG USKUP.

Lambang penggembalaan ini didesain sendiri oleh Mgr. Sutikno berkolaborasi dengan Rm. Didik, Pr mantan anak binaannya di Seminari Tinggi Interdeosesan Giovanni XXIII Malang. Berikut akan dijelaskan makna lambang dari Sang Uskup Surabaya.

Topi, tali pengikat gembala, dan jumbai bersusun tiga berwarna hijau adalah lambang jabatan episkopal tradisional Gereja untuk menjabat pelayanan uskup. Diisyaratkan jabatan ini adalah pelayanan bukan kuasa (mahkota, sabuk kehormatan, tanda pangkat, dsb). Untaian tali pengikat pinggang gembala domba dirangkai membentuk huruf M, mengisyaratkan perlindungan Bunda Maria sebagai Bunda Gereja dan teladan iman.

Blink

 

“Perisai” jabatan ini digambarkan dengan lambang penampang depan kapal (lambang Gereja sebagai bahtera) berlayar, berziarah, “homo viator” bersama keseluruhan umat manusia menuju pelabuhan akhir kebahagiaan bersama Allah. Bagian-bagian perisai lain menandakan: Tiang perahu salib: sebagai pegangan penentu arah kemana tujuan bahtera (“Mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang,” 1 Kor 11:26), arah dan esensi hidup kristiani.

Jangkar dan tanda salib: jangkar lambang alat menambatkan dan berlabuhnya Gereja. Di tengah arus zaman dan badai dunia Gereja menambatkan diri dengan alat jangkar salib agar tak hanyut dan akhirnya berlabuh kelak di pelabuhan hidup kekal.

Piala, hosti (lambang ekaristi) dan kapas, padi dan daun zaitun (lambang kesejahteraan sosial: sandang, pangan, damai) di kuadran kiri: semua melambangkan sarana dan kekuatan hidup di dunia yang diperoleh dari santapan rohani dari ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup kristiani dan hidup insani berupa sandang pangan yang diperoleh dengan kerja dan kebenaran serta damai karena kepekaan pada nasib yang kecil dan menderita.

Tongkat penggembalaan Kristus dan tugu Pahlawan di kuadran kanan: melambangkan kekhasan arek-arek Suroboyo yang berani berkorban, mengabdi dan melayani tanpa pamrih yang perlu diluruskan dan diarahkan oleh Gembala yang baik yang rela memberikan nyawa bagi domba-Nya.

Pita dengan warna biru laut (lambang arus/gelombang perjuangan hidup) dan tulisan bahasa latin, “Ut Vitam Abundantius Habeant” (kutipan lengkap dari Yoh 10: 10, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan”): mengisyaratkan arah hidup kristiani yang beriman akan Kristus yang memberi hidup ilahi sudah sejak hidup di dunia (bukan sembarang dan asal hidup, Yohanes memakai kata”zoe”, bukan “bios” dalam istilah Yunaninya). Iman yang semakin dewasa (ditengah arus gelombang hidup) menghayati hidup ilahi di dunia sehingga mengalami hidup yang berkelimpahan.

Keseluruhan lambang masuk dalam matriks segitiga cembung lambang kasih dan perlindungan Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus.

 

KEPRIHATINAN DAN CARA MENYIKAPINYA[7]

Motto tahbisan yang diambil, “Ut Vitam Abundantius Habeant” merupakan buah dari keprihatinan Bapa Uskup akan adanya isme-isme (materialisme, hedonisme, sensualisme, seksualisme) yang berkembang dalam masyarakat. Beliau berpendapat bahwa orang yang demikian ini hanya jatuh/terjebak pada rasa yang merupakan kenikmatan sesaat, apatisme[8], mau menang sendiri yang dapat memperkeruh hubungan kemanusiaan. Hal ini dimulai dari para imam yang memakai kolar, yang menunjukkan kesederhanaan dalam pelayanan.

Selain keprihatinan secara umum diatas, Mgr. Sutikno juga memiliki keprihatinan yang lain (secara khusus), yaitu mengenai sekolah Katolik dan kebutuhan pembinaan iman umat akan katekese, kepemudaan,dll. Sekolah-sekolah Katolik sekarang ini semakin sedikit jumlahnya (baik jumlah sekolah maupun jumlah muridnya). Hal itu diperparah dengan kadar kualitasnya yang juga semakin menurun. Masalah ini menjadi keprihatinan yang serius, terutama di wilayah Kevikepan Blitar dan Cepu, daerah yang jauh dari kota besar. Disisi lain, sekolah-sekolah katolik yang sejatinya menghadirkan keutamaan-keutamaan hidup di antaranya kedisiplinan, ketekunan, kerja keras, ketulusan, kejujuran, kesetiaan, serta pengabdian, saat ini kehilangan pamor dan daya tarik serta ikut arus dalam komersialisasi pendidikan, hal ini merujuk pada sekolah katolik yang berada di wilayah perkotaan. Dengan demikian sekolah-sekolah yang ada di kota besar dinilai lebih mengutamakan prestise, dengan adanya sarana dan prasarana yang lengkap dan modern hanya guna memenuhi kebutuhan pasar yang saling bersaing untuk mendapatkan murid, namun dalam hal pembinaan iman dan nilai-nilai hidup masih dipertanyakan.

Dalam hal menjawab kebutuhan pembinaan iman umat akan katekese, kepemudaan, dll, Mgr. Sutikno membentuk Dewan Pastoral Keuskupan (DPK) yang telah dilantik pada hari Minggu, 18 Januari 2009. DPK terbentuk dari perwakilan klerus, suster, dan umat yang akan membantu Uskup untuk memberi pandangan yang menyeluruh (dari berbagai aspek) mengenai situasi-situasi umat. DPK merupakan suatu perangkat yang dibentuk Uskup untuk membantu beliau dalam hal penggembalaan umat di daerah teritorialnya (Keuskupan Surabaya).

Selain kedua masalah pokok diatas, Mgr. Sutikno juga memiliki keprihatinan-keprihatinan kecil yang lain, meliputi umat katolik yang tinggal di stasi-stasi di wilayah pedesaan yang taraf ekonominya rendah sehingga mengakibatkan adanya arus urbanisasi ataupun bahkan migrasi hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi semata.

Dalam menanggapi segala keprihatinan tersebut diatas, Mgr. Sutikno memiliki suatu pemikiran untuk mulai membenahinya tahap demi tahap. Pertama-tama beliau mengklasifikasikan masalah tersebut berdasarkan apa yang perlu, yang penting dan mana yang harus diutamakan lebih dahulu. Dalam hal ini yang menjadi prioritas jangka pendek dari Beliau adalah permasalahan seputar sekolah katolik. Sebagai wujud nyata penanganannya ialah dengan dicanangkannya program tahun pendidikan yang dimulai pada 2 Mei 2008- 2 Mei 2009. Tujuan dicanangkannya tahun pendidikan agar seluruh komponen Gereja Keuskupan Surabaya lebih terfokus untuk membantu menangani masalah pendidikan, misalnya dalam hal pendanaan dengan adanya kolekte kedua disetiap paroki pada minggu pertama setiap bulannya dan hasilnya digunakan untuk pengembangan sekolah-sekolah katolik (sarana & prasarana, gaji guru, dll) khususnya bagi sekolah yang minus.

               

KARYA-KARYA LAIN YANG TELAH TERLAKSANA

Di era kepemimpinannya, Mgr. Sutikno telah menggarap suatu permasalahan yang klasikal, yaitu tentang pembagian kewenangan parokial dan kekhasan tarekat CM dan SVD yang turut berkarya di Keuskupan Surabaya. Masalah ini sebenarnya adalah masalah yang sudah sejak lama ada namun belum ada kejelasan di dalamnya. Dengan otoritasnya sebagai uskup (berdasarkan ius mandatum), Beliau akhirnya menetapkan bahwa CM mengelola 5 paroki (Paroki Kristus Raja, Surabaya; Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria Kepanjen, Surabaya; Paroki St. Vincentius a Paulo, Surabaya; Paroki Santa Maria, Blitar; Paroki Santo Yosep, Kediri), sedangkan SVD mengelola 2 paroki (Paroki Gembala Yang Baik, Surabaya dan Salib Suci Tropodo, Sidoarjo). Dengan adanya pembagian ini diharapkan semakin adanya kejelasan kewenangan parokial antara pihak Keuskupan dengan pihak Konggregasi. Selain itu juga ada paroki-paroki gabungan yang didalamnya terdapat imam diosesan dan imam Konggregasi.

Karya lain yang juga nyata dalam masa penggembalaan Mgr. Sutikno adalah didirikannya Seminari Tinggi Keuskupan Surabaya (Seminari Tinggi Tahun Rohani bertempat di Sasana Krida Jatijejer-Trawas, Mojokerto dan Seminari Tinggi untuk Filsafat dan Teologi bertempat di Widya Mandala, Surabaya) secara mandiri, karena sebelumnya masih tergabung dengan STFT Widya Sasana, Malang. Hal ini sebenarnya telah menjadi pemikiran Bapa Uskup sejak lama guna membenahi pola pembinaan calon imam yang lebih seimbang antara intelektual dan afeksi.

Dalam era penggembalaannya, Mgr. Sutikno juga menetapkan perubahan istilah regio menjadi kevikepan. Perubahan ini dimaksudkan untuk semakin mempersempit suatu wilayah kevikepan, dengan demikian menunjang efektifitas pembangunan iman umat. Hal ini telah disosialisasikan kepada umat pada pelatihan misi yang telah dilaksanakan pada 25-26 Oktober 2008 yang bertempat di Sasana Krida, Jatijejer. Pelatihan misi, yang bertemakan “Walking Together in the Mission” tersebut, mengarah pada pembentukan DPK serta perumusan visi dan misi Keuskupan Surabaya kedepannya.

               

HARAPAN

Saat diwawancari pada tanggal 16 Januari 2009, Beliau mempunyai harapan agar mottonya dapat dihidupi di Keuskupan Surabaya. Hidup berkelimpahan dimaknai sebagai hidup ilahi dan sudah dimulai di dunia ini.  Dipenuhi dengan kesadaran tersebut, kita diharapkan semakin mengarahkan hati untuk bekerja dan berbuah dalam kasih Tuhan. Tuhan bekerja lewat pengalaman sehari-hari baik dalam suka, duka, derita, kehancuran, dan kejatuhan. Dalam mewujudkannya, hendaknya seluruh umat Keuskupan Surabaya menjadi satu persekutuan dalam hidup sehari-hari dan tidak mencari keenakan dan sukses (Rom 8:28), sebab tujuan kita adalah mencapai hidup kekal. Jika hal ini berhasil janganlah dipandang sebelah mata untuk mencari popularitas atau nama besar melainkan demi pelayanan pada Tuhan.

 

REFLEKSI:

Syukur pada Allah kami boleh diberi kesempatan untuk menyelesaikan dan mendalami figur Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Pr. Beliau adalah Uskup pertama yang berasal dari Seminari Menengah Garum dan kota Surabaya. Beliau adalah Uskup ke-6 yang menggembalakan Keuskupan Surabaya yang saat ini masih hidup.

Bagi kami Mgr. Sutikno adalah sosok gembala yang total dalam pelayanan dan berani. Hal itu terbukti dengan langkah-langkah kebijakan yang diambil dalam membina umat dan untuk mengembangkan Keuskupan Surabaya. Dalam masa penggembalaannya yang masih relatif singkat, beliau telah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam tubuh Gereja Keuskupan Surabaya. Hal itu merupakan suatu indikasi bahwa beliau adalah seorang pribadi yang cermat dalam melihat kondisi dan kebutuhan umat serta berani dalam pengambilan keputusan, khususnya terhadap masalah-masalah yang masih menjadi polemik.

Mgr. Sutikno juga merupakan seorang pemimpin yang membawa semangat perubahan. Perubahan yang diusungnya bertujuan untuk membangun Gereja Keuskupan Surabaya ke arah yang lebih baik. Segala usaha yang telah dilakukan, merupakan upaya untuk mewujudkan mottonya yaitu “Ut Vitam Abundantius Habeant”, guna membawa umat kepada hidup yang berkelimpahan.

Dari motto Bapa Uskup, kami belajar semakin mengarahkan hati kepada Kristus, Sang Gembala sejati. Konkritnya dengan berkerja, berkarya hanya demi kemuliaan Allah semata. Berkarya demi kemuliaan Allah merupakan wujud nyata bahwa kita hidup di dalam Kristus, Sang Pokok Anggur yang benar. Sebab diluar Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh 15: 5). Setelah mengenal beliau lebih dalam melalui tulisan ini, semakin menumbuhkan semangat juang dalam panggilan kami untuk melayani Gereja Keuskupan Surabaya.

 

 Uskup dari Masa ke Masa
♦ Mgr. Dr. Theophilus de Backere, CM - “Parare Vias Domini” (Mempersiapkan Jalan-jalan Tuhan)
♦ Mgr. Dr. Michael Verhoeks, CM (1938-1952) - Menimba Optimisme dan Semangat
♦ Mgr. Johannes Antonius Maria Klooster, CM - Menggembalakan dengan Cinta 
♦ Mgr. Aloysius Joseph Dibjakaryana - Kebersamaan Dalam Membangun Keuskupan Surabaya
♦ Mgr. Yohanes Hadiwikarta - “Pastor Bonus” (Gembala Yang Baik)
♦ Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono - Keberanian Seorang Gembala  Menghadapi Tantangan Kegembalaan 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

  1. Heuken, A, SJ., Ensiklopedi Gereja jilid 1 A-B. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. 2004
  2. Jubileum edisi 107. Tahun IX. Februari 2009.
  3. Karyadi, Kanisius., Sang Maestro dari Perak . Sidoarjo: Karol Media. 2007.
  4. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. 2007.
  5. Unio Surabaya., Ut Vitam Abundantius Habeant. Rembang: Sang Timur. 2007.

        


  • [1] Lih. Kanisius Karyadi. Sang Maestro dari Perak . 2007. hlm 30
  • [2] Istilah saat ini adalah KPP, Kelas Persiapan Pertama bagi Seminaris yang masuk setelah lulus SMP. Namun sekarang kelas ini sudah ditiadakan.
  • [3] Masa orientasi ini lebih dikenal dengan sebagai kelas 7 masa itu atau kelas 4 untuk saat ini
  • [4] Pria awam yang diangkat dan dilantik secara resmi oleh Uskup atau pembesar konggregasi iman untuk membantu imam dalam perayaan Ekaristi (membawa persembahan ke meja Altar, membagikan komuni baik dalam misa maupun di luar misa, dan membina para pelayan altar). Lih. A. Heuken, SJ.,Esiklopedi Gereja Jilid I A-B,(Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka,2006), hlm. 69.
  • [5] Lih. Kanisius Karyadi. Sang Maestro dari Perak . 2007. hlm …
  • [6] Ibid., hlm 134.
  • [7] Hasil wawancara dengan Bapa Uskup tgl. 16 Januari 2009 di Sasana Krida, Jatijejer.
  • [8] Cuek, masa sombong. Lih. Poerwardaminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. 2007. hlm 54.