logo

Mgr. Aloysius Joseph Dibjakaryana

"Kebersamaan dalam membangun keuskupan surabaya"

Mgr. Dibjakaryana lahir pada tanggal 25 Desember 1917 di Wlingi, Blitar, nama kecil beliau Toewardjo.  Ayahnya, Bapak Aloysius Kertoprawira adalah seorang pedagang batik di Wlingi. Mgr. Dibjakaryana menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Ongko-loro Wlingi, sampai kelas III kemudian melanjutkan ke Hollands Indische Scholl (HIS) Blitar selama 4 tahun dan berlanjut di Hollands Indische Scholl (HIS) Muntilan-Magelang. Setelah menyelesaikan sekolah di HIS beliau memutuskan untuk masuk seminari, menjadi seorang Imam.

 

PERJALANAN DALAM KASIH TUHAN

Awal ketertarikan untuk menjadi imam berawal saat sedang duduk-duduk di muka sekolahnya (HIS). Saat itu beliau melihat seorang Romo Belanda agak tua, berjubah kotor, berpayung hitam, jalannya agak sempoyongan yang baru saja turun dari desa melayani umatnya. Pengalaman itu membuat Mgr. Dibjakaryana tersentuh untuk menjadi seorang Imam: “Saya ingin menjadi Pastor seperti itu”. Dan sejak saat itu beliau tidak pernah ragu-ragu lagi. Tapi ayahnya tidak pernah mendukung dan berkata, “Jadi pastor kan berarti tidak punya anak, tidak punya keturunan, tidak punya gaji. Padahal ayah telah mengeluarkan uang banyak!”. Namun beliau tetap teguh dengan pendiriannya untuk menjadi imam meskipun tidak mendapat restu dari ayahnya. Pendidikan sebagai calon imam beliau tempuh di Seminari Menengah, Yogyakarta (1933-1939),  kemudian melanjutkan studinya di Seminari Tinggi Mertoyudan, Yogyakarta (1939-1945) untuk menjadi Imam Projo. Motivasi Mgr. Dibjakaryana untuk menjadi seorang Imam Projo Surabaya adalah karena beliau adalah ingin membaktikan diri di Vikariat Surabaya yang menjadi tanah kelahirannya. Beliau menjadi lebih mantap dengan pilihan itu, karena pada saat itu di dalam Vikariat Surabaya belum ada Imam Projo. Kecintaannya akan didikan Tanah Air dari pada didikan negara asing juga menjadi satu motivasi tersendiri bagi beliau.

Mgr. Dibjakaryana ditahbiskan sebagai imam Projo pertama Keuskupan Surabaya oleh Mgr. A.Soegijopratono, SJ di Semarang pada tanggal 6 Februari 1945. Ayahnya yang semula tidak menyetujui pilihan itu kini menjadi bangga  saat menyaksikan anaknya menjadi imam dan dengan bangga ayahnya berkata, “Ini anakku yang tidak memberi uang tetapi surga!”. Sejak ditahbiskan menjadi imam Mgr. Dibjakaryana menderita sakit paru-paru yang membuat beliau harus sering beristirahat.

Paroki-paroki yang pernah menjadi tempat tugas beliau sebelum menjadi Uskup adalah: Yogyakarta, Blitar, Kediri, Madiun, dan Surabaya. Pengalamannya bersama umat lewat relasi yang dibangun dengan akrab serta  kecintaan pada paroki tempat tugasnya adalah sebuah berkat Tuhan yang menyertai beliau. Mgr. Dibjakaryana yang sangat kebapakan membuat banyak umat merasa nyaman jika berada di dekatnya. Banyak umat yang memberikan kesan positif akan kehadiran beliau. Sikap kebapaan (memperhatikan umat, calon Iman, dan Imam) dan baik hati, mandiri dan mengajak umat untuk juga memikirkan Gereja, mementingkan kerja sama, berdialog dengan para karyawan mengenai suatu masalah yang perlu pemecahannya, setiap kali mengadakan acara ulang tahun Mgr. Dibjakaryana selalu meminta doa dari karyawannya. Tetapi memang Tak ada gading yang tak retak. Dalam karya pelayanan beliau juga menyadari ada juga umat yang tidak senang entah karena kekurangan beliau atau salah paham maupun salah mengerti. 

Beliau diangkat menjadi Vikaris Jenderal Keuskupan Surabaya mendampingi Mgr. Klooster, CM pada tanggal 2 Agustus 1964. Kemudian, Mgr. Klooster yang selama hampir tiga puluh tahun menjadi Uskup mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 16 Desember 1982. Jabatan sebagai Uskup Surabaya kemudian dilanjutkan oleh Mgr. Dibjakaryana, pr, dengan surat pengangkatan tertanggal 2 April 1982. Mgr. Dibjakaryana ditahbiskan menjadi Uskup pada tanggal 16 Desember 1982 oleh Justinus Kardinal Darmajuwana, Uskup Agung Semarang, didampingi oleh Mgr. F.X. Hadisumarta, O.Carm, Uskup Malang dan Mgr. J. Klooster, CM. di Gelora Pancasila Surabaya, ketika usia beliau sudah mencapai 65 tahun. Dalam sebuah kesempatan wawancara, Beliau mengaku keberatan ketika diangkat menjadi Uskup Surabaya. Beliau takut mengecewakan karena melihat kondisi kesehatan yang tidak baik. Akan tetapi Pro-Nuncio[1] mengatakan: “Anda mendapat dukungan yang cukup kuat! Anda kuat menjadi Uskup minimal 10 tahun”. Karena masih melihat keraguan, Pro-Nuncio meminta Mgr. Dibjakaryana untuk mempertimbangkan keputusan itu dalam doa. Setelah selesai dengan doa beliau berkata: “Dengan bantuan Tuhan saya bersedia”. Oleh Paus Yohanes Paulus II, Keuskupan Surabaya disebut sebagai Gereja yang sedang berkembang. Oleh karena itu, dalam Bulla Kepausan “Dei Sancuine Redemptis”[2] mengenai pengangkatannya sebagai uskup Surabaya, Mgr. Dibjakaryana terpilih menjadi Uskup Surabaya karena dinilai sebagai pribadi yang saleh, giat dalam melayani jiwa-jiwa, bijaksana, dan berpengetahuan cukup.

Dalam karya kegembalaannya, Mgr. Dibjakaryana mengatakan bahwa dirinya bukanlah kuda yang tangkas trengginas (lincah dan gesit), tetapi beliau menggambarkan dirinya seperti keledai yang dititih Gusti Yesus (dituntun Tuhan Yesus). Banyak kekurangan, kelambanan. Beliau bersyukur banyak yang mengerti dan karena itu beliau membutuhkan kerjasama dari semua pihak baik imam maupun umat di Keuskupan Surabaya.

 

UT OMNES UNUM SINT

Jumlah umat yang sudah mulai bertambah, membuat Mgr. Dibjakaryana memiliki harapan untuk menyatukan umat yang semakin berkembang dan bertambah tersebut serta menyatukan imam-imam diosesan dan kongregasi dalam suatu hubungan kerjasama pastoral. Selain menyatukan interen Gereja, Mgr. Dibjakaryana juga mempunyai maksud untuk mengusahakan persatuan dengan masyarakat agama lain dan dengan pemerintah. Dari realitas yang terjadi di Keuskupan Surabaya itu, Mgr. Dibjakaryana mengambil motto ”Ut Omnes Unum Sint” (Supaya Mereka Menjadi Satu) dari Doa Yesus untuk para murid. Motto yang diambil oleh Mgr. Dibjokaryana bisa dikatakan suatu pemikiran tindak lajut atau kelanjutan dari motto Uskup sebelumnya, Mgr. Klooster yaitu “Evangelizare Divitas Christi” (Mewartakan Kekayaan-Kekayaan Kristus). “Yang menjadi rencana pokok ialah umat katolik bersatu dalam hidup dan karya. Bersatu tidak berarti hanya rukun saja, tetapi bersatu yang dinamis dan menciptakan persatuan yang lebih sempurna dengan agama-agama lain, sesuai dengan sikap dan perutusan Gereja Katolik (Berdialog)”. [3]

 Tindakan atau usaha nyata yang dilakukan Mgr. Dibjakaryana untuk mewujudkan motto tersebut adalah dengan mengadakan kujungan-kunjungan pastoral ke paroki-paroki dan stasi-stasi di Keuskupan Surabaya. Begitu pula menjalin hubungan yang akrab dengan para Pejabat daerah dan tokoh-tokoh agama. Ada pejabat yang terkesan, ”Saya kalau dikunjungi Bapa Uskup, rasanya sejuk sekali” dalam setiap akhir kunjungan, Mgr. Dibjakaryana selalu menitipkan umat Katolik kepada mereka untuk dihargai dan dilindungi

 

SEPAK TERJANG

Selama 12 tahun penggembalaannya, tentunya Keuskupan Surabaya mengalami jatuh bangun, suka cita, duka, harapan. Adapun hal-hal yang bisa mengambarkannya adalah sebagai berikut:

  1. Jumlah umat 31 Desember 1991 berjumlah total 153.500 jiwa(0,48% penduduk jawa timur) yang tersebar dalam 28 paroki. Setiap paroki melayani sejumlah: 2000-12.000 orang umat.
  2. Yang masih sukar dihalangi adalah perkawinan campur(agama). Dari 1.394 perkawinan umat katolik pada tahun 1991 ada 253 kawin campur (18,15%)
  3. Keuskupan Surabaya memiliki 256 rumah ibadah, secara keseluruhan baru bisa menampung 55.000 umat (dari total 153.500 umat), tidak heran dalam misa minggu perlu jadwal misa yang melimpah (ada yang sampai 6-7 kali).
  4. Untuk dapat menampung seluruh umat masih dibutuhkan tidak kurang dari 50 tempat ibadah lagi.

 

Dalam karya pendidikan:

  1. Keuskupan Surabaya (hanya di belahan barat provinsi Jatim) pada tahun 1991, tercatat 22 yayasan yang mengelola 246 sekolah mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi
  2. Tahun 1991, ada 80.110 orang siswa yang bersekolah di sekolah katolik daripadanya 30.020 siswa/mahasiswa katolik (37%)
  3. Terdapat 30.000 umat katolik yang bersekolah di sekolah negeri atau non-katolik. Padahal tidak semua dari mereka memperoleh pelajaran agama katolik

 

Dalam bidang sosial ekonomi

  1. Terdapat 49 macam tempat untuk pelayanan kesehatan, rohani, anak-anak, dll bagi masyarakat. Beberapa tempat merupakan pemberian umat, misalnya Resi Aloyisi[4]
  2. Pengelola mereka adalah paroki, atau yayasan sosial, atau biarawan/biarawati
  3. Hampir semua/setiap: perkumpulan katolik, paroki, dan biara mempunyai kegiatan sosial.

Dalam usaha-usaha yang beliau jalankan tidak sepenuhnya berhasil karena ada hambatan-hambatan yang menghalangi antara lain:

  1. Berdirinya sekolah-sekolah negeri, PGRI, dan Swasta lain, persis di dekat sekolah katolik yang maju dan cukup favorit(misalnya di dekat SMPK Pare)
  2. Jumlah kelas yang banyak pada sekolah negeri sehingga dapat menampung banyak siswa
  3. Persaingan tidak sehat dalam arti ”bayar murah, tidak perlu susah belajar, toh sama-sama dapat ijazah”
  4. Keluarga berencana yang cukup berhasil. Keadaan ini membuat semakin sedikitnya konsumen, sedangkan pasar semakin melimpah
  5. Biaya penyelenggaraan yang membumbung tinggi, sementara siswa menurun dan daya bayar mereka rendah
  6. Sekolah-sekolah katolik di luar kota-kota besar mengalami defisit. Pada tahun 1990 terdapat 60 sekolah minus. Total defisit mencapai Rp20.000.000 per bulan atau 240 juta rupiah per tahun
  7. Subsidi Pemerintah untuk sekolah swasta, tidak banyak, dan tidak lancar
  8. Adanya protes dari beberapa oknum umat Muslim yang menentang pembangunan gereja/rumah ibadat.

 

KEBANGKITAN GEREJA DAN PURNA TUGAS

Selama masa kegembalaan beliau sebagai Uskup (1983-1993), beliau telah mentahbiskan 50 imam, dengan rincian 23 Projo, 20 CM, 3 SVD, 2 O.Carm, dan 2 MSF. Sedangkan jumlah imam yang bertugas saat masa kegembalaan beliau adalah 79 imam, dengan rincian 27 projo (26 putra Indonesia, 1 msionaris), 41 CM (28 putra Indonesia, 13 misionaris), dan 11 SVD (7 putra Indonesia, 4 misionaris). Hal itu menunjukkan rata-rata setiap imam melayani 1.968 orang umat katolik, tetapi pada kenyataannya ada imam yang melayani 7.000 orang umat. Jumlah ideal imam-imam ialah 1 imam untuk 1.000 orang umat. Jadi sebenarnya dibutuhkan 150 imam agar cukup untuk melayani 160.000 umat secara baik.

Perjalanan kegembalaan beliau menandakan adanya kebangkitan umat katolik. Indikasi-indikasi yang bisa dilihat ialah:

  1. Penghayatan dan pengamalan “Ut Omnes Unum Sint
    Imam, biarawan/biarawati dan awam nampak lebih bersatu dalam hidup dan bekerjasama. Hal ini terbukti dalam karya sosial ekonomi, baik Imam, birawan-biarawati, dan awam ambil bagian didalamnya. Semangat handarbeni (rasa ikut memiliki), dan bertanggung jawab mulai berkembang meskipun belum merata.
  2. Perkembangan iman dan hidup rohani
    Nampak dalam banyaknya retret dan rekoleksi, kelompok-kelompok doa, pendalaman iman, Kitab Suci, Ketahanan iman.

Dalam suatu wawancara, beliau menyampaikan harapan-harapan bagi Keuskupan Surabaya, sebelum menjalani masa pesiunnya. Secara umum, beliau berpesan agar umat tetap memiliki “sense of belonging” dalam Gereja dengan menyadari saya adalah Gereja. Dalam kebersamaan mereka harus melihat juga kepentingan sesama. Dan karena adanya kebersamaan tadi, mereka harus tumbuhkan sikap solidaritas. Yang mampu membantu yang tidak mampu. Secara khusus, beliau berpesan bagi biarawan-biarawati agar menyadari mereka dan kita ini satu, satu Gereja, satu communio. Yang beliau inginkan agar motto Keuskupan tetap menjadi pedoman hidup. Bersatu sesuai doa Yesus (Yoh17:21) “Ut Omnes Unum Sint”. Beliau juga menyadari adanya beberapa elemen Keuskupan yang masih perlu dibina. Kaum muda yang telah memiliki PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) masih belum menyadari pentingnya kebersamaan dalam semangat bersatu. Para intelektual Katolik yang memang membanggakan dalam bidangnya masing-masing namun masih lemah dalam pengetahuan iman.

Pada tanggal 15 Maret 1994, Beliau mengundurkan diri dari jabatan sebagai Uskup Surabaya, karena alasan kesehatan dan usia. Seorang Uskup yang sederhana ingin menikmati masa paripurnanya secara sederhana pula. Beliau memilih Seminari St. Vincentius milik Keuskupan sebagai tempat pesiunnya, disamping juga beliau merasa tidak mau merepotkan orang lain. Beliau ingin membantu para calon imam, para pengajar, dan umat sekitar. Suasana pedesaan bisa membuatnya bernostalgia mengingat telah begitu banyak kelelahan, tugas-tugas yang telah menemani perjalanan imamatnya. Hal tersebut memperlihatkan betapa tingginya penghayatan tentang kesederhanaan beliau. Akhirnya, Mgr. Dibjakaryana meninggal dunia pada tanggal 23 Januari 2002 dan dimakamkan di Puh Sarang, Kediri.

 

DAFTAR PUSTAKA

  1. Majalah Media Komunikasi. “Profil Keuskupan Surabaya”. Edisi Desember 1992, Keuskupan Surabaya. Hlm. 35-44.
  2. Majalah Media Komunikasi. “Mgr. A.J. Dibjakaryana yang kami kenal”. Edisi Desember 1994, Keuskupan Surabaya. Hlm. 24-27.
  3. Tondowidjojo, John, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 1. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2001.
  4. Tondowidjojo, John, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 2 A. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2001.
  5. Tondowidjojo, John, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 3 D. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2001.

 

REFLEKSI

Kami mengucap syukur kepada Allah Bapa Yang Mahakuasa dan akan Putera-Nya, Tuhan kita Yesus Kristus. Karena boleh diberi kesempatan untuk lebih mendalami salah satu figur Uskup Keuskupan Surabaya yang kami cintai, yaitu Mgr. Dibjakaryana. Seorang yang menjadi Imam projo pertama, yang kemudian diangkat menjadi Uskup dan tetap menjadi Uskup Projo pertama sepanjang sejarah Keuskupan Surabaya.

Dalam suatu pertandingan olahraga, kemenangan sebuah tim terjadi karena koordinasi, kerjasama yang bagus antar pemain, staf pelatih, dan management. Demikian pula yang dilakukan oleh Mgr. Dibjakaryana, ia sungguh memetingkan kerjasama, kebersamaan dalam membangun keuskupan Surabaya. Mgr. Dibjakaryana memandang kebersamaan bukan hanya bersifat situasional, tapi terus-menerus dalam hidup dan karya. Kebersamaan berarti bersama-sama membangun, menjalani sesuatu (keuskupan Surabaya). Hal ini menuntut partisipasi semua elemen yang terkandung dalamnya.

Dari sisi manusiawi memang Mgr. Dibjakaryana tidak kuat menghadapi penunjukkan itu. Mgr. Dibjakaryana mempunyai riwayat kesehatan yang tidak baik menghadapi kenyataan bahwa dirinya Uskup, yang mempunyai pekerjaan tidak kunjung henti, bisa jadi jabatan Uskup akan membuatnya semakin cepat kembali ke Allah Bapa. Menghadapi situasi diri yang lemah, Mgr.Dibjakaryana tidak putus asa, ia semakin mendekat diri kepada Allah dalam Kepasrahan. Bagi kami, hal ini menunjukkan bahwa rahmat Allah mengatasi kelemahan manusiawi.

Kami mencoba menganalisis motto Mgr.Dibjakaryana berdasarkan kemampuan kami. Motto “Ut Omnes Unum Sint” memperlihatkan adanya unsur keterbukaan Keuskupan terhadap segala masukan, kritik yang diberikan. Unsur keterbukaan terjadi karena umat, Imam, dan masyarakat merasa memiliki Keuskupan Surabaya. Dari sini kami belajar bahwa  dengan adanya rasa memiliki dalam suatu komunitas membuat kita berani mengutarakan pendapat. Pendapat itu tentunya ingin mengarahkan  komunitas kita kearah yang lebih baik.

Dari hasil pengenalan lewat pustaka-pustaka, kami mampu mengambil sebuah kesimpulan untuk kami pribadi. Bagi kami, Mgr. Dibjakaryana merupakan sosok yang inspiratif dalam menjalani banyak hal. Sosok pribadi Uskup yang rendah hati, sabar, giat dalam melayani jiwa-jiwa, bijaksana, dan penuh sifat kebapakan dalam menghadapi domba-domba gembalaannya. Dengan berbekal motto kegembalaannya “Ut Omnes Unum Sint”, dengan sepenuh hati ingin membentuk persatuan baik antar umat beriman, pemerintah, dan juga umat agama lain. Mgr. Dibjakaryana juga terus-menerus menyadarkan umat beriman untuk memiliki rasa memiliki terhadap Gereja Keuskupan Surabaya.

Kami harap dengan mengenal dan mendalami salah satu figur Uskup tersebut semakin menumbuhkan rasa cinta dan memiliki yang mendalam kepada Gereja Kesukupan Surabaya kita.

 

Salam Sejahtera,

Fr. Seno dan Fr. Kristo

 

 Uskup dari Masa ke Masa
♦ Mgr. Dr. Theophilus de Backere, CM - “Parare Vias Domini” (Mempersiapkan Jalan-jalan Tuhan)
♦ Mgr. Dr. Michael Verhoeks, CM (1938-1952) - Menimba Optimisme dan Semangat
♦ Mgr. Johannes Antonius Maria Klooster, CM - Menggembalakan dengan Cinta 
♦ Mgr. Aloysius Joseph Dibjakaryana - Kebersamaan Dalam Membangun Keuskupan Surabaya
♦ Mgr. Yohanes Hadiwikarta - “Pastor Bonus” (Gembala Yang Baik)
♦ Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono - Keberanian Seorang Gembala  Menghadapi Tantangan Kegembalaan 

 

 


  • [1] Sebutan bagi duta besar Vatikan. Bdk. A. Hauken, SJ. Ensklopedia Gereja (Jakarta:Cipta Loka Karya,2005). Hlm 45
  • [2] Bdk. John Tondowidjojo, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid II-A. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2001. Hlm 440
  • [3] Bdk. John Tondowidjojo, CM., Sejarah Perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 1. Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama. 2001. Hlm 330
  • [4] Awalnya sebagai rumah istirahat para romo. Usul ini tidak mendapat tanggapan positif dari Keuskupan. Maka, diubah menjadi rumah pembinaan rohani. bdk. John Tondowidjojo, CM, . Sejarah perkembangan Keuskupan Surabaya jilid 3b(Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, . 2001). Hlm 171