logo

Mgr. Dr. Theophilus de Backere

 

“Parare Vias Domini”

 

“Parare Vias Domini”

(Mempersiapkan Jalan-jalan Tuhan)

Mgr. Dr. Theophilus de Backere lahir di Aardenburg / Eede (Belanda) pada 25 Mei 1882. Bergabung dengan CM pada 10 September 1902 dan menerima tahbisan imamat pada 5 Juni 1909. Sejarah perjalanan hidupnya di Jawa berawal saat Jenderal CM dari Paris mengirim surat edaran tahunan kepada provinsi-provinsi CM di seluruh dunia. Dalam salah satu bagian surat itu, terdapat pengumuman bahwa akan diadakan suatu misi di Hindia Timur, sebuah wilayah yang kelak disebut Indonesia. Misi tersebut diserahkan kepada provinsi CM Belanda dan ada 4 nama konfrater yang akan menjalankan misi tersebut; Dr. Th. de Backere CM, E.E. Sarneel CM, J.H Wolters CM, Th. Heuvelmans CM. Mereka berangkat dari Wernhoutsburg (Belanda) pada 25 Mei 1923 menuju Paris (Genoa), kemudian pada 6 Juni 1923 mereka melanjutkan perjalanan dari Genoa (Italia) menuju Indonesia dan kemudian mereka tiba di Batavia (Jakarta) pada tanggal 30 Juni 1923. Adapun tugas terakhir Romo Th. de Backere sebelum berangkat ke Jawa adalah menjadi pimpinan Seminari Menengah Kongregasi Lazaris di Zundert (Belanda). Bersamaan dengan tibanya mereka di Jakarta, tiba pula Romo Cornelius Klamer, CM mantan misionaris yang bermisi di Tiongkok. Kemudian perjalan dilanjutkan ke Surabaya dan tiba pada tanggal 6 Juli 1923.

 

TANAH MISI DI JAWA PADA MASA ITU

Pada tahun kedatangan mereka, Jawa Timur saat itu berpenduduk ± 7.000.000 jiwa (wilayah misi yang diserahkan kepada CM yang meliputi karesidenan Surabaya, Kediri dan Rembang). Diantaranya ± 4.600 orang memeluk agama Katolik (orang Indo-Eropa dan Cina), sementara pribumi Jawa Katolik hanya ada 40 orang dan di Surabaya hanya ada 2 gereja dan 4 kapel. Pada sekitar tahun 1920’an, di Jawa terdapat kemerosotan ekonomi dan maraknya agitasi[1] kelompok komunis. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi Romo de Backere. Sebelum kedatangan CM, wilayah Jawa masih dilayani oleh Serikat Yesus yang sudah berkarya sejak Juli 1859 dan pada Juli 1923, dilangsungkan serah terima misi dari romo-romo Yesuit kepada para imam CM. Sejak saat itu Mgr. Th. de Backere CM menjabat sebagai Superior Religiosus (Pimpinan romo-romo Lazaris), Romo Kepala Paroki Bunda Maria (dibangun pada tahun 1900) dan Superior Missionis (semacam Vikaris Episkopalis) untuk wilayah Surabaya, sebagai wakil Vikaris Apostolik[2] Jakarta. Jabatan yang terakhir ini sejak 16 September 1928, ditingkatkan menjadi Prefek apostolik[3] dari Prefektur Apostolik[4] Surabaya, yang baru resmi didirikan pada tanggal 15 Februari 1928. Untuk selanjutnya ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik[5] dan diresmikan pada 16 Oktober 1941. Kemudian seiring dengan perkembangan jumlah umat, tenaga dan karyanya kedepan, kedudukan Vikariat ini ditingkatkan lagi menjadi Keuskupan Surabaya dan diresmikan pada 3 Januari 1961.

Wilayah karesidenan Madiun dengan luas mencapai 5882 km2, yang tadinya masih dilayani oleh Yesuit, juga digabungkan dengan wilayah Prefektur baru itu. Dengan adanya serah terima ini, ada suatu situasi yang lebih mandiri dan memungkinkan untuk disusunnya rencana sesuai dengan keadaan situasi setempat, terutama pengembangan dalam bidang :

  1. Pembangunan fisik ; bangunan-bangunan Gereja, Pastoran, Sekolah, Asrama, Biara dan sarana pendukung lainnya.
  2. Penempatan yang lebih merata para tenaga misionaris ; Imam, bruder, suster dan tenaga awam lainnya.
  3. Berdirinya banyak organisasi Katolik di segala bidang, seperti ; organisasi keagamaan, sosial dan kemasyarakatan yang terkoordinasi melalui Katholieke Centraal sebagai induk organisasi bagi 51 Organisasi Katolik di Surabaya.
  4. Rintisan menuju Indonesianisasi dengan mengarah baik kepada pribumi Jawa maupun keturunan Tionghoa.
  5. Bertambahnya dalam jumlah yang cukup besar para biarawan dan biarawati baru.
  6. Didirikannya yayasan-yayasan sebagai badan hukum yang mantap, seperti ; Yayasan Don Bosco, Yayasan Melania, Yayasan Yohanes Gabriel.
  7. Penerbitan majalah “De Katholieke Gids” yang dimulai pada tanggal 11 November 1928 dan berlangsung terus dengan penuh semangat pewartaan lewat media massa. Majalah “De Katholieke Gids” adalah majalah mingguan yang menerbitkan berita-berita yang harus diketahui orang Katolik. Antara lain berita-berita tentang keadaan dan kemajuan karya Gereja, mengenai pendidikan dan pengajaran; bidang-bidang karya-cinta Katolik, bidang social dan politik. Majalah ini terkadang juga mengeluarkan kritikan yang sangat tajam pada lawan-lawan kepentingan golongan Katolik dan Gereja. Tetapi majalah ini juga banyak menulis dan menyiarkan berita-berita positif; tafsir dan penjelasan ajaran Katolik; menggugah hati dan menganjurkan orang supaya masuk ke dalam perkumpulan-perkumpulan Katolik serta artikel-artikel tentang berbagai perayaan dan kejadian lain yang menimbulkan rasa bangga akan Gereja dan agama di hati umat Katolik. Akan tetapi majalah  “De Katholieke Gids” ini harus terpaksa berhenti pada Maret 1942 karena Perang Dunia II. [6]

Kesadaran bahwa Jawa adalah tempat misi sangat dipegang kuat oleh Mgr. Th. de Backere CM. Baginya, misi berarti : Menjadikan semua orang murid Kristus lewat pembaptisan, karena memang jumlah umat Katolik yang ada pada saat itu masih cukup kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada. Maka untuk bisa masuk ke dalam masyarakat, hal pertama yang beliau pelajari adalah mempelajari bahasa jawa sebagai bahasa utama dan sekaligus mempelajari bahasa melayu sebagai bahasa lokal.

 

TANTANGAN DAN PERJUANGAN

Banyak tantangan yang muncul dan harus dihadapi dalam menjalankan misinya, antara lain wilayah pelayanan yang cukup luas (meliputi karesidenan Surabaya, Kediri dan Rembang, terutama di daerah-daerah pedesaan dan pedalaman). Iklim di Indonesia yang kurang bersahabat (panas) juga menjadi tantangan tersendiri, karena perbedaan iklim yang ada menyebabkan daya tahan para misionaris sering melemah sehingga sering sakit-sakitan. Namun semuanya itu tidak menjadi halangan untuk terus maju. Sebuah surat dari Mgr. De Backere secara jelas menunjukkan perjuangannya. Berikut ini cuplikan surat Mgr. De Backere:

“Dengan rendah hati saya meminta maaf karena hambamu ini begitu lambat mengirim kabar perihal keadaan kami. Tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa sejak kedatangan kami pekerjaan itu begitu melimpah, kerapkali bahkan sangat membebani. Datang ke dalam suatu misi yang telah terorganisir, untuk menerimanya dan kemudian melanjutkannya, mengandung kemudahan-kemudahan, tetapi juga disertai kesulitan-kesulitan besarnya. Sebagai akibatnya, kami (sebagai tenaga-tenaga misionaris baru) kurang lebih tidak bebas mengerjakan tugas-tugas yang dilakukan para pendahulu kami. Dari lima konfrater pertama yang datang hanya dua orang (Rm. Wolters dan Rm. Heuvelmans) yang terus bertahan dengan tegar terhadap pengaruh iklim tropis. Rm.Klamer, Rm. Sarneel dan hambamu ini harus membayar upeti yang berat entah karena demam, entah karena desentri ataupun karena penyakit kuning”.[7]

Dengan semangat yang tak kenal lelah, Mgr. Th. de Backere CM membuka sekolah-sekolah sebanyak mungkin. Pada tahun 1925, di Surabaya dibuka sekolah yang pertama. Sekolah pribumi yang kedua menyusul di Blitar pada tahun 1926. Meskipun jumlah murid pada tahun-tahun pertama masih cukup sedikit, beliau tetap bertahan dan untuk memperkuat sekolah-sekolah yang ada maka kongregasi-kongregasi religius yang ada juga dilibatkan untuk misi pribumi ini. Mengapa mendirikan sekolah? Sesuai dengan motto yang dijalankan oleh beliau, bahwasannya melalui sekolah-sekolah pertobatan orang-orang menjadi murid Kristus akan mudah dijalankan dan hal ini sesuai dengan konteks misi saat itu, sekaligus juga sebagai upaya untuk memperkenalkan Tuhan yang benar dalam kehidupan orang Jawa, di mana kondisi masyarakat Jawa pada saat itu lebih animis[8] daripada agamis[9]. Seperti pada suatu waktu saat Romo Backere mengunjungi Bromo karena tertarik pada kabar bahwa di daerah tersebut telah terdapat sekolah, beliau melihat bahwasannya di daerah itu terdapat banyak aliran kepercayaan animisme. Kebanyakan orang menyembah roh-roh hutan, jurang, burung yang berkicau di pagi hari. Orang-orang Tengger mempersembahkan bunga, dupa di pohon-pohon tertentu, begitu pula kepada binatang-binatang.

Selain dipakai sebagai tempat pengajaran, sekolah sekaligus juga dipakai sebagai sarana untuk menjalin relasi harmonis dengan orang-orang Jawa. Sekolah pertama di Wonokromo berkembang menjadi kompleks sekolah yang besar yang pada tahun 1941 mempunyai murid lebih dari 1100 siswa.

Beliau menyadari sepenuhnya bahwa semua kegiatan tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan dana yang memadai. Sejak masih menjabat sebagai imam biasa, beliau sudah mulai menggalang dana untuk keperluan misi. Pada tahun 1933, beliau cuti ke Belanda dengan membawa serta tiga pemuda Jawa lulusan seminari menengah Yogyakarta untuk melanjutkan studi pada Seminari Tinggi Lazaris di sana sebagai salah satu usaha untuk menyiapkan juga imam-imam pribumi dan hanya ada satu pemuda saja yang berhasil mencapai Imamat. Beliau adalah Rm. Ign. Dwidjasoesastra CM, yang ditahbiskan pada bulan Juli 1940. Pada tahun 1933-1934 Prefek Mgr. Th de Backere, CM cuti ke Eropa. Di Roma diadakan pembicaraan dengan Propaganda Fide[10], dari teman-teman dan kenalan beliau mengusahakan dana dan sumbangan untuk usaha karya misi di Jawa. Berikut ini sebuah kutipan surat yang ditulis Mgr. De Backere kepada pembaca Majalah misi di Belanda “St. Vincentius A Paulo. Missietijdschrift der Lazaristen”

“Sebagai Prefek Apostolik saya tak punya tongkat. Tetapi tongkat pengemis selalu kusandang sejak lama. Bagi kami di sini para Misionaris saat ini juga merupakan masa yang sangat sulit. Pemotongan-pemotongan demi penghematan keuangan datang bertubi-tubi, dan kami berada di ambang kemiskinan. Kami sangat-sangat banyak kekurangan uang untuk melanjutkan karya misi kami. Belum pernah kami mengalami kecemasan yang sedemikian besar. Sejak 1928 dan kemudian 1929 sampai 1931 kami maju begitu pesat dengan sekolah-sekolah pribumi, landasan harapan misi kami. Sekarang terancam dihentikan dan bahkan harus ditutup, kalau tidak segera ada bantuan yang datang. Apa itu artinya, hanya setiap Misionaris yang sudah bertahun-tahun berjerih payah dapat mengetahui.

Pada saat ini saya berada di Madiun di tempat Pastor Kock. Dia dengan susah payah, bekerja sama dengan para Suster Ursulin dan berkat bantuan sahabat dan para penderma di Holland, mendirikan sebuah HIS untuk laki-laki. Ada kira-kira 90 putra Jawa yang belajar di sini dan di antara mereka ada beberapa yang sudah Katolik. Suatu karya baik yang dimulai dengan semangat yang giat itu adalah indah. Sekarang untuk bertahan saja adalah sesuatu yang hampir di luar kemampuan manusia. Pastor Kock dihadapkan pada dua kesulitan besar, yang tanpa bantuan segera dan banyak, sulit diatasi. Kemudian dia terpaksa akan menutup sekolah, meskipun dengan hati yang hancur, merupakan keharusan yang tak dapat dihindarkan lagi. Maka dari itu, dengan sangat saya mohon bantuan kepada para penderma dan sahabat-sahabat Katolik di Holland. Adapun kesulitan yang kami hadapi adalah: sekolah pribumi ini diadakan didua bangunan yang reot, yang satunya sudah hampir roboh. Untuk membeli tanah dan bangunan sekolah yang sangat sederhana dengan enam ruangan, dibutuhkan dana sejumlah 7 sampai 8 ribu gulden. Bantuan yang besar yang ditawarkan para Suster di Madiun selama ini untuk memelihara sekolah pada bulan Juni mendatang terpaksa harus dihentikan. Kesulitan yang lain adalah harus menggaji empat guru dan ini adalah jumlah yang tidak kecil tiap bulan yang melampaui kemampuan”.[11]

Untuk lebih mendekatkan diri dengan orang-orang Jawa, beliau sendiri mengunjungi sekolah-sekolah yang ada dan selalu bersikap kebapakan dan menyenangkan bagi bapak dan ibu guru pribumi. Terhadap pegawai-pegawai pemerintah Jawa, ia juga sangat ramah. Beliau juga membawa kebudayaan rohani kepada penduduk yang sebagian besar animis melalui pengajaran dan pendidikan, serta melalui kontak dengan para orang tua murid pada malam-malam pertemuan orang tua dan berkunjung ke rumah-rumah, melalui kursus-kursus ajaran umum Kristen, melalui pelajaran-pelajaran agama kepada mereka yang memintanya. Dengan cara-cara tersebut, Mgr. Th. de Backere berusaha “menyiapkan jalan-jalan Tuhan” di desa-desa yang padat penduduk.

Setelah mendirikan sekolah-sekolah, kemudian beliau juga mendirikan gereja-gereja dan kapel-kapel yang seluruhnya berjumlah lebih dari 10 bangunan yang lebih banyak terdapat di daerah-daerah daripada di kota-kota besar. Salah satu pembangunan yang paling mencolok adalah Gereja Puhsarang yang merupakan suatu adaptasi pada kebudayaan dan tradisi Hindu. Bukannya Eropanisme, tetapi beliau ingin menghidupkan kembali budaya dan tradisi.

Selain untuk orang-orang pribumi, Mgr. Th. de Backere juga menjadi pelopor misi di antara orang-orang Cina. Enam sekolah Cina didirikan pada waktu beliau menjabat. Untuk orang-orang Cina, secara garis besar, beliau menyusun sendiri sebuah katekismus dalam bahasa Melayu sederhana. Beliau sendiri juga memberikan pelajaran, kadang-kadang dari rumah ke rumah, sekaligus juga menerimakan upacara permandian kepada calon-calon Jawa dan Cina.

Salah satu karya sosial yang juga nampak dan masih bisa dinikmati sampai sekarang adalah diresmikannya Rumah Sakit Katolik RKZ Santo Vincentius A Paulo di Surabaya pada 28 Oktober 1925, yang saat ini dikelola oleh suster-suster S.Sp.S. Pada tahun yang sama pula didirikan Yayasan Yohanes Gabriel yang nantinya akan mengurus aktivitas pendidikan di Prefektur Surabaya. Meresmikan Panti Asuhan “Asrama Putri Katolik St. Ursula” pada 28 Maret 1926. Di bidang sosial, ia mendorong berdirinya serikat-serikat pekerja dan perkumpulan-perkumpulan sosial baik bagi bangsa Indonesia maupun bangsa Eropa. Beliau juga sering berjuang di banyak front secara bersamaan ; untuk sekolah Katolik, pers Katolik, melawan komunisme dan nasional-sosialisme, juga melawan liberalisme[12] dan pemerasan kolonial[13]. Pada saat tertentu, beliau juga melibatkan perkebunan-perkebunan sebagai penyangga misi. Namun hal ini kurang begitu berhasil karena dari pihak direksi tidak menghendaki adanya sekolah di daerah perkebunan.

Situasi yang tidak menentu pada saat itu, mengakibatkan sulitnya menentukan batasan yang pasti antara agama, keadilan sosial dan politik. Dia selalu berusaha memasukkan dasar-dasar Kristiani tentang keadilan sosial dan cinta kasih. Untuk itu, dia sangat simpatik terhadap figur besar Dr. Soetomo dengan “Boedi Oetomo”nya dan Perkumpulan Studi Indonesia di kemudian hari. Namun beliau curiga terhadap mereka, yang dalam kekecewaan dan sangat ekstrim menolak segala bentuk kerjasama, curiga terhadap Sarekat Islam yang hampir selalu berada di bawah pengaruh Rusia dan mempropagandakan nasionalime komunis. Mgr. Th. de Backere juga anti terhadap VOC yang di tahun-tahun 1928 dan 1929 muncul dan menyusupi politik kolonial lama serta melakukan banyak kejahatan dengan pembaharuan oposisi pertentangan nasional dan suku bangsa yang pada akhirnya memunculkan konflik dengan Gereja.

 

PARARE VIAS DOMINI

Prefek Mgr. Th. de Backere mencurahkan segala tenaga dan kemampuannya dengan didasari semangat yang terungkap dalam mottonya “Parare Vias Domini” (Mempersiapkan Jalan-Jalan Tuhan). Pada tanggal 24 Desember 1936, beliau meninggalkan wilayah misi Surabaya dan berangkat ke negeri Belanda karena sakit. Mgr. Th de Backere meninggal di Rumah Sakit Veghel Holland pada tanggal 4 Juli 1945.

Hal-hal yang telah dicapai oleh Mgr. Th. de Backere selama menjadi Prefektur Apostolik di Surabaya :

  1. Sejak lama sebelumnya, kegiatan gereja terarah terutama kepada orang-orang bangsa Belanda. Data dari tahun 1900 menunjukkan bahwa jumlah umat paroki Surabaya ada 3.465 orang, diantaranya 2.608 tinggal di dalam kota, sedangkan jumlah umat pribumi ada 10 orang. Pada tahun 1921 tercatat de tempat yang sama ada 25 orang umat pribumi dan 10 orang umat timur-asing. Pada tahun 1928 ada sejumlah 10.345 umat, sedang 511 orang non-Eropa diantaranya. Pada tahun 1923 ada 14.637 umat, dengan 1.707 non-Eropa, sedangkan pada tahun 1938 ada 16.239 umat, dengan 2.738 non-Eropa. Dari angka-angka tersebut di atas tampak jelas bahwa mayoritas umat adalah tetap orang Eropa, meskipun nampak jelas juga bahwa pertumbuhan umat non-Eropa berjalan jauh lebih pesat.
  2. Pusat kota Prefektur Surabaya adalah sebuah kota dengan 400.000 jiwa, kota perdagangan besar di Indie, bergaris tengah 18 sampai 20 km. Prefektur Apostolik mencakup Karesidenan Surabaya, Kediri, Rembang dan Madiun yang luasnya lebih besar dari Nederland. Pada tahun 1923 masih hanya 4500 orang Katolik. Kemajuan itu berkat bertambahnya jumlah imam yang pada waktu itu hanya 5, sekarang 23 dan para bruder dan suster, yang berkarya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Dengan umat Katolik termasuk orang Eropa, lebih-lebih Indo-Eropa dan beberapa ribu pribumi dan orang Cina. Dari orang-orang Indo-Eropa, kira-kira 60 sampai 70 persen Katolik.
  3. Perkembangan berbagai sumber daya :
    1. Sumber daya manusia berkembang pesat meliputi ; jumlah rohaniwan (para imam Lazaris), biarawan (para bruder Aloysius (CSA) dan para frater Bunda Hati Kudus (BHK) dan para biarawati (para suster Ursulin (OSU), Abdi Roh Kudus (S.Sp.S) dan Putri Kasih (PK) serta sejumlah besar awam dari berbagai profesi yang penuh dengan semangat dan dedikasi.
    2. Sumber daya keuangan juga berkembang pesat, berkat dukungan dari berbagai pihak terutama para biarawan dan biarawati.
    3. Pengelolaan kegiatan yang lebih tertib dengan mengikuti pola perkembangan “hidup katolik di negeri Belanda” melalui organisasi-organisasi di semua bidang dan lembaga-lembaga yang berbadan hukum, termasuk di dalamnya media massa (pers).
    4. Rintisan dini, sejak awal, usaha untuk dapat mendidik para imam pribumi.

Mgr. Th. de Backere CM juga melalui tahap demi tahap, sesuai dasar-dasar Kristiani berusaha menjembatani semua macam dan jenis perselisihan unutuk “menyiapkan jalan-jalan Tuhan” di kota-kota dan desa-desa, serta membantu mendirikan Gereja Tuhan di Jawa.

REFLEKSI :

Dari Mgr. De Backere ini, kami dapat belajar banyak hal terutama dalam memperjuangkan nilai-nilai panggilan hidup menjadi Imam. Tempat misi yang jauh, minusnya dana , wilayah misi yang luas, kurang personil imam, perbedaan budaya, iklim yang panas tidak menyulitkan langkah beliau untuk terus berkarya karena beliau melihat adanya harapan akan suatu perubahan pada diri kaum muda di tanah misi lewat sekolah-sekolah (misi utama Mgr. Th. de Backere). Semua itu karena kecintaannya pada daerah misi yang dia tempati. Kecintaan akan pelayanan yang begitu mendalam dengan daerah misi membuat semua halangan yang ada menjadi sebuah tantangan yang bisa dikendalikan. Hal ini juga keyakinan beliau pada penyelenggaraan Tuhan atas semua misi yang dijalankannya terutama di Indonesia. Semangat yang tanpa pamrih dan semangat juang yang berapi-api membuat segala yang direncanakan dapat berjalan dengan baik. Semua itu membuat kami bisa memetik pelajaran berharga tentang menjadi Imam. Menjadi Imam berarti siap menjadi pelayan di manapun dan tak peduli pada situasi apapun. Menjadi Imam berarti taat bila ditugaskan dalam situasi apapun dengan tetap percaya dan berserah pada penyelenggaraan Ilahi, seperti yang telah disabdakan oleh Yesus sendiri : “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani(Mat 20:28)

Salah satu kekuatan pelayanan pastoral dari Mgr. De Backere adalah dengan mengadakan kunjungan kepada umatnya agar bisa lebih dekat dan semakin mengenal mereka meskipun jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Dengan kunjungan itu, beliau  lebih mudah memahami mereka secara personal, agar dapat memberikan nilai-nilai Kristiani sesuai dengan karakteristik masing-masing. Beliau tidak hanya berhenti pada “khotbah” semata, tapi langsung menunjukkan diri lewat sikap dan tindakan. Iman yang beliau miliki ter-realisasikan dalam semua tindakan yang dia berikan, sama seperti ungkapan Rasul Yakobus, “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati”. (Yak 2:26)

Kami juga bersyukur karena mendapatkan Mgr. seperti beliau. seseorang yang memiliki pandangan yang luas tentang misi dan pembangunan keuskupan. Karena beliau, keuskupan Surabaya memiliki pondasi yang kokoh untuk selanjutnya bisa menjadi keuskupan seperti sekarang, dengan memiliki berbagai sekolah Katolik, rumah pembinaan, Rumah sakit, dll. Memang semua ini tak lepas dari CM yang berkarya di Surabaya, dan karena karya mereka inilah Keuskupan Surabaya bisa menjadi seperti sekarang. dan sekarang tugas kami yang harus merawat dan semakin mengembangkan Keuskupan ini.

 

Oleh: Fr.Yustinus Astanto & Fr. Stevanus Findi Arianto

 

 Uskup dari Masa ke Masa
♦ Mgr. Dr. Theophilus de Backere, CM - “Parare Vias Domini” (Mempersiapkan Jalan-jalan Tuhan)
♦ Mgr. Dr. Michael Verhoeks, CM (1938-1952) - Menimba Optimisme dan Semangat
♦ Mgr. Johannes Antonius Maria Klooster, CM - Menggembalakan dengan Cinta 
♦ Mgr. Aloysius Joseph Dibjakaryana - Kebersamaan Dalam Membangun Keuskupan Surabaya
♦ Mgr. Yohanes Hadiwikarta - “Pastor Bonus” (Gembala Yang Baik)
♦ Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono - Keberanian Seorang Gembala  Menghadapi Tantangan Kegembalaan 

 


DAFTAR PUSTAKA :

  1. Tondowidjojo, John, CM., “Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya Jilid 1”. Surabaya:  Yayasan Sanggar Bina Tama, 2000.
  2. Tondowidjojo, John, CM., “Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya Jilid 3A”. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 2001.
  3. Boelaars, Huub J.W.M, OFM Cap, Dr., “Indonesianisasi : Dari Gereja Katolik Di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius, 2005.
  4. Tondowidjojo, John, CM., “Menapak Jejak Misionaris Lazaris 1923-1935”. Surabaya:  Yayasan Sanggar Bina Tama, 199
  5. Majalah Mingguan HIDUP, “Suatu Keuskupan, Uskup dan Imam Prajanya”. No. 14. Tahun ke XXXVI, Jakarta, 1982, hal. 38-39.
  6. Riyanto, Armada, CM., “80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia”. Surabaya: CM Provinsi Indonesia, 2003.
  7. Heuken, A, SJ., “Ensiklopedi Gereja 7”. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
  8. Heuken, A, SJ., “Ensiklopedi Gereja 9”. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2006.
  9. Poerwawadarminta, W.J.S.,”Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
  10. Sejarah Gereja Katolik Indonesia jilid 3b. Jakarta. Bagian Dokumentasi     Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia.
  11. ”Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga”. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.

 


  •  
  • [1] Hasutan yang dilakukan oleh Komunis pada saat itu. W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. hlm. 11. Kol. 1.
  • [2] Seorang Imam yang ditahbiskan oleh Uskup untuk memimpin sebuah Vikariat Apostolik atas nama Sri Paus. A Heuken, SJ. Ensiklopedi Gereja 9. Surabaya: Yayasan Cipta Saloka, 2006. hlm. 94.
  • [3] Pemimpin sebuah prefektur Apostolik (seorang Imam) yang diangkat Konggregasi untuk penginjilan di Roma. Biasanya tidak memperoleh tahbisan Uskup. A Heuken, SJ. Ensiklopedi Gereja 9. Surabaya: Yayasan Cipta Saloka, 2006. hlm. 94. Kol. 2.
  • [4] Suatu wilayah Gerejani di wilayah misi yang baru mulai berkembang dan diharapkan pada kemudian hari dapat berdiri sendiri sebagai Keuskupan.
  • [5] Wilayah dalam Gereja Katolik yang belum cukup berkembang menjadi sebuah Keuskupan yang swadaya. A Heuken, SJ. Ensiklopedi Gereja 9. Surabaya: Yayasan Cipta Saloka, 2006. hlm. 94. Kol. 1.
  • [6] Sejarah Gereja Katolik Indonesia, oleh. P Bonekamp, hal. 965-966.
  • [7] Ditulis oleh Rm Backere tgl 29 Juni 1925. Dikutip dari: Armada Riyanto, CM. 80 CM di Indonesia. Surabaya: CM provinsi Indonesia, 2003. hlm. 50
  • [8] Orang yang menganut paham animisme.
  • [9] Bersifat agama.
  • [10] Nama lama Konggregasi untuk Penginjilan di Kuria Roma. Didirikan oleh Gregor XV pada 1622. Instansi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan para Misionaris, memajukan pendidikan Imam pribumi, memelihara kebudayaan-kebudayaan bukan Barat. Konggregasi ini berusaha memisahkan pewartaan dari politik Kolonial dengan menjauhkan campur tangan Negara dalam urusan misi. A Heuken, SJ. Ensiklopedi Gereja 7. Surabaya: Yayasan Cipta Saloka, 2005. hlm. 59. Kol. 2.
  • [11] Surat Mgr. De Backere bulan Maret 1932. Dikutip dari: Armada Riyanto, CM. 80 CM di Indonesia. Surabaya: CM provinsi Indonesia, 2003. hlm. 95.
  • [12] Aliran paham ketatanegaraan dan ekonomi, yang dulu ketatanegaraan bercita-cita demokrasi dan dulu ekonomi menganjurkan kebebasan berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh turut campur). W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. hlm. 700. Vol. 2.
  • [13] Berkenaan atau pertalian dengan sifat-sifat jajahan. W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007. hlm. 606. Kol. 2.